
Ujian belum usai—justru semakin menantang. Dalam babak krusial ujian klinis, Ken dan Aldi harus menghadapi pasien yang tak hanya menguji ilmu, tetapi juga ketenangan, empati, dan ketajaman naluri mereka sebagai calon dokter.
Hari ujian pasien stase penyakit dalam akhirnya tiba. Ujian ini dijadwalkan berlangsung selama empat hari ke depan, dengan setiap harinya melibatkan lima koas yang akan diuji secara serentak. Ken dan Aldi ujian di hari pertama, Anin dan Grusella ujian di hari kedua. Rama dan Stefan di hari terakhir.
Lima koas yang dijadwalkan ujian pada hari pertama telah berkumpul di ruang kuliah Penyakit Dalam. Mereka bersiap menerima lembaran berisi nama dan nomor rekam medis pasien ujian serta nama penguji, yang dibagikan oleh Bapak Sekretaris Departemen Penyakit Dalam. Masing-masing dari mereka akan terlebih dahulu memeriksa pasien di jam delapan pagi, kemudian mempresentasikannya secara lengkap di jam satu siang kepada penguji mulai dari hasil pemeriksaan, diagnosis, rencana tata laksana, hingga perkiraan kemungkinan perkembangan penyakit pasien, baik atau buruk.
Ken membuka kertas miliknya. Nama Prof. Zain tertera di sana. “Duh, ujian sama Prof,” keluhnya. Prof Zain terkenal mendetail dan kritis saat menguji koas. Salah-salah jawab sedikit bisa memancing belasan pertanyaan baru. Ken harus berhati-hati dan mempersiapkan dirinya dengan baik.
Seluruh peserta ujian dipersilakan ke gedung rawat inap untuk memeriksa pasien. Kebetulan, ruang bangsal tempat pasien ujian Ken dan Aldi bersebelahan. Sebelum berpisah dan masuk ke ruangan masing-masing, mereka saling memberikan semangat dan melakuakan brofist.
Menjalani ujian pasien pertamanya di tahap koas membuat lengan Ken sedikit bergetar, jantungnya berdebar semakin cepat, kakinya mulai terasa dingin. Dia terus berupaya menenangkan diri dengan mengatur napas dan memberikan afirmasi positif kepada dirinya sendiri sampai tiba di ranjang paling ujung ruangan, tempat pasien ujiannya, laki-laki berusia kepala lima, bersandar pada ranjang yang sandarannya ditegakkan tiga puluh derajat. Seorang anak muda berusia separuh dari si pasien duduk di kursi lipat sebelah ranjang, asik bermain ponsel.
Ken mulai dengan memperkenalkan diri dan meminta izin untuk melakukan pemeriksaan. Niatnya disambut ramah oleh si pasien.
“Baik, Pak. jadi awal masuk ke rumah sakit karena sesak?” tanyanya, memulai anamnesis.
“Iya betul,” jawab si pasien.
“Saat itu sesaknya seperti apa, Pak?”
“Tiba-tiba sesak sekali saat mau tidur.” Wajah si pasien mendadak muram mengingat pengalaman tersebut. “Saya sampai keringat dingin, kaki tangan mulai bengkak.”
Ken mengangguk. “Setelah masuk IGD apakah ada obat atau tindakan yang dilakukan setelahnya?”
“Wah, waktu itu intens sekali, dok, saya gak ingat. Kenapa ya orang kalau lagi lupa sering gak ingat?” Pasien itu mencoba melontarkan lelucon. Namun, Ken tidak menyadarinya. Dia terlalu larut, fokus dalam ujian.
Si pasien menunjuk ke arah anak muda yang masih asik bermain ponsel. “Coba tanya anak saya. Dia yang waktu itu nganter saya ke IGD.”
Sesuai dengan saran si pasien, Ken mencoba membangun komunikasi dengan si anak. Namun, semua pertanyaannya selalu dijawab singkat. ‘Ya’ atau ‘tidak’. Si anak lebih sibuk memainkan jemarinya dengan cekatan di atas ponselnya yang sesekali mengeluarkan suara tembakan.
“Raka!” kata si pasien, setengah teriak. “Itu dokter lagi nanya, dijawab!”
Raka kaget. Dia hampir kehilangan pegangan pada ponselnya.
Ken lebih kaget. Tak disangka pasiennya tiba-tiba meluapkan emosi.
Beruntung sekali Ken hari itu. Dia mendapatkan pasien yang sangat kooperatif, terlalu kooperatif malah. Semua data yang diperlukan berhasil dia dapatkan melalui anamnesis. Pemeriksaan fisik pada pasien berjalan dengan lancar. “Sukses ya, Dok,” kata sang pasien sesaat setelah Ken berterimakasih dan pamit. Ken mengamininya. Yap, semoga sukses ujian.
Di ruang sebelah, Aldi mengalami kepanikan besar. Pasien ujianya lenyap. Hanya ada ranjang kosong. Meja di samping ranjang juga bersih tanpa ada satu sosok pun di atasnya. Oh tuhan, apa yang terjadi?
Setelah menghabiskan lima menit untuk panik, Aldi berjalan cepat keluar ruangan menuju nurse station dan bertanya kepada perawat. “Pasiennya baru saja pulang, dok,” jelas salah satu perawat di sana. Dia membuka mulut, tetapi tidak bisa berkata-kata, tidak tahu harus berbuat apa. Untuk menenangkan diri, dia mencari tempat duduk. Tanpa berpikir panjang, dia menempelkan bokongnya di atas salah satu anak tangga yang menghubungkan lantainya dengan lantai atas. Waktu di kafe aku jadi lebih tenang setelah duduk dan mengatur napas. Mungkin kali ini juga berhasil.
Benar saja, hatinya menjadi lebih tenang. Setelah hampir setengah jam merenung, sebuah ide taktis menembus pikirannya yang semula terasa tertutup kabut. Aldi bangkit dari duduknya, membusungkan dada, mencoba mengumpulkan lagi rasa percaya diri, kemudian berjalan kembali ke kantor Sekretaris Departemen Penyakit Dalam. Tubuhnya terasa berat, dibebani masa depan ujiannya yang semakin tidak pasti.
Setelah mendengar keluhan Aldi, gantian Bapak Sekretaris yang panik. “Pak, aku udah nenangin diri ini, Pak. Jangan malah jadi Bapak yang panik.” Dia menyarankan sang lawan bicara apa yang tadi dia lakukan, duduk sembari mengatur napas. Ternyata, terbukti efektif. Bapak Sekretaris kembali ke mejanya untuk mengurus masalah tersebut. Setelah menunggu setengah jam, pasien ujain batu ditemukan, sehingga Aldi dapat melanjutkan ujiannya.
Dalam perjalanan kembali ke bangsal, Aldi bertemu Ken.
“Weh, udah duluan selesai periksa pasien kamu, Di?” tanya Ken sambil menepuk pundak Aldi.
“Eee, ini aku justru baru mau mulai,” jawab Aldi.
“Maksudnya baru mulai?” Ken mengernyitkan dahi, bingung.
“Iya. Tadi, pasien ujianku ternyata sudah pulang. Jadi harus diganti pasien lain,” kata Aldi sambil terus berjalan. Kakinya melangkah cepat, membuatnya semakin jauh dari Ken. “Nanti habis ujian aku ceritain ya, Ken.”
“Wew.” Ken menghela napas. Wajahnya mendatar, lemas. Dia terbayang betapa pusingnya jika mengalami kejadian yang sama. “Semangat, Di!” katanya. Kemudian, mereka berpisah.
Ken menyiapkan presentasi untuk ujian di kamar koas bersama rekan-rekannya yang juga diuji pada hari itu. Aldi yang datang menyusul karena baru selesai memeriksa pasien harus mengerjakan presentasi dengan terburu-buru supaya dapat selesai sebelum pukul satu siang. Beruntung, Ken sesekali membantu semampunya, sehingga pekerjannya terasa lebih ringan.
Kasus ujian hari itu membuat Ken cukup percaya diri. Data yang dia dapatkan dari pasien sangat lengkap dan khas untuk penyakit yang dideritanya. Ditambah lagi, dia cukup menguasai teori dari penyakit pasien tersebut. Di depan Prof. Zain, presentasinya berjalan lancar. Setiap pertanyaan dari sang guru besar dijawabnya dengan cermat, layaknya seorang pembalap yang melaju mulus di setiap tikungan.
Meski begitu, bukan Prof. Zain namanya kalau meluluskan koas begitu saja. Biasanya, koas yang tidak bisa menjawab pertanyaannya akan diberikan tugas untuk mencari dan membuat makalah mengenai jawaban dari pertanyaan tersebut. Namun, untuk Ken, alasannya sedikit berbeda. “Sebelum saya serahkan lembar penilaian ke sekretaris, kamu saya kasih tugas dulu ya. Untuk nambah-nambah nilai. Dikumpulkan akhir pekan ini ke email saya.”
Ken cemberut, kecewa. Mengapa lagi harus ada tugas? Aduh. Dia ingin segera menikmati waktu damai selepas ujian. Mau tak mau dia berkata, “Siap. Prof.”
Selepas ujian, Ken mencari Aldi. Ia teringat janji sahabatnya untuk bercerita tentang pasien ujiannya yang ‘hilang’. Namun, dia tidak menemukannya. Di mana Aldi? Semoga dia sudah pulang karena ujiannya sangat lancar.
***
“Gimana ujianmu tadi?” tanya Kanya, ibu Ken. Meski makanan sudah siap di hadapannya, dia belum menyentuhnya, sibuk memperhatikan anak laki-lakinya yang makan dengan lahap.
Ken berhanti mengunyah. “Aman, Ma.” Ia mulai kembali mengunyah, menelan, lalu berkata lagi, “Pasiennya kooperatif. Jadi gampang dapet datanya.”
Kanya mengacungkan jempol. “Baguslah. Bersyukur, Nak, dapet berkah seperti itu.”
Ponsel di meja berbunyi. “Papa telepon,” kata Kanya. Dia menekan tombol hijau, menerima panggilan video suaminya yang sedang sekolah pascasarjana di Italia. Setelah mengabari bahwa dirinya dan Ken sedang makan malam di rumah, Kanya mengarahkan layar ponsel kepada Ken.
“Gimana ujian kamu?” tanya Bimo. “Bisa lah pasti, kamu kan pinter.”
Ken berhenti mengunyah lagi. Rasa jengkel mulai muncul lantaran lagi-lagi prosesi makannya kembali terputus. “Aman, Pa.” Mulai kembali mengunyah, menelan, lalu berkata lanjut berkata datar, “Pasiennya kooperatif. Jadi gampang dapet datanya.” Mengulang jawaban sama dengan yang dia katakan kepada Kanya, template.
Bimo cemberut. “Anak papa kenapa datar begitu?”
“Capek ujian,” ujar Ken, masih datar. “Ga apa-apa, Pa. Jangan jadi beban buat Papa.”
Mendengar itu, Bimo tersenyum simpul. Anaknya memang sudah dewasa, sudah bisa memahami perasaan ayahnya. “Sebagai reward…,” Dia mengambil paperbag yang ada di atas meja di sebelahnya sehingga masuk ke dalam kamera, kemudian dia mengeluarkan jersey sepakbola lengan panjang sepakbola berwarna hitam dengan logo Juventus di bagian dada sebelah kiri.
Perhatian Ken yang semula lemas dan lesu tiba-tiba terbangkit. Matanya membesar, mulutnya menganga. Dia memimpikan memiliki kaos itu. Jersey klub kiper idolanya, Gigi Buffon. Tidak disangkanya papanya tahu apa yang dia inginkan. “Ma…, makasih, Pa,” kata Ken, terperangah.
Bimo terlekeh. “Ya sudah, istirahat dulu sana,” sahut Bimo sebelum kembali berbincang sebentar dengan Kanya, lalu memutus sambungan telepon.
Setelah menghabiskan makanannya, Ken melangkah ke kamar. Ia merebahkan tubuh di atas ranjang, membiarkan otot-otot dan sendinya melemas. Malam itu, ia telah memutuskan untuk mengistirahatkan dirinya sepenuhnya terlebih dahulu, tanpa gangguan dari belajar atau tugas-tugas yang menunggu.
Tung!
Pesan dari Anin masuk.
Anin: “Gimana ujian tadi. Lancar?”
Ken: “Lancar. Pasiennya kooperatif.”
Ken: “Btw, makasih loh tiba-tiba care gitu.”
Anin: “Heh. Jangan geer. Besok aku ujian, mau tahu gambaran ujian kayak gimana….””
Ken: “Hahaha. Oke siap.”
Kemudian, Anin mulai bertanya mengenai aspek-aspek dalam ujian pasien, mulai dari sistem ujiannya, hal-hal yang perlu diperhatikan, hingga pertanyaan apa saja yang kemungkinan akan ditanya oleh penguji. Ken menjelaskan dengan sabar, satu-persatu sesuai yang ditanyakan oleh Anin.
Ken: “Kamu sendiri udah belajar?”
Anin: “Udah. Aman, tinggal siapin strategi untuk besok.”
Anin: “Makasih ya udah balikin catatanku. Jadi bisa belajar.”
Ken: “Sama-sama. Kalau udah makasih harus traktir gak sih? *emot mikir*
Anin: “...”
Sempat berpikir Ken seperti biasa, hanya bercanda. Namun, akhirnya ia memilih untuk mengamini pendapatnya. Lagipula, tidak ada salahnya berbuat baik kepada seseorang yang sudah membantunya, bukan?
Anin: “Besok, setelah aku ujian yaa.”
Ken: “Bercanda, Nin, Bercanda. Harusnya aku yang traktir dong udah dipinjemin catatanmu.”
Anin: “Ga papa. Memang aku pengen traktir
Ah, apa-apaan ini? Ken jadi merasa tidak enak dengan Anin. Dia kan hanya bercanda! Tidak mengira Anin akan jadi benar-benar mentraktirnya! Apalagi, Anin barusan menggunakan frasa “Ga papa”. Sebuah frasa yang selalu sakti nan penuh ambigu. Benar-benar tidak apa-apa atau ada apa-apa? Ken mencoba menolak, tapi sekeras apa pun usahanya, Anin tetap teguh pada keinginannya.
Ken: “Ya udah. Saling traktir aja, gimana?”
Anin: “Boleh.”
Ken: “Di kantin RS aja gimana? Mau coba ayam geprek mozarella yang baru buka.”
Waktu seolah berjalan begitu lambat ketika keduanya tengah bercakap. Anin baru menyadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Padahal, dia adalah orang yang mudah mengantuk di pagi hingga siang hari kalau sedikit saja kurang tidur. Aduh, kenapa jadi kelamaan chat begini? Harusnya aku sudah tidur! Tanpa membalas Ken lagi, dia menempelkan kepala ke bantal. Sedetik kemudian, ia telelap.
Sementara itu, Ken yang pesannya tak kunjung dibalas tidak ambil pusing. Ia sudah terlalu lelah dan akhirnya memutuskan untuk tidur juga.
***
Air menetes dari ujung bibir Ken. Lidahnya sesekali menjulur ke luar. Mulutnya sesekali mencucu, meniup-niup. Matanya berkaca. “Uh, pedes,” keluh Ken. Lidahnya sampai terasa kebas. Namun, dia terus menyantap ayam geprek itu, suapan demi suapan. Memang pedas, tetapi membuat ketagihan.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Anin, khawatir. “Udah, gak usah dimakan lagi.”
Ken mengambil air mineral botol 660 ml yang juga dipesannya. Dia menghabiskannya dalam sekali tegukkan. “San.., uh. Santai,” kata Ken yang terbatuk-batuk, masih kepedasan. “Udah ditraktir masa iya gak dimakan.” Dia tertwa tipis, lalu mengambil lagi satu sendok nasi dan ayam berserta kulit yang berlumuran sambal.
Anin merasa bersalah sehingga tidak selera makan. Padahal, tangan kanannya sudah menggenggam sendok dan tangan kirinya sudah menggenggam garpu.
“Nin, kalau baksonya gak dimakan, buat aku aja,” tegur Ken, melihat satu bakso urat dan empat bakso kecil yang masih mengambang bebas di dalam kuah.
"Yeu, enak aja," jawab Anin santai, sesekali membiarkan dirinya tak terlalu jaim.
Ken tidak menyangka dijawab seperti itu. Itu di luar kebiasaan Anin. Dia tertawa tipis, lalu mengalihkan topik pembicaraan. “Gimana ujianmu tadi?”
Anin bercerita tentang ujiannya, mulai dari awal dibagikan pasien dan penguji, sampai selesai ujian. Tidak seperti Ken yang mendapatkan penguji yang kritis hingga membutuhkan nalar untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan, penguji Anin lebih berpatokan pada buku teks dan materi kuliah. Pertanyaan yang diberikan cenderung menanyakan teori dan fakta, cocok dengan Anin yang mempersiapkan diri dengan menghapal catatan berulang kali.
Ken berkomentar, “Untung kamu yang dapat penguji beliau, Nin. Kalau aku di posisi itu, pasti sudah jawab, ‘maaf lupa dok, nanti akan saya baca lagi,’ tuh.”
Lama kelamaan, pembicaraan beralih dari ujian Anin ke ujian koas lain yang begitu beruntung. Siapa lagi kalai bukan Grusella. “Penguji dia gak datang karena sakit,” jelas Anin.
“Jadi ujiannya dijadwal ulang?”
Anin menggelengkan kepala. Rambut bergelombangnya bergoyang seperti per. “Kemarin, dia tetap ujian. Ada penguji pengganti.”
Ken mengangguk lagi. “Loh, di mana beruntungnya?” Ken penasaran. Kalau ujian Grusella diundur sehingga ada waktu lebih untuk belajar, itu baru namanya beruntung!
Anin membelah bakso urat seukuran bola tenis di mangkoknya menjadi dua, lalu memakan salah satu sisinya, membuat Ken harus menunggunya selesai mengunyah. “Penasaran ya?” candanya dengan mulut yang penuh bakso.
Ken bergeming. Lagi-lagi tidak menyangka Anin akan menjawab seperti itu. Dia menunggu sampai Anin mengunyah sebanyak tiga puluh dua kali dan menelan baksonya yang sudah lumat.
“Penguji penggantinya belum siap, Ken,” kata Anin setelah mengelap mulutnya menggunakan tisu makan. “Dia cuma ditanya kenapa mau jadi dokter dan apa yang akan dilakukan setelah lulus. Gak ditanya soal paseinnya sama sekali. Terus….”
“Terus lulus?” tanya Ken.
“Terus lulus,” balas Anin
Ken menjentikkan jari lalu menunjuk ke arah Anin. “Ya, itu hoki sih.” Kemudian, Ken yang masih kepedasan memesan botol air mineral kedua dan mengjabiskannya dalam sekali teguk pula. “Kalau kamu ada di Grusella, akan senang juga?”
Anin berpikir sejenak sambil mengetuk-ngetuk pipi. “Ya iyalah,” katanya kemudian.
“Di ketuk-ketuk gak akan hilangin chubby-nya,” canda Ken, spontan, yang tidak mendapat respon dari lawan bicaranya.
“Eh, nggak juga sih.” Anin menyadari sesuatu.
“Kenapa?” tanya Ken.
“Takut ga bisa jawab pertanyaannya,” jawab Anin.
“Pertanyaan soal kenapa jadi dokter dan mau apa setelah lulus?”
Anin hanya mengangguk.
“Kenapa begitu?”
Rasa pensaran Ken meningkat, sementara Anin terdiam dan menatap kosong ke arah meja.
Belum juga dijawab, Ken sudah bertanya lagi, “Nin?, kenapa diam. Gak keselek bakso kan?”
“Nggak.” Akhirnya Anin mau membuka mulut, tetapi bukan untuk menjawab. “Makasih sudah nanya, Ken. Makasih ya, baksonya enak.”
Ken mengacungkan jempol. Meski cukup berat, dia harus menyimpan dulu rasa ingin tahunya karena pertanyaannya belum dapat terjawab hari ini.
Setelah menghabiskan makanannya, Anin menatap tukang bakso. Melihat satu menu yang ingin dicobanya lain waktu. “Pengen coba yang bakso mercon,” ujarnya.
Ken, yang sudah menghabiskan ayam geprek di piringnya, dengan bibir yang memerah, sedikit bengkak, serta kedua mata yang banjir air mata memperingati Anin, “Bakso merconnya pedes banget, Nin. Kira-kira sepedas ayam geprek ini.”
“Yaah.” Anin melemaskan bahu lalu menoleh menatap Ken dengan kecewa. “Segitu kurang pedes,” keluhnya.
Masih terengah-engah kepedasan, Ken menggelengkan kepala. Memang udah bener tadi baksonya buat gua saja, tukar ayam gepreknya buat dia!
Perempuan di depan Ken mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang juga punya kekebalan ekstra terhadap rasa pedas. Perempuan yang tanpa ragu memesan mie chili oil level 15 di car free night malam itu. Fiona. Ken memesan air mineral kemasan ketiganya untuk meredakan lidahnya yang masih kepanasan sekaligus mengalihkan pikiran dari sang mantan.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
