
Terima kasih untuk kawan-kawan yang sudah berkenan untuk ikut mendukung. Selamat membaca!
PUISI: ANTARA SERIUS DAN MAIN-MAIN
Jika mendengar kata puisi, maka yang terngiang di dalam benak kita barangkali adalah penggunaan bahasa yang mendayu-dayu, majas yang indah, kata-kata yang berima, bahkan diksi yang sukar untuk kita pahami. Namun pada kenyataannya, puisi lebih dari semua itu.
Secara defenisinya sendiri (yang saya comot dari KBBI) puisi itu dapat dimaknai sebagai suatu gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan tersendiri lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus. Gimana udah mulai pusing?
Sederhananya mungkin begini, puisi dapat kita artikan sebagai hasil dari penginterpretasian seorang penyair terhadap realitas kehidupan yang terjadi di sekitarnya, sehingga ia terpicu untuk mencurahan pikiran maupun perasaannya ke dalam bentuk tulisan atau semacamnya.
Tapi pada kesempatan ini saya tidak ingin terlalu panjang lebar membahas tentang definisi puisi, karena saya yakin bahwa siapa pun yang tertarik dengan puisi, tentu sudah jauh-jauh hari mereka khatam dengan hal-hal sefundamental itu. Di sini saya hanya ingin sedikit menyinggung tentang penulisan puisi, tentang bagaimana puisi semestinya harus ditulis dan diperlakukan.
Nah, dalam hal ini saya ingin terlebih dahulu mengutip pendapat dari Sutardji Calzoum Bachri yang menyatakan bahwa kata-kata itu harus terlepas dari beban makna, sebab dengan demikian maka kreatifitas akan dimungkinkan. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Jeihan Sukmantoro yang merupakan seorang penyair sekaligus pelopor sajak mbeling di tanah air, dan di dalam puisi-puisi mbelingnya beliau kerap menyisipkan pernyataan yang menyindir penyair “serius” yang terlalu menjunjung tinggi nilai-nilai kepenyairan di atas segala nilai hidup.
Jeihan juga menganggap bahwa puisi itu tidak lebih dari sekadar bermain-main, ia bisa ditinggalkan sewaktu-waktu pabila kita sudah bosan. Bagi beliau berpuisi tak lebih ibarat orang yang sedang bermain gapleh, tidaklah perlu terlalu serius. Puisi tidaklah perlu dibela sampai mati, sebab ia bukanlah ayat suci yang kedudukannya sakral. Menjadi penyair sejatinya hanyalah sebuah tahapan awal untuk menjadi seorang pemikir.
Maka dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa puisi itu semestinya ditulis sebebas mungkin, dan seorang penyair tidaklah perlu terlalu mengagung-agungkan kepenyairannya di atas segala hal, sebab sewaktu-waktu ia bisa berhenti dari semua hal itu.
Nah, saya pribadi selaku pemula dalam hal puisi, saya sebenarnya juga tidak mau jika puisi di tanah air itu seragam, saya tak ingin para kritikus sastra tanah air mengekang proses kreatifitas para penyair dengan menekankan bahwa puisi harus ditulis begini, puisi harus ditulis begitu. Sebab saya percaya bahwa kreatifitas itu tidak ada batasannya.
Kita toh sama-sama tahu bahwa sastra mesti bersifat dinamis. Sastra harus melangkah maju, bukan hanya berdiam di tempat, apalagi mengengok ke belakang. Para penyair masa kini tidaklah harus mengulang apa yang dilakukan oleh para penyair terdahulu, tugas mereka kini hanya perlu mengemban semangat mereka untuk mengembangkan khazanah sastra di tanah air, dan melawan ketidakadilan.
Terakhir, saya hanya ingin berpesan satu hal kepada siapa pun yang membaca tulisan ini dan mencintai puisi, bahwa puisi itu mesti ditulis sebebas mungkin, tak peduli jika hasilnya akan bagus atau pun jelek, akan diterima atau tidak di kalangan masyarakat, tetap saja, kata-kata mesti bebas.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
