CSL 18. Mantan

34
2
Deskripsi

Bersamaan dengan masa putih abu-abu yang selesai. Luka itu juga menghilang. Agra dan Zeta kini disibukkan dengan kehidupan kuliah. Asing, mungkin itu satu kata yang menggambarkan keduanya sekarang.

|18| Mantan
 

===
 

Sultan Agra Megantara

Lagi apa? 
Mau nemenin gue beli sate abang-abang kompleks yang lo bilang itu?

Sudah 2 malam Agra berada di rumah dan kegiatan malamnya tetap sama. Setelah makan malam, dia akan duduk di depan komputer, melihat satu per satu foto dirinya bersama Zeta di dalam folder rahasia yang belum dia ingat kenapa dulu menyimpannya serapi itu.

Lalu sejak kemarin pula dia tidak ada melihat Zeta. Setelah sampai rumah, tampaknya gadis itu tidak pernah ke luar. Diperjalanan pulang waktu itu juga lebih banyak diam.

Agra yakin sikap Zeta berubah karena pembicaraan di mini market waktu itu. Sesuatu yang membuat Agra menyesal. Kalau tahu akan mengembalikan sikap dingin Zeta. Dia tidak akan memberi tahu sejujur kemarin.

Tangan Agra begitu cepat meraih ponsel di meja saat mendengar benda mahal itu berbunyi. Dia langsung membuka aplikasi whatsapp, memeriksa pesannya yang sudah dari setengah jam yang lalu. Namun baru dibalas Zeta sekarang.

Senyum yang sempat menghias bibirnya tadi menghilang. Wajah yang sempat berbinar tadi kembali datar saat membaca balasan pesan dari Zeta.

Rezeta Ivana

Gue buat tugas. Lo pergi sendiri aja

Agra sudah tidak mood melakukan apa pun lagi. Suasana hatinya kian memburuk dan dia sudah mengembalikan layar komputer. Ponsel di tangan sudah akan dilempar begitu saja kalau bukan sebuah bunyi yang kembali terdengar.

Berharap melihat nama Zeta di layar. Tapi dia malah melihat nama lain. Ogah-ogahan dia membawa benda pipih itu mendekat ke telinga.

"Apaan?"

"Gimana saran gue waktu itu? Udah lo coba?"

"Coba apa. Setelah pulang ngeliat mukanya aja gue nggak pernah." Agra berdecak malas. "Lagian lo nggak percayaan banget sama cerita gue. Dia keliatan banget marahnya pas gue kasih tau soal story itu. Sampe sekarang aja dia nggak pernah keluar rumah, keliatan banget sengaja ngehindar dari gue."

Agra mengarahkan pandangan pada jam dinding, sekarang pukul 9 malam. Masih belum terlalu malam untuk tidur. Lagi pula suasana hatinya tidak mendukung untuk tidur.

Cowok itu mendorong bangku, beranjak pergi ke balkon.

"Kenapa lo diam? Lo nggak punya saran lain buat gue? Katanya lo ahli dalam beginian." Agra sedikit meledek Nevan di sana. Menyindir dengan sarkas sikap bijak yang selalu Nevan perlihatkan selama ini. Tapi sekarang lihatlah temannya itu hanya diam.

"Gue udah kasih saran buat lo ungkapin. Setelah gue liat hasilnya, baru gue bisa kasih saran yang lain."

"Dan hasilnya gue bakal langsung ditolak. Terus Zeta bakal menghindar dari gue selamanya."

Agra membuka jendela yang menjadi penghubung kamarnya dengan balkon. Lalu membawa kakinya melangkah hingga berdiri di pembatas besi. Memandang lurus ke arah kamar Zeta.

"Gra, lo nggak punya kepercayaan diri sedikitpun kayaknya."

"Apaan?"

"Udah gue bilang ambil resikonya. Lo perlu cari tau dulu."

"Ambil resikonya kata lo? Lo nggak pernah dengar kalimat, sebelum ngelakuin sesuatu semua butuh pertimbangan?" Agra menghela napas berat. "Gue dari awal paham, posisi gue belum sekuat itu buat ngaku suka sekarang. Hitungan gue dekat sama dia aja belum ada 1 bulan."

"Jadi menurut lo sikap Zeta sekarang karena marah sama lo?"

"Iyalah, karena story itu," jawab Agra cepat. Tanpa mengalihkan matanya dari kamar Zeta, mana tahu gadis itu akan keluar dan berdiri di balkon seperti yang dia lakukan sekarang.

"Gimana Zeta marah sama lo?"

Agra memutar bola matanya. Sedikit malas untuk menjawab pertanyaan Nevan yang menurutnya cukup kepo itu. "Sikapnya berubah setelah sampe sini, biasanya kalo pulang dia langsung datang ke nyokap gue. Ini belum ada. Yang paling jelas chat gue lebih sering nggak dibalas." Agra berdecak. Asli menceritakan perubahan Zeta membuatnya jadi kesal sendiri. "Udah lo jangan terlalu kepo."

"Jadi menurut lo itu marah?"

Agra kembali menghela napas. "Maksud lo apa sih, Van? Asli lo bikin gue pusing. Gue udah nggak mood dari kemarin, lo jangan tambahin emosi gue. Kali ini gue nggak mau ribut sama lo."

"Kalo menurut gue bukan sih. Lebih bingung sama kondisinya."

Tadinya Agra sudah ingin menutup panggilan. Tapi kata-kata Nevan barusan membuatnya kembali menempelkan benda itu ke telinga.

"Gimana maksud lo?" tanyanya yang kini jadi penasaran.

"Ya lo pikir aja, lo tiba-tiba ngaku soal story-story whatsapp lo selama ini. Zeta apa nggak bingung kenapa lo ngelakuin itu?" Suara Nevan menggantung berapa saat. Membuat Agra harus menunggu sambil memikirkan ucapan Nevan barusan. Ya ada benarnya juga sih. "Kalo gue ada di posisi Zeta, sekarang gue bakal nebak-nebak kenapa ada orang yang jadiin gue satu-satunya yang bisa liat story whatsapp dia."

"Kalo dia bingung tinggal tanya." Agra membalas cepat. Saking seriusnya dia dengan pembahasan, cowok itu bahkan sudah tidak lagi melihat ke kamar Zeta. Kali ini benar-benar hanya fokus dengan argumen Nevan. "Di mini market kemarin, di dalam mobil sebelum sampe rumah. Gue nunggu dia buat nanya. Tapi dia malah diam aja."

"Lo pikir cewek bakal langsung nanya segamblang itu? Masa iya dia bakal terang-terangan kasih tau lo apa yang ada dipikiran dia saat itu." Agra bisa mendengar decak frustasi dari suara Nevan. "Iya kalo tebakan dia bener, kalo salah? Apa dia nggak malu ketemu lo seumur hidup?"

Agra diam, kembali merenungkan setiap perkataan Nevan.

"Gra, cewek itu senang main aman. Sekalipun suka dia nggak akan terang-terangan kasih tau apa yang dia rasain." Lagi, Agra mendengar helaan napas frustasi dari suara Nevan.

"Lo nggak lupa sama cerita gue, kan? Zeta pernah suka sama orang, saat itu dia nunjukin perasaannya secara terang-terangan. Terus hasilnya apa? Dia nggak nerima respons yang baik. Malah disakiti sama tuh cowok. Dimanfaatin rasa sukanya."

Nevan kembali menjeda. Entah kenapa keadaan wajah Nevan di sana bisa tergambar jelas di pikiran Agra saat ini. Dia yakin Nevan sedang menatapnya putus asa. Seolah cowok itu lelah menghadapinya.

Tapi apa yang membuat cowok itu lelah? Sejak awal dia juga tidak pernah meminta saran. Nevan saja yang hobi memikirkan setiap masalah orang.

"Setelah yang dia alami itu. Apa mungkin dia masih ada keberanian buat terang-terangan nunjukin perasaannya lagi? Sekalipun sekarang dia ada rasa sama seseorang, gue yakin dia nggak bakal ngelakuin kesalahan yang sama. Gue yakin banget, Zeta yang sekarang bakal sembunyiin perasaannya itu dengan baik."

Nevan terdengar kembali menghela napas.

"Itu alasan gue suruh lo buat coba ungkapin dulu. Gra, gue suruh lo buat ngaku, bukan karena mau gue ketawain kalo lo gagal. Gue dukung lo sama Zeta. Anak-anak Leander yang lain juga gitu. Jadi nggak mungkin gue mau liat percintaan lo gagal."

Agra tidak menjawab. Oke dia benarkan semua perkataan Nevan barusan. Dan dia tidak perlu menyangkalnya.

“Banyak banget lo ngehela napas. Frustasi banget lo kayaknya sama gue,” celetuk Agra.

“Iyalah, lo ngeyel terus. Gue kira ngadepin lo yang ingat udah paling buat geleng kepala. Taunya yang lupa sama aja. Bedanya kali ini lo bisa sadar sama perasaan lo.”

Sepertinya Nevan kelepasan bicara. Tumben sekali cowok itu membicarakan masa lalu. Jadi Agra memilih diam, membiarkan Nevan terus bicara. Dia akan lihat sampai mana temannya itu kelepasan.

“Kalo dulu kan udah gue coba sadari lo ogahan banget buat dengerin. Kayak yang paling tau perasaan. Bilangnya nggak mungkin suka lah, sampe ngepacarin cewek lain. Lo bikin gue stress sama kebangsatan lo dulu. Tapi okelah, itu semua masa lalu. Lo sekarang jauh lebih baik. Keren juga lo, bisa langsung sadar perasaan lo ke Zeta. Tapi soal percaya diri lo kalah sama Agra yang gue kenal dulu. Kalo dulu sih lo merasa yang paling sempurna. Lo paling merasa semua cewek takluk sama ketampanan lo."

“Gue pernah punya pacar?”

“Ha?” Keterkejutan Nevan membuat Agra yakin temannya itu sudah sadar. Pasti sekarang sedang kebingungan dan mencoba mencari penyangkalan dengan cepat. Agra sudah sering melihat tingkah seperti itu dari Jagad maupun Ojan ketika kelepasan membicarakan masa lalu. Dan dia yakin, Nevan pun akan bereaksi seperti itu. “Memang gue ada ngomong gitu?”

Tuh, kan. Agra langsung benar.

“Van, sadar nggak sih lo. Omongan lo barusan ngasih tau gue dengan jelas siapa cowok brengsek yang udah nyakitin Zeta.”

“Nggak ada istilah kayak gitu. Jangan banyak menyimpulkan ke mana-mana. Setelah lupa, kebiasaan buruk lo terlalu banyak menerka-nerka omongan orang.”

Tapi ini Nevan, jadi Agra tahu. Cowok itu akan lebih pintar menutupi semua kebenaran. Bahkan suara Nevan sudah terdengar tenang, begitu santai seolah memang tidak ada kesalahan bicara yang sudah dilakukan.

"Itu yang buat anak-anak Leander malas bahas masa lalu sama lo. Niatnya mau cerita buat nostalgia, lo anggap itu cerita lo."

“Oke, jadi gimana mantan gue dulu?” Karena tidak mungkin bisa menyudutkan Nevan. Agra mencoba mengganti arah pembicaraan saja.

Nevan diam, berapa saat Agra tidak mendengar suara apa pun. Bahkan helaan napas pun tidak ada.

Biasanya kalau sudah seperti ini, Jagad dan Ojan akan menghindar dan langsung mencari alasan untuk bisa pergi. Sikap yang membuat Agra akan menaruh lebih banyak kecurigaan.

Tapi sekali lagi ini Nevan, Agra yakin teman satunya itu tidak akan meninggalkan kesan yang mencurigakan. Jadi yang perlu dia lakukan sekarang hanya fokus, jangan sampai terbuai dengan kecerdikan Nevan dalam memecahkan masalah.

“Memang mau lo anggap mantan?”

Lihatlah Nevan yang cerdik itu. Cowok itu sukses mengalihkan hanya dengan sebuah pertanyaan. Karena mata Agra langsung membesar, refleks menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Nevan berdecak. “Janganlah. Cewek kayak gitu nggak pantas buat dapetin label itu. Sayang buat riwayat percintaan lo.”

Mata Agra mengerjap. Dia sudah mengingatkan diri sendiri untuk jangan terbuai dengan perkataan Nevan, dia harus fokus menggali informasi. Tapi sekarang dia malah lebih fokus dengan rupa cewek yang Nevan maksudkan.

“Memang tuh cewek buruk banget?”

“Banget lah. Lo coba bahas ke Sakha, yakin gue lo dipelototi. Mending kalo cuma dipelototi, gue takutnya lo langsung dimaki sama dia.” Nevan menghela napas, tingkat frustasi yang membuat Agra ikut ngeri. “Sepupu lo itu pacarnya aja secantik Icha. Dulunya kapten cheers sekolah. Banyak diincar kakak senior, putus dari Sakha aja langsung banyak yang ngantri buat deketin dia. Lah lo?"

Fokus Agra hilang sepenuhnya. Karena dua kata terakhir dari Nevan membuat cowok tinggi itu refleks menelan ludah. Tiba-tiba merasa gelisah dan juga malu.

"Lah lo yang gimana maksud lo?"

"Lo ngerasa lebih ganteng dari Sakha kan, Gra?"

Pertanyaan itu tidak ragu untuk Agra jawab. Dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi cowok itu langsung mengiyakan. "Iya lah. Soal itu nggak perlu lo tanya gue. Minta aja jawaban dari anak fakultas ekonomi, pasti jawabannya gue semua."

Tawa Nevan terdengar keras. Suara yang terdengar menyebalkan sebenarnya. Terkesan sangat meledek. Namun kali ini Agra membiarkan, karena menyahuti kekehan Nevan sekarang bukan hal yang penting.

"Gue selalu suka kepedean lo yang kayak gini. Anggap lah gue setuju, gue iyain memang lo lebih ganteng dibanding anak Leander lain. Kalo soal itu urutan lo yang pertama. Nah, masa lo nggak malu punya mantan yang kayak gitu."

Agra membasahi bibir bawahnya, mencoba terdengar tenang lalu dia berbicara dengan cuek. "Kalo cewek itu seburuk yang lo kasih tau sekarang. Kenapa gue pacarin?"

"Soal itu gue nggak tau. Kayaknya waktu itu lo di pelet, karena tiba-tiba aja lo deket sama tuh cewek. Yang lain udah coba sadari waktu itu, tapi lo nya nggak bisa sadar. Kayaknya emang di pelet sih lo waktu itu." Nevan terdengar serius sekali. Dari kata-katanya begitu meyakinkan apa yang dikatakan sesuatu kebenaran. Agra bahkan jadi tidak punya kepercayaan diri untuk bertanya lagi.

"Tapi untung waktu itu nggak lama lo sadar sih, Gra. Setelah itu lo nyuruh kita semua buat nggak bahas soal cewek itu lagi. Lo malu banget kayaknya." Nevan berdeham singkat. "Jadi lo mau tau tentang cewek itu nih? Gue bisa kasih tau, kalo lo memang mau tau. Tapi pastiin lo nggak bakal malu dulu."

"Nggak usah." Agra menyahut cepat. Meski terkesan kalah, dia tetap terdengar tenang. "Nggak usah lo bahas lagi. Anggap aja gue nggak pernah sama tuh cewek."

Suara tawa Nevan kembali terdengar. Agra yakin sekali wajah Nevan sekarang terlihat sangat bahagia. Untungnya mereka hanya bicara lewat ponsel. Kalau tidak, bisa dipastikan Agra akan melempar bantal sofa ke wajah temannya itu.

"Ya udah, pikirin aja saran gue soal Zeta. Yang lain nggak perlu lo ambil pusing."

Agra tidak berniat menjawab. Jadi dia hanya bergumam saja.

"Nanti lo bisa hubungi gue lagi kalo butuh saran."

Agra melirik sinis ponsel yang menempel di telinganya itu. Wah si Nevan itu pasti merasa begitu menang sekarang.

"Ya udah lo tutup panggilannya, keliatan banget nggak ada gebetan lo," celetuk Agra.

"Lah, siapa bilang? Ini gue mau jalan sama cewek."

Satu alis Agra terangkat. "Jalan sama mantan lo?" Dia lalu berdecak. "Susah banget lo move on, Van. Jangan mau dimanfaatin doang. Punya harga diri dikit lah."

Suara tawa Nevan yang menyebalkan kembali terdengar.

"Sok tau banget lo, Gra. Kayak yang nggak pernah dimanfaatin aja."

Alis Agra kembali naik. "Apaan? Jangan sengaja banget mancing rasa penasaran gue."

Si Nevan itu malah kembali tertawa. Agra menghela napas. Lama-lama ngobrol sama Nevan membuatnya naik darah.

"Udah sana, pergi jalan sama mantan kesayangan lo itu." Dia lalu sengaja meledek. "Kali ini semoga bawa kabar balikan ya. Kasian banget gue liat jiwa ngenes lo selama ini."

Nevan tetap merespons dengan tawa. Kemudian menjawab, "Ini terakhir gue ketemu dia."

Agra bisa mendengar keputusasaan dari suara Nevan barusan. Tapi sayang temannya itu sudah memutuskan panggilan, jadi dia tidak bisa bertanya apa maksudnya.

Keheningan malam langsung mengambil alih sekitar Agra. Cowok itu kembali membuka aplikasi whatsapp, melihat pesan terakhir Zeta yang belum dia jawab.

Kalau menuruti ego, Agra sangat kesal dengan pesan Zeta. Ingin sekali rasanya mengabaikan. Agar gadis itu sadar dia sedang marah. Tapi mau bagaimana lagi, dengan status yang bukan siapa-siapa ini dia mana bisa bersikap seperti itu.

Agra mengetik balasan. Lalu mengirimkannya pada Zeta.

Sultan Agra Megantara

Kalo besok gimana? 
Gue nggak mau pergi sendiri

Agra kembali menunggu pesannya dibalas. 5 menit berlalu namun belum dibaca, membuat Agra menutup ponselnya. Dia membawa pandangan kembali lurus. Memperhatikan balkon kamar Zeta yang kosong.

Hari-hari kemarin Agra juga melakukan hal yang sama, dia berdiri di samping pembatas besi hanya untuk menunggu Zeta muncul. Hingga malam menjadi larut dan Agra pun menyerah untuk menunggu.

Sebenarnya gadis itu benar-benar sibuk. Atau sengaja menghindarinya.

***

Bagian 19 udah aku update juga! Langsung liat bagian selanjutnya ya🤗
 

Khairanihasan, 1 Mei 2025

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CSL 19. Ungkapan
54
33
Bersamaan dengan masa putih abu-abu yang selesai. Luka itu juga menghilang. Agra dan Zeta kini disibukkan dengan kehidupan kuliah. Asing, mungkin itu satu kata yang menggambarkan keduanya sekarang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan