Prahara Janji: Lahirnya Sang Dewabrata

0
0
Deskripsi

“Kangmas tidak boleh menanyakan apapun yang saya lakukan,” sambung Dewi Gangga. 

Prabu Sentanu, pemegang kekuasaan tertinggi Hastinapura. Raja kesembilan belas dari Dinasti Kuru. Wajahnya berkilau cemerlang, hidung mancung, rambut panjang hitam legam, kumis tipis mengalun menghiasi bibirnya yang berwarna merah segar, suaranya yang tegas namun lembut menyempurnakan ketampanannya. Oh, siapapun akan terpikat oleh pesonanya.

Penampilan menawan, ototnya yang kekar, dadanya yang bidang, sedikit tertutupi oleh kain panjang yang diselempangkan di sebelah kiri.  Kalung dengan sebuah batu safir berwarna biru di tengah tersematkan di lehernya. Mahkota yang bertatahkan batu ruby merah terpasang dengan gagah di kepalanya. 

Meski begitu, Sang Raja adalah seorang bujang lapuk. Sudah tiga tahun lamanya dia duduk di singgasana Hastinapura menggantikan ayahnya—Prabu Pratipa. Belum ada satupun wanita yang membuat hatinya tergerak. 

Pada suatu siang, penasehat Prabu Sentanu mengajak bicara Sang Raja dengan hati-hati. “Yang Mulia, tidakkah Anda berpikir mencari calon permaisuri untuk negeri ini?” 

Prabu Sentanu menghela nafas panjang. 

“Bukankah aku sudah bilang padamu?  Aku sama sekali belum menemukan seorang wanita yang cocok untukku di Hastina ini.”

Selalu seperti itu. Penasehat maupun menteri Hastinapura tak tahu harus bagaimana lagi membujuk Sang Raja. Mereka sudah kehabisan kata-kata. Kalaupun mereka merangkai kembali bujukan yang baru kepada paduka, jawabannya pasti sama. 

“Aku jadi khawatir dengan masa depan Kerajaan Hastinapura ini,” gumam penasehat Prabu Sentanu lirih.

***

Berburu adalah kegiatan favorit Sang Raja. Terutama saat hati Prabu Sentanu sedang gundah. Seperti paduka lakukan saat ini. Suasana hatinya sedang tidak baik. Dia berkuda dengan kecepatan tinggi menuju hutan yang tak jauh dari istana. Senapati kerajaan sudah mewanti-wanti untuk membawa beberapa prajurit bersamanya. Namun, Sang Raja menolak dengan alasan dia ingin melakukan “perenungan diri”. 

Di antara pepohonan yang lebat dan rindang itu, Prabu Sentanu mengambil satu anak panah. Tatapan matanya bergerak berputar mengelilingi pohon demi pohon, semak demi semak.

“Sial! Bagaimana bisa tidak ada satupun rusa atau babi di saat seperti ini?” 

Dengan geram, Prabu Sentanu menaruh kembali anak panahnya di balik punggung. Dikitarinya lagi seluruh penjuru hutan itu. Dia tak ingin pulang. Kalau perlu, dia ingin menginap saja di dalam hutan sampai pagi. 

Tiba-tiba, kedua mata Prabu Sentanu mendelik. Semak-semak tak jauh dari tempatnya duduk di atas kuda, bergerak-gerak. Dari antara rerimbunan dedaunan berwarna hijau tua itu muncul seekor rusa gemuk dengan tenangnya.

“Di situ kau ternyata,” batin Prabu Sentanu. Matanya membulat, wajahnya sumringah. Rasa kesalnya kini berubah gembira. 

Hendak ditariknya sebuah anak panah. Sekonyong-konyong, rusa itu menoleh ke arah Prabu Sentanu. Apa daya, rusa itu sepertinya sudah menyadari adanya bahaya di sekitarnya. Dia menatap Prabu Sentanu dengan tatapan melas, sebelum akhirnya terbirit-birit dari posisi Prabu Sentanu berada. 

“Hei! Tunggu!” 

Prabu Sentanu menendang tapal kudanya. Dikejarnya rusa itu dengan sangat bernafsu.

Derapan kuda yang berdentum keras mengusik ketenangan hutan petang itu. Burung-burung gagak yang tengah beristirahat di dahan-dahan pohon sontak berterbangan tak karuan.

Anehnya, meskipun Prabu Sentanu sudah memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, rusa itu seolah seratus kali lebih cepat dari derap langkah kuda kesayangannya.

