GSP 1: 1-1

1
0
Deskripsi


 

EKA

Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri

Rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi

Atilar silastuti, sujana sarjana kelu

Kalulun Kala Tidha, tidhem tandhaning dumadi

Ardeyengrat dene karoban rubeda

Keadaan negara waktu sekarang sudah semakin merosot

Keadaan rusak karena tak ada yang dapat dijadikan panutan

Banyak orang meninggalkan petuah atau aturan lama

Orang cerdik cendekia terbawa arus zaman yang penuh keragu-raguan

Suasana mencekam karena dunia penuh dengan kerepotan

(Serat Kalatidha,...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya GSP 1: 1-2
0
0
 2Abimanyu masih tersenyum sendiri, duduk di ruang kerja yang baru sebulan ini ditempatinya. Angannya yang mengembara berangsur-angsur kembali bersemayam pada alam kesadaran, ke tempat dia duduk di hadapan meja kantornya sembari membaca. Ya, hari ini tepat tanggal 28 Oktober. Delapan puluh satu tahun bukan waktu sebentar. “Jasmerah!” Jangan sekali-sekali melupakan sejarah[1]. Demikian Presiden Pertama Republik Indonesia pernah lantang berpesan pada generasi muda, penerima lanjutan tongkat estafet generasi penggaung Sumpah Pemuda. Dan kini, hampir seratus tahun sejak hari itu, giliran generasinya yang akan menjadi pembaharu zaman.Abimanyu meletakkan buku Biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sebagai mantan aktivis, Abimanyu pernah merasakan betapa susahnya memperjuangkan aspirasi rakyat. Orasi sepanjang hari hingga tenggorokan kering dan suara parau, bermandi keringat di bawah terik siang, atau basah kuyup dan menggigil saat hujan lebat. Namun, itu semua tidak ada apa-apanya dibandingkan para wakil rakyat sejati zaman dahulu. Tak gentar menggelorakan semangat, gigih berjuang demi rakyat, hidup atau mati dipersembahkan demi negeri.Ada rona malu menyemburat di dalam hatinya. Betapa kontras jika dibandingkan dengan dirinya dan anggota DPR/MPR sekarang ini. Mereka dulu begitu tulus berjuang demi rakyat dan negaranya. Sementara wakil rakyat yang terhormat saat ini berlimpah fasilitas dan pelayanan kelas satu, bergelimang kemewahan, hidup penuh prestise dan kenikmatan. Amanat dan kepercayaan rakyat yang semestinya diperjuangkan, kini hanya menjadi alat mendapat kedudukan serta kehormatan dengan cara kotor, licin, dan instan.Jangankan bicara pertanggungjawaban, potret wajah wakil-wakil rakyat kini justru lebih banyak berkelahi dengan sesamanya. Jika tak sedang bergosip ria atau bolos kerja, tertangkap kamera sedang baca koran atau tidur, sekadar absen dan makan gaji buta tanpa ada aksi nyata. Tak ada suara saat semestinya berbicara dalam sidang soal rakyat, jalan-jalan atas nama tugas negara, menghabiskan anggaran, berpesiar dan belanja royal di luar negeri. Sementara rakyat yang diwakilinya menjerit karena semakin hari kian terjepit. Harga bahan bakar minyak dan sembilan bahan pokok melambung tinggi selangit. Para wakil rakyat yang terhormat ini malah tanpa malu minta naik gaji. Prestasi pertama anggota DPR masa bakti 2009-2014, yang Abimanyu juga tergabung di dalamnya, adalah disepakatinya kenaikan gaji pejabat tinggi negara, mulai dari Presiden sampai perangkat kepala pemerintahan daerah, termasuk anggota DPR sendiri!Trrrt... Telepon genggam yang tergolek di atas meja bergetar.“Halo?”“Ah, Pak Abimanyu! Ingat saya? Sentot! Dari Tanjung Lesung, tiga minggu lalu! Bagaimana liburannya? Pengalaman snorkeling yang luar biasa, bukan? Semoga Bapak puas, karena yang kami beri adalah pelayanan first class, khusus Bapak Abimanyu!”“Ya, ya, tentu saya ingat. Bapak yang berkumis lebat dari Pemda, khan? Meski tujuan utama saya bukan untuk liburan, melainkan mengumpulkan aspirasi warga, saya berterima kasih untuk data-data yang diizinkan saya himpun dalam masa reses kemarin, juga pengalaman yang Bapak sebutkan. Nah, apa yang bisa saya bantu sekarang?”“Hehehe, to the point sekali bapak kita ini. Tapi memang, sebagai sesama teman kita harus saling tolong-menolong, tho?”Abimanyu sudah menebak arah pembicaraan. Dia muak dan benci penjilat yang suka pamrih dan tidak tahu malu. Segera disudahinya percakapan.“Oh, maaf, Pak! Saya baru saja dipanggil Ketua Komisi. Bisa hubungi lagi nanti? Terima kasih!” Klik! Abimanyu menutup telepon tanpa Sentot sempat membuka mulut untuk mencegah. Dia bisa membayangkan, di ujung sana hujan sumpah serapah.Begitulah dilema menjadi anggota DPR. Hari-hari padat jadwal melelahkan, beban kerja menumpuk dan memusingkan, belum lagi melayani orang-orang menyebalkan. Tak semua wakil rakyat itu bejat! Masih banyak yang bekerja sepenuh hati dan segenap tenaga memelihara amanat. Di tengah kepungan begitu banyak tarik ulur kepentingan yang lalu-lalang, hanya konsistensi teguh serta ketegasan sikap yang bisa mencegah seseorang dari terseret arus godaan yang mengintai diri dari banyak arah.Abimanyu hanyut dalam pikirannya. Dia memerhatikan ruangan tempat kerjanya yang luas dengan dekorasi sentuhan pribadi. Menyapu pandangan ke seluruh perabotan, sontak timbul rasa jengah, juga malu, kepada para wakil rakyat zaman dahulu. Dengan segala keterbatasan, tak jarang para pejuang itu harus bergerilya, sembunyi-sembunyi, berjanji bertemu lewat sandi, di tepi hutan, atau menumpang dalam rumah warga, rapat rahasia untuk menyusun strategi mengusir penjajah serta merebut kemerdekaan. Hati-hati dan waspada, kucing-kucingan agar tak dicurigai dan digerebek Belanda.Keadaan berbanding terbalik untuk wakil rakyat generasi Abimanyu. Mereka justru kini berada dalam sangkar emas, bergelimang mewah fasilitas, dimanjakan gaji berlimpah, tunjangan lebih dari pantas. Tak perlu takut ditangkap Kompeni, kemana-mana dikawal penjagaan bagai VIP. Terkadang Abimanyu bertanya di dalam benaknya, adakah para wakil rakyat sekarang pernah dan mau bercermin pada wakil rakyat di zaman dahulu? Sudahkah mereka mensyukuri betapa nikmatnya menjadi wakil rakyat pada zaman ini? Rakyat telah memercayai dan menitipkan suara mereka. Anggota DPR telah diberi remunerasi serta berbagai kemudahan yang teramat sangat layak, tentu bukan untuk leha-leha, duduk santai, ongkang-ongkang kaki saja. Mereka di sini untuk bekerja keras dan sungguh-sungguh mewujudkan impian serta harapan rakyat! Karena itulah mereka digaji!Terbayang penggalan adegan dalam film Si Pitung (1975) yang dulu laris diputar di bioskop saat ia baru lahir di tahun tujuh puluhan. Dibintangi mendiang aktor ternama Dicky Zulkarnaen, Si Pitung adalah legenda rakyat Betawi dalam melawan penjajah Kompeni, hidup di penghujung tahun 1800-an. Abimanyu kecil terpesona pada kegagahan Si Pitung yang jantan, Si Banteng Betawi, jagoan silat dari Rawabelong yang tak gentar melawan penjajah Kompeni. Pembela kaum yang lemah, berani menegakkan keadilan dan kebenaran, walau nyawa menjadi taruhan.Alih-alih menyerupai Si Pitung, Abimanyu justru merasa dirinya tak ubah Demang Meester yang begitu menyebalkan, diperankan Muni Cader, sosok demang kaki tangan Kompeni[2] yang turut memeras rakyat bangsanya sendiri di zaman penjajahan. Sebagai kaki tangan Schout (sekarang setingkat Kapolres) Van Hinne, pimpinan polisi lokal Belanda di Betawi yang diperankan Hamid Arief, tokoh demang adalah sosok penjilat yang menindas rakyat dan gemar memperkosa bangsanya sendiri. Pitung memang akhirnya mati ditembak pada 16 Oktober 1893. Ia tewas setelah dadanya ditembus dengan peluru emas saat dikepung di tepi hutan oleh Schout Van Hinne dan pasukan Kompeni, dikawal Demang Meester dan kaki tangan begundalnya. Pitung yang konon kebal senjata, kelemahannya dibocorkan teman sendiri yang menjadi mata-mata Belanda. Sebuah pelajaran mahal sejarah tentang pengkhianatan yang kerap menikam dari belakang dalam tiap pergerakan perjuangan.Semangat Abimanyu tergugah lagi. Kesepuluh jemarinya kembali lincah menari di atas papan ketik yang konon dihargai dua puluh juta Rupiah itu. Dia tidak boleh santai apalagi lalai, sebab tugasnya sebagai wakil rakyat sangat banyak, jadwal kerja padat dan kerap mendesak. Menyelesaikan bahan presentasi untuk rapat dewan nanti malam, itulah yang saat ini tengah ia lakukan.* * *“Polisi! Berpencar! Lari!”Kedua lelaki dalam ruangan itu terkejut, lalu bersirobok saling pandang. Lelaki bertopeng kain hitam panik. Lelaki bertopeng kayu merah darah menyentak laci mejanya. Menyambar sepucuk pistol, sejumput dokumen diselipkannya ke balik jubah panjang yang menyembunyikan rompi hitam. Dalam sekelebatan, dia menyelinap keluar, disusul lelaki bertopeng kayu raksasa putih yang datang memperingatkan keduanya.Di luar terdengar pekik, seruan agar yang di dalam menyerah! Lelaki bertopeng balaclava itu kalap dan semakin panik! Gelagapan, celingukan, matanya liar mencari. Menyoroti dinding, membentur lemari. Menatap langit-langit, sapuan pandangnya jatuh menghunjam lantai. Dilihatnya remasan kertas terbuang di keranjang sampah plastik, di kolong meja yang kokoh dan terbuat dari jati.Naluri menuntunnya memungut dan mengantongi gumpalan kertas lecek itu.Gagal menemukan celah bersembunyi, lelaki itu pasrah terperangkap di sudut ruang. Lima detik kemudian, sepasukan polisi meledakkan gerbang besi gudang tua yang terpencil di tengah sawah. Didobrak paksa dalam heningnya malam, menyergap masuk satu kompi pasukan.Kepulan asap menipis. Satu persatu ruangan digeledah dan ditelusuri. Beberapa lembaran tersobek dan sejumlah lontar lusuh tua berbahasa Jawa Kuno ditemukan teronggok dalam lemari yang berdebu. Seorang petugas mengenali dan menghubungkan dengan kasus lain yang terjadi belum lama, lebih kurang lima bulan silam.Itulah sebagian naskah peninggalan pujangga yang dulu tersimpan di Museum Radya Pustaka, Surakarta, yang telah hilang dicuri! Pencurinya bisa jadi mereka yang tengah diburu polisi. Namun penyergapan kali ini bukan didasari atas kasus pencurian, melainkan kasus yang berbeda, lebih berbahaya.Temuan baru yang tak terduga dan hubungan antarkasus kian membingungkan kinerja polisi. Sebingung para penyergap mencari ketiga orang yang sebelumnya ada di lokasi. Mereka lenyap bak siluman, berhasil lolos dari pengepungan! Burung Hantu meluncur tanpa suara, anggun berkelebat pergi. Malam membisu terselubung kabut tebal misteri.* * *Ruang kerja Abimanyu besar dan nyaman, berukuran empat kali lima meter dengan tinggi tiga meter. Di dalam balok raksasa, di sebelah mesin fotokopi terletak meja kerja yang dijejali PC, printer, scanner, telepon, faksimile, serta laptop. Di dinding sebelah kanan, tergantung lukisan surealis aliran sungai yang berkelok membelah rimbun pepohonan dalam hutan di lereng gunung yang subur, tampak seperti hidup seolah dapat terdengar gemericik air yang jatuh memercik di atas batu padas licin.Di sudut kiri ruangan, sebuah akuarium diisi ikan hias aneka ragam, ikan mas koki, discus, manfish, hingga cupang berekor terang, bernyala warna-warni. Pot tanah berukuran kecil yang ditanami Adenium Obesum mahal berbonggol unik dan berbunga warna merah muda, diletakkan di sudut kanan ruangan, persis di belakang pintu, menambah asri dan anggun interior yang berlantai serta dinding serba kayu. Tentu saja cita rasa khas seorang Abimanyu.Dinding yang berhadapan dengan pintu masuk disulap menjadi tempat bersandar rak-rak buku yang tertata dalam susunan rapi terlindung kaca. Isinya berderet buku-buku berharga, literatur langka, koleksi yang berkualitas. Abimanyu senang mengumpulkan buku-buku bekas maupun baru yang mempunyai nilai sejarah. Ada kepuasan tersendiri melihat perpustakaan pribadinya itu, mengingat dirinya dulu bahkan tak pernah berani bermimpi untuk memiliki.Ya, Abimanyu kecil bukan anak dari keturunan berada. Dia kerap iri pada salah satu sahabatnya yang dengan bangga memamerkan kumpulan novel klasik impor yang dibelikan ayahnya sepulang dinas dari luar negeri. Buku-buku dari negeri antah-berantah yang jauhnya bagai tak terjangkau dalam dunia angannya, laksana harta karun di mata Abimanyu belia.Judul-judul seperti Journey To The Center of The Earth, Around the World in Eighty Days, atau 20.000 Leagues Under The Sea karya Jules Verne begitu memukau imajinasinya. Selain fiksi ilmiah, Abimanyu cilik juga menyenangi cerita bergambar. Saat ia masih kecil, pada penghujung tahun 70-an dan awal 80-an, industri komik buatan dalam negeri masih merajai tanah air. Selain Si Buta Dari Goa Hantu gores pena Ganes TH, Gundala Putera Petir karya Hasmi, serta Godam ciptaan Wid N.S, favoritnya adalah komik wayang garapan R.A. Kosasih yang berseri amat panjang tetapi semua telah dengan rakus dilahapnya mulai dari Leluhur Hastina, Mahabharata, Bharatayudha, hingga Pandawa Seda dan Parikesit.Dari kisah wayang itu pulalah orang tuanya dulu memberinya nama. Abimanyu dari nama putera kesayangan Arjuna, sang ksatria utama Pandawa dalam kisah Mahabharata. Sementara Wibisana dari Gunawan Wibisana, adik bungsu Rahwana, sang raja raksasa angkara murka dari Alengka dalam kisah Ramayana. Meski kakaknya raksasa, tapi Wibisana terlahir sebagai manusia berbudi dan bijaksana.Bagi orang yang tergila-gila membaca seperti Abimanyu Wibisono, dahaga akan pengetahuan hanya dapat terpuaskan di perpustakaan. Beruntung dia punya sahabat dekat yang tak pelit meminjamkan koleksi buku-bukunya sehingga masa kecilnya kaya dengan wawasan beraneka rupa. Dan kini, ketika harga komik dan buku, bekas maupun langka, berapa pun harganya tak lagi masalah baginya, kehausan memburu dan mengoleksi pernik-pernik kenangan masa silam adalah godaan tersendiri. Tanpa disadari, tiba-tiba saja kini peti harta karun yang digalinya dari balik tabir memori telah berjejalan penuh selemari. Agaknya dia butuh satu-dua lemari lagi.Ah, mengenang masa indah saat kanak-kanak memang menyenangkan walau hidup tak serba berkecukupan. Meski kini segala sesuatu dalam hidupnya penuh dengan kelimpahan, sesuatu yang juga ia syukuri, keceriaan masa kecil adalah harta yang jauh tak ternilai harganya, tak bisa dibeli dan tak dapat terganti dengan apa pun juga. Teringat pada sahabat-sahabat masa kecilnya, angannya mulai mengembara, kemanakah gerangan kini mereka? Tanpa sadar, Abimanyu kembali tersenyum.[]          [1] Diucapkan pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-21, 17 Agustus 1966 di Jakarta.[2] Veerenigde Oost-indische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur), berdiri 20 Maret 1602, perusahaan Belanda yang memonopoli perdagangan di Asia ini biasa disebut VOC, namun karena sulitnya dilafalkan, oleh penduduk pribumi lebih mudah disebut Kompeni atau Kumpeni, dari kata Compagnie.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan