
"Sekarang kau hanya punya dua pilihan, menikah denganku atau mati."
Bab 6
Setelah menelpon orang tua angkatnya di Lampung, Yuno tidak bisa berhenti tersenyum. Calon istri? Dia belum pernah memikirkannya. Sekali lagi melihat foto Husna di kertas. Cantik dengan balutan hijab berwarna biru.
Ada yang bergelitik hatinya, mengingat bagaimana pertemuannya dengan Husna tiga hari lalu. Tatapan matanya, aroma parfumnya, rasa masakannya. Sepertinya tidak buruk menjadikan dia sebagai istri.
Setidaknya patah hati terhadap cinta monyet bisa terobati. Mengingat kejadian beberapa bulan lalu di Lampung membuatnya trauma.
"Yakin mau jadiin dia istri?" tanya Rizal. Memutar kursinya, melihat ke Yuno.
Rasa bisa tumbuh jika saling memahami dan memiliki pemikiran terbuka, apalagi ini juga bisa menyelamatkan banyak hal. Itu yang Yuno pikiran saat ini.
"Demi perusahaan dan orang tuaku." Yuno mengangguk ringan. Alisnya terangkat dengan konsisten. Meminta pendapat Rizal.
"Oke sih, tapi gimana caranya jadiin dia istrimu?"
"Loh, bukannya kamu yang nawarin. Berarti udah mikirin caranya donk!"
Rizal menggeleng, dia mengalihkan pandangannya. Melihat ke arah komputer lagi, berusaha menghindar.
"Nggak usah becanda, aku udah terlanjur ngomong sama Bunda mau nikah."
Tadi, Rizal yang menawarkan ide gila tentang Cinderella untuk menutup rumor buruk. Merekomendasikan Husna sebagai gadis baik, dan ternyata dia belum yakin Husna mau atau tidak?
"Kau kan tahu aku belum pernah pacaran, mana bisa aku tahu cara ngehalalin anak orang." Rizal masih belum mau membalas tatapan Yuno.
Seperti benar-benar ingin melepas tanggung jawab dari persoalan ini. Rizal sibuk membalik map dan matanya fokus ke komputer.
Lemparan kertas yang sudah diremas menjadi bulat menghantam kepala pria bertubuh tinggi itu, dia menoleh. Melihat ke arah Yuno yang menatapnya kesal.
"Anjim! Kau pikir aku pernah pacaran?!" Tanya Yuno keras.
Dua pria jomlo dari lahir, jika tentang pekerjaan mereka sanggup begadang berhari-hari. Menguras tenaga dan pikiran untuk mengerjakan semua kesulitan. Memperkuat kedudukan WterSun sebagai perusahaan besar.
Namun ini urusan berbeda, cinta dan pacaran. Apalagi ini tentang lamaran dan pernikahan. Cara mendekati perempuan saja mereka tidak tahu. Setiap hari banyak wanita yang mendekati mereka, namun belum pernah sebaliknya.
"Pakai cara lama saja." Usul Rizal. Sok tahu tentang cinta.
"Cara bagaimana?"
"Bilang kalau kau jatuh cinta pada pandangan pertama, kasih cincin dan bunga. Semua perempuan suka hal seperti itu."
Untuk kalimat terakhir ada keraguan di nada bicara Rizal. Mengingat bahwa Husna gadis aneh yang kabur ketika hendak diberi pengawal.
"Ah." Rizal menjentikkan jari. "Ayah gadis itu adalah manager perusahaan kita, dekati camer duluan. Kalau hati camer sudah dipegang, tinggal desak anaknya."
Yuno memijat pelipisnya, ntah kenapa mendapat saran dari seorang jomlo tidak membuatnya puas. Kurang meyakinkan walaupun kecerdasan Rizal tidak diragukan.
Sekali lagi melihat kertas berisi informasi tentang Husna. Mantan pacar gadis itu meninggal sudah hampir empat tahun lalu. Dan gadis itu belum memulai hubungan dengan siapapun setelahnya. Apakah masih trauma?
Untuk sekarang tidak ada yang bisa dimintai saran selain Rizal dan Mbah Gugel. "Nanti aku coba."
"Sekarang saja, lebih cepat lebih baik."
"Kau benar. Aku akan pergi sekarang, tolong kau urus semua pekerjaanku."
Yuno berdiri, dia merapikan jasnya. Berjalan cepat meninggalkan ruangan. Balas dendam kepada Rizal. Dia bertekad membawa mantu ke Lampung secepatnya demi membuat orang tua angkatnya bahagia.
"Woh! Nggak gitu. Ini gimana, masih ada yang harus kamu tanda tangani. Proyek di Sulawesi ini gimana? Yuno!"
Teriakan Rizal tak Yuno hiraukan, dia meminta alamat dari pengawal yang menjaga Husna. Menemui gadis itu langsung akan lebih romantis.
Ketika melewati lobi Yuno menegakkan tubuh, berjalan arogan dikawal empat orang. Tak membalas salam para pegawai, dia tidak tahu siapa pegawainya yang bertugas menjadi mata-mata musuh. Yuno hanya bisa pukul rata dan memperlakukan mereka dengan kejam sampai hacker yang dia sewa selesai bekerja.
Terlihat lemah di hadapan musuh adalah kesalahan fatal. Sekarang tidak ada Papa yang melindungi, Yuno harus bekerja sendiri. Memanfaatkan semua pengikut yang Papanya berikan.
Pintu mobil BMW itu dibuka, Yuno masuk setelah melepas satu kancing jasnya yang paling bawah. Pesan dari pengawalnya masuk, memberi alamat tempat Husna saat ini berada.
Yuno melihat wajahnya di kamera ponsel. Tampan. Dia merapikan rambut dengan jari. "Pergi ke toko perhiasan terdekat."
"Baik, Pak."
Meluluhkan hati perempuan memang tidak mudah, tapi pertemuan pertama mereka tidak berkesan buruk. Dia hanya perlu bilang bahwa telah jatuh cinta dan mengajaknya menikah.
Seperti wanita yang selama ini mendekati dia karena uang. Jika Husna dimanjakan sedikit dengan perhiasan pasti akan luluh. Apalagi kali ini dengan alasan cinta.
Awalnya memang begitu, Yuno sangat percaya diri dengan wajah dan kekuasaannya. Berpikir bahwa hati bisa dibeli. Tak peduli apakah ada cinta atau tidak. Toh, dia tahu bahwa semua orang pasti saling membutuhkan. Apapun alasan Husna menerimanya nanti, dia tidak masalah.
Mau uang? Kekuasaan? Perhatian? Status sosial? Yuno bisa memberi semuanya. Bahkan jika Husna meminta cinta, maka Yuno akan berusaha untuk mencintai.
Tapi, saat ini langkahnya berhenti. Dia sudah berada di dalam perpustakaan brille tempat Husna berada. Husna sedang mengobrol dengan kakek tua. Wajahnya tersenyum cerah. Tanpa beban di sana.
"Ya nggak mungkinlah aku sama Presdir WterSun, Kek. Aku bakal nikah sama orang yang mirip Afkar. Kalau nggak kayak Afkar nggak bakal aku mau walaupun dia kaya. Sebenarnya Jihan kemarin nawarin ta'aruf sama Ustad Halim."
"Ustad Halim siapa?" tanya kakek sembari membenarkan kacamatanya.
"Itu loh, calon kiayi di pondok Miftahul Uluum. Tapi kok aku ragu ya, takut jadi Bu Nyai."
"Coba saja dulu, Afkar dulu ngajinya di pondok Miftahul Uluum juga. Pasti dia mirip Afkar."
Yuno menelan ludah lalu berbalik. Melewati pengawal sembari memberikan buket bunga dan kotak cincin.
Saingannya calon kiayi, jiwa insecure nya tiba-tiba meledak. Apalah dia yang kitap jurumiyah saja tidak khatam. Ternyata Husna bukan sekelas cewek matre yang selama ini mendekatinya. Tidak akan mempan menggunakan uang.
Yuno masuk kembali ke mobil, memijit pelipisnya. Harus cari cara lain. Di sana dia melihat biodata Husna sekali lagi, mencari celah. Ide konyol muncul begitu saja tapi layak dicoba.
Dia menurunkan kaca mobil, ada pengawal yang langsung mencondongkan wajahnya. Mendengarkan perintah majikan.
"Bawa gadis itu ke mari."
"Baik, Tuan."
Jantungnya berdebar kencang, jika cara ini gagal maka rencana menutup rumor buruk juga gagal. Lebih dari itu apa yang harus dia katakan pada orang tuanya di Lampung? Pasti mereka kecewa karena tidak jadi memiliki Husna sebagai mantu.
Dan pasti Rizal akan menertawakannya sampai tua, percobaan pertama mendekati cewek yang langsung gagal. Itu aib seumur hidup, membayangkannya saja sudah merinding.
Pintu dibuka, Husna masuk ke mobil yang terparkir di halaman perpustakaan brille itu. Wajahnya menunduk, dia terlihat takut.
"Gimana rasanya dirumorkan kencan dengan Presdir WterSun? Kau suka?"
Yuno langsung bertanya dengan sarkasnya. Mengintimidasi Husna. Menanamkan ketakutan di hati gadis itu. Husna langsung memandangnya dan menggeleng.
"Nggak, Tuan."
Padahal ketika pertama bertemu gadis itu memanggilnya dengan lebih lembut. Kemungkinan yang terjadi adalah saat ini gadis itu tengah merasa takut karena tiba-tiba dipanggil.
"Bukankah kau yang menyebarkan rumor itu? Harusnya kau senang."
Sekali lagi Husna menggeleng, tubuhnya bergetar takut. Raut wajahnya jauh berbeda ketika di perpustakaan tadi.
"Nggak, Tuan. Sumpah, bukan saya. Bahkan saya nggak pernah cerita tentang malam itu ke siapapun."
Gadis itu terlihat panik. Matanya berkaca-kaca, ketakutan. Ini akan jadi lebih mudah untuk Yuno. Tanamkan lebih banyak ketakutan maka dia bisa mengendalikan semua orang.
"Sekarang kau hanya punya dua pilihan, menikah denganku atau mati."
Jantung Yuno berdebar kencang, pertama kalinya melamar perempuan dan langsung mengancam menggunakan nyawa
❤️❤️❤️❤️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️❤️❤️❤️❤️
Bab 7
Ini tentang hati manusia, bukan tentang hati ayam yang bisa disate lalu diperjual belikan, pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah untuk diucapkan melalui ancaman. Dengan arogannya Presdir WterSun ini memintaku menikah dengannya memakai ancaman nyawa.
Aku bukan orang gampangan, tidak mudah takut. Tapi kenapa tubuhku bergetar?
"Oh, kau tidak boleh mati sendirian. Tentu orang tuamu harus ikut." Wajahnya mendekat dengan senyum menyeringai.
Keberanian ku rontok seketika. Mataku berkaca-kaca. Benar, orang di hadapanku ini adalah iblis seperti yang diberitakan. Teganya dia mengancam keluargaku akan dibunuh.
Tiga hari ini aku sudah menahan diri supaya tidak menceritakan kejadian malam itu pada siapapun. Aku sudah menempati janji. Seharusnya dia berterima kasih, aku mau susah demi dia. Tapi dia memang orang tidak punya hati nurani.
"Bukankah ayahmu bekerja di WterSun? Bagaimana kalau besok kujadikan almarhum?"
"Jangan sakiti Papaku!" Tanpa sadar aku berteriak di depan wajahnya.
Dia menyunggingkan senyum. Manusia jahat ini tidak memiliki hati. Bisa-bisanya mengancam menggunakan Papa.
Mobil mewah tempat kami berada tampak sumpek, rasanya sulit bernapas karena tertekan. Tidak bisa membuat pilihan.
"Kalau begitu menikahlah denganku?"
"Kenapa kamu ingin menikah denganku? Banyak gadis yang lebih cantik di luar sana yang lebih dari aku."
"Hahaha ... Kau pikir aku mau menikah denganmu karena cantik? Jangan mimpi. Sekarang orang-orang sedang menulis cerita tentang Cinderella abad ini. Presdir WterSun menikahi gadis biasa. Tentu kita harus mengabulkan imajinasi mereka."
Dasar gila! Psikopat! Apa yang sebenarnya ada di otak orang ini?
"Kenapa kita harus menikah hanya karena orang lain?" tanyaku. Masih menahan emosi.
Dia menepuk tangannya di depan mataku hingga membuatku terkejut.
"Pertanyaan bagus. Tapi kau tidak perlu tahu alasannya. Yang perlu kau lakukan adalah menjadi istriku."
Dasar psikopat gila! Otaknya ditaruh di mana? Apakah waktu dia lahir otaknya tertinggal di rahim? Jika saja dia bukan bosnya Papa. Sudah aku cekek lehernya dan kusumpal mulutnya pakai kaos kakiku yang sudah 5 hari tidak dicuci.
"Ini terlalu tiba-tiba, apakah aku tidak diberi waktu untuk berpikir?"
Apapun itu berikan aku kesempatan untuk kabur. Tapi dengan angkuhnya dia menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan kiri. Pertanda bahwa dia tidak menyetujui saranku.
"Aku terlalu sibuk untuk menerima jawabanmu. Kalau kau menolak, besok kau akan satu makam dengan orang tuamu di lautan. Akhir-akhir ikan di laut kelaparan karena sudah lama tidak kuberi makan mayat."
Aku meneguk ludah. Setelah mati aku tidak memiliki kuburan dan dibuang ke laut. Aduh! Kejam sekali manusia satu ini! Aku harus bagaimana?
"Ha ha ha ... menikah dengan orang terhormat seperti anda tentu kebahagiaan tak terkira bagi hamba sahaya seperti saya. Keluarga kami pun akan sangat bersyukur." Kataku, wajah tersenyum tapi hati menangis. Tidak punya pilihan lain.
Aku sungguh tidak ingin terikat dengan manusia tidak punya hati ini. Tapi apa boleh buat, yang diancam dengan kematian tidak hanya aku tapi juga Mama dan Papa.
Buat apa wajah tampan dan kaya raya tapi sikapnya seperti iblis. Mataku terpejam beberapa saat, dia tidak memberi pilihan lain selain jawaban iya. Mungkin orang ini pikir bahwa aku lemah dan bisa ditindas, jika itu yang ada di pikirannya maka benar. Aku lemah, sangat sangat lemah dan dia 100% benar. Sekarang aku ingin menangis kencang untuk meluapkan rasa frustasi.
"Oke. Aku suka jawabanmu. Oh ya aku belum memperkenalkan diri dengan benar. Namaku Yuno, calon suamimu. Senang mendengar jawabanmu calon istriku."
Apakah sekarang aku sudah boleh berteriak? Ah, sepertinya belum? Kalau menangis boleh tidak? Ah, sepertinya taruhan nyawa. Oke, kalau begitu aku tersenyum saja deh.
"Salam kenal calon suamiku, panggil aku Husna."
Mungkin, kewarasan telah hilang di antara kita. Selamat tinggal hidup normal, selamat tinggal kewarasan. Aku berjabat tangan dengan manusia iblis yang katanya calon suamiku. Bibirku tersenyum lebar seakan sangat bahagia. Akhir-akhir ini memang orang waras itu langka.
"Keluar." Dia melepas jabatan tangan kami.
"Eh, apa?"
"Keluar dari mobil."
"Oh, iya."
Duh kampret bin arogan sekali orang ini. Jika saja posisinya bukan bos Papa dan pemilik gebung restoranku sudah kutabok mukanya. Hukum rimba masih saja ada di jaman modern seperti ini. Mahluk lemah tanpa kuasa harus mengalah. Sial.
Aku keluar dari mobil, hatiku nahan jengkel. Ingin kupinjam bom dari Korea Utara untuk dihantamkan ke wajah orang ini. Manusia tidak punya hati. Bisa-bisanya datang langsung mengancam menikah.
Mobil melaju meninggalkan halaman perpustakaan, aku menghentakkan kaki beberapa kali. Menggigit bibirku sendiri. Rasanya aku ingin melempar granat pada Presdir kejam itu.
"Husna, ada apa?"
Aku menoleh ke belakang, kakek memegang tongkatnya dengan wajah heran. Memandangku meminta penjelasan.
Setelah kematian Afkar, kekasihku. Kakek memutuskan pensiun dan menjaga perpustakaan brille seperti Afkar masih hidup. Afkar, cucu satu-satunya sudah meninggal, anak dan menantunya juga sudah pergi ke sisi maha pencipta. Kata kakek, di dunia ini hanya aku yang dia punya.
Bisa jadi Presdir WterSun membakar perpustakaan brille ini jika aku tidak menurut. Di hari tuanya kakek, aku ingin dia hidup tenang.
Aku tersenyum padanya seolah tak terjadi apapun. "Nggak papa, Kek. Aku kembali ke restoran dulu, jangan lupa bubur yang aku bawain tadi dimakan, ya?"
"Iya, hati-hati di jalan."
Aku menyalimi tangannya. "Iya kek, wassalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku melambaikan tangan, masih tersenyum padanya sampai taxi berhenti di depan. Buru-buru masuk dan meninggalkan perpustakaan brille. Menuju ke restoran kembali.
Sekali lagi menggigit bibir, tidak tahu pernikahan seperti apa yang diinginkan orang itu. Tapi yang pasti itu bukan hal yang baik. Dia menggunakan pernikahan pasti sebagai alat. Jahat sekali hatinya.
Aku menghubungi Papa, menanyakan kabar. Lebih baik besok aku kembali ke rumah. Di sana tidak ada wartawan. Aku menoleh ke belakang, sebuah mobil mengikutiku. Pasti itu mata-mata dari WterSun, dari kemarin orang berpakaian hitam terus mengamati setiap gerakanku. Sekarang aku sadar kenapa Presdir arogan itu bisa dengan mudah menemuiku di perpustakaan.
"Hallo, Pa. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, tumben nelpon."
"Papa nggak ada masalah apapun kan di kantor?"
"Nggak ada apapun, emang kenapa? Apa kamu dapat masalah?"
"Nggak kok. Cuma kangen. Oh ya besok malam aku pulang."
"Iya pulang saja, tinggal di restoran nggak aman. Nanti Papa bilang ke Mama buat bersihin kamarmu."
"Makasih, Pa. Love you."
"Love you too my princess."
"Wassalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku lega. Papa tidak diganggu atau lebih tepatnya belum diganggu Yuno. Duh, orang itu buat hidupku kacau.
"Neng, ini mau ke mana?" tanya supir taxi.
"Restoran See You di jalan Thamrin Jakarta pusat. Cepat ya, Bang."
"Siap, Neng."
Aku mengembuskan napas berat. Kepalaku rasanya berat. Pusing. Apakah ada jalan keluar dari masalah ini? Menikah dengan orang songong itu tidak boleh terjadi. Tidak mau. Hidupku bisa kacau dan hancur.
Pesan dari Jihan masuk, mengirimkan gambar Chayra. Putri kecilnya yang sangat aku sayangi. Lucu dengan pipi tembem. Baru berusia satu setengah tahun, katanya sudah bisa jalan. Aku juga ingin punya anak lucu seperti ini.
Besok aku harus mengundang Jihan dan Chayra ke restoran. Sudah lama tidak bertemu mereka. Kangen.
Pesan segera kukirim, sahabatku sangat baik. Dia langsung menyetujui untuk datang ke restoran besok siang. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum. Sekali lagi memandang foto Chayra.
Ketika sudah sampai di restoran lagi-lagi banyak wartawan di sana. Bagaimana caranya aku bisa masuk? Kulihat mobil mata-mata si Presdir songong. Dua orang itu turun. Menghampiriku dan membukakan pintu.
"Silakan, Nona."
Aku berkedip beberapa kali, sebenarnya mereka mau mengawasiku atau menjagaku? Setelah supir taxi menerima uluran uang aku turun dari mobil.
Sejak kemarin dua orang ini terus berada di sekitarku, mereka tidak menjaga jarak dan bersikap terang-terangan. Seperti kali ini, mereka menjagaku sampai bisa melewati kerumunan wartawan.
"Terima kasih, ayo masuk. Aku gratisin pasta."
"Tidak Nona. Kami akan berjaga di luar."
Mereka berbadan tinggi, berwajah tegas dan tidak goyah. Seperti sudah terlatih. Aku hanya mengangguk dan masuk ke ruangan. Melewati para pelanggan yang sedang menikmati pasta.
Beberapa Waiter menyapa. Mereka rapi dengan seragam berwarna hijau. Seragam yang aku rancang sendiri.
Kembali ke ruangan dengan berkas yang menumpuk, mengerjakan tugas yang sudah menanti.
Sebenarnya kapan David kembali? Dasar asisten nyebelin! Pekerjaanku jadi menumpuk dua kali lipat sejak dia cuti.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada pesan masuk. Memperlihatkan foto selfie Presdir songong dengan Papa. Seketika mulutku terbuka lebar.
"Astaghfirullah! Dasar gila!"
Saking shocknya aku melempar ponselku. Seakan melihat foto setan. Apalagi mereka berdua tersenyum lebar seakan sudah akrab.
Tidak mungkin itu foto akrab sebagai atasan dan bawahan? Jangan bilang Presdir songong memperkenalkan diri sebagai calon mantu? Katakan bahwa tidak mungkin!
⚔️⚔️⚔️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️⚔️⚔️⚔️
Bab 8
"Layani aku sekarang juga, cepat buka bajumu!" Yuno mendekat. Presdir WterSun ini melepas kemejanya dan membuang asal. Menampakkan otot kekar ala Popay si pelaut.
Aku mundur ketakutan, tubuhku bergetar. Tangan terus memegang kancing baju supaya dia tidak mendapatkan yang diinginkan. Ketika menoleh ke belakang sudah ada ranjang dengan hiasan bunga. Apakah aku sudah menikah dengan dia?
"Nggak mau! Aku nggak mau! Pergi!"
"Kau harus melayani suami," ucapnya dengan seringai jahat.
Mahluk ini sungguh tidak punya belas kasih, dia melepas ikat pinggangnya. Memegang dengan kedua tangan, hendak mengikatku. Kaki terus mundur sampai ke ranjang, dia menyeringai dengan menyeramkan ketika aku sudah mentok.
Tubuhku jatuh terlentang di ranjang, dia semakin mendekat dengan membawa ikat pinggang. Tubuhku bergetar ketakutan dan kepala terus menggeleng. "Nggak mau! Pergi!"
"Tugas istri adalah melayani suami. Lakukan tugasmu istriku, Husna."
Dia menjatuhkan tubuh di atasku, aku berusaha memberontak sekuat tenaga. "Aku nggak mau!"
Bruk!
Tubuhku jatuh dari ranjang, mengenai dinginnya lantai. Mataku terbuka lebar dengan napas naik turun. Mata mengerjap beberapa kali, mencoba mengembalikan kesadaran. Aku bangun dan mendapati bahwa itu hanya mimpi. Mataku melirik jam, pukul tiga pagi. Sungguh mimpi yang mengerikan. Ini akibat foto Papa dan Presdir songong. Ya Allah sampai kebawa mimpi.
Aku mengelus kepalaku yang sakit. "Mimpiku ngeri banget, jangan sampek jadi kenyataan."
Masih duduk di lantai, rambut sebahu terurai. Berwarna hitam halus, baru aku smoothing dua hari yang lalu.
Jika tidak dihentikan maka mimpi itu akan menjadi kenyataan, aku harus bagaimana? Foto yang tadi siang dikirim kulihat lagi. Di sana Papa tersenyum bahagia.
Ketika bertanya pada Papa tentang foto itu Papa langsung menjawab dengan bangga dan senang.
"Kenapa main rahasia-rahasiaan sama Papa. Presdir sudah mengatakan semuanya, kalian pacaran dan berencana menikah secepatnya. Papa tunggu kedatangan Presdir ke rumah buat lamaran."
"Bu ... bukan gitu, Pa."
"Kata Presdir udah nggak perlu ada yang ditutupi lagi. Pers juga sudah tahu. Papa bahagia karena kamu ternyata sudah move on dari Afkar."
Ah! Kepalaku rasanya ingin meledak. Dari pembicaraan tadi terlihat bahwa Papa merestui. Mimpi burukku terasa semakin nyata.
"Ya Allah, tolong bantu aku."
Tangan menengadah ke atas, berharap Allah memberi petunjuk dan jalan keluar. Aku begitu takut jika harus menikah dengan si Presdir songong. Membayangkan mimpi tadi menjadi kenyataan sungguh membuat merinding. Kemungkinan aku akan diikat dan disuruh melayaninya, aku sangat takut. Pokoknya tidak mau.
Setelah mimpi buruk itu aku tidak bisa tidur lagi, solat tahajud dan langsung ke dapur. Mencoba membuat menu baru. Menghabiskan waktu dengan bekerja bisa membuat lupa. Jika salah tindakan maka nyawa keluargaku bisa melayang, harus berpikir dengan jernih.
Ini hari minggu, karyawan datang siang. Aku bisa bersantai sedikit. Menyiapkan cemilan untuk Chayra yang nanti datang. Batita anak sahabatku itu gemes sekali. Dengan melihat yang imut-imut wajah menakutkan Presdir Yuno akan menggilang, kuharap begitu.
Langit mendung, sepertinya sebentar lagi akan hujan. Siang hari tapi seperti sore hari tanpa cahaya. Angin bertiup kencang. Restoran hari ini tidak terlalu ramai. Lagi-lagi aku melihat saudaranya Jihan, Raiden kencan buta di sini. Bisa kutebak apa yang akan terjadi dengan dia.
"Assalamualaikum, Husna."
Aku menoleh, mendapati orang yang aku tunggu. Wajah cantik sahabatku dengan senyum cerahnya. Membawa kereta bayi, lucunya Chayra dengan pipi tembem.
"Waalaikumsalam, ayo duduk. Aku akan meminta Chef Arnold untuk membuatkan menu spesial."
"Nggak usah repot-repot, apa adanya saja."
"Nggak bisalah. Kamu kan jarang ke sini."
Kursi yang sudah aku siapkan kini ditempati Jihan, menyapa Chayra yang sibuk dengan mainannya. Pipinya merah, mirip ibunya.
Setelah makanan untuk Jihan datang, aku membiarkan dia makan sendiri. Membawa Chayra berkeliling. Hari ini aku meminta Rumi, Captain restoran membantu menyelesaikan pekerjaan. Alhamdulillah bisa selesai lebih cepat.
"Kau bilang aku jelek?"
Pertanyaan dari seorang wanita yang diajak kencan Raiden. Bisa terdengar jelas dari aquarium yang sedang aku dan Chayra amati. Bukan berniat menguping, hanya sedikit penasaran.
"Maaf, aku tidak bisa pacaran dengan wanita jelek sepertimu. Tubuh kurus, mata lebar dan wajahmu seperti ibu tiri yang jahat untuk kedua anakku."
Plak!
Tamparan terdengar keras, pasti sakit. Raiden, saudara Jihan itu lagi-lagi membuat ulah demi membatalkan perjodohan.
Tunggu, mungkin aku bisa menggunakan cara Raiden supaya Presdir WterSun tidak mau menikah denganku.
Cetak! Aku menjentikkan jari. Ide cemerlang. Chayra yang berada di gendongan heran.
"Ante apa?"
"Nggak papa sayang, Om Raiden udah ngasih Tante ide. Ayo balik ke bundamu."
Setelah kembali duduk, mataku terus mengamati Raiden. Selama ini dia memakai cara itu dan berhasil. Walaupun berakhir dengan air yang disiram ke wajah. Membuat kacamatanya basah. Ntah kalimat menyakitkan apa lagi yang pria itu ucapkan sampai mendapatkan hadiah siraman air. Tapi yang pasti itu berhasil.
"Raiden kayak gitu lagi." Tanpa sadar aku berucap, membuat Jihan menoleh. Melihat ke arah pandanganku yang sedang melihat Raiden.
Setahuku Raiden menikah dengan gadis Turki, setelah anak mereka lahir mereka bercerai. Sampai sekarang dia belum move on. Tidak mau dijodohkan dengan siapapun.
Sebenarnya hampir sama denganku. Setelah Afkar meninggal, aku menolak perjodohan dengan berbagai alasan. Jujur, hati ini terasa masih dibawa Afkar.
"Apa Raiden sering ke sini?" tanya Jihan.
"Nggak juga. Tapi aku beberapa kali liat dia nolak cewek sampai disiram air kayak gitu. Pasti dia pakai kata-kata pedas."
"Dha udhah." Chayra memberikan botolnya ke Jihan. Gemes banget, ingin punya anak perempuan kayak Chayra.
"Oh ya, kamu nyuruh aku ke sini bukan cuma ingin traktir makan, 'kan? Kamu mau curhat apa?" tanya Jihan.
Awalnya aku ingin cerita tentang lamaran paksa si Presdir songong, tapi takut Jihan nanti khawatir.
"Nggak jadi, nanti aja deh kalau sudah pasti baru aku kabari."
"Hayo ada apa? Jangan-jangan sudah ada pria yang buat kamu tertarik, ya?"
"Ih, apaan sih. Nggak kok."
Tanpa aku sadari Chayra menghampiri Raiden dan digendong ke mari. Menghampiri kami.
"Kalian udah lama di sini?" tanya Raiden ketika mendekat.
"Cukup lama untuk melihatmu disiram air." Aku menjawab tanpa sensor. Membuat kaki Jihan menyenggolku. Untuk apa ditutupi, faktanya kami memang membicarakan Raiden, 'kan?
Melihat itu Raiden malah terkekeh. "Pasti Husna sampai hafal karena terlalu sering."
"Tenang, Rai. Aku jaga rahasiamu," jawabku.
"Apa itu gadis yang dijodohkan Ayah?" tanya Jihan ke Raiden.
Ini obrolan canggung antar keluarga mereka. Aku memilih diam, tidak berhak ikutan. Hanya menyimak tak berniat ikut campur.
Rupanya Chayra belum bisa membedakan antara Raiden dan ayahnya. Suami Jihan dan Raiden kembar identik, aku saja sulit membedakan kalau Raiden tidak memakai kacamata.
Setelah memberikan Chayra ke Jihan, Raiden pamit pergi. Harus kembali bekerja katanya.
"Husna!" Teriakan dari seorang pria yang baru masuk ke restoran.
Presdir WterSun group? Yuno? Dasar orang itu kenapa ke sini? Dia benar-benar tidak bisa memberiku waktu untuk bernapas. Semua orang melihat ke arahnya, termasuk Jihan.
"Husna, bukankah dia Presdir WterSun Group?" tanya Jihan.
"Anu ... itu ... aku ada urusan. Kamu dan Chayra pulangnya hati-hati ya. Makasih udah mampir."
Pria itu berkacak pinggang, memandang ke arah kami. Aku berlari kecil dan menghampirinya. Memaksa si Presdir songong keluar dari restoran.
Di luar sedang hujan deras, kami berada di samping restoran. Aku menoleh ke kanan dan kiri, para wartawan tidak ada. Apa mungkin sudah diusir Presdir songong ini? Aku meneguk ludah.
"Anu itu kenapa ya anda ke sini?" tanyaku terbata-bata.
"Kata Papamu kau akan pulang ke rumah malam ini, jadi sekalian aku ikut buat lamaran."
Tunggu! Apa aku salah dengar karena hujan deras? Sekalian lamaran? Bahkan aku belum mengatakan apapun ke Papa dan Mama.
Oke, sekarang jurus Raiden akan kugunakan. Membuat Yuno tidak menyukaiku dan supaya dia berhenti mengganggu.
"Maaf, Aku alergi orang jelek. Jadi kita tidak bisa menikah."
Wajah Yuno terkejut, alisnya terangkat tanda tak memercayai ucapanku barusan.
"Apa kau sudah gila?!"
Mungkin, cara Raiden tidak mempan terhadap Presdir songong ini. Sekarang dia melihatku dengan tatapan ingin memakan bulat-bulat. Aku meneguk ludah, sepertinya tindakanku membangunkan singa tidur adalah salah. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
❤️❤️❤️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️❤️❤️❤️❤️
Bab 9
Terlalu takut bisa membuat orang tidak bisa berpikir dengan jernih, itu yang aku alami sekarang.
"Hahaha, becanda. Tuan Presdir Yuno tentu orang paling tampan sedunia. Calon suamiku yang super duper kuper tampan." Aku memberikan dua jempol. Bibir tersenyum lebar hingga gigi Pepsodent terlihat menyilaukan.
"Nggak usah banyak mulut, cepat masuk mobil."
Wajahnya datar tanpa ekspresi, dasar Presdir songong. Mungkin, seumur hidup tidak pernah tertawa. Heran, manusia seperti itu kok hidup.
"Sebentar, saya ambil ransel dulu di kamar atas."
Aku segera berlari ke arah tangga di samping gedung, naik ke lantai 3, segera mengambil tas yang sudah dipersiapkan sejak semalam. Beberapa kali memukul kepala. Tak memiliki cara lagi untuk lepas dari orang itu.
Jurus Raiden tidak berlaku untuk situasi ini. Ancamannya adalah nyawa, tapi mulutku malah menjadi batu loncatan menuju kematian. Sekali lagi aku memukul mulutku sendiri.
Kami duduk satu mobil, sangat canggung. Aku sampai lupa caranya bernapas dengan paru-paru. Jantungku tidak bisa berdetak dengan normal saking gemetaran.
Kini, di sampingku Yuno melipat tangan di dada. Rahangnya yang kuat dan tegas tanpa senyum sedikit pun. Pandangannya ke depan sembari asik menguyah permen karet. Mirip bos mafia. Aku hanya meringkuk di sampingnya seperti anak ayam.
Kami menuju Jakarta Timur, tempat orang tuaku berada. Mobil pengawal depan dan belakang seperti iring-iringan presiden. Tapi, bukannya merasa terhormat aku malah seperti merasa diperlakukan seperti tahanan kelas kakap.
"Aku sudah pesan gedung dan sebar undangan, desainer akan menemuimu nanti malam untuk mencoba gaun. Oh, gaun juga sudah dipesan Tinggal menyesuaikan ukurannya. Pernikahan akan berlangsung tiga hari lagi."
"Apa? Tiga hari?" Aku terkejut sampai tidak sadar sudah berteriak.
"Kenapa? Kau keberatan?"
Jika aku menjawab iya maka peluru akan menancap di kepalaku dan besok mayatku akan dimakan ikan di laut.
"Haha tidak apa-apa. Tapi apa nggak terlalu buru-buru?"
"Kalau semua sudah beres, kenapa harus menundanya?"
"Ah, iya juga." Aku menggaruk belakang leherku yang tak gatal.
Bukankah dia bilang akan lamaran hari ini? Kenapa persiapan sudah matang seperti itu? Sultan memang bebas. Tapi, ini adalah pernikahanku dan sedikit pun aku tidak melakukan apapun selain datang.
Aku merasa tekanan batin sampai membuat sesak. Tiga hari lagi menikah. Rasanya ingin tertawa lebar. Leluconnya sangat lucu. Tapi kenapa kenapa aku malah ingin menangis?
"Di depan orang tuamu jangan sampai salah panggil, cepat panggil aku Yuno."
Maksud dia aku disuruh berpura-pura? Raja akting sekali dia. Menyebalkan.
"Iya, Yuno."
Sekali lagi meneguk ludah, hidupku benar-benar akan segera berakhir. Selama 3 hari ini waktu tersisa aku akan mencoba menikmati hidup sebelum hari kematian yang sudah dijadwalkan.
Mobil memasuki gerbang, rumah dengan cat abu-abu itu berdiri kokoh berlantai 2. Ada kebun di samping rumah. Dulu, aku biasa bermain di sana dengan Mama. Merasakan sinar matahari walaupun tidak bisa melihatnya.
Kami turun dari mobil dipayungi pengawal, di teras Papa dan Mama sudah menunggu. Mama terlihat khawatir melihatku.
"Assalamualaikum," ucapku dan Yuno bersamaan. Seketika aku langsung menoleh, dia tidak canggung dan langsung menyalimi Papa dan Mama.
"Waalaikumsalam." Papa dan Mama menjawab bergantian.
Dengan kacamatanya Papa berdehem ketika menyalimi Yuno. Mirip calon mertua galak. Tak menyangka Papa berani bersikap biasa saja dengan Presdirnya. Kupikir, Papa akan takut dan segan.
"Ayo, masuk."
Di ruang tamu, kami duduk saling berhadapan. Si Presdir songong langsung berterus terang tentang rencana pernikahan kami. Dia meminta restu.
"Kok mendadak banget, kami belum nyiapin apapun." Protes Mama.
Ayo Ma protes, jangan restui kami. Gagalkan pernikahan gila ini. Kalau sudah begini aku harus menambahi bumbu supaya pernikahan gila bisa diundur atau dibatalkan.
"Aku juga ngrasa kalau pernikahan ini terlalu cepat."
"Ah, sayang. Kita kan udah bicarain ini. Aku takut kayak kemarin, tengah malem kangen langsung ke restoran nemuin kamu. Tante pasti nggak mau kalau tiba-tiba ada bayi di antara kita."
Jijih, merinding. Gila ini orang. Sayang? Bayi? Bisa-bisa bicara seperti itu dengan wajah santai. Benar-benar psikopat gila!
"Ehem, yang dibilang Nak Yuno benar. Lebih cepat lebih baik."
Rasanya seperti Papa mendorongku masuk ke jurang, sepertinya Papa sudah sangat akrab dengan calon mantunya sampai memanggil dengan 'Nak'. Sudahlah, tidak ada yang membelaku sekalipun ini keluarga. Benar-benar membuatku hilang akal.
"Iya, ayo menikah. Kenapa menunggu tiga hari lagi. Sekarang pun tidak masalah. Iya, 'kan Pa, Ma?"
Ayo terjun bebas tanpa parasut, biarkan aku mati sekarang. Toh sama saja. Aku tersenyum di antara rasa tangis di hati. Heran, kenapa hidupku bisa jungkir balik dalam waktu yang sangat singkat.
"Sabar sayang, cuma tiga hari lagi kok." Yuno tersenyum kepadaku dengan sangat cerah. Aku ingin menangis tapi kenapa air mataku tidak menetes sedikit pun? Nahas sekali nasipku ini.
"Pernikahan kalian akan berdampak baik buat perusahaan, sejak diumumkan tiga jam lalu saham WterSun Group naik pesat. Terlebih kalian menikah karena suka sama suka."
Oh, jadi ini yang membuat Presdir songong ingin menjadikan aku istri? Cerita Cinderella yang dia katakan sebelumnya untuk menaikkan harga saham. Kampret sekali. Untung buat dia tapi buntung buat aku.
Tekanan darahku terasa naik seperti roket, membuat belakang kepala berdenyut nyeri. Emosi yang tidak bisa dilampiaskan pada siapapun. Cuma bisa nahan jengkel sampai rasanya sesak.
Kami makan malam bersama, rupanya Papa kenal dengan Presdir songong dari dia masih remaja. Bicaranya pun santai seperti sudah akrab. Sepanjang makan malam perutku tegang dan tidak enak makan. Bisa dipastikan setelah ini aku akan sakit perut.
"Aku pulang dulu, sampai ketemu di hari pernikahan ya sayang."
Geli. Jijih banget ya ampun. Tapi orang tuaku sedang mengamati kami. Memandang dengan penuh haru, akhirnya anak satu-satunya menemukan pasangan yang dicintai. Tidak! Ini bukan seperti yang kalian bayangkan. Ingin sekali aku berteriak seperti itu.
"Iya sayang, sampai jumpa. Muah," ucapku dengan dibarengi kiss bye. Silakan merinding sepertiku Presdir songong. Memangnya hanya kamu yang bisa membuat orang geli sampai ingin muntah.
Dia menahan tawa, bibirnya tersenyum lebar. Bisa dibayangkan apa yang ada di pikirannya, tak menyangka aku bisa berbuat seperti itu untuk mengimbangi aktingnya yang handal.
"Om, Tante. Saya pulang dulu. Wassalamu'alaikum."
Satu hal yang aku heran dari dia, yakni bisa bersikap lembut dan ramah kepala orang tua. Sopan dan santun, mau salim dan cium tangan orang tuaku. Mungkin, itu juga salah satu dari aktingnya.
"Waalaikumsalam."
Setelah dia pergi, Mama sibuk menelpon para saudara kami di Banten. Mengabarkan pernikahan yang akan dilaksanakan tiga hari lagi. Desainer yang mencocokkan gaun juga datang dengan rombongan.
Mereka benar-benar profesional dan bergerak cepat. Gaun mewah yang tinggal mengurangi ukuran badanku. Total 7 desainer yang datang. Bergerak gesit dan bilang supaya tidak khawatir, walaupun mepet mereka bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Pukul 11 malam aku baru bisa berbaring di kasur. Lelah dan capek.
"Tiga hari lagi aku menikah?" Gumamku ketika melihat langit-langit rumah. Masih tidak percaya dengan keadaan yang terjadi saat ini.
Tidak pernah terbayangkan aku akan menikah dengan Presdir WterSun. Yuno Bagaskara yang terkenal bengis.
"Yuno ... Yuno ... Yuno. Nama yang nggak asing."
Aku beranjak, berjalan menuju kotak kenangan. Mencari sesuatu yang terlupakan beberapa tahun ini. Sebuah nametag berwarna putih dengan ukiran hitam. 'Yuno Putra Alamsyah' tertulis di sana.
"Nggak mungkin kan itu dia?"
Aku menggeleng. Mana mungkin orang yang aku temui saat berusia 9 tahun adalah dia. Seingatku anak yang memberiku name tag ini bilang merindukan keluarganya dan ingin pulang. Sementara Yuno Bagaskara adalah orang bengis yang tega membunuh keluarganya sendiri.
"Nggak mungkinlah. Pasti cuma namanya aja yang mirip." Aku meletakkan name tag itu kembali ke kotak kenangan.
Tapi, kok rasanya ragu. bagaimana kalau benar mereka orang yang sama? Sekali lagi aku membuka kotak itu. Mengambil name tag dan memasukkannya ke dalam dompet.
Berharap suatu saat aku bisa memastikan apakah Yuno Putra Alamsyah adalah orang yang sama dengan Yuno Bagaskara.
⚔️⚔️⚔️⚔️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️⚔️⚔️
Bab 10
Yuno melihat ke cermin, renda bunga di jas putihnya terlihat mewah. Dia mengambil peci putih yang senada. Memakai sembari terus melihat ke arah kaca. Jantungnya berdebar kencang, tangannya dingin, ia gugup.
Hari pernikahan berjalan begitu cepat. Semalaman Yuno menghafalkan kalimat ijab kabul, mengulangi ratusan kali sampai di luar kepala. Sekali Yuno mengembuskan napas berat, dia tegang.
Ponselnya di atas meja berdering. Yuno berbalik dan mengangkatnya. Tangannya melambai menyuruh para desainer dan tata rias keluar dari ruangan.
"Assalamualaikum, Bun."
"Waalaikumsalam. Yuno, kamu yakin Bunda sama Ayah nggak boleh datang?"
Bukan tidak boleh, tapi Yuno takut keluarganya terancam bahaya. Saat ini dia sedang menjadi target Haikal. Orang itu masih saja mengganggunya sejak 13 tahun lalu.
Haikal adalah keponakan ibu tirinya. Dididik selama 10 tahun untuk dijadikan pewaris WterSun group. Sampai ayah kandungnya, Renold Bagaskara menemukan dia di Lampung. Haikal diusir dari rumah utama keluarga Bagaskara dan digantikan dirinya. Sakit hati Haikal menjadi dendam luar biasa kepada WterSun group.
Orang yang menyakiti Yuno seminggu yang lalu adalah Haikal, mengirim pembunuhan bayaran ketika Yuno lengah. Jika saja Husna tidak menyelamatkannya maka sudah dipastikan Yuno akan mati.
Nahasnya sampai saat ini Yuno tidak mengetahui keberadaan Haikal. Orang itu selicin belut dan sulit ditemukan. Yuno takut, jika Haikal mengetahui keberadaan orang tua angkatnya di Lampung maka akan terjadi hal yang buruk.
"Nggak usah, Bun. Besok aku pulang ke Lampung. Ketemu di rumah saja."
"Yaudah kalau gitu, salam buat mantu. Di rumah lagi sibuk buat jenang."
"Jenang buat apa, Bun?"
"Ayahmu pingin nanggap qosidah modern dari Tanggamus. Mau buatin jahatan yang mirip anaknya Pak RT."
"Aduh, Bun. Nggak usah repot-repot. Syukuran kecil-kecilan aja ngundang tetangga udah cukup."
"Ya nggak bisa gitulah. Selama kamu pergi, Bunda selalu ngamplop buat temenmu yang nikah pakai namamu, Yuriel aja Bunda amplopin pake namamu empat ratus ribu. Sayang kalo nggak balik."
Yuno memijit pelipisnya, menggelar hajatan supaya uang yang pernah disumbangkan ke orang kembali lagi. Pemikiran orang tuanya sungguh membuat Yuno geleng kepala. Padahal berkali kali Yuno menawarkan uang dan kekuasaan untuk orang tua dan adik-adik tapi mereka menolak kenyataan.
Mereka masih menganggap Yuno bukan seorang presiden direktur WterSun group yang sangat kaya raya. Bagi mereka, Yuno tetaplah anak keluarga sederhana di Lampung.
"Terserah Bunda aja lah. Oh ya aku di Lampung cuma bisa dua minggu."
"Segitu sudah cukup, tarup udah dipasang depan rumah. Besok jam berapa sampai rumah?"
"Sore kayaknya, Bun."
Yuno melihat ke arah pintu, ada Rizal di sana yang baru saja masuk. Meninggikan alis, bertanya siapa yang tengah Yuno telpon. Dengan lirih Yuno menjawab bunda.
"Udah dulu ya, Bun. Aku mau siap-siap. Wassalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, salam buat mantu."
Telpon ditutup. Dia memberikan ponsel itu ke Rizal yang mendekat ke arahnya.
"Rombongan pengantin wanita sudah datang, sekarang masih dirias." Rizal memberi tahu. Dia baru saja mengecek semua persiapan.
Dari semalam, Yuno sudah berada di gedung acara. Hotel Mulia Senayan Jakarta menjadi pilihan Rizal untuk menggelar acara pernikahan sahabatnya. Memakai paket A Peony wedding package menghabiskan uang lebih dari 500 juta, belum termasuk ganti rugi kepada pengantin lain yang diserobot pernikahannya.
Dengan ancaman dan kekuasaan, menggelar pernikahan mewah kurang dari seminggu sungguh menjadi tantangan Rizal. Mengambil gaun pengantin orang lain, gedung yang sudah dipesan orang lain, dan lain sebaginya. Dia sudah belajar menjadi orang kejam dan menggunakan kekuasaan dari sekretaris ayah kandung Yuno sebelumnya.
"Aku gugup." Kata Yuno. Wajahnya pucat. Padahal dia tidak seperti Rizal yang memiliki lingkaran hitam di matanya karena kurang tidur untuk menyiapkan acara pernikahan.
"Yang penting udah ngafalin ijab kabul kan?"
"Udah, tapi gimana nanti malam pertamanya?"
"Mau aku gantiin pas malam pertama?"
"Sialan, ya nggak gitu juga."
"Liat bokep kalau nggak tahu caranya."
"Anjim, kamu ini berdosa banget."
"Mau nggak?"
"Mau, cepet kirim linknya."
Yuno mengambil ponselnya lagi. Dia menerima link laknat dari Rizal. Tidak menyangka sahabatnya itu bisa menemukan link seperti ini. Dia meneguk ludah, melihat hal-hal laknat. Beberapa kali istighfar tapi tetap dilanjut karena penasaran.
"Nanti liatnya, sekarang ayo ke depan. Papa dan Mama mu datang," ucap Rizal merebut ponsel Yuno. Mematikan ponsel yang sedang memutar hal laknat.
"Kok bisa Papa dateng?"
"Bisalah, tinggal dateng doang apa susahnya."
Yuno berjalan duluan keluar ruangan, menemui Papanya yang tiba-tiba menghilang dan membuatnya kerja keras bagai kuda.
Di ruangan lain, Papanya menyambut tamu-tamu penting. Melambaikan tangan ke Yuno sembari tersenyum tanpa rasa bersalah sedikitpun. Di sampingnya ada Mama tirinya. Terlihat sangat cantik dengan gaun merah yang sexy.
"Aku tidak menyangka mereka punya muka untuk datang." Gumam Yuno.
"Ini hal bagus, dengan kemunculan mereka berita miring tentang kamu yang bunuh mereka demi berkuasa akan hilang."
"Ck."
Mau tidak mau Yuno mengakui ucapan Rizal adalah benar. Dia berjalan menemui papanya. Tanpa ekspresi dan emosi. Papa menepuk lengannya sembari tersenyum.
"Sekarang kamu sudah berguna, bisa mengatasi semua masalah di WterSun."
"Selama ini sebenarnya kalian ke mana?" tanya Yuno. Menahan emosi. Ucapan papanya selalu tidak mengenakan.
"Bulan madu," ucap Mama tirinya sembari memegang lengan suaminya.
Tekanan darah Yuno langsung naik. Bagaimana bisa dua orang ini bersenang-senang di atas penderitaannya?
Bersyukur acara pernikahan berlangsung dengan lancar, Papa dan Mama Yuno mengantarkan sampai ke pelaminan. Duduk di belakang ketika Yuno sudah berada di depan penghulu.
Husna datang dan duduk di sampingnya. Didampingi teman-temannya yang Yuno tidak kenal. Jantungnya berdebar kencang ketika acara akad sudah dimulai. Setelah melihat Husna yang sangat cantik dengan gaun pengantin, Yuno semakin panas dingin.
"Saya nikahkan anak kandung saya Syafaatul Husna binti Samsul Hamdi dengan engkau Yuno Bagaskara bin Renold Bagaskara dengan maskawin emas 500 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai."
Yuno meneguk ludah, jantungnya seakan ingin meledak. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya, dia kebelet pipis. Terlebih ayah Husna sendiri yang menikahkan mereka. Semakin membuat Yuno grogi.
"Saya terima nikah dan kawinnya Syafaatul Husna binti Samsul Hamdi dengan maskawin tersebut dibayar tunai." Kalimat itu terucap dengan sekuat tenaga yang Yuno miliki. Seperti hampir teriak dan membuat orang-orang terkejut.
"Saksi sah?"
"Sah."
Doa dipimpin penghulu, Yuno masih mengatur jantungnya yang berdegup kencang tak terkendali. Setelah selesai doa dia menelengkan kepala, tersenyum sebaik mungkin untuk Husna.
Wajah gadis itu pucat, seperti linglung. Mungkin grogi seperti dia. Yuno mengulurkan tangan, gadis itu menyambut dan mencium punggung tangannya.
Getaran aneh membuat dada Yuno berdegup kencang, dia mencium kening Husna. Pertama kali mendaratkan bibirnya ke wajah seorang gadis. Jantungnya ingin meledak.
"Sekarang aku suamimu." Kata Yuno. Dia tersenyum di sela rasa grogi. Menampilkan deretan gigi yang putih.
Acara demi acara terus berlangsung, Husna seperti robot berjalan. Menuruti semua instruksi pembawa acara tanpa protes sedikit pun. Dari mulai lempar bunga sampai sungkeman.
"Selamat sudah menjadi menantu WterSun group, pasti kau senang sekali," ucap Elja, ibu tiri Yuno. Nadanya sangat menyindir.
Yuno segera melihat ke samping, takut Elja melakukan hal buruk kepada istrinya. Tapi rupanya Husna bisa memposisikan diri dengan baik.
"Sebagai menantu Husna banyak kekurangan, mohon bimbingannya. Ma."
Tadi, Elja menyindirnya karena memilih wanita dari kalangan biasa. Rakyat jelata katanya. Menganggap bahwa Husna orang rendahan sama seperti ibu kandung Yuno yang sudah meninggal.
Yuno sudah terbiasa dihina oleh Elja, tapi tidak dengan Husna. Dia takut gadis itu tidak kuat mental. Namun, sepertinya itu kekhawatiran yang percuma. Gadis itu lebih kuat dari yang dia duga.
Resepsi pernikahan dihadiri orang-orang penting, diberitakan sejumlah media masa. Malam hari dikhususkan untuk pesta para kaum muda. Teman-teman Yuno berdatangan. Sejumlah petinggi perusahaan yang ada di Indonesia maupun luar negeri.
"Congratulation for your wedding." Seorang Pria menyalimi Yuno, berbicara dengan bahasa Inggris sembari menepuk lengannya ringan. Semua bisa melihat dia bukan berasal dari Indonesia.
"Terima kasih sudah jauh-jauh dari Amerika ke sini, Van."
"Santai, bro. Keluargaku memang berencana ke Indonesia."
"Thanks udah dateng, jangan lupa amplopnya yang banyak."
"Hahaha kamu masih pandai bercanda."
"Aku serius."
Pria itu berdehem. Hafal dengan Yuno yang kaya tapi suka gratisan.
"Tenang aja, udah aku transfer langsung ke rekeningmu."
"Hahaha ... silakan nikmati pestanya."
"Tentu, oh istrimu cantik sekali. Senang bisa berjumpa denganmu."
Pria itu hendak menyalimi Husna, tapi gadis itu menelangkupkan tangan di depan dada. Membuat pria itu bingung, malu dan langsung berjalan melewatinya. Wajah Husna datar, tak menunjukkan keramahan sama sekali kepada teman Yuno itu. Juga tidak menanggapi pujian dan ucapannya.
"Dia Divan, petinggi perusahaan besar sekaligus temanku. Kau harus ramah padanya." Yuno berbisik kepada Husna. Menegur gadis itu yang sudah bersikap tidak mengenakan.
"Maaf, aku nggak bisa bahasa Inggris jadi nggak tau dia ngomong apaan," bisik Husna.
Yuno lupa akan hal itu. Padahal dia sudah membaca riwayat pendidikan Husna. Tidak bisa menyalahkan.
Acara berlangsung sampai jam 11 malam, banyak teman bisnis Yuno yang datang. Hal itu membuatnya tertahan untuk segera masuk kamar. Membuat Husna ke kamar lebih dulu. Katanya lelah karena gaun pengantin yang berat.
"Cepat ke kamar sana, biar aku yang urus di sini." Rizal berbisik ke Yuno.
"Makasih," balas Yuno.
Dia meninggalkan pesta itu dan berjalan ke lif menuju lantai atas. Tepat di kamar hotel yang sudah disiapkan untuknya dan Husna.
Tepat di depan pintu, pria yang kini memakai jas hitam itu berhenti. Malam pertamanya, jantungnya berdebar sangat kencang. Ia meneguk ludah dan mengingat bagian-bagian penting dalam video yang tadi dia lihat. Harus bisa mempraktekkannya dengan benar.
Pintu dibuka, mendapati Husna di sana sudah berganti baju. Mata mereka bertatapan dalam suasana yang begitu canggung. Kaki Yuno melangkah mendekat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