“Tunggu! Dasar rusa sialan!” umpat Prabu Sentanu. 

Kejar-kejaran antara dua hewan dan satu manusia itu membawa mereka ke sebuah aliran air jernih yang deras. Tanah yang dijejaki semula gembur dan lembek, berganti dengan tanah bertekstur kasar dengan bebatuan kecil-kecil. Itu berarti, mereka sudah keluar dari area hutan. 

“Sungai Gangga? Bagaimana bis—”

Kata-kata Prabu Sentanu terhenti. Pandangan matanya menangkap sesuatu yang sangat berkemilau. Elok sekali di mata. 

Di sebuah batu besar di pinggir sungai, seorang wanita muda duduk dengan merapatkan kaki ke sebelah kanan. Wanita itu mengenakan gaun berwarna biru cerah. Parasnya putih bersinar dengan rambut hitam bergelombang berkibar diterpa angin petang. Rusa yang tadi hendak diburu oleh Prabu Sentanu, tampak duduk tepat di pangkuan sang wanita. Wanita itu mengelus-elus bulu si rusa sambil tersenyum. 

Tak pelak, senyuman manis wanita itu membuat jantung Prabu Sentanu berdegup kencang. Nafasnya memburu tak beraturan. Keringat dingin membasahi pelipis Sang Raja.

“Ba—bagaimana bisa ada wanita secantik ini di sini?” Kata-kata itu meluncur dari mulut Prabu Sentanu begitu saja tanpa disadarinya. 

Sang wanita tampaknya menyadari kehadiran Prabu Sentanu. Dia berhenti mengelus rusa itu dan menoleh ke arah Sang Raja. Dilemparkannya senyum yang membuat jantung Prabu Sentanu seolah berhenti sejenak. 

Dengan segenap jiwa, Prabu Sentanu memberanikan dirinya untuk mendekat. “Wahai Diajeng, siapakah gerangan diri Anda?” 

“Nama saya Gangga, Kangmas,” jawab Gangga. Suara Gangga terdengar begitu lembut dan anggun.

Untuk beberapa saat, mereka berdua saling menatap. Prabu Sentanu semakin merasakan kecanggungan tak terkira. 

“Jadi Anda adalah seorang Dewi dari svarga loka?” 

Dewi Gangga mengangguk pelan. 

“Pantas saja wajahnya sangat jelita seperti bidadari,” batin Prabu Sentanu. Dia masih tak percaya akan kecantikan Sang Dewi. 

“Di–Diajeng, mungkin ini sangat mendadak, tapi ....” 

Suara Prabu Sentanu bergetar. Dia merapatkan kakinya kikuk. Sosok seorang raja yang biasanya tegas berwibawa itu kini malah terlihat konyol. Dia menghembuskan nafas berat sebelum melanjutkan kata-katanya.

“Ya, Kangmas?” Dewi Gangga memiringkan kepalanya. Kali ini kedua pasang mata itu saling beradu. Prabu Sentanu semakin tergugu. Dia kehilangan kata-kata yang sebelumnya tersimpan rapi di lubuk hati terdalam.

“Ma–ukah Anda … An–da menikah dengan saya?” Suara Prabu Sentanu semakin menghilang hampir tak terdengar.

Sesaat Dewi Gangga terdiam. Tak satupun jawaban keluar dari mulutnya. Dahi Sang Dewi berkerut. Matanya menatap kilauan cahaya senja di atas Sungai Gangga.

Namun tak lama, dia kembali mengulum senyum penuh arti. 

“Kangmas boleh menikahi saya. Tetapi, ada satu syarat yang harus Kangmas patuhi. Jika tidak, maka pernikahan kita akan berakhir,” ucap Dewi Gangga dengan mantap. 

"Syarat apakah itu, Diajeng?" 

“Kangmas tidak boleh menanyakan apapun yang saya lakukan,” sambung Dewi Gangga. 

Hmm, sebuah syarat yang mudah, pikir Prabu Sentanu. Tanpa berpikir panjang, dia pun mengangguk mengiyakan.

"Baiklah, saya setuju dengan syarat Diajeng tersebut. Asal Diajeng mau jika saya boyong ke istana Hastinapura.” 

 

***

Dengan persetujuan antara Prabu Sentanu dan Dewi Gangga, kedua insan itu pun melangsungkan pernikahan, segera setelah Dewi Gangga diboyong ke istana Hastinapura. 

Pernikahan itu berlangsung dengan penuh suka cita. Rakyat Hastinapura menampakkan wajah cerah mereka ketika Dewi Gangga dan Prabu Sentanu menaiki kereta kuda berdua. Sebuah kalung bunga dikalungkan ke leher Dewi Gangga oleh Prabu Sentanu. Begitu juga dengan Dewi Gangga yang turut mengalungkan kalung bunga ke leher pria yang kini resmi menjadi suaminya tersebut. 

“Hidup Prabu Sentanu! Hidup Permaisuri Gangga! Hidup Hastinapura!” 

Sepanjang perjalanan mereka menuju istana, sorak sorai rakyat Hastinapura bergemuruh memenuhi jalanan Hastinapura. Prabu Sentanu menoleh ke arah istrinya seraya menggenggam tangan Dewi Gangga, “Saya sangat bahagia, Diajeng”. Dewi Gangga tersenyum lembut, kepalanya dia letakkan ke dada Prabu Sentanu yang kini telah menjadi suaminya. 

***

Gelar bujang lapuk yang dulu disandang oleh Prabu Sentanu telah terlepas. Kini, istana menjadi lebih hidup dari sebelumnya. Dengan adanya Dewi Gangga sebagai permaisuri baru kerajaan, urusan pewaris tahta kerajaan tak perlu dipusingkan lagi. 

Sehari-hari, Prabu Sentanu tak pernah berhenti memikirkan istrinya. Dia masih tak percaya bahwa wanita yang dia nikahi bukanlah wanita biasa. Wanita itu adalah Sang Dewi yang turun ke bumi untuk menjalankan sebuah tugas yang entah itu apa. 

"Ah, sudahlah! Persetan dengan siapa dan apa dia. Yang penting dia sudah jadi milikku," ujar Prabu Sentanu. 

Sang Raja merasa kehidupannya menjadi lebih berwarna berkat adanya Dewi Gangga di istana. Belum ada sebulan Sang Dewi tinggal di istana, dia seperti telah merebut hati setiap penghuni istana, tidak cuma Prabu Sentanu seorang. Semua yang ada di istana menyukainya. Hari-hari terasa sangat damai dengan kehadiran Dewi Gangga di istana. 

***

Tiga bulan berlalu begitu cepat. Suatu sore saat berjalan-jalan di Tamansari, seekor binatang berbulu berkaki empat yang memiliki tiga warna–putih, jingga, dan hitam, menghalangi Dewi Gangga dan Prabu Sentanu. Langkah mereka terhenti. Dengan geram, Prabu Sentanu hendak melayangkan kaki kanannya untuk menyingkirkan binatang itu.

"Jangan, Kangmas!" cegah Dewi Gangga.

"Lho, kenapa Diajeng? Bukankah dia sudah menghalangi kita?" tanya Prabu Sentanu heran. 

"Lihatlah, puting-puting susu kucing itu menggelambir. Pasti dia sedang ditunggu oleh anak-anaknya," kata Dewi Gangga menjelaskan. 

"Kenapa kita harus memikirkan anak-anaknya?" 

Dewi Gangga tersenyum bijak. "Karena kita sebentar lagi akan memiliki anak."

"Hah!"

Alangkah terkejutnya Prabu Sentanu mendengar itu. Setetes air bening keluar dari pelupuk matanya. Kabar kehamilan Dewi Gangga bagaikan hadiah gunung emas tepat di depannya. Belum pernah dia sebahagia ini setelah pernikahannya dengan Dewi Gangga. 

Kabar tentang kehamilan pertama Dewi Gangga telah tersebar ke seluruh penjuru negeri. Kerajaan lain yang bersebelahan maupun berjauhan dari Hastinapura turut mengirimkan ucapan selamat atas kehamilan Dewi Gangga. 

“Sehat-sehat di sana ya, Nak,” ucap Prabu Sentanu mengelus lembut perut Dewi Gangga yang sudah mulai menonjol.

***

Tangisan anak pertama mereka memecah keheningan di subuh hari kala itu. Dayang-dayang yang membantu Sang Permaisuri melahirkan tengah menggendong makhluk mungil itu.

“Selamat Yang Mulia, anak pertama Anda dan Permaisuri berjenis kelamin laki-laki.”

Hati Prabu Sentanu berbunga-bunga. Dia benar-benar menanti kelahiran sang putra. Putranya nanti yang akan menggantikannya sebagai pewaris tahta Hastinapura.

Ketika Prabu Sentanu hendak menggendong putranya, Dewi Gangga tiba-tiba terbangun dan beranjak dari pembaringannya. Dia langsung mengambil posisi berdiri tegak. Semua dayang termasuk Prabu Sentanu melongo melihat itu. 

“Diajeng, keadaanmu masih belum stabil. Tolong istirahatlah du—” 

Sebelum Prabu Sentanu menyelesaikan kalimatnya, kedua tangan Dewi Gangga mengambil alih putra mereka dari gendongan dayang. Dia pergi meninggalkan ruang persalinan tanpa sepatah katapun.

Semua yang ada di dalam ruangan itu terpana. Mau dibawa kemanakah Sang Pangeran? Demikianlah pertanyaan baik dayang-dayang maupun Prabu Sentanu dalam benak masing-masing.

***

Prabu Sentanu selalu bertanya-tanya dalam hati. Kemana perginya putra pertamanya? Sejak persalinannya, Dewi Gangga pulang tanpa membawa putra yang baru saja dia lahirkan. Ketika dia hendak bertanya, Dewi Gangga hanya tersenyum sambil menggeleng pelan. “Ingat janji yang sudah kita buat, Kangmas.”

Ini membuat mulut Prabu Sentanu terkunci. Dia dan Dewi Gangga sedari awal telah terikat janji sebelum pernikahan mereka. Prabu Sentanu ingat betul perkataan ayahandanya sebelum kematian menjemputnya. 

“Nak, tetap tepatilah janji pada siapapun sekecil atau seremeh apapun janji itu.” 

Satu-satunya yang dirasakan oleh Prabu Sentanu saat itu hanya satu. 

Dilema. 

Prabu Sentanu berjalan bolak-balik kanan-kiri dari ujung hingga pojok kamar. Dia benar-benar penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi dengan putranya? Apakah Dewi Gangga menyerahkan putranya untuk dirawat orang lain? 

Tidak!

“Gangga tidak mungkin sejahat itu pada darah dagingnya sendiri!” kilah Prabu Sentanu pada dirinya sendiri.

Prabu Sentanu mengetuk-ngetuk pelan pelipisnya. Dia berusaha untuk tetap berpikir positif tentang apa yang terjadi pada anaknya dan istrinya. Meski rasa penasarannya membludak seperti isi air yang kepenuhan di gelas.

***

Tak lama setelah hilangnya pangeran pertama, kerajaan kembali dibuat heboh oleh kehamilan kedua Dewi Gangga. Kabar menghilangnya putra pertama Prabu Sentanu masih tertutup rapat hanya untuk kalangan dalam istana agar tak menimbulkan keresahan masyarakat. 

Berbagai persiapan perayaan dilakukan untuk menyambut kehamilan kedua permaisuri Kerajaan Hastinapura itu. Di dalam istana, semua bersuka ria tak sabar menunggu kelahiran anak kedua Raja dan Ratu Hastinapura itu. Rakyat Hastinapura sama sekali tak tahu menahu atas keberadaan putra pertama yang telah musnah entah kemana. 

***

Kelahiran putra kedua mereka lagi-lagi berakhir sama seperti kelahiran putra pertama mereka. Dewi Gangga kembali mengambil alih putranya sesaat setelah dilahirkan. Dia meninggalkan ruang persalinan seorang diri. Seolah dia sama sekali tak merasakan sakit yang dialami ibu-ibu sehabis melahirkan pada umumnya. 

Untuk kelahiran putra keduanya, Prabu Sentanu sengaja menyuruh beberapa prajurit untuk membuntuti kemanakah perginya Dewi Gangga dan putra yang baru saja dilahirkannya. 

Sekembalinya para prajurit itu, mereka bergegas melaporkan kepada Prabu Sentanu. Wajah mereka putih pucat. “Yang—Yang Mulia, Yang Mulia Permaisuri ... Di—dia menenggelamkan putra Paduka ke dalam arus Sungai Gangga!”

“Apa? Cepat jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi pada putraku!” 

Air muka Prabu Sentanu memerah padam, suaranya parau penuh tekanan. Salah seorang prajurit mulai menjelaskan tentang apa yang baru saja didapatnya. Penjelasan itu dilanjutkan oleh prajurit lain, secara sambung-menyambung. 

Menurut mereka, Dewi Gangga berkuda sendirian menuju hutan yang biasa dijadikan Prabu Sentanu untuk tempat berburu. Dia terus berkuda dengan kecepatan tinggi hingga keluar dari area perhutanan, yang tak lain adalah area Sungai Gangga. Tempat dimana Dewi Gangga dan Prabu Sentanu berjumpa untuk pertama kalinya. 

Di sungai tersebut, Dewi Gangga duduk di atas batu tempat dia  memangku rusa yang dulu ingin diburu oleh Prabu Sentanu. Dia membuka kain sarinya, mulai menyusui putranya untuk beberapa saat. Setelah itu dia menimang-nimangnya sebentar ... Oh astaga! Bayi yang baru saja dia susui dan timang, dia lemparkan begitu saja ke arus ganas Sungai Gangga. 

Sekujur tubuh Prabu Sentanu seperti dialiri listrik yang menusuk setiap pembuluh darahnya. Matanya menatap kosong prajurit-prajurit di hadapannya. Dia tak tahu harus merespon apa. Kabar itu begitu sulit diterima dengan akal sehatnya.

Bagaimana bisa Dewi Gangga, seorang dewi yang dia cintai membuang anak-anak yang dia lahirkan, yang tak lain adalah darah dagingnya sendiri. Bagaimana bisa dia setega itu?

***

Tidak hanya pada kelahiran pertama dan kedua. Dewi Gangga melanjutkan "kebiasaan" keji itu kepada kelahiran ketiga, keempat, dan seterusnya.

Kini adalah kelahiran ketujuh. Prabu Sentanu sudah tak tahan. Jika biasanya dia memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengawasi sang istri, dia sudah membulatkan tekad untuk berkuda sendiri menyusul istrinya ke arah Sungai Gangga, tempat dia membuang semua anaknya. 

Secara sembunyi-sembunyi, Prabu Sentanu diam-diam memperhatikan sang Istri menyusui dan menimang-nimang anak ketujuh di mereka di tepi sungai. Dan, terjadilah seperti yang sudah dia dengar dari laporan para prajuritnya. Anak itu dilemparnya begitu saja ke dalam derasnya sungai Gangga. 

Ingin sekali Prabu Sentanu muncul dari persembunyiannya di antara lebatnya semak-semak. Keinginan itu tertahan karena janji yang telah terikat di antara mereka berdua. 

Prabu Sentanu hanya bisa menahan gemuruh dadanya yang bergejolak sambil mengepalkan kedua telapak tangannya, menahan kemarahan yang hampir meledak. Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kematian anaknya untuk kesekian kali tanpa mampu melakukan apapun. 

***

Tak menunggu lama setelah peristiwa memilukan itu, Dewi Gangga hamil lagi. Untuk kehamilan kedelapan ini, Prabu Sentanu menjadi semakin was-was. Dia semakin bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Apakah dia harus terus diam saja seperti ini? 

“Oh ayolah, Sentanu! Kau ini seorang raja. Raja besar Hastinapura. Kau harus mengambil keputusan yang takkan membuat masa depan kerajaan ini hancur!” 

Suara-suara itu muncul terus-menerus memenuhi relung hatinya.

Tibalah hari kelahiran putra kedelapan Prabu Sentanu dan Dewi Gangga. Lagi dan lagi, Prabu Sentanu bahkan para dayang yang membantunya melahirkan sudah hafal dengan tindakan yang akan dilakukan Dewi Gangga selanjutnya. Dia pasti akan akan kembali dari suatu tempat tanpa membawa kembali pangeran kecil di tangannya. 

Untuk kedua kalinya, Prabu Sentanu kembali mengikuti istrinya secara diam-diam dari belakang. Kini dia  sudah tak bisa menahan diri lagi. Dia sudah membulatkan tekad. Dia harus mengambil tindakan sebelum semuanya terlambat. 

Di atas batu, Dewi Gangga tengah menyusui sembari menimang-nimang anaknya. Wajahnya berseri-seri menatap putra kedelapannya penuh cinta. Tak nampak sedikitpun kebengisan tersirat di wajah ayunya. Adalah mustahil jika dia sampai tega menyakiti darah dagingnya sendiri. 

Dewi Gangga beranjak dari tempatnya duduk. Dia berjalan menuju tepian sungai. Kedua tangannya mengayun ke arah aliran sungai yang tak pernah tenang itu. Namun, jernihnya air yang menyegarkan seakan bersiap menyambut kedatangan putra kedelapan Dewi Gangga dan Prabu Sentanu. 

“Diajeng!” 

Dengan tergesa-gesa, Prabu Sentanu melompat dari kudanya. Dia menghampiri istrinya yang nyaris melempar putra kedelapannya ke sungai Gangga.

“Ada apa, Kangmas?”

“Berhenti, Diajeng. Sudah cukup. Jangan bunuh putra kita lagi!” 

Dewi Gangga terdiam. Dia melepaskan kain sari yang dia gunakan untuk menggendong putranya. Seperti biasa, Dewi Gangga tersenyum penuh makna.

“Kangmas sudah melanggar janji!"

Prabu Sentanu terperanjat. Dia tidak menyangka istrinya mengatakan itu demikian tegasnya. Mengingatkan kembali janji yang pernah dia ucapkan sebelum menikahi Dewi Gangga.

“Duh, Sang Hyang Widhi Wasa. Aku telah melanggar janji itu!” sesalnya dalam hati. 

"Apakah Kangmas selama ini berpikir saya membunuh anak-anak kita?”

Prabu Sentanu menunduk lemah. 

Melihat suaminya yang tak mampu mengatakan apa-apa, Dewi Gangga pun mulai menjelaskan alasan dibalik “pembunuhan” semua anaknya. 

Kedelapan anak yang dilahirkan oleh Dewi Gangga merupakan inkarnasi dari delapan vasu, atau delapan dewa yang mengandung unsur-unsur yang ada di alam. Kedelapan vasu itu telah melakukan sebuah kesalahan besar, yaitu mencuri sapi milik Resi Vasistha. 

Mereka sama sekali tak tahu tentang kepemilikan sapi itu. Vasu kedelapan memutuskan untuk tetap mencurinya. Namun, ketujuh vasu lainnya malah tak mengingatkan vasu kedelapan itu. Mereka membiarkan pencurian itu terjadi. 

Begitu mengetahui tentang sapinya yang telah dicuri, Resi Vasistha murka. Dia menunjuk satu-persatu para vasu yang kepergok olehnya. 

“Kalian semua aku kutuk! Kalian akan terlahir menjadi manusia biasa dan merasakan betapa sulitnya kehidupan di dunia!”

Para vasu bergidik ketakutan. Mereka memohon-mohon kepada Resi Vasistha untuk meringankan hukuman mereka. 

Setelah menimbang-nimbang kesalahan para vasu, akhirnya Resi Vasistha pun setuju untuk meringankan hukuman para vasu itu. 

Ketujuh vasu yang hanya membiarkan pencurian itu terjadi akan bebas dari kehidupan di bumi, asalkan mereka langsung meninggal begitu dilahirkan. Sementara vasu kedelapan yang memimpin pencurian itu akan tetap menjalani hukuman berat, yaitu terlahir sebagai manusia dan menjalankan kehidupan berat di dunia.

Tubuh Prabu Sentanu lunglai. Dia jatuh terduduk setelah mendengar semua kisah anak-anaknya. Dia sangat menyesali tindakannya hari ini. Dia sadar sudah melakukan kesalahan besar: melanggar janji yang telah dia buat kepada Dewi Gangga sebelum pernikahan mereka. 

Dewi Gangga melangkah mendekati suaminya. Dia menyerahkan bayi yang ada di gendongannya kepada Prabu Sentanu. Bayi yang terbungkus dengan kain berwarna coklat itu mendadak menjerit keras begitu terlepas dari gendongan ibunya. 

“Sudah saatnya aku pergi, Kangmas. Tolong jaga anak kita,” ujar Dewi Gangga, "kunamai dia Dewabrata.” 

Belum sempat Prabu Sentanu berkata-kata, Dewi Gangga melompat dengan posisi terlentang menuju ke arah ganasnya arus Sungai Gangga. Anehnya, derasnya air sungai itu terhenti sesaat, mengalir tenang bersamaan dengan lenyapnya tubuh Dewi Gangga dari pandangan. 

Prabu Sentanu memeluk erat putra kedelapannya yang tak henti-hentinya menangis. Lolongan tangis Dewabrata  semakin mengeringkan mata dan telinga Sang Raja. Batinnya tak kuasa lagi menahan kesedihannya. Sebuah teriakan panjang keluar dari mulutnya, meraung-raung untuk semua yang dialami dan dipendam selama sepuluh warsa, melengkapi penyesalan memilukan akan prahara janji yang telah dia ucapkan.

















 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Gelang Hitam
4
0
“Tunai sudah janji bakti."
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan