Titik luka; Blood sweat and tears

19
1
Deskripsi

Satu waktu dimana, aku tidak bisa lagi menemui di bagian mana titik sakit yang tubuhku terima. Walaupun ada darah di sana, yang sudah semestinya menjadi pacuan tempataku menerima luka.

Keringat yang timbul karena kecemasan terhadap rasa asing yang muncul.

Bahkan air mata yang mengalir sebagai bentuk rasa pedih saat aku menerima luka. Nyatanya itu tidak cukup memberitahuku dimana titik rasa sakit yang aku terima.

Reaksi yang tubuhku berikan semua sama. Sakit.

Nindy tidak memiliki rencana pun tidak juga berani bertindak berlebihan. Alasannya sudah pasti karena ada Genta di dalam sana dan dia juga datang sendirian ke tempat yang Praja tunjukkan padanya. Resiko terbesar yang menanti saat dia bertindak ceroboh, mungkin akan berdampak pada Genta.

Tungkainya beralun menyusuri pekarangan yang akan membawanya ke vila yang Praja tunjukkan padanya melalui peta. Motor yang Nindy kendarai diparkirkan begitu saja di depan gerbang.

Ponselnya yang sejak tadi dia genggam mulai menguat. Meremat sampai terasa kebas ketika setiap mata tertuju padanya. Nindy lakukan itu guna menyalurkan rasa takut yang tiba-tiba saja memukul dirinya. Bukan hanya mata mereka yang terlihat menelanjanginya— tawa dan celotehan memuakkan yang dihasilkan beberapa orang yang duduk menjaga Vila juga ikut mengalun. Menambah rasa tidak nyaman pun tinjunya yang mulai mengepal kuat.


Bau alkohol lah yang pertama kali menyambutnya saat pintu utama villa terbukanya. Nindy kira tujuh orang yang ada di depan itu sudah cukup banyak. Nyatanya di dalam masih terdapat beberapa orang lagi sebelum Praja menyambut kedatangannya dari arah atas tangga. Praja juga sama denahnnya. Dia menggenggam ponselnya sambil berjalan menuruni anak tangga. Senyum kemenangan tidak lupa dia sematkan. Langkahnya beralun penuh kegembiraan. Seakan tengah menyambut makan malamnya yang sudah dia tunggu selama beberapa bulan belakangan. Mata laparnya benar-benar membuat Nindy mual.
 

“Adik gua yang manis akhirnya datang.” Praja berjalan ke arah Nindy yang malah terpatri di posisinya. Membiarkan rasa takutnya menahan dirinya.


“Mau Lo apa?” Nindy mengucap itu dengan cukup lantang. Matanya berkilat-kilat penuh amarah. Namun sialnya Praja membalasnya dengan tawa menggema. Disusul teman-teman yang ikut terbahak. Seakan-akan pertanyaan itu hanyalah lelucon. Atau mereka juga sedang menertawakan kebodohan yang Nindy sedang perlihatkan. Gila! Padahal Nindy memang bertanya. Bukan sedang stand up comedy. Tolol.


Praja mendekat. Sangat dekat. Mencengkram bahu Nindy kuat dan semakin kuat saat Nindy memberikan perlawanan.


Praja mendekatkan wajahnya. Sangat dekat sampai nafas hangat yang bercampur dengan bau alkohol menusuk penghidunya. “Lu maunya gua apain, hmm?” tekanan di bahunya semakin terasa saat Nidny tidak menjawab. Praja bahkan tidak segan-segan memukul belakang lutut Nindy. Membuat Nindy tersungkur di bawahnya dengan cukup keras.


Nindy tentu saja tidak terima. Dia mau bangkit. Dia tidak sudi bersimpuh di bawah Praja. Namun, Praja juga bukan orang yang begitu saja menyerah. Kakinya dengan cepat menekan pundak Nindy. Menjadikan tubuh Nindy sebagai tempat pijakan. Menekan tubuh Nidny semakin kuat ke bawah.


“Praja anj—akhhh...” tubuh Nindy limbung ke samping ketika pipi Nindy ditendang begitu saja dengan ujung sepatu Praja.


“Banyak omong lu jalang! Sialan!” katanya sambil berjongkok di hadapan tubuh Nindy yang sudah ambruk. Ringisan Nindy bukannya membuat praja merasa kasihan. Dia dan teman-temannya justru terbahak-bahak. Menertawakan kelemahan wanita berumur dua puluhan tahun yang Praja perlakuan selayaknya binatang. Padahal beberapa orang di sana pernah menjadi saksi bisu bagaimana hubungan percintaan mereka sebelumnya. “Lu tuh sendirian! Dari awal juga lu tuh emang sendirian. Cuma gua! Cuma gua yang berbaik hati terima lu, sialan! Gua yang selalu ada buat lu Nin! Tapi lu anjing! Setelah gua tolongin lu malah jauhin gua! Sialan!” Praja menarik rambut Nindy. Memperhatikan air wajah Nindy yang terlihat lemas dengan memar kemerahan di pipinya bekas Praja tendang. “Lu harusnya inget Nin! Kita dulu pernah saling cinta Nin. Kita dulu saling memiliki. Tapi karena ketololan gua dan takdir sialan ini. Gua malah nolongin lu! Sok-sokkan jadi pahlawan kesiangan yang berbaik hati nolongin lu dan buat kita jadi begini. Kenapa, sih? Harusnya kita jalanin aja hubungan kita tanpa ada embel-embel dari otak sialan gua ini buat bantuin lu. Minta bokap gua yang ternayata adalah bokap lu, buat tebus lu dari rumah bordil sialan itu. Pasti kalau ketololan itu nggak terjadi. Kita udah nikah. Anak kita udah banyak. Kita saling mencintai. Rumah tangga kita bakalan hangat.”


“Praja sakit...” seharusnya Nindy melawan omongan Praja. Namun yang dia keluarkan dari mulitnya hanyalah kata sakit dan nama kakaknya, tepatnya ketika Praja semakin menarik rambutnya. Membuat kepalanya mendongak semakin ke atas. Tidak membiarkan Nindy meneruskan ucapannya.


“Harusnya gua nggak biarin Fauzi ketemu sama anaknya! Harusnya lu tetep jadi milik gua Kalya Anindita!” Praja berteriak cukup keras. Ada air mata juga yang jatuh dari kedua netranya. Emosinya bercampur. Sedih, dendam, frustasi, segalanya bercampur. “Harusnya kita bisa hidup bahagia!” Praja menghempas asal Nindy yang tadi ada di dalam genggamannya. “Bukan sebagai kakak dan adik! Hubungan sialan ini bikin gua muak! Gua bahkan nggak segan-segan sediain banyak ancaman supaya kita masih bisa sama-sama kayak dulu. Gua tau itu bikin lu takut. Tapi gua gabisa lepas lu gitu aja! Gua masih sayang sama lu. Gua bahkan masih pengen lu! Masih mau kita sama-sama Nin. Gua gabisa terima istri gua. Gua—“


“Buang semua obsesi lu Kak! Terima aja kalau sekarang kita sebatas adik kakak! Sampai kapanpun kita tetep adik dan kakak!” Nindy menyela ucapan Parja dengan suaranya yang tersedat. “Sadar Praja! Simpen aja kenangan manis lu. Menurut gua hubungan kita dulu juga udah toxic. Itulah yang buat gua gabisa lepas dari lu kak! Itu yang buat kita tetap sama-sama. Bukan karena gua pengen terus sama lu kak! Tapi lu yang nahan gua! Sampai di titik lu selametin gua pun. Gua bilang sama diri gua sendiri kalau pertolongan kalian memang menguntungkan. Tapi tidak mengubah rasa bahagia gua karena kita bisa berpisah. Itu yang gua rasain. Lu tuh Cuma terobsesi. Lu—“


Duakk


Praja menendang asal bagian tubuh Nindy. Yang sialnya mengenai perut Nindy. Hal yang membuat tubuh Nindy kembali limbung. Jatuh dengan rintihan dan tangannya yang menekan titik sakitnya. Berharap rasanya mereda.


Namun, itulah kesalahannya. Terlalu berharap. Sampai Nindy merasakan rambutnya ditarik dan digusur tapi yang jelas dia menaiki tangga. Rasanya sakit. Belum usai Praja memberikan ngilu di satu titik. Dia malah sengaja bermain di area lain. Yang terpenting Nindy tersiksa. Begitu mungkin pendapatnya. Hingga Nindy tidak tau pusat rasa sakitnya ada di mana. 


Tubuh Nindy masih terseret. Sedangkan tangan Nindy meremas rambut bagian bawahnya. Berharap rasa sakitnya tidak terlalu. Sampai Praja melempar tubuhnya ke salah satu ruangan remang-remang. Mata Nindy memindai ke segala arah. Berhenti ketika netranya menemukan tubuh Genta yang diikat di atas kursi plastik dengan tubuhnya yang terlihat sudah lemah. Kepala Genta terjuntai ke bawah. Tangannya ada di belakang. Terikat. Baju putihnya bahkan terlihat penuh dengan darah dan kotoran. Dan anehnya Genta mengenakan boxer saja. Mengenaskan.
Hal yang membuat Nidny menunduk merasa menyesal. Seharusnya memang dia tidak melibatkan siapapun. Seharusnya Nindy juga tidak melibatkan Genta. Walaupun memang ini adalah kemauan Genta sendiri.


Bahu Nidny bergetar ketika mengetahui kekejaman yang pasti sudah Genta terima sejak tadi. Tangannya membekap mulutnya ketika isakan itu tidak bisa dia redam. Orang yang selama ini selalu ada untuknya. Orang yang Nindy sayang lebih dari keluarganya kini berada dalam bahaya— tepat di hadapannya. Tubuhnya yang biasanya bugar terlihat lemah di sana. Bahkan Nindy tidak tau Genta masih ada tenaga atau tidak barang menegakkan kepalanya. Karena saat pintu terbuka bahkan saat Praja menendang beberapa perabotan di sana Genta tidak memberikan pergerakan.


“Bangun lu sialan!” Praja menyiram Genta dengan satu ember air yang ada di sana. Ah iya, Genta juga basah sejak pertama Nindy lihat. Bahkan Nindy baru sadar. Jika tetesan di atas rambut Genta berasal dari air, bukan keringat. Sebenarnya sudah berapa lama Genta menerima perlakuan seperti ini? Tubuhnya terlihat begitu lemas. Bahkan untuk sekedar mengangkat kepalanya agar melihat keberadaan Nindy dan menerima perintah Praja pun ia sangatlah perlahan.


“Ta! Genta? Lu nggak apa-apa ‘kan? I—ini gua Nindy!” Nindy berusaha menyadarkan Genta. Namun nihil. Genta hanya diam.


Dukk


Ember yang Praja genggam dia layangkan ke belakang kepala Genta. “Bangun! Ada yang khawatiri lu tuh! Cewek sewaan lu dulu. Sekarang lagi nangis dan rela datang ke sini buat cowok anjing kayak lu! Bangun tolol! Gaya aja sok jagoan! Di entot sama temen gua mah kelenger. Goblok!”


Mata Nindy makin memanas.


Praja benar-benar sudah keterlaluan.


Dia sudah sangat gila untuk dikatakan tidak waras.


Genta di perkosa? Teman-temannya?


Maksudnya Genta dipermainkan dengan teman lelaki Praja?


Ah sialan.


Mata Nindy melirik ke arah Praja dengan tatapan penuh akan amarah. Botol minuman di dekatnya diraihnya dan begitu saja Nindy pecahkan di atas kepala Praja hingga pecahannya terkena pipinya. Mengalirkan darah segar dari kepala Praja dan wajah Nindy.


“Mati lu anjing!” Nindy menendang dada Praja kuat. Sebelum merengut aneh ketika Praja malah tertawa sambil memekik. Dia benar-benar seperti orang sinting.


“Keren! Emang lu paling keren Nin. Ga sia-sia ya dulu pas sama gua merambah tugas jadi preman gua juga. Sekarang jadi kepake buat bela diri.” Praja menekan kepalanya dengan tangannya. “Gua sayang. Sayang banget malah sama lu! Tapi, lu bandel.” Praja melirik ke arah pintu yang terlihat akan terbuka. “Masuk!”


Awalnya Nindy tidak mengerti apa yang Praja maksud dengan kata ‘masuk' namun saat Nindy mendengar derap langkah bersamaan dengan pintu yang terbuka. Ia baru sadar jika seseorang memang ada di balik pintu itu.


“Manis sekali peliharaan gua ini!”


Nindy langsung mundur ke belakang. Matanya membulat saat menyadari suara siapa yang mulai memenuhi rungunya. Devanya. Ia benar-benar ada di sini. Wajahnya masih sama seperti sebelumnya. Bahkan ia jauh lebih terawat dari sebelumnya. Jauh berbeda dengan kondisi orang yang sudah dia sakiti.


Nindy jadi semakin tidak percaya dengan perkataan bahwa ‘Yang jahat pasti akan kalah dari yang benar.’ Kenyataannya jauh sekali.
Namun keterkejutan Nindy bukan itu saja.
Dirinya terhenyak ketika ada tubuh lain yang didorong ke arahnya dan jatuh di dekatnya.


Yuga.


Dia terlihat babak belur dengan tangannya yang di ikat.


“Awalnya saya gamau apa-apain dia. Tapi, siapaun yang udah sentuh ranah pribadi kehidupan saya. Dia harus menerima akibatnya.” Kata Devanya sambil menginjak punggung Yuga.
“Y-yuga!” Nidny membantu Yuga bangun. Bajunya saja sudah sangat lusuh. Sepertinya dia sudah dipukuli sejak tadi.


“Sorry gua gabisa bantu.” Katanya dengan suaranya yang beberapa kali dibubuhi oleh batuk.
Nindy benar-benar terpukul. Ini salahnya. Seharusnya dia memang tidak menarik siapapun untuk berada di dekatnya. Seharusnya tidak ada korban lain selain dirinya. “Yuga, sorry akhhh...”
Nindy ditarik paksa menjauh. Disentak di dekat tembok sampai bunyi benturan terdengar nyaring di ruangan.


“Manis banget calon istrinya anak sambung gua!” Devanya berjongkok di hadapan Nindy setelah Nindy sudah ditangani beberapa suruhannya. Pergerakannya dikunci oleh tambang. “Lu tuh terlalu bodoh Nin! Victory milih lu semata-mata bukan karena dia tertarik sama lu atau menerima perjodohan. Oh ayolah lu tuh terlalu naif! Dia dan Omanya tau siapa lu! Dia bahkan meminta kesaksian peliharaan saya disana tentang lu. Siapa nama anaknya Lunar, dimana tinggalnya dan berapa lama kamu mengabdikan diri kamu dibawah pengawasan saya. Dia tau! Dan dia di sisi kamu hanya sebagai bentuk rasa kasihan! Paham!”


Jujur. Rasanya cukup ngilu. Bahkan rasa ngilunya menyebar ke semua syaraf. Lalu kembali lagi ke pusatnya. Di dekat jantung. Hatinya. Entah dimana letak pastinya. Yang jelas. Ini cukup menyakitkan untuk dia dengar.


Rahasia yang dia tutupi dari Vee. Ternyata sebenarnya Vee sudah ketahui.


Dan satu kenyataan lagi yang dia dapat.
Ternyata Prajalah yang ada di dekat Devanya selama ini. Pria itu benar-benar iblis.


“Bukan sayang! Bukan Praja. Mata-mata saya. Orang yang mengawasi Vee kecil saya yang berharga itu,” kata Devanya menjawab apa yang Nindy utarakan dalam hatinya. Tidak sulit menebak apa yang Nindy pikirkan saat mata penuh dendamnya mengarah ke Praja. Devanya kini meraih pecahan botol. Dia menggenggam ujung botolnya. Mengarahkan pecahan yang terlihat runcing ke dagu Nindy. Meminta sang puan mendongak. Memusatkan tatapannya pada Devanya. Bahkan dia tidak perduli Nindy mengaduh karena ujungnya melukai dagu Nindy. Darahnya bahkan mengalir sampai menyentuh telunjuk Devanya. “Dia adalah Kalina. Orang yang mereka jadikan mainan dan piala bergilir. Tapi sayangnya dia sudah saya buang. Karena dia menikmati perannya. Bahkan dia juga dihamili oleh Vee. Dia juga sedikit mengesalkan beberapa bulan ini. Katanya ingin memiliki Vee dan berharap anaknya bisa hidup. Tapi lihatlah seberapa baiknya saya. Tidak membunuhnya dan hanya membunuh janinnya. Menarik gumpalan daging yang belum jadi itu supaya dia tahu siapa yang coba dia khianati. Sampai sini kamu tau kan orang yang bekerja sama dengan saya? Puas akan rasa penasaran itu?”


Ini terdengar cukup gila.


Bahkan membuat Nindy mual sendiri.


Nindy namakan ini adalah sarang orang idiot. Iblis tolol.


“Jadi lu masih terobsesi sama Vee? Bahkan saat Vee sudah membenci lu secara terang-terangan?”


Devanya mengangguk.


“Tidak masalah. Yang terpenting saya masih bisa menikmati wajah anak sambung saya. Kadang saya juga menikmati saat dia ketakutan. Itu sangat menyenangkan. Bahkan saya bisa turn on saat melihatnya.”


Sinting. Devanya bahkan lebih dari sekedar sinting. Entah apa namanya. Intinya dia Gila.
Nindy menggenggam tangan Devanya. Menekan pergelangan tangan itu agar lebih menusuk dagunya yang sudah terasa perih. Namun, tidak mampu mengalahkan rasa perih yang bersarang di dalam hatinya.


“Jangan setengah-setengah. Kalau mau bunuh. Ya bunuh saja!” darah kini meluncur lumayan deras. Namun saat Nidny berusaha melampiaskan sakitnya. Suara Genta yang lirih terdengar.


“N—nin?”


Mata Nindy langsung teralih. Melihat Genta yang menatap ke arahnya dengan satu matanya. Sedangkan satu matanya lagi terlihat sudah bengkak. Seperti habis di pukuli. Akan tetapi, bukan hanya itu yang menjadi pusat perhatian Nindy. Melainkan pistol yang sudah bertengger dengan sangat apik di pelipis Genta.


“Jangan dulu. Karena, kita lebih tertarik untuk membunuh si sialan ini terlebih dahulu! Dia beberapa kali selalu mengganggu pertunjukkan menyenangkan kita Nin.” Melihat Nindy terisak membuat Praja semakin menyunggingkan senyum penuh kemenangannya.


“Benar. Rasanya tidak puas jika tidak lihat kamu menderita terlebih dahulu.” Devanya menghempas pecahan botol itu. Melihat dengan baik bagaimana cucuran darah menghiasi pakaian Nindy. “Kalau saya langsung minta Praja tembak kamu, kayaknya selesai aja rasanya. Jadi, ayo bermain-main sedikit.”


Melihat Genta yang langsung menunduk pasrah membuat Nindy sesegera mungkin mengemis dan memohon. Apapun akan dia lakukan asalkan tidak ada yang menyakiti Genta. Pria yang selama ini bersamanya.


“Apapun. Apapun akan saya lakukan asalkan, No please jangan,” Nindy mengucap dengan tangis terisak. Saat praja bermain-main dengan pelatuknya. “Apapaun bakalan gua lakukan. Apapun! Asalkan jangan Genta. Gua mohon.”
Devanya melirik ke arah Praja. Yang langsung membuat Praja menurunkan senjatanya.


“Waah, lihatlah,” Devanya menarik rahang Nindy. Mencengkram dengan sangat kuat. Sampai membuat Nindy memekik “Tikus kecil ini sedang memohon.”


“Bebasin Nindy. Gua gapapa. Nin, lu—“


Dorr


“Akhh...” tubuh Genta berguncang menahan sakit ketika bahunya tergores senapan. Walaupun tidak ditembak secara langsung. Namun goresan cukup dalam itu mampu membuat Genta mengaduh. Apalagi dia tidak bisa melakukan apapun karena lengannya diikat.


Goblok! Udah dibelain malah sok pahlawan. Kena tembak kan.


“Anjing lu diem aja!” Nindy kembali mendekat ke arah Devanya yang sedang mengambil ponsel Nindy. Melihat deret nama yang tertera di imessnya. Disana ada Jagad yang mengirim pesan padanya berulang dan nama Victory. Nama yang langsung membuat Devanya menarik senyumnya. Tapi sebelumnya ponsel itu sudah Devanya matikan pelacaknya. Karena mereka bisa saja melacak. Jadi itu bukan pesan baru.


“Baiklah. Gua punya penawaran menarik.” Devanya berjalan ke arah lain. Mengambil laptop miliknya lalu mearuh di samping Nindy. “Live streaming!”


Apa lagi sih maksud dia?


Live streaming?


Gila kali! Emang Nindy selebgram.


“Lakukan pertujukkan menarik dan hasilkan banyak uang. Lu boleh pakai topeng tapi,” Devanya menoleh ke arah Yuga. “Lakukan dengannya! Bersetubuhlah dengan dia lakukan dengan erotis sampai semua orang tertarik memberikan kalian uang.”


“G-gak! Saya gamau. Saya—“


Ckrekkk


Pelatuk sudah hampir lepas. Terarah dari jauh oleh Praja tepat ke arah Yuga. Saat Nindy menyela. “Iket dia!” titah Praja ke beberapa temannya yang berjaga di dekat pintu ruangan.
“Bangsat!” teriak kencang Yuga saat tubuhnya diseret dan dililitkan oleh beberapa tambang. Lagi.


“Yuga please. Yang penting kita selamat dulu.” Kata Nindy memohon.


“Iblis kayak mereka nggak akan mungkin puas Nin! Kita bakalan tetep jadi bulan-bulanan mereka sekalipun apa yang mereka mau udah mereka dapatkan.” Kata Yuga sambil memberontak karena pakaiannya tiba-tiba saja dilucuti.


“Bersih banget kulitnya. Kayak bayi,” tangan Devanya memberi rabaan di atas dada Yuga yang sudah polos. Dilepas dengan kasar bahkan ada robekan. “Abis sama dia, sama saya ya? Tapi tutup matanya. Terus merengek lah seperti bayi. Tampan—“


Cuh!


Tangan Devanya diludahi oleh Yuga.


“Sedang tumbuh gigi, ya? Bermain liur begitu. Menggemaskan sekali bayi.” Devanya kini berjongkok di depan Yuga. Tangannya bergerak di atas Yuga. Menaik turunkan dengan cepat. Hingga sedikit mengeras. “Anak nakal ini ternyata bagus juga, ya punyanya. Nggak kayak bayi. Besar tapi masih lucu juga. Merah muda.” Katanya sambil mempermainkan di bagian kepala.


Hal yang langsung membuat Suga memberontak.


“Munafik! Katanya gamau. Tapi keras.”
Sedangkan Nindy disana hanya bisa membuang muka. Tidak mau melihat seberapa kurang ajarnya Devanya. Dari kata-kata kotornya saja Nindy bisa membayangkan seberapa menjijikan wanita itu memperlakukan Yuga.


“Tolol! Itu reaksi alami tubuh. Orang diperkosa juga bahkan bisa mendesah. Karena memang sudah dirancang seperi itu! Bukan berarti gua menikmati.” Bantah Yuga.


“Keras kepala juga ya! Kalau begitu, sesakit apapun rasanya nanti,” Devanya mengeluarkan cutter kecil dari dalam sakunya. “Nikmatilah penyatuan lu dengan lawan dry sex lu. Mendesah atau merengek lah. Jangan bungkam. Karena, saya akan melakukan hal yang akan membuat kamu semakin membuka mulut. Saya pastikan juga kamu tidak akan diam saja.”


Sialan.


Bahkan hal seperti ini pun Devanya tau.


Curiga wanita itu adalah dukun.


Hal selanjutnya yang Nindy dengar adalah teriakan dari Yuga. Yang langsung membuat Nindy menoleh dan ingin tahu apa yang membuat Yuga memekik kesakitan.


Nyatanya. Wanita gila itu menggoreskan cutternya di atas kejantanan Yuga. Hanya goresan kecil namun Nidny tau itu pasti pedih. Nindy yang hanya digores di bagian dagu saja masih bisa merasakan pedih.


“Arhhh sialan,” Yuga mengerang kesakitan. Sedangkan Devanya berdiri menjulang di hadapannya sambil tertawa. Setelah memberikan satu hisapan di sana. Mengenai lukanya. Walaupun hanya goresan kecil.


“Gua denger lu biseksual. Agar tidak mengurangi minat penonton. Gua mau lu tetap megerang walaupun itu berasal dari rasa sakit.” Devanya menyalakan layar di laptopnya. Mengotak-atik satu situs lalu mengarahkannya pada Yuga yang diikat tangannya ke belakang dan Nindy yang mulai Devanya suruh untuk maju dan bermain.
“Lakukan dengan baik tikus kecilku,” Devanya memperhatikan keduanya menikmati rasa. “Dan kita lihat. Bagaimana kecewanya Victory melihat wanita yang akan dia nikahi bermain panas dengan temannya sendiri.”

“Kenapa nggak lu suruh Jagad?” tanya Praja di samping Devanya.


“Victory dan Praja memang sering berbagi. Makanya, gua tarik orang lain.” Devanya melongok ke arah Praja. “Dan jangan juga berharap gua bakalan kasih posisi itu ke lu! Victory dan praja hanya akan merasakan kesal. Bukan kecewa. Lu bisa pake dia saat semuanya sudah selesai.”


“B-bos! Ada yang menyelinap!”


Praja yang sedang membalut luka Genta sambil menonton Nindy yang bergerak teratur di atas Yuga kini langsung terperanjat. Begitu juga dengan Devanya yang bergegas ppergi
Selang beberapa menit bunyi tembakan menggema.

Semua orang terlihat panik. Namun tidak dengan Nindy. Dia malah tenang saja walaupun Yuga terlihat panik. “Tenang aja! Ambil dulu pelepasan lu! Masih enak ‘kan?” kata Nindy sambil membubuhi senyuman. Berbeda dengan Yuga yang langsung memejam menikmati gerakan Nindy sampai pelepasan menjemput mereka.

“Gila juga ya! Keadaan genting malah mentingin ngewe!” Kata Yuga saat melihat beberapa orang jatuh bergeletakan.

“Nanggung!” Kata Nindy santai.


Dorr

Pelatuk mengenai salah satu yang ada di sana. Membuat tubuh itu tergeletak dengan darah yang bersimbah. Beberapa juga berlarian ke lain arah. Termasuk Devanya. Yang ternyata sudah ditarik oleh bodyguardnya menuju pintu lainnya. Walaupun begitu, wanita itu juga sempat mendapat satu tembakan di bagian pinggangnya. Meleset. Tapi lumayan. Kena.


Termasuk, Praja. 


Ialah salah satu sasaran utama timah itu bersarang. Kini tubuhnya meluruh ke bawah. Tergeletak sambil mengerang kesakitan. Kaki kanannya tertembak. Tepatnya di bagian betis.
“Anjing! Siapa Lo!!” praja mengucap itu dengan suara terputus-putus karena kaki dari si penembak menahan di atas dada Praja.

Sedangkan Nindy yang masih tanpa busana langsung beranjak. Membantu Yuga yang masih saja menahan sakit akibat goresan di atas penisnya. Berusaha untuk meraih air minum guna membersihkan berbagai residu yang bisa saja menyebabkan infeksi.


“Gua bersihin dulu,” kata Nindy saat Yuga menolak untuk disentuh. “Abis ini kita ke rumah sakit. Di obatin. Luka terbuka gini gampang banget infeksi. Apalagi kita abis ngewe.”


Detik berikutnya Yuga membiarkan Nindy membasahi dirinya. Mengusap dan membungkus luka itu dengan kasa yang penembak itu berikan.
“Sebenernya gausah ngerasa bersalah. Apalagi sampe bersihin! Gua sama kayak Vee. Kita masokis. Gua ekting aja kesakitan. Tapi kalau lu nyadar. Gua lebih dominan mendesah daripada kesakitan.” Yuga menyeringai menyebalkan. Membuat Nindy memutar bola matanya. “Lu kenal sama penembaknya? Kok dia bantuin Genta sama kasih lu kasa?”


Yuga, Genta bahkan semua yang ada di sini juga sudah pasti bingung. Namun Nindy hanya bisa diam. Tidak mau membongkar siapa di balik penembak bertopeng itu dan kawanannya. Walaupun dibalik diamnya Nindy ada senyum lebar yang Nindy peruntukan untuk pertanyaan yang Yuga berikan.


“Yang penting kita selamat. Gausah banyak omong!” Nindy membereskan kasa yang dia tadi gunakan. Memberikan pakaian Yuga. Untuk segera dia pakai. Sambil menunggu Genta yang sedang dibopong oleh seseorang yang serupa dengan si penembak. “Btw. Punya lu enak juga. Coba deh sama cewek lain. Lu juga ngaceng kok. Ga keliatan kayak kelainan. Biasain main sama cewek. Biar orientasi seksual lu bisa sedikit berubah. Lagian lu bersih begini emang mau nyodok pantat? Bau tai!”


Disana Yuga hanya terkikik. Matanya mengikuti arah jalan Nindy yang sedang mengancingkan pakaiannya dan memeriksa temannya.

“Kenapa nggak lu aja yang nyembuhin gua?” kata Yuga sambil berjalan menenteng jaketnya. Rasanya masih sakit. Tapi dia cukup menikmati juga apa yang Nindy berikan.

Sedangkan di sisi lain Nindy menepuk pundak salah satu penembak. Terlihat seperti ketuanya.

“Thanks! Walaupun kelamaan. Temenku sampai kena tembakan.”

Si penembak hanya menggeleng samar. Lalu menjawab. “Lagian enak juga kan ngegenjot orang? Kalau datengnya kecepetan. Nanggung banget ditengah jalan mainnya." Dan mereka hany bisa terkekeh sambil berjalan keluar mengantar Genta.[]
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Action!!!
176
7
Tw/cw ada di twitter
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan