
Calon ayah tiri vs anak tiri atau kakak tiri vs adik tiri?
Mana yang lebih seru 😏😏😏
Unmatch The Parents
Chapter 2
Meet The Match
Sampai detik itu, belum pernah ada bakat bercecer di jalan yang menolak kesempatan dari agensiku. Semua orang selalu ingin terkenal.
Kadang, aku menikmati peran ini. Santa Claus bagi jiwa-jiwa haus aktualisasi diri. Kalaupun semula mereka nggak mengira kemujuran itu akan datang, tapi begitu kesempatan ditawarkan di depan mata, mereka rela meninggalkan apa saja. Pekerjaan mapan, masa depan cemerlang, pacar, istri dan anak. Semuanya. Demi menyicipi seteguk kemewahan yang bisa diberikan oleh ketenaran.
Mencari pengganti Ruben harusnya bukan perkara sulit, selama Tuhan belum bosan menjadi kreatif.
Kebetulan, keributan sudah berhasil dibubarkan waktu aku nyampe sana.
Diam-diam, kupastiin duluan masih ada selembar kartu nama terselip di saku celanaku yang sesak. Celana baru beli udah sempit aja, padahal belum diisi makan siang.
Di antara kerumunan yang masih bertahan, aku menyelinap. Mataku terus mengawasi, mencari celah sampai cowok itu sepenuhnya sendiri sambil memindai calon mangsa dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Kukibaskan rambut agak panjangku dan kubiarkan angin panas siang ini menerbangkannya. Kelopak mataku mengedip lambat. Aku berdiri dengan kaki kanan melebar ke samping dan tangan terlipat di depan dada. Kalau salah satu klienku suatu hari dibikinin biopic, Ana de Armas kayaknya cocok memerankanku. Cuma beda beberapa (puluh) kilogram aja. Nih, pose-ku udah kayak cewek James Bond.
Dia lebih tinggi dari jarak dekat begini.
Tinggiku sedikit lagi seratus enam puluh lima sentimeter, kurang satu-dua senti lah. Cuma di mana-mana kutulis satu enam lapan. Memangnya kenapa? Kan nggak mungkin aku ke mana-mana nggak pake sepatu.
Lelaki itu mungkin seenggaknya dua puluh senti lebih tinggi dari puncak kepalaku. Proporsi tubuhnya ideal. Bahunya lebar dengan postur tegap, tapi nggak bulky. Aku bisa membayangkan tumpukan abs tipis di balik kemeja biru muda yang dipakainya. Batang hidungnya patah dan mancung dengan lesung mikro di tengah. Keningnya lurus, mengilat. Semua rambutnya ditarik ke belakang. Pribadi yang percaya diri. Ceruk mata di bawah alisnya yang cukup tebal sedikit menjorok ke dalam. Tulang pipinya lebar, rahangnya tajam, area wajah di bagian mulut menyempit ke bawah membentuk oval sempurna. Dia tahu benar man bun sangat cocok buat bentuk mukanya.
Entah apa yang membuatnya tiba-tiba mengernyit waktu menoleh ke arahku.
Buatku itu biasa. Cowok-cowok (baca: manusia) suka memandang sebelah mata ke cewek yang nggak langsing. Kayak kita mau nyuri makanan mereka aja. Tunggu sampai kutanya, mau masuk TV? Mau main film? Joko Anwar lagi open casting, mau? Jadi pocong juga mereka mau. Kalau udah begitu, aku akan menghiasi mimpi-mimpi mereka setiap waktu.
Kerjaannya apa, ya? Sales asuransi? Credit marketing officer? Akuntan? Setelannya rapi. Celana katun, kemeja, dan blazer. Tanpa dasi. Mataku mengerling ke saku celananya, ketat dan kosong. Nggak ada tanda-tanda kartu pengenal tercetak, atau tali kalung yang menjuntai.
Bukan pekerja kantoran?
Lalu apa?
Nganggur? Lagi nyari kerja? Kasihan....
"Heh!"
Kelamaan ngelamun, aku terkejut.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya dengan ekspresi terganggu.
Entah sejak kapan, tahu-tahu aku sudah berdiri sendirian tepat di depannya. Cowok itu menukikkan alis padaku. Tertunduk, sedangkan aku mendongak. Dengan panik, aku celingukan ke sekelilingku. Orang-orang ternyata sudah kembali duduk. Petugas keamanan menyeret pasangan biang keributan keluar dari area café. Aku bisa melihat itu terjadi dengan melongok ke sisi lengannya. Begitu tatapanku kembali ke depan, sorot matanya langsung menyongsongku. Sial. Aku refleks tersentak mundur.
Jauh di balik punggungku, meski nggak bisa lihat, aku tahu Mila sedang menjilati bumbu french fries karena terlalu malas mengunyah sambil mengamati gerak-gerikku. Dia punya teori. Dalam meyakinkan orang lain, kunci keberhasilan kita ada pada menit-menit awal sebelum, atau saat perkenalan. Orang itu harus menganggap kita pantas untuk didengarkan lewat kesan pertama. Jangan terlihat lebih lemah, atau kita akan diremehkan. Kelemahanku adalah meyakinkan orang lain. At some cases, seperti yang terjadi pada Ruben dan uang lima puluh juta rupiahku yang raib, kupikir aku sudah berhasil ngeyakinin dia, ternyata malah aku yang kena tipu.
Beberapa detik lalu, kupikir aku sudah memberikan kesan yang sempurna. Dengan kedipan lambat, rambut teriap angin, dan lengan terlipat di depan dada. Aku lupa, orang berpipi chubby sepertiku acap kali dianggap lucu, dibanding serius. Duh... mana kancing bagian dadaku pakai meletek segala....
”Oh, h—hai," sapaku terbata sambil meraba-raba toket sendiri. Lho... kancingnya mana, nih, kok lubangnya doang yang ketemu? "Eh... eh... aduh!"
"Kenapa?" tanyanya, heran ngelihatin aku panik sendiri.
Aku menghela napas lega. Ketemu. "Nggak apa-apa...."
"Tolong minggir, ya...," pintanya. Ramah, sih. Suaranya lembut, tapi sambil mengibaskan telapak tangan di depan hidungku sebanyak dua kali. Persis kayak mengusir lalat, atau bau enggak sedap.
"Eh... sebenernya... ada," kataku.
”Ada?" Dia mengulang. "Ada apa maksudnya?"
"Kamu tadi kan nanya..., apa ada yang bisa kamu bantu..., gitu, kaaan? Ada. Ada yang bisa kamu bantu buat aku," terangku, agak genit. Kuambil kartu nama dari saku dan kukipaskan di sisi pipi gembilku. Aku tahu siang ini agak panas, pasti pipiku kemerahan. Biasanya aku kelihatan lebih gemoy. Kepercayaan diri setinggi ini biasanya cuma muncul saat aku yakin orang di depanku akan bertekuk lutut.
Kapan itu terjadi?
Saat mereka tahu apa yang kutawarkan. Ketenaran.
Dia mengerutkan alis lebih dalam. Membaca namaku, mungkin. Chasity Kasih Kavita. Cassie. Get Noticed Agency. Di bawah garis lurus, Talent Scout and Talent Agent. It usually work. Sikap terganggu macam apapun, biasanya akan luluh.
Tunggu... ini belum pernah gagal sebelumnya.
Dadaku seketika terasa penuh waktu kulihat cowok itu mencungkil bibir kanan atasnya, lalu dikedutkan membentuk senyuman miring.
Seolah-olah, aku bisa mendengar teman-teman masa SMA di balik punggungku tertawa mengejek. Kamu perlu lebih patuh pada defisit kalori harianmu selama sepuluh tahun penuh buat punya hak untuk merasa seksi saat melakukan hal itu, Cassie.
Mamamu ramping, kok kamu gendut?
Kamu cantik, sih, sayang gendut....
Pipiku panas, tapi aku berusaha mengusai diri.
Aku berdeham. "Boleh minta waktu sebentar?"
"Enggak," jawabnya. Singkat, padat, kejam.
"Tapi tadi kamu nanya—"
"Maaf, ya..., tadi aku cuma basa-basi, " katanya jujur. "Bisa tolong minggir dari situ? Kamu berdiri di dekat mejaku, Non...."
Padahal aku tahu, dalam ilmu pemasaran, diharamkan untuk memaksa. Kalau kita maksa, calon pembeli akan makin enggan, malas, dan teryakinkan untuk bilang 'enggak'. Bilang aja, "Okay... maaf mengganggu. Aku cuma ngerasa kamu bakal cocok buat sesuatu yang akan kutawarkan. Simpan aja kartu namaku dan pikirkan, kalau kamu berubah pikiran... ada nomor ponsel yang bisa kamu hubungi."
And I exactly do the opposite gara-gara egoku tersentil. Biasanya, nggak ada yang menolak. Biasanya, begitu membaca kartu nama, mereka bisa menebak maksud dan tujuanku, lalu bola mata mereka berubah menjadi bentuk hati. Aku yang harus pura-pura jual mahal.
”Aku cuma mau minta waktu sebentar, kok. Sepuluh menit aja."
"Waktuku sudah banyak tersita gara-gara kejadian barusan. Makan siangku udah dingin. Tolong... jangan bikin aku makin emosi, ya? Ayo, sana... minggir...."
"Lima menit," aku menawar. Makan siangku juga udah dingin, lambungku menciut, nih. Kalau dibiarin kosong bentar lagi, aku bisa kena tipes. "Kamu bisa dengerin aku sambil ngelanjutin makan siang."
"Aku nggak suka diajak ngobrol waktu lagi makan siang," tandasnya. "Kamu jualan apa, sih? Aku lagi nggak ada rencana beli apa-apa."
"Bagus, soalnya aku memang nggak jualan apa-apa."
"Nggak ada orang yang baru ketemu minta waktu kalau bukan buat jualan," gumamnya. "Denger, ya? Aku nggak mau nyentuh kamu, tapi kalau kamu terus berdiri ngehalangin jalanku, aku nggak punya pilihan lain. Kamu bisa kupanggilin satpam supaya diseret keluar kayak mereka barusan. Mau?"
"Coba aja," tantangku.
Dia maju. Jantungku sontak berdegup lebih kencang sembari mundur. Dia ada masalah apa, sih? Mendadak, aku ngerasa gugup. Sejak tadi, aku hanya memperhatikan mukanya dari samping. Sama sekali nggak mengira ketika berhadapan muka, matanya menyorot setajam ini. Aku paling nggak suka menatap mata seseorang. Dia malah kelihatannya sengaja memperdalam ceruk matanya dengan memajukan keningnya ke depan, seperti kambing yang siap menyerang.
"Aku nggak mau nyari masalah, kok," kataku, makin gugup. Makin kurang meyakinkan. Mila pasti lagi geleng-geleng kepala. "Cuma mau minta waktumu sebentar. Lima menit. Paling lama sepuluh menit. Makan siangku juga udah nungguin."
"Aku nggak akan tertarik sama apapun yang kamu tawarkan, Non," dia menegaskan sekali lagi sambil melangkah ke samping, mencoba mencuri celah buat duduk di kursi.
Aku membaca gerakannya.
"Astaga," keluhnya. "Kalaupun ternyata nanti aku tertarik, aku bakal tetap bilang nggak tertarik karena aku sudah duluan bilang nggak tertarik. Jadi percuma. Kamu pasti mau bilang, kamu udah merhatiin aku sejak tadi, kan? Mau apa? Nawarin kerjaan? Nggak mungkin cuma mau kenalan, kan?"
"Kalau cuma mau kenalan?" tanyaku. Pikirku, apa salahnya?
"Buat apa?"
"Eng... nggak tahu... nambah kenalan baru?"
"Aku lagi nggak butuh kenalan baru...," katanya, sambil menipiskan bibir. "Maaf, yah?"
"Did you get this a lot?" tanyaku curiga.
"Get what a lot? Diganggu jam makan siangnya, atau diajak kenalan? Enggak sering, sih...."
"Didatangi talent scout dan diajak kerja sama?"
"Nggak juga," jawabnya, sedikitpun nggak tersentak. Nggak ngambil jeda buat mikir, nada bicaranya juga nggak berubah. Artinya dia udah baca kartu namaku, tahu maksudku, dan memang nggak tertarik.
Akunya yang belum puas, "Tapi pernah, kan?"
"Pernah. Dan nggak tertarik. Aku sudah punya kerjaan tetap. Okay?"
"I will say it anyway," kataku, kepalang malu. "Namaku Chasity, Cassie. Dari Get Noticed Agency. Pernah dengar? Ini kartu namaku."
"Aku sudah baca tadi," katanya.
"Terima aja, sih!" paksaku sambil menyodorkan kartu nama di tanganku yang dibiarkannya menggantung di udara.
Dia memandangi mukaku, bergantian dengan kartu nama di tanganku, sambil melipat bibirnya menahan geli. "Were you good at this job?" tanyanya.
Daguku terangkat tinggi secara otomatis, "Lumayan."
"Kalau kamu ngajak aku makan siang dengan cara cute kayak gini, mungkin aku malah bakal dengan senang hati nerima ajakanmu."
"Ya udah. Aku ngajak kamu makan siang!"
"Kurasa... kamu nggak perlu-perlu amat makan siang," katanya.
"Maksudmu apa?"
"Nggak ada."
"Maksudmu karena aku udah gendut, makanya aku nggak perlu-perlu amat makan siang?!"
Cowok itu menghela napas dan tanpa kuduga, tangannya melayang ke sisi wajahku. Kalau refleksku terlambat sepersekian detik aja, ujung jarinya bakal menyentuh pipiku. "Kamu nggak perlu makan siang karena udah kebanyakan makan donat," katanya. "Masih ada sisa meses di pipimu. Nggak ngecek penampilan dulu tadi?"
Sialan. Sebutir meses menempel di pipi tebalku waktu tanganku menggosoknya.
"Tuduhanmu asumtif..., padahal aku cuma menilai dari jejak yang kasat mata," decihnya sambil geleng-geleng kepala ngelihatin aku sibuk membersihkan sisa meses.
"Tuduhanmu juga asumtif," balasku. "Aku cuma makan satu donat!"
"Kalau begitu... pendekatanmu yang jelas kurang efektif. Kamu perlu ditatar lagi, apa aku perlu menghubungi manajermu?"
Aku mengerang, "Ayolah... biar kubayarin makananmu, biarin aku duduk di sini supaya aku bisa ngejelasin maksud dan tujuanku!"
"Aku udah tahu maksud dan tujuanmu, kok, dan aku nggak tertarik," ujarnya tenang, tapi provokatif.
"Kamu belum denger apa-apa udah asumtif juga!"
"Kalau aku dengerin dan asumsiku benar, terus gimana?"
"Ya... mungkin aja... kamu tertarik... sama... tawaranku...."
"Naaah... kan?" tudingnya ke hidungku. "Berarti jualan. Nggak tertarik."
"Bukan kamu yang disuruh beli! Kamu yang mau dibeli!" salakku, hilang kendali.
Aku dan cowok itu sama-sama memelotot.
Detik kemudian, aku langsung sepakat sama dia. Ini memang percuma, ngapain ngotot? Orang dia nggak mau.
Tapi... masa iya, sih, nggak semua orang pengin tenar?
Yah... aku enggak. Mauku cuma satu, mamiku nggak kawin cerai melulu. Mila juga kayaknya enggak pengin terkenal. Dia cuma mau duit yang banyak aja biar nggak usah kerja.
Kenapa aku berasumsi semua orang mau, ya?
Kami sama-sama terdiam, tapi dia lebih dulu membuang napas. "Are you supervised now?" tanyanya lelah, celingukan di atas kepalaku. "Yang mana managermu?"
"Nggak adaaa...," aku meraung lagi.
Cowok itu mendesah. "Sorry. Tapi aku bener-bener lagi nggak mood makan siang sama orang asing hari ini, gini aja," katanya sambil mencabut kartu yang terjepit di jariku. Strangely, dia terus mengamati kartu nama itu, padahal tadi bilangnya udah baca. "Gini aja, Cassie—"
"Chasity," koreksiku.
"Kamu tadi bilang Cassie...?"
"Hanya buat orang-orang tertentu!"
"Di kartu ini ada tulisannya... Cassie."
"Khusus buat yang nerima tawaranku aja!"
Dia tertawa geli. "Okay... Chasity... biar kamu nggak kena marah, kartu ini kuambil. Bilang ke supervisormu, kalau aku tertarik makan siang sama kamu lain waktu, nanti kutelepon ke nomor di kartu ini. Ya?"
"Namamu?" cecarku, lagi-lagi aku bisa membaca gerakannya, masih ke samping tapi ke sisi yang berbeda dari sebelumnya. "Kamu nggak mungkin kan nerima ajakan makan siang dari seseorang kalau orang itu nggak tahu namamu? Kalau kamu nelepon aku, gimana aku bisa tahu siapa yang ngehubungin aku?"
"Aku tinggal bilang, ini cowok yang privasinya kamu ganggu di kafe waktu itu. Yang mau kamu ajak gabung sama agensimu, tapi dia nggak tertarik. I believe you don't get this a lot. Ya, kan?"
"Supervisorku pasti nanyain namamu. Sekalian, dong, kalau mau bantu."
"Karang aja nama... apa, kek. Lagipula... kan tadi kubilang... cuma supaya kamu nggak kena marah, Non... bukan berarti aku bakal ngehubungin."
"Sudah kubilang juga, I am not supervised right now."
"Astaga... you are invading my rights in public space. Nanti bukan ponselmu yang kuhubungi, tapi telepon kantormu, lho.... Kamu bisa dipecat kalau kubilang aku ngerasa terganggu dengan cara pendekatanmu."
"And you're offending me personally," balasku cepat. Mulai emosi. Jariku menuding, tapi akhirnya kutekuk kembali. "Kamu nggak mau bagi tahu namamu, tapi sembarangan panggil-panggil namaku. That's not fair. Nggak gitu caranya kenalan sama orang, dong."
"First of all, kamu yang nunjukin kartu nama dan nyebutin namamu. Aku sudah bilang nggak tertarik sejak awal. You said you will say it anyway. Aku nggak menyambut ajakanmu buat saling memperkenalkan diri. I just demand my space yang kamu ganggu buat ngelanjutin makan siangku. Apa yang bikin kamu tahu-tahu berpikir aku harus tertarik sama apapun yang kamu tawarkan?"
"Aku ngelihat pertunjukanmu barusan dan kupikir kamu cocok buat diorbitin jadi aktor laga."
Cowok itu memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Agensiku sudah mengorbitkan banyak artis di dunia hiburan. Kami nggak menuntut bayaran apa-apa sampai talent kami benar-benar dapat kerjaan. Aku bisa jamin, pekerjaan utamamu nggak akan terganggu. Kami yang bakal ngurus segalanya dari A sampai Z. Kalau ternyata nanti kamu kurang puas dengan pekerjaan yang kami dapatkan buat kamu, kamu bisa menolaknya."
"Aku bermaksud baik, Cassie—"
"Nggak usah sebut-sebut namaku sebelum kamu mau nyebutin namamu," geramku.
"Aku bermaksud baik, Non," ralatnya, tanpa mengernyit sedikit pun. "Aku berusaha menghemat waktumu. Daripada ujungnya aku bakal nolak setelah kalian susah payah nyariin aku kerjaan, mending dari sekarang kutegasin... aku enggak tertarik. Aku nggak mau kasar sama cewek, but please... go away."
"Ya ampun... who hurt you!" bentakku benar-benar jengkel.
"Who hurt me?" balasnya, nggak kalah melengkingnya dengan suaraku. Aku sudah mengentakkan kaki berniat ninggalin dia dengan rasa dongkol di tenggorokan. Tahu-tahu, dia menyentak lenganku dan kami kembali berhadapan dalam jarak yang jauh lebih dekat dari sebelumnya. "You. Who hurt you?!"
Mataku membeliak.
"Balikin kartu namaku!" pintaku marah.
"Kamu ya yang datang-datang gangguin orang. Udah dibilang aku nggak tertarik, masih maksa. Aku yang harusnya nanya. Apa sih masalahmu?"
Aku balas menggeram, memutar lenganku yang dicengkeramnya. "Lepasin, nggak? Kalau sampai ada bekas tanganmu di lenganku... aku bakal....“
Sebelum kalimatku selesai, dia sudah membuang lenganku duluan sampai tubuhku nyaris terhuyung ke belakang. Aku tergeragap. Kasar banget, sih? Nyaris kayak punya masalah personal sama aku, padahal kami baru ketemu. Nggak masuk akal banget. He's right. I don't get this a lot, terutama setelah mereka melihat kartu namaku.
"Cassie... Cassie!" panggil Mila. Aku masih terengah sewaktu partner-ku tiba dan menahan punggung tebalku. "Are you okay?"
"Bilang sama temanmu," kata cowok itu. "Kalau orang nggak mau, jangan dipaksa. Udah dibilang baik-baik nanti bakal dihubungi kembali, kok maksa!"
Baik-baik???
Hampir aja aku menyalak kalau saja Mila nggak mencegah dengan mempertegas gosokan tangannya di punggungku, "Sorry, ya, Kak...?" ucapnya ke cowok itu. "Kak siapa namanya?"
"Dia nggak mau nyebutin namanya!" semburku, jengkel luar biasa. Kupungut kartu namaku yang jatuh ke tanah dan kutinggalin mereka berdua sambil mengomel nggak keruan.
Belakangan, Mila menyusul kembali ke meja makan. Nasi di mangkuk sudah pindah semua sampai butir terakhir ke perutku. Dia juga terlihat nggak lama mengobrol dengan cowok itu. Aku mengamati dari jauh sambil menghabiskan semangkuk bibimbap dengan brutal. Mulutku berlumur saus Gochujang.
Mila mengangsurkan beberapa lembar tisu buat mulutku, "Dia minta maaf, tuh, udah kasar."
Hidungku mendengkus seperti banteng. Rasanya jadi makin lapar.
Sambung Mila, "Lagi banyak pikiran katanya."
"Tolong mintain buku menu lagi," suruhku.
"Cas... udah cukup. Lu udah banyak makan. Inget, masih ada 12 jam lagi dan jatah kalori harian lu udah mau habis. Denger gue... masa dia nanya... apa bener nama lu Chasity Kasih Kavita? Kok kesannya dia kayak nggak asing sama nama lu gitu, ya? Lu yakin nggak kenal dia? Temen lama lu kali...? Temen SMP? SMA?"
Aku menggeleng. Masa iya temen SMA? Cerita begituan kan barusan tamat, masa diulang?
Kepalaku menggeleng. "Bukan. Fettucini carbonara di sini kabarnya enak."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
