Jawa-Jawa Kota (1)

0
0
Deskripsi

Jangan Lupa Votenya ya!!

Bagi Kenaka mempunyai saudara sepupu semacam Adipati seperti pedang bermata dua. Kadang menguntungkan kadang malah merugikan.
Meski begitu, kedua saling membantu satu sama lain, terutama dalam hal percintaan. Tanpa disadari hidup keduanya mulai berubah ketika salah satu di antara mereka memutuskan untuk melepas masa lajang. 
 

Tanganku terus bergerak merangkai gulungan benang menjadi bentuk bunga tulip dengan hakpen. Musik keroncong kuno terus menggema keseluruh ruangan toko. Bukannya bersemangat, aku malah semakin mengantuk.

Tiba-tiba tarikan rambut dari atas kepalaku membuat mataku terbangun seketika “Aduh!!”

“Heh! Jangan tidur. Pesenannya gak keburu jadi kalo kerjanya kayak kamu.”

Suara seorang wanita paruh baya yang tenaganya bagai kuda, membuat seluruh saraf di tubuhku menjadi aktif kembali.

Tanganku mengusap bagian kepala bekas tarikannya. “Makanya ganti dong buk lagunya. Dari dulu lagunya Rangkaian Melati terus. Ini lama-lama bentuk tulipnya malah jadi melati beneran!”

Wanita paruh baya yang ku panggil "buk" adalah ibuku sekaligus bosku. Dan saat ini aku sedang menyelesaikan pesanan rajutan gantungan kunci bunga tulip sebanyak seribu buah. Ini pun hanya sebagian saja, pesanan aslinya adalah 3000 namun sisanya dikerjakan oleh karyawan ibu, itupun hanya satu.

Ibuku mengelola sebuah toko souvenir dan peralatan menjahit. Tidak besar memang, kami pun tidak pernah mengambil banyak pesanan karena souvenir yang kami buat memang murni buatan tangan bukan buatan mesin apalagi AI. Intinya pekerjaan ini memang banyak menghabiskan waktu mudaku. Mungkin sampai tua nanti aku akan terus merajut bunga-bunga tulip ini. Jangan-jangan kuburanku nanti akan di taburi rajutan berbentuk melati.

Yang pasti rajut merajut dan perbenangan melekat di hidupku.

“Sssttt ... karyawan dilarang protes." Ibuku kini meraih tas jinjingnya yang tergeletak di atas etalase toko. "Kamu sambil jaga toko ya? Ibu arisan dulu sama bulekmu. Nanti kalo Ibu lama perginya, Didip Ibu suruh ke sini.”

Aku hanya mengangguk menyetujui bosku yang super sibuk dengan acara bunda-bundanya itu. Lagipula nanti akan ada Didip yang menemaniku. Didip adalah anak dari bulekku. Nama aslinya Adipati Manunggal Joyo.

Sangat Jawa bukan?

Keluarga kami memang asli Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Untuk itu nama-nama dalam keluarga kami harus ada unsur Jawanya. Salah satu contohnya ya nama Didip tadi, nama aslinya bahkan terdengar seperti nama toko emas saja. Namaku tentu tak kalah jawani yaitu Kenaka Surtikanthi.

Pemberian namaku ini hasil kolaborasi dari bapak dan eyang kakung, tentunya eyang kakung yang memberi nama belakang kami, itupun sedikit direvisi oleh bapak saat sudah di kantor kelurahan.

Untung saja eyang kakung hanya ikut andil pada bagian belakang saja. Jika tidak, mungkin namaku Suminten, Larsinah, Darminem dan nama wanita Jawa klasik lain. Padahalkan menurutku, aura yang terpancar dari diriku ini cocok jika dipanggil Jesica, Selena, Hayle atau Taylor. Namun aku terlanjur di panggil Keken oleh sebagian keluarga dan teman. Eyang kakung dan eyang putri sendiri malah memanggilku Titi, dan yang paling kurang ajar adalah Didip karena dia memanggilku...

“Surti!!”

Benar-benar datang di waktu yang tepat Didip ini. Panggilan itu tak mengganggu kegiatanku merangkai benang-benang menjadi bentuk bunga Tulip.

“Sok sibuk banget sih Surti ini.”

Tangan Didip dengan kurang ajarnya mendorong kepalaku hingga bergerak ke depan. “Diem lah Dip!”

Belum ada satu jam saja kepalaku sudah di serang dua orang. Kalau untuk ibuku aku ikhlas-ikhlas saja, tapi untuk makhluk yang kini duduk di depanku sambil cengar-cengir tentu aku tak rela. Padahal aku berharap Didip sibuk saja dan menolak permintaan ibu untuk menemaniku di toko hari ini.

“Gak seru lo, makanya kerja jadi budak korporat kayak gue dong. Seenggaknya ada liburnya.”

“Sesama budak gak usah saling merendahkan. Gue do’ain lo di kirim ke proyek daerah 3T.”

Didip memang bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang proyek kontruksi. Aku tidak begitu tahu bidang yang Didip geluti. Yang pasti kadang Didip terus menerus lembur sampai tidak pulang ke rumah. Namun sepertinya Didip tak begitu sibuk akhir-akhir ini karena aku sering melihatnya mampir ke toko.

“Halah nanti lo kangen gue nangis-nangis.”

“Dih najis, penting banget nangisin orang uzur kayak lo!”

“Eh ... Mas Abi juga seumuran gue kalo-kalo lo lupa dan kita sama-sama jomblo,” ucap Didip membela diri.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Didip. Sebenarya Didip ini lebih tua tujuh tahun dari ku. Usianya bahkan sudah menginjak kepala tiga sama seperti kakak laki-lakiku yang namanya Didip sebut-sebut tadi.

Namanya Abimana Baktianto. Tidak sepertiku yang memiliki banyak panggilan, mas Abi hanya memiliki satu panggilan di keluarga maupun teman-temannya. Lagipula panggilan Abi memang yang terbaik dan paling mudah di ingat.

“Mas Abi kan jomblo bermartabat, lah kalo lo ma jomblo karna kebanyakan maksiat!”

Jari Didip kini menjepit cuping hidungku.“Anak kecil sok tau banget!”

Tak lama tubuh Didip bangun dan berjalan mengelilingi toko. “Tumben Bella gak ada?”

“Ini kan minggu, Bella libur.”

Ibu memang memberi libur pada Bella, satu-satunya karyawan toko ini. Namun toko ibu hampir tidak pernah tutup, hanya saat hari-hari raya, atau saat ada acara keluarga, sehingga akulah yang menjadi pahlawan penjaga toko saat Bella libur. Aku sudah menyarankan ibu agar mempekerjakan satu orang lagi, tetapi wanita dengan jiwa pelit itu menolak mentah-mentah. Sudah seperti program pemerintah, dua karyawan lebih baik. Dua itu termasuk aku di dalamnya, selayaknya karyawan akupun diberi gaji dengan besaran yang sama. Kata ibu aku masih beruntung di gaji sama rata dengan Bella, karena ibu hampir memotong gajiku untuk biaya sewa kamar dan makan sehari-hari.

Ck...ck...ck...

Untung saja karyawan di sini hanya Bella, kalau tidak akan aku ajak untuk demo di depan toko menuntut keadilan hak-hak pekerja.

“Yah padahal gue ke sini kan pengen liat Bella.”

“Alah... Bella juga udah takut liat kumis curut lo itu. Lo urusin aja janda kembang kesayangan lo.”

Langkah Didip kini kembali ke arahku dan duduk di atas kursi bulat yang berada di sampingku. Tubuhnya menghadap ke arah etalase. Tangannya dia tumpukkan di atas etalase.

“Udah kandas ... Janda kembang kesayangan gue udah di ambil orang. Dia bilang gak suka sama berondong. Padahal kan gue juga udah matang, dewasa pokoknya bapakable lah buat anaknya,” ucap Didip terdengar merana.

Aku yang duduk di bawah Didip kontan menengadah untuk melihat ekspresi wajah pemuda tua yang doyan akan janda ini. Rautnya memang kuakui sedikit muram, namun aku ragu itu hanya pura-pura saja. Didip kan memang sering berganti pasangan, jadi hal semacam ini tak mengherankan.

“Lagian nyari yang seumuran aja kali Dip. Seumpama lo emang nyari janda nyari yang sekiranya seumuran apa yang lebih muda. Sekarang kan banyak tuh yang nikah muda baru dua tahun udah pada cere.”

“Gak ah yang lebih tua lebih enak rasanya.”

Aku menatap horor pada Didip yang kini tersenyum-senyum seperti orang gila. “Geli gue dengernya.” Gulungan benang ku rapikan, aku berniat istirahat sejenak karena tanganku sudah mulai pegal. “Lagian kalo yang nyari lebih tua mending tadi ikut ibu sama bulek arisan aja. Gue yakin pasti adalah yang bisa lo gasak di sono.”

“Ya gak segitunya juga kali ... bisa-bisa mantu ibuk lebih tua dari dia.”

Padahal aku yakin di acara arisan ibu dan bulek juga banyak gadis-gadis muda yang sengaja di bawa orang tua mereka untuk di kenalkan satu sama lain. Aku pernah kok ikut arisan, hanya sekali setelah itu aku langsung kapok. Arisan nampaknya hanya kedok semata, acara itu malah terasa seperti biro jodoh dan perdagangan anak cukup umur. Para ibu-ibu mulai membicarakan keunggulan anak masing-masing untuk menarik perhatian calon menantu yang mereka inginkan, sementara itu anak-anaknya akan tersenyum malu-malu. Entah benar malu atau hanya pura-pura saja.

Ibu juga pernah kok memuji-mujiku di depan teman-temannya. Tapi hanya saat aku masing bersekolah saja, itu juga terakhir kali aku ikut arisan ibu.

Tiba-tiba pintu toko terbuka, dua perempuan berkerudung masuk ke dalam toko. Segera saja aku menyambut kedatangan pelanggan dengan ramah, sebelum malah Didip yang mulai menyapa mereka, apalagi keduanya terlihat cantik. Tentu mata Didip tidak akan berkedip.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Padahal kalimat itu hampir keluar dari mulutku, namun Didip lebih dulu mendekat ke arah salah satu perempuan yang menggunakan kerudung berwarna merah maroon.

“Eh ... Mau cari benang rajut ada kan mas?”

“Ada dong mbak, sini ikut saya.”

Selayaknya karyawan toko yang hafal dengan seluk beluk toko, Didip mengajak sang perempuan kerudung merah masuk ke bagian dalam toko yang berisi benang dan peralatan rajut lainnya.

Aku dan satu perempuan kerudung hitam yang terlihat lebih muda hanya keheranan. Kami saling bertatapan, aku yang tersadar lalu bertanya pada pelanggan di depanku. “Mbak juga nyari benang rajut?”

“Oh enggak mbak, saya cuma nemenin aja. Boleh kan mbak liat-liat?”

“Silahkan mbak... .”

Tak lama setelah aku mempersilahkan pelangganku melihat-lihat ke dalam toko, Didip kembali, tangannya menarikku untuk masuk ke dalam bagian benang.

“Cepetan gue gak ngerti ukurannya yang dia mau yang mana,” ajak Didip.

“Makanya jangan asal tarik aja.”

Segera saja aku menanyakan kebutuhan benang yang perempuan kerudung merah ini perlukan. Sesekali aku melihat ke arah Didip yang terus menerus memandang ke arah pelangganku, hingga melupakan sekitarnya.

Sampai aku memanjat rak untuk mengambil benangpun, Didip diam saja dan tidak berinisiatif membantu.

DASAR SEPUPU KENTHIR!

Hingga akhirnya kedua pelanggan keluar dari dalam toko mata Didip tak lepas dari mereka.

“Kayaknya gue jatuh cinta deh Sur.” Telapak tangan kanan Didip berada di atas dadanya, padangan memuja itu masih melekat di wajah Didip.

Aku memutar bola mataku dengan malas mendengar ucapannya. Kurasa hampir setiap Didip melihat perempuan, dia akan merasa jatuh cinta. Akupun juga sama, bukan saat melihat laki-laki tapi melihat uang.

“Tiap hari kayaknya lo jatuh cinta mulu. Kayaknya gue emang harus bilang ke bulek biar jodohin lo aja deh Dip. Kelakuan lo makin kayak kucing birahi, takut banget gue tiba-tiba lo nerkam cewek di jalan. Nama baik eyang bisa-bisa ternodai akibat kelakuan cucu laki-lakinya.”

Didip tak menghiraukan ucapanku, matanya masih memandang jauh ke arah luar sambil mesam-mesem bak perawan desa yang di lamar sang kekasih hati. Tapi ini versi gilani-nya.

“Sur... kalo tuh cewek kesini lagi langsung telfon gue ya?”

Benar-benar Didip kenthir!






 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jawa-Jawa Kota (2)
0
0
Adipati yang mulai penasaran dengan sosok perempuan berkerudung merah membuat Kenaka mau tak mau membantu sang sepupu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan