CSL 01. Tidak Lagi Sama

16
4
Deskripsi

 

Bersamaan dengan masa putih abu-abu yang selesai. Luka itu juga menghilang. Agra dan Zeta kini disibukkan dengan kehidupan kuliah. Asing, mungkin itu satu kata yang menggambarkan keduanya sekarang.

 

01. Tidak Lagi Sama
 

***
 


Setahun telah berlalu, Zeta kini bukan lagi gadis SMA seperti waktu itu. Dia sudah tumbuh menjadi lebih dewasa dengan label mahasiswi jurusan kedokteran di salah satu universitas ternama di kota Jakarta.

Hari-hari Zeta berjalan lancar, sangat sibuk layaknya mahasiswi pada umumnya. Dari senin sampai kamis dia akan full di kampus. Lalu jumat sampai minggu, dia berada di kamar, berkutat pada tugas-tugas yang kerap membuat kepalanya pusing.

Lalu bagaimana Agra?

Cowok itu ada di sana. Di kamar seberang sana yang sedang Zeta pandangi sekarang. Jika kalian sangat merindukan sosok itu, Agra tumbuh lebih baik, tentunya dengan ketampanan yang masih membuat kaum hawa terpana.

Sayangnya ada yang hilang.

Iya, sekarang Agra tidak mengingat apa pun. Cowok itu melupakan semua orang.

Ternyata di hari kelulusan itu Agra sudah memutuskan untuk pulang. Sayangnya takdir berkata lain. Daripada menemui mereka dalam keadaan sehat. Agra malah menyapa mereka lewat kabar buruk.

Berapa hari setelah hari kelulusan polisi mendatangi kediaman Sultan, pagi yang cerah kala itu langsung berubah mendung ketika mendengar kabar sang anak terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit.

Agra mengalami kecelakaan tunggal. Cowok itu menabrak mobil yang terparkir dipinggir jalan.

Ternyata luka dibagian kepala akibat pukulan keras yang disebabkan preman waktu itu meninggalkan luka yang serius untuk Agra. Luka dalam yang memicu sakit kepala luar biasa.

Alasan itu yang membuat Agra kehilangan kendali saat mengendarai motor.

Rasa sakit akibat luka lama, ditambah luka baru akibat kecelakaan. Alhasil setelah sadar dari koma tiga hari, dokter menyatakan Agra kehilangan semua ingatannya.

Semua orang menangis. Namun di antara rasa kecewa itu, mereka semua lebih menaruh rasa syukur. Karena Tuhan masih memberi mereka kesempatan untuk bisa kembali bersama Agra.

Tentu saja Zeta merasakan hal sama. Dia senang Agra lupa. Karena sekarang cowok itu tampak jauh bahagia.

Bersamaan dengan ingatan Agra yang hilang. Kenangan yang menyakitkan juga menghilang. Kini Agra bisa bersikap normal pada sang ayah. Berbicara tanpa rasa takut, dan tidak ada lagi Agra yang merasa kurang pantas untuk menyandang nama besar Megantara.

"Apa ini sayang?" Zeta tersenyum hangat menyambut kehebohan Fanya saat melihatnya datang pagi-pagi dengan membawa makanan.

Ibu Agra itu masih sama. Selalu cantik dengan senyum di kedua ujung bibirnya. Senyum bahagia tanpa kebohongan yang muncul setelah sang anak kembali bersama mereka.

"Mama coba bikin cake Tante. Kata Mama nggak tau enak apa enggaknya. Tapi tetap Tante harus coba dulu katanya."

Fanya mengambil dengan wajah semringah. Lantas senyum itu menghilang ketika teringat akan sesuatu yang sempat dia dengar dari sang sahabat kemarin. "Zeta mau balik hari ini ya?" Wanita itu mengeluh.

Zeta mengangguk dengan masih tersenyum. "Ada yang harus diurus Tante."

"Apa nggak bisa nanti-nanti aja? Tante tanya Agra, dia baru balik ke sana kalo udah mau masuk."

