
12 - [GALAUNYA MANTAN]
"Pak Ibrahim. Santai. Take a deep breath." Bukan Ferdinand yang bilang. Tapi Rayya. Karena Rayya cemas muka Ibrahim menggelap dan berubah menakutkan.
12 - [GALAUNYA MANTAN]
"Bagaimana ini Pak Ibrahim, Mbak Tasya yang sudah tekan kontrak dengan Best Food mendadak sakit dan sedang di opname di rumah sakit. Katanya mau operasi kista. Jadi untuk sebulan ke depan, dia tidak bisa syuting atau pun meng-upload konten sesuai jadwal yang kita beri," ujar Mika dengan tatapan sinis yang terarah pada Rayya. Dia adalah selebritis pilihan kedua setelah penolakan Rayya tempo hari.
Rayya menciut di tempat duduknya. Apa sebaiknya dia maju dan menyelamatkan Best Food? Namun, kalau dia maju, bukannya dia akan di cap plin plan oleh Mika dan Mika akan semakin tidak menyukainya. Diam-diam Rayya menghembuskan napas lemah.
This is so hard, teriak Rayya dalam pikirannya.
"Apa ada calon lain yang available?"
"Ada."
"Coba hubungi dia sekarang," perintah Ibrahim pada tim sos-med.
Yuni memasang mode loud speaker agar Ibrahim dan peserta rapat yang lain bisa ikut mendengarkan.
"Halo, selamat pagi."
"Pagi. Maaf ini siapa ya?"
"Saya Yuni dari tim media sosial PT. Best Food. Benar dengan Mbak Ladisa Anindita Subroto?"
Ladisa? Apa Ladisa ini adalah orang yang sama? Kening Ibrahim mengkerut sangat dalam dibuatnya.
"Benar, saya sendiri."
"Begini Mbak. Kami ingin menawarkan Mbak menjadi brand ambassador online Best Food, jadi segala promosi akan dilakukan melalui akun media sosial Mbak dengan mengikuti syarat dan ketentuan dari kami. Apa Mbak Ladisa bersedia bekerja sama dengan kami?"
"Oh, tentu. Saya bersedia. Kapan kita bisa meet up untuk membicarakan term and condition-nya?" Hampir semua peserta rapat tersenyum lega mendengar suara Ladisa. Lalu Yuni mengambil kertas hasil coretan Mika yang berisi tanggal dan tempat pertemuan dengan si selebritis dan mengabarkan Ladisa mengenai waktu dan tempat meeting. Hanya Ibrahim yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Pikirannya melayang pada makan malam terselubung yang ternyata Mamanya tersayang siapkan untuk menjodohkan dirinya dengan Ladisa, anak teman lamanya. Ditambah kali ini, Ladisa sepertinya enggan untuk mundur dari perjodohan.
She's a strong opponent.
Lawan? Iya. Kali ini Ibrahim menganggapnya lawan karena biasanya, ketika lelaki itu jujur mengenai pendapatnya mengenai perjodohan yang tidak ia sukai, maka para wanita yang berhadapan dengannya akan mundur teratur dan pada akhirnya menunjukkan mereka tidak berminat lagi melanjutkan perjodohan itu.
Siapa yang mau menjalin hubungan yang tidak seimbang? Hal itu hanya akan menyakiti salah satu pihak saja, kan? Karena sebuah hubungan pasti melibatkan hati manusia yang rapuh dan mudah terombang-ambing. Lebih baik Ibrahim jujur sedari awal bahwa ia tidak berminat sama sekali membina hubungan serius ke arah pernikahan.
Namun, Ladisa Anindita Subroto berbeda. Perempuan cantik itu sepertinya tidak terganggu dengan pernyataan Ibrahim yang tidak menyukai perjodohan. Ladisa justru terganggu karena harga dirinya sebagai wanita cantik pujaan manusia berbagai jenis kalangan terinjak-injak karena Ibrahim tidak menunjukkan bahkan secuil rasa suka padanya. Padahal, sekali lihat saja mereka berdua akan menjadi pasangan yang diidam-idamkan. Yang satu tampan rupawan, yang satu cantik jelita.
Bagaimana mungkin ada orang yang tidak menyukainya? Semua orang memujanya. Demi Tuhan. Ladisa tidak terima. Dia. Harus. Mendapatkannya. Dan sepertinya alam berpihak padanya. Baru saja di tolak oleh Ibrahim malam itu, ia malah mendapat penawaran kerja sama dari Best Food yang nota bene perusahaan tempat Ibrahim bekerja. Ladisa tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas itu.
***
Entah kenapa perasaan Ibrahim menjadi tidak tenang setelah mendengar suara perempuan bernama Ladisa tadi di telepon.
"Dev, Ladisa ini yang pernah ikut ajang pencarian Putri Indonesia?"
"Yes. Nih profilnya." Devon menyerahkan satu file tipis berisi tiga lembar HVS pada Ibrahim yang bermuka kusut.
Pada lembar pertama, dugaan Ibrahim langsung terkonfirmasi. Tanpa perlu membaca lebih jauh, dia melempar map transparan itu ke mejanya dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Gue ke mushala dulu."
"Oke." Devon tidak akan protes karena sudah kebiasaan sahabatnya melipir ke mushala jam sembilan atau sepuluh pagi.
Mushala Best Food berasal dari sebuah ruangan yang di sulap menjadi tempat beribadah seluas 3x4 meter saja. Nggak besar-besar amat. Dan partisi shaf laki-laki dan perempuan suka perpindah-pindah. Bila banyak jamaah laki-lakinya, maka partisinya akan digeser lebih ke belakang, pun sebaliknya.
Kepalanya sempat memanas dan pening. Musababnya adalah nama Ladisa. Jadi Ibrahim memutuskan untuk wudu dan salat dhuha barang sejenak. Betapa lega dirinya setelah bercengkerama dan mengadu mengenai kegundahan hatinya, dan menitipkan masalahnya pada Sang Pencipta. Mama dan perjodohan yang tidak berkesudahan membuat kepalanya hampir meledak.
Belum lagi Rayya yang sampai saat ini belum memberikan satu clue pun mengenai niat rujuknya. Salahnya sih. Baru saja bertemu Rayya setelah satu tahun berpisah, dia malah minta rujuk. Siapa pula yang akan siap dengan permintaan yang tiba-tiba itu. Maka dia akan bersabar. Menikah lagi merupakan keputusan besar yang tidak bisa diputuskan dengan cara grasak grusuk, baik baginya, maupun di sisi Rayya.
Rujuk dengan Rayya.
Entah dorongan dari mana sehingga Ibrahim mau mengambil keputusan besar untuk kembali lagi pada istrinya. Dia selalu mematut dirinya dan berdoa agar keputusannya bukan keputusan impulsif semata gara-gara perkataan Romi, atau hanya karena penasaran kenapa Rayya tiba-tiba meninggalkannya dahulu.
Penasaran? Ya. Ibrahim penasaran. Sangat. Karena pada dasarnya, tidak ada masalah besar dalam keluarga kecilnya dahulu. Kenapa berakhir dengan perceraian? Dia hanya tidak mengerti mengapa Rayya tidak mau lagi hidup bersama dengannya. Apa materi yang dia berikan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya? Ini tidak mungkin karena dia tahu betul, Rayya tidak boros dalam membelanjakan uang. Lagi pula, istrinya mempunyai pendapatan sendiri dari hasil endorsement di media sosialnya. Kurang kasih sayang? Tidak-tidak. Rayya tahu benar kasih sayang Ibrahim melimpah-limpah hingga marah pun tidak pernah. Kurang perhatian? Lebih tidak mungkin lagi. Walaupun bekerja eight to five setiap hari, tapi tidak sekali pun Ibrahim lupa berkabar dan selalu memperhatikan kebutuhan sang istri, baik lahir, maupun batin. Sesekali lupa tanggal penting bukan termasuk kesalahan besar, kan?
Apa karena mamanya? Bagaimanapun Ibrahim menyangkal, ia merasa mamanya mempunyai andil besar dalam membuat hubungannya dengan Rayya retak dan tidak harmonis. Tapi, menjadi anak laki-laki yang ingin berbakti pada ibu sesuai ajaran agamanya, membuat kaki kanan ibrahim terikat pada istrinya, dan kaki kiri beserta anggota badannya yang lain terikat pada mamanya.
Namun, semua pasti ada solusinya. Karena Allah tidak akan memberikan suatu cobaan yang tidak akan bisa dilalui oleh hamba-Nya, oleh Ibrahim. Yang penting, dia sudah mengadu kepada pemilik semesta. Begitu pikir Ibrahim.
Hendak keluar dari mushala, mata Ibrahim menangkap sebuah jam karet Reebok berwarna biru yang sangat familiar tergeletak di sebelah seseorang yang sedang salat. Bagaimana tidak kenal, dia yang membelikan jam tangan itu karena gadis yang sedang salat itu terus-terusan melihat gambar yang sama di HP-nya setiap mereka bertemu ketika zaman PDKT. Awalnya dia menolak dibelikan karena jam lamanya masih ada. Tapi Ibrahim besikukuh agar Rayya memilikinya. Alasannya sederhana: Ibrahim ingin Rayya memiliki sesuatu hasil pemberiannya. Sesederhana itu.
Dan Rayya masih memakainya sampai sekarang. Bahkan setelah mereka bercerai. Ada desiran halus yang singgah di dada pria itu.
Akhirnya Ibrahim putuskan untuk menunggu si empunya jam yang sedang mengucapkan salam.
"Pak Ibram. Ee, ma-maksudku Bang Ibrahim. Astaga. Maaf Pak," ucap Rayya tergagap. Rayya sampai memukul bibirnya yang belepotan dari tadi.
Astaga, gara-gara rambut basah bekas air wudu Bang Ibram bikin aku nggak konsentrasi. Astaghfirullah.
Si Atasan tertawa menyaksikan kegugupan Rayya. Untung hanya mereka berdua di mushala saat ini. Makanya Ibrahim tidak segan-segan mengekspresikan perasaannya sekarang.
"Udah selesai, Ray? Masih mau lanjut salat?"
"Udah selesai, kok." Rayya membuka mukena hijau zamrudnya.
"Segelas kopi di roof top? Aku yang bawa ke atas," ajak Ibrahim.
"Ehm..." Rayya membaca jam tangan birunya. " Mungkin lima belas menit bisa."
"Nice. Tunggu aja di atas. Aku akan ke sana sebentar lagi." Rayya mengangguk.
Tidak ada tempat duduk di roof top. Tapi karena hampir 80 persen permukaan lantai ditutupi oleh rumput Jepang, maka orang-orang memilih duduk di rumput yang bersih, walau kadang ujung-ujung daun terasa menusuk bokongmu.
"Sori lama." Ibrahim duduk bersila di sebelah Rayya dan meletakkan kopi yang masih panas ke atas rumput dengan hati-hati. "Edward minta approval proyek minuman jeli. Aku harus cek dulu video-nya."
"It's Okay."
"Kopi susu, seperti biasa?"
"Yep. Makasih." Rayya mulai menyeruput sedikit-sedikit minumannya.
"Jam kamu... makasih masih dipakai sampai sekarang."
"Oh, ini." Rayya mengangkat pergelangan tangannya ke udara. "Aku suka. Nggak ada alasan untuk nggak pakai walaupun kita cerai." Rayya masih mengagumi jam yang ada di pergelangan tangan kirinya.
Sambil menunduk pada kopinya, Ibrahim mengulum senyumnya.
"Mika masih nyulitin kamu, Ray?"
"Nyulitin, ya? Aku pikir kata 'nyulitin' itu maknanya bisa luas. Sekarang aku menganggap tugas Mbak Mika sebagai batu loncatan untuk menambah hard skill."
Ibrahim lagi-lagi tersenyum karena Rayya masih mengingat apa yang pernah dia katakan dulu. Rayya yang dia tahu memang begitu. Dia adalah salah seorang perempuan yang dia kenal sangat gigih dan tidak mudah terhempas hanya karena masalah kecil. Sama seperti mamanya. Ibrahim melihat sosok mamanya dalam jiwa Rayya.
"Good. Kalau Mika kelewatan, tolong, beri tahu aku. Ya?" Ibrahim meletakkan tangannya di ubun-ubun kepala Rayya sambil memandang wajah cantik di sebelahnya sedikit lebih lama.
Rayya terkejut dengan hangatnya telapak tangan lebar Ibrahim di puncak kepalanya. Rayya menoleh dan mendapati si mantan suami menatapnya dengan sungguh-sungguh dan penuh... rindu? Ia tak tahu pasti apa arti dibalik tatapan itu.
"Baik, Bang." Cepat-cepat Rayya memutus pandangan mata Ibrahim sebelum si Bos tahu wajahnya mulai memanas. Dadanya berdesir dengan nyamannya sekarang.
Apa rasa ini boleh datang lagi? bersit Rayya dalam hatinya.
Sebelum membebaskan kepala Rayya dari tangannya, Ibrahim sempat mengelus puncak kepala Rayya lembut dan perlahan, lalu meletakkan tangannya tadi ke atas pangkuannya.
"Ray, sebelum perihal rujuk ini diteruskan, Abang boleh tanya sesuatu?"
Hah? Apa Bang Ibram ingin membatalkan niat rujuknya? batinnya tanpa pikir panjang.
"Boleh."
"Tapi Abang mau kamu jawab jujur di setiap pertanyaan Abang."
"Pertanyaannya lebih dari satu?" goda Rayya. "Aku nggak yakin waktu kita cukup. Kalau sampai sepuluh menit lagi aku nggak mucul di mejaku, aku yakin akan kena omel jilid dua sama you-know-who."
Ibrahim mengangguk seraya terkekeh pelan. Hebat, Rayya masih bisa menanggapi atasannya dengan bercanda.
"Apa kamu terlibat perasaan romantis dengan salah satu karyawan marketing Best Food?"
"Ya."
Jawaban Rayya sangat cepat dan mantap. Ibrahim terbelalak tidak percaya. Membuat hatinya gundah tak menentu.
"Apa kalian saling menyukai?"
"Mungkin."
Lagi-lagi Ibrahim dibuat terperangah oleh jawaban singkat, padat, dan cepat Rayya.
"Siapa, Ray? Aku mengenalnya?"
"Tentu."
Demi Tuhan. Jawaban Rayya membuat Ibrahim frustasi.
"Ray, bisa nggak jawabnya nggak satu kata aja?"
Tawa renyah Rayya masuk ke gendang telingan Ibrahim dengan menyenangkan. Dia bisa berlama-lama mendengar tawa itu.
"Akan aku usahakan," jawab Rayya setelah tawanya mereda.
"Apa dia Devon?" Rayya malah makin tertawa. Ia meneguk habis sisa kopi yang tinggal sedikit.
"Ya enggak lah, Bang."
"Lalu siapa, Rayya? Jawab pertanyaan Abang." Ibrahim makin frustasi. Dia tidak sabaran.
"Uni! Di sini lo rupanya. Dicariin sama Mbak Mikaila noh," teriak si bungsu dari kejauhan. Ferdinand tanpa rasa bersalah mengganggu sepasang anak manusia yang sudah berlabel mantan itu dan berjalan ke arah mereka.
Tidak sadar apa si bungsu kalau muka Ibrahim mengeruh dan aura ingin memukul seseorang sangat kental sekarang. Lihat saja tangannya sudah mengepal kuat.
"Abang. Mukanya jangan gitu. Nakutin," bisik Rayya sesaat sebelum Ferdinand sampai.
"Biarin. Abang kesel sama tu anak. Ganggu aja." Bahu Rayya bergetar menahan tawa.
"Eh, ada Pak Ibrahim. Maaf banget lho Pak, saya ganggu acara kalian berdua." Lihatlah kerlingan mata jahil Ferdinand. Ingin rasanya Ibrahim mencolok kedua mata itu.
"Kenapa Nasution? Kok repot-repot samperin gue sampai ke sini?" Ferdinand duduk di depan mereka berdua dan wajahnya berubah murung seketika.
"Mbak Yuni nyuruh gue cariin lo, Ni. Leader lo marah-marah karena kerjaan lo belom selesai, katanya."
Ibrahim menghela napas. "Lalu apa lagi yang dikatakan Mikaila, Fer?"
"Mbak Mika mendatangi semua cubicle kita dan... bilang kalau Uni Rayya itu anggota dia yang paling nggak becus. Trus dia jelek-jelekin Uni Ray nggak jelas, Pak. Kasihan Uni."
"Pak Ibrahim. Santai. Take a deep breath." Bukan Ferdinand yang bilang. Tapi Rayya. Karena Rayya cemas muka Ibrahim menggelap dan berubah menakutkan.
"Mika udah nggak bisa dibiarin, Ray. Aku mau bicara dulu sama Devon." Ibrahim bangkit tergesa sambil memungut paper cup bekas kopi dia dan Rayya yang sudah kosong dan meremasnya penuh emosi. Dua pasang mata yang masih duduk termenung melihat bosnya berdiri.
"Kenapa masih bengong? Kalian berdua kembali bekerja!"
"Siap, Pak." Jawab Rayya dan si bungsu serentak.[]
Bersambung
Yaaah, Rayya ngegantung jawaban mantan lakinya 😂
Wkwkwkwk >,< 😂😂😂
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