Zeta masih mempertahankan senyum di bibirnya. Lantas menggeleng pelan. "Nggak bisa, Tante."

Zeta harusnya pamit pulang setelah mengantar cake itu. Tapi mendadak Fanya menerima panggilan telepon. Alhasil dia menawarkan diri menaruh sendiri kue bawaannya itu ke dapur.

Zeta menutup kembali kulkas setelah menaruh cake ke dalamnya. Niatnya yang ingin langsung pergi kembali diurung begitu menyadari ada sosok tampan yang sedang berada di meja makan.

Dia lantas melangkah mendekat.

"Gimana nilai semester lo?" Zeta bertanya saat sudah berdiri di samping cowok itu.

"Bagus, rata-rata gue dapat A." Agra melirik dan menemukan Zeta sedang tersenyum karena mendengar jawabannya barusan. "Lo mau balik ke kosan?" tanya cowok itu setelahnya. Dia sempat mendengar pembicaraan gadis itu dengan sang ibu tadi saat akan pergi ke dapur.

Zeta mengangguk. "Gue harus isi KRS. Lo kapan balik ke sana?"

Zeta menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah dia dapatkan jawabannya dari Fanya. Tapi dia memang sengaja melakukannya. Karena mereka tidak punya pembahasan.

Ya, mereka tidak dekat. Bahkan sangat.

Setelah Agra melupakan semuanya. Zeta memutuskan untuk bersikap layaknya seorang tetangga saja. Mereka hanya bicara seadanya, itu pun kalau bertemu seperti sekarang.

Menjadi mahasiswa dan harus tinggal di daerah lain membuat keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kini mereka jarang mengikuti acara makan keluarga. Paling ada beberapa kali, itu pun kalau kebetulan sama-sama sedang berada di rumah. Atau kedua orang tua mereka yang sengaja mengunjungi.

"Paling nanti-nanti aja. Kalo udah mau dekat masuk."

Zeta tidak punya pembahasan lagi. Dia putuskan untuk segera pergi.

"Zeta?"

Panggilan itu membuat Zeta menoleh kembali. Menunggu yang ingin Agra katakan karena sekarang cowok itu seperti dalam keraguan.

"Lo apa mungkin suka sama gue?"

"Hm?" respons Zeta spontan. Detik setelahnya dia menjadi diam.

"Lo nggak suka gue, kan?" kata Agra lagi.

"Ha?" Masih dalam situasi terkejut membuat Zeta hanya bisa merespons seperti itu.

"Gue sering mergokin lo ngeliat kamar gue soalnya."

Zeta tampak mengumbar tawa. Layaknya sikap yang tidak tersinggung sama sekali. Padahal tadi Agra sudah berhati-hati, dia takut dikira sedang menegur.

"Yang bener aja, kamar lo kan tepat di depan kamar gue. Kalo gue mau cari udara seger dari balkon, otomatis gue berdiri yang menghadap kamar lo. Tapi ya udah kalo lo merasa terganggu, gue bisa ngeliat ke samping aja walaupun bakal disangka lagi merhatiin rumah tetangga."

"Bukan itu maksud gue." Agra cepat membenarkan. Dia memang tidak mau menimbulkan kesalahpahaman. "Ya nggapapa kalo lo liat ke arah depan. Gue cuma mikirnya lo mungkin aja suka sama gue. Karena kalo lo suka bilang aja biar gue pertimbangkan."

Zeta tidak memberi respons. Namun tidak lama dia tersenyum.

"Pertimbangkan gimana maksudnya?"

Agra tampak ingin menjawab. Tapi begitu cepat menutup mulutnya lagi. Membuat Zeta tersenyum karena menyadarinya.

Zeta tertawa pelan. "Enggak kok. Gue nggak suka lo. Kalo lo ngerasa terganggu sama kebiasaan gue itu. Ke depannya nggak bakal gue lakuin lagi."

"Gue bilang bukan itu maksud gue. Nggak ada yang ngelarang lo buat liat ke arah mana pun."

Zeta mengangguk. Lantas tersenyum. "Tau kok. Gue paham."

Zeta pergi yang tanpa berpamitan. Tidak aneh, karena itu yang memang biasa dia lakukan.

Beginilah sikap yang Zeta tunjukkan kepada Agra. Hanya bicara yang sekadarnya.

Lagi pula setelah ini kehidupan anak kuliah membuat mereka jarang bertemu.

Tapi meski begitu Zeta memantau kehidupan cowok itu dari jauh. Dia tetap mencari tahu tentang Agra. Apa yang sedang cowok itu kerjakan, lagi disibukkan dengan tugas apa.

Tidak ada alasan lebih, dia hanya tidak ingin Agra sampai terluka lagi.

Karena cowok itu tidak ingat apa pun. Biarkan dia yang menjadi alarm, yang mengontrol setiap tindakan Agra. Lalu mencegah sebelum Agra tercebur pada sesuatu yang membuat cowok itu terlena akan kebebasan.

Bagaimanapun Agra adalah Agra. Seorang anak laki-laki yang berasal dari keluarga besar Megantara.

Zeta akan dengan bangga mengatakan, Sultan berubah menjadi sosok ayah yang sangat baik. Lihatlah tadi, nilai Agra tidak sepenuhnya A. Tapi cowok itu bisa dengan tenang menjawab yang tanpa beban. Karena sekarang Sultan memang tidak mengharuskan Agra mendapatkan nilai sempurna lagi.

Tapi nama besar Megantara di belakang nama cowok itu tetap membuat Agra tidak bisa sepenuhnya bebas. Tetap harus ada batas-batasan. Sayangnya Agra yang tidak ingat apa pun pasti tidak sepenuhnya tahu apa yang harus dia hindari. 

 

***

 

Menjadi mahasiswi itu melelahkan. Tentu saja karena banyaknya tugas yang tidak kenal jeda.

Hari ini praktikum, minggu depan laporan harus dikumpulkan. Tugas makalah untuk presentasi besok. Kuis-kuis mendadak. Belum lagi tiba-tiba dosen memberikan tugas riset ke lapangan.

Zeta akan bilang, kepalanya terasa akan pecah. Tapi mau bagaimanapun semuanya harus bisa dia selesaikan tanpa terkecuali.

Langit sudah gelap saat Zeta sampai di kosan.

Dia melewati begitu saja sosok laki-laki yang sedang berdiri di depan gerbang.

"Ta, baru pulang?"

Zeta mengangguk saat berpapasan dengan gadis rambut kuncir kuda di depan pintu masuk.

"Tugas laporan gue numpuk."

Gadis itu tampak tertawa hingga menunjukkan kedua lesung pipinya.

"Calon ibu dokter, semangat deh ya."

Zeta balas dengan kekehan lantas keduanya sama-sama berlalu.

"Agra, lo udah lama ya?"

Zeta mendengar gadis tadi berseru pada laki-laki di gerbang tadi.

"Enggak, baru aja."

Zeta tersenyum samar mendengar suara itu. Langkah yang kian jauh masuk ke dalam dan berakhir menaiki tangga menuju lantai dua membuatnya tidak mendengar apa pun lagi.

Iya, itu Agra yang sama, yang sudah Zeta kenal hampir 8 tahun lamanya.

Dia tidak tahu hubungan apa yang keduanya miliki. Tapi setahunya kedekatan itu baru terjalin satu bulan ini. Karena baru sekarang Zeta sering melihat Agra datang ke kosannya.

Nama gadis itu Jihan Amanda, mahasiswi jurusan Akuntansi. Semua anak angkatan mereka mengenal sosok itu, gadis paling cantik dan paling populer sejak masa ospek.

Sejauh ini Zeta mengenalnya sebagai gadis yang baik. Sangat pemilih terhadap laki-laki. Banyak yang menaruh rasa suka, terang-terangan mencari perhatian. Tapi sangat jarang gadis itu memberi respons baik.

Sepertinya Agra berbeda dengan cowok-cowok yang lain. Karena Jihan tampak merespons cowok itu dengan baik.

Dan memang Agra tidak salah pilih jika menyukai gadis itu.

*** 
 


Kebisingan yang berasal dari ponselnya membuat Zeta cepat menyudahi kegiatan bersih-bersihnya di dalam kamar mandi. Masih menggunakan jubah mandi dia mengambil benda mahal itu di meja belajar.

"Lama banget lo jawab telepon gue, Ta." Suara nyaring terdengar kesal langsung menyambut pendengaran Zeta begitu dia menempelkan ponsel ke telinga.

"Lo kenapa lagi?"

"Nggak bisa, malam ini gue nginep sana ya. Banyak yang harus gue ceritain sama lo."

"Lo lagi ada masalah sama Sakha?" tebak Zeta. Karena sudah terlalu sering, dia yakin kali ini pun tebakannya tidak akan salah.

Itu Icha. Iya, orang yang sama seperti saat SMA dulu. Si kapten cheers yang paling cantik. Zeta tidak tahu pasti kapan tepatnya pasangan itu kembali bersama. Tapi sepertinya sudah terjalan dari sebelum mereka menjadi mahasiswa.

"Kayaknya gue mau putus deh dari Sakha."

"Lagi?"

"Itu makanya lo harus dengerin cerita gue."

"Terserah deh, Ca. Pokoknya nanti lo langsung masuk aja. Jangan gedor-gedor pintu kayak waktu itu. Karena lo gue jadi ditegur berapa penghuni lama di sini," keluhnya yang memang serius. Tapi gadis di sana malah membalasnya dengan suara tawa.

"Lo mau nitip sesuatu nggak? Biar nanti gue beliin sekalian."

"Nggak usah. Gue lagi nggak mau makan apa pun."

Tepat saat Zeta menutup panggilan. Seseorang di luar mengetuk pintu kamarnya. Membuat Zeta langsung melangkahkan kaki ke depan pintu dan membukanya.

Itu Jihan.

"Kenapa, Han?"

Gadis itu mengangkat kresek putih di tangannya. Mengayunkan singkat seakan ingin memamerkan kebahagiannya. Zeta tahu itu dari Agra, tadi dia sempat melihat cowok itu memegang kresek yang sama.

"Ta, mau makan bareng gue? Tadi gue dibeliin lebih."

"Gue udah makan di luar tadi."

"Yah, temenin gue makan aja yuk. Sekalian nonton TV di bawah."

Zeta harus kembali tersenyum. Gadis di depannya itu sungguh lucu. Cara memintanya seperti anak kecil, wajahnya dibuat memelas dan tangannya yang tidak memegang kresek menarik-narik lengan jubah mandi Zeta.

"Temen gue mau datang. Ini gue lagi nungguin dia."

Bertepatan dengan itu Icha tiba-tiba muncul, entah sejak kapan karena Zeta baru sadar teman SMA-nya itu sudah ada di belakang Jihan.

"Hai?" sapa Icha ramah saat pandangan Jihan melihat ke arahnya.

Jihan membalas dengan tersenyum, lalu kembali mengeluh saat akan melihat Zeta. "Ya udah kalo gitu. Gue ke bawah ya," ucapnya. Lagi-lagi sambil mengangkat kresek di tangannya dan mengayunkan singkat untuk mendapat perhatian Zeta. Yang Zeta balas dengan sebuah tawa karena merasa itu lucu.

"Yang tadi itu Jihan, kan?" Icha bertanya setelah memastikan pintu kamar Zeta tertutup dengan rapat dan sudah dia kunci dari dalam. Lalu dia menaruh barang bawaannya di atas kasur dan ikut duduk di sana, seraya memperhatikan Zeta yang sedang mengambil baju ganti dari lemari. "Cewek yang lagi deket dengan Agra," tambah Icha.

"Hm, cantik, kan?" sahut Zeta cepat. Kepalanya menoleh ke tempat Icha sebentar. "Dia juga baik, Ca. Semua penghuni kosan suka sama dia. Soalnya kayak yang lo liat tadi, dia nggak pelit sama makanan."

"Enggak!" Icha menyahut lebih cepat, suaranya terdengar lebih keras seolah menentang semua pendapat Zeta barusan. "Lo lebih cantik dan lo jauh lebih baik dari dia. Terutama kalo urusan untuk Agra."

Sayangnya Zeta seperti sengaja mengabaikan dengan pergi ke kamar mandi. Sebentar Icha dibuat harus menunggu. Hingga 5 menit setelahnya dia bisa melihat penampilan Zeta dengan baju tidur warna biru muda. Gadis itu melangkah ke tempat meja belajar, menarik bangku dan akan mulai menghabiskan waktu malamnya dengan tugas-tugas.

"Lo kok udah ada aja di kosan gue? Perasaan belum sampe 5 menit lo nelepon," tanya Zeta selagi menunggu macbook-nya menyala.

"Gue emang udah sampe di bawah pas nelepon lo."

"Jadi kenapa lo nelepon gue?"

"Ya untuk mastiin lo udah ada di kosan aja."

Zeta tersenyum mendengarnya. "Dasar, jadi lo ada masalah apa sama Sakha?"

Tadinya tujuan Icha datang memang untuk itu. Tapi karena melihat Jihan di depan dan tampak memiliki hubungan yang baik dengan Zeta, dia jadi malas membahas Sakha. Untuk saat ini dia lebih tertarik dengan perasaan temannya itu.

"Lo emangnya nggak masalah kalo Agra dekat sama cewek lain?"

"Masalah kenapa?" Zeta meresponsnya dengan tawa. "Jangan aneh-aneh, Ca. Gue nggak ada hubungannya dengan Agra."

Sejenak Icha diam.

"Terakhir kali sebelum Agra pergi dan hilang ingatan kayak sekarang. Hubungan kalian udah dekat lagi, Ta. Bahkan kalo gue liat itu hubungan yang baik. Lo keliatan nyaman lagi dan Agra pun sama." Icha menjeda sebentar, membasahi bibir bawahnya, lalu lanjut dengan lebih hati-hati. "Lo emangnya nggak mau kasih tau Agra aja? Kasih tau dia, kalo kalian sedekat itu sebelum dia lupa semuanya."

"Nggak ada yang dekat, Ca." Suara Zeta terdengar tegas. "Lagian keadaan sekarang nggak lagi sama dan emang gue lebih suka kayak sekarang."

Icha memilih kembali diam. Sesaat memperhatikan punggung Zeta, menelitinya lekat-lekat untuk mencari jawaban. Namun tetap tidak ada. Teman SMA-nya itu sudah banyak berubah. Zeta terlalu sulit untuk ditebak sekarang.

"Perasaan lo ke Agra emang udah sepenuhnya hilang ya? Lo udah jauh berubah, Ta. Kalo dulu gerak-gerik lo mudah ditebak. Semua orang pasti langsung tau lo lagi suka siapa. Tapi sekarang lo nggak kayak gitu. Lo tertutup, apalagi soal perasaan."

"Yang pasti sekarang gue senang karena Agra baik-baik aja. Gue senang sama hidupnya sekarang. Pokoknya gue ikut bahagia kalo dia bahagia."

Zeta mengambil ponselnya, membuka aplikasi whatsapp dan memeriksa pembaruan story dari nomor kontaknya. Ujung bibirnya mulai tertarik sempurna begitu melihat ada nama Agra di antara banyaknya story orang yang belum dia lihat.

Lantas membukanya tanpa ragu meski baru 1 menit yang lalu cowok itu menguploadnya.

Itu benar, cukup melihat apa yang Agra lakukan dari jauh dan memastikan kalau cowok itu dalam keadaan baik di sana. Zeta sudah merasa sangat bahagia.

***
 


 

Khairanihasan
1 Februari 2025
 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CSL 02. Story WhatsApp
17
0
Bersamaan dengan masa putih abu-abu yang selesai. Luka itu juga menghilang. Agra dan Zeta kini disibukkan dengan kehidupan kuliah. Asing, mungkin itu satu kata yang menggambarkan keduanya sekarang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan