Kami Tanpa Kamu bab 6-10

11
2
Deskripsi

"Ayah benci Elil, ya?" 

Bab 6

Langit sore menampilkan awan jingga, angin mengalir ringan menerpa rambut Hana ketika berbalik pergi meninggalkan dirinya. Wanita yang masih ada di dalam hati itu akan pergi kepada suaminya, tidak akan pergi bisa dia gapai sekalipun mencoba bersudut minta maaf.

"Lebaran nanti aku cuma pingin bakar ayam bareng kakak. Trus main kembang api."

Ungkapnya dulu, lebaran pertama yang mereka lalui. Rizal mengusap pucuk kepala Hana dengan lebut, mencondongkan tubuhnya menyeimbangkan wajah mereka. Lalu tersenyum.

"Aku akan membelikan kamu baju lebaran."

"Nggak usahlah, Kak. Mending uangnya disimpen atau nggak buat beli makanan."

"Itu udah aku siapin, pokoknya aku ingin membelikan baju lebaran buat kamu. Hijab yang cantik dan mukena."

"Mukena kayak seperangkat alat shalat aja. Hahaha."

Kalimat yang disangka candaan oleh Hana itu ternyata Rizal sungguh memberikan seperangkat alat shalat. Suatu hari nanti dia ingin menghalalkan Hana menjadi istri. Itu yang ada di pikiran Rizal.

Lebaran yang mereka lalui bersama 5 tahun lalu sangat berkesan, Hana ke masjid memakai mukena putih yang dia belikan. Baju baru berupa gamis berwarna merah muda yang cantik. Suatu hari dia ingin memakaikan hijab kepada Hana setelah menjadi istrinya.

Ntah bagaimana ceritanya dia menyerah mencari Hana setelah sukses, terlalu sulit sampai berpikir Hana tidak di Lampung lagi. Dia menyesal berhenti mencari dan ternyata Hana sudah menjadi milik orang lain.

"Ayah," panggil anak kecil itu. Menarik celana Afrizal.

"Namamu siapa?"

Pria itu berjongkok, menyeimbangkan tubuh dengan tinggi si balita.

"Elil," jawabnya sembari tersenyum. Sangat cantik mirip dengan Hana.

"Sekarang Om belum tahu kamu anaknya Om atau bukan, jadi jangan panggil Ayah. Nanti orang salah paham."

Wajah anak itu terlihat sedih, matanya berkaca-kaca. Sangat berbeda dengan wajah ceria ketika pertama kali mereka bertemu. Suasana menjadi hening dan rasa bersalah menyusup kedalam hatinya.

Mungkin, anak ini sudah menganggapnya ayah dan memang sangat ingin bertemu seperti perkataan Hana.

"Ayah benci Elil, ya?"

Pertanyaan itu membuat Rizal semakin merasa bersalah, disusul air mata balita yang mengalir. Menetes di bajunya yang kusut.

"Nggak, nggak gitu. Yaudahlah, panggil Ayah juga nggak papa. Ayo sekarang ikut Om, eh Ayah."

Mereka berjalan meninggalkan area mushola, membawa tas ransel milik Cheril ke kantor WterSun Group. Rizal harus mengambil tas kantor dan mengirim pesan ke Yuno tidak bisa menunggu hasil keputusan rapat.

Di kantor, suasana nampak berbeda. Banyak orang yang berbisik melihat Sekretaris pribadi Presdir membawa seorang balita.

Wajah Cheril tampak kagum melihat kemegahan gedung kantor, matanya melihat sekeliling sebelum mereka masuk ke dalam lift.

Mereka berpapasan dengan Marsha. Wanita cantik dengan pipi sedikit tembem itu melihat Rizal dengan terkejut.

"Adik manis ini siapa?"

Cheril menolak dipegang Marsha, malah bergelayut di kaki Rizal. Ketakutan. Sementara pria itu bingung mengatakan siapa Cheril.

"Ayah, Elil akut."

Mendengar itu Marsha tampak terkejut. "Eh, Ayah?"

"Maaf, kami harus pulang sekarang."

Pria itu berjalan melewati Marsha tanpa menjelaskan apapun. Segera mengambil barang-barangnya dengan cepat dan mengirim pesan ke Yuno. Mengeluarkan kunci mobilnya dan menggendong Cheril supaya lebih cepat meninggalkan kantor. Tidak tahan dengan bisakan orang.

"Mobil Ayah bagus." Anak itu menempelkan tangannya di kaca ketika Rizal memakaikan sabuk pengaman.

"Kamu sudah makan belum?"

Cheril menggeleng, tidak ada waktu untuk memberi anak ini makan. Rumah sakit akan segera tutup, jadi Rizal hanya mengeluarkan roti dari tasnya. Membukakan bungkus dan diberikan kepada Cheril.

"Makan ini dulu, nanti aku kasih makan yang bener."

Melihat roti diulurkan kepadanya, membuat mata bocah itu bersinar seperti tidak pernah makan roti sebelumnya. Dia duga anak itu sangat lapar.

"Asih Ayah." Roti segera diambil dan dimakan dengan lahap. Selainya sampai belepotan di bibir.

Rizal hanya menggelengkan kepala dan menghidupkan mesin mobil, segera ke rumah sakit untuk tes DNA. Dia harus tahu apakah anak ini hasil kesalahannya atau bukan.

Jika terbukti Cheril adalah anaknya, maka dosanya sangat besar karena meninggalkan mereka. Tidak bisa dibayangkan betapa menderitanya Hana menanggung semuanya sendirian selama ini.

Tapi, jika bukan. Berarti Hana telah menipunya. Untuk apa? Apa karena sekarang dia sudah sukses maka akan dimanfaatkan? Rizal tidak akan pernah memaafkan orang yang mempermainkan dirinya. Sekalipun itu Hana.

"Ayo turun," ucapnya ketika mobil berhenti di parkiran rumah sakit.

"Ayah, minum."

Dia tidak punya minum. "Nanti aku belikan minum."

Pintu mobil dibuka, mengeluarkan Cheril dari sana dan menggendong ke dalam. Mengelap bibir bocah itu yang belepotan.

"Elil suka digendong Ayah."

Bocah itu melingkarkan tangannya di leher Rizal. Tidak paham bahwa Rizal masih meragukannya. Belum mengakui bahwa Cheril putri. Wajah balita itu bersinar bahagia padahal hanya dia gendong.

Dalam hati Rizal masih berkata bahwa dia tidak mungkin berzina, mencium Hana saja tidak pernah. Dia begitu menjaga diri meskipun dekat. Sekalipun dalam pengaruh alkohol, tidak mungkin hilang kendali sepenuhnya. Apa mungkin Hana menjebaknya?

Segala proses dilakukan, perawat berkata bahwa hasil akan diketahui tiga minggu lagi. Rizal menggebrak meja, meminta hasil tes lebih cepat berapapun biayanya.

"Pokoknya saya minta secepatnya!"

"Tapi--"

"Anda bilang ke direktur atau saya hentikan pendanaan pada rumah sakit ini?" Ancamnya.

Urusan donatur adalah kuasanya, dia bebas memberikan donasi ke beberapa rumah sakit, panti asuhan dan panti jompo. Yuno sama sekali tidak mengurusi hal tersebut.

"Ayah malah ma Elil?" tanya bocah itu ketakutan.

Padahal tadi ketika darahnya diambil, bocah itu tidak mengeluh sedikitpun, hanya memejamkan mata seperti perkataan suster.

"Nggak, kamu jangan nangis. Malu sama orang." Rizal menurunkan oktaf nadanya lebih lembut.

Balita itu terlanjur mengeluarkan air mata, sesenggukan menahan tangis.

"Baiklah, Pak. Seminggu lagi insyaallah hasil tes sudah bisa keluar. Kami akan bekerja lebih cepat karena WterSun Group donatur terbesar rumah sakit ini."

Rizal berdiri, menggandeng Cheril yang menangis keluar dari ruangan tanpa berkata terima kasih. Wajahnya masam.

Anak itu masih sesenggukan ketika menuju KFC. Mereka harus makan sebelum magrib. Namun jika Cheril terus menangis seperti ini, Rizal ragu membawanya ke sana. Pasti menjadi pusat perhatian apalagi tempat ini tidak jauh dari kantor.

"Jangan nangis dong, kamu mau aku beliin apa?"

Rizal berjongkok, menyeimbangkan tubuh mereka, tepat di parkiran.

"Ayah jang ukul Elil."

"Aku tidak mungkin memukulmu."

Mendengar itu Cheril mengusap air matanya dengan tangan, dia masih sesenggukan. Padahal dia hanya menggebrak meja, tidak memukul orang. Sikap Cheril seperti anak yang sering mendapat pukulan.

"Janji?"

"Janji," jawab Rizal mengulurkan jari kelingkingnya. Disambut Cheril yang masih sesenggukan.

Kali ini Rizal berubah pikiran, dia harus memberikan makanan bergizi kepada anak kecil. Bukan makanan cepat saji.

Mereka kembali ke mobil, bersiap pulang ke rumah. Lebih baik memesan delivery. Lewat ponsel Rizal memesan beberapa menu, memilih steak sapi dan tumis sayur campur. Terlihat di gambar ada brokoli, udang dan lainnya. Setahunya itu cocok untuk gizi anak.

"Kamu kurus sekali, di rumahmu biasa makan apa?" tanya Rizal. Dia mulai menghidupkan mobil.

"Elil nggak punya lumah."

"Om Alik itu siapa?"

"Ayahnya dede."

Aneh, seharusnya Cheril memanggil ayah angkatnya bapak atau ayah atau papa. Bukan malah Om. Dan lagi menumpang? Tidak ada dalam keluarga kalimat menumpang meskipun mereka bukan kandung. 
 

❤️❤️❤️❤️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️❤️❤️❤️❤️

 

Bab 7

Hembusan angin menerpa wajahku, desirannya lembut dan ringan. Rasa dingin menyerang dari samping, aku merekatkan jaket. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah muatan pisang diturunkan dan mendapat bayaran, kami pulang ke Lampung.

Lampu Jakarta menyala terang seolah aktifitas terus berjalan meskipun tengah malam. Ingatanku terus tertuju pada kejadian tadi sore, Kak Afrizal tidak mengenaliku. Mungkin, dia memang sudah melupakan aku.

Dada ini terasa nyeri, hampir 5 tahun berlalu sejak terakhir bertemu. Dia juga sudah sukses, pasti banyak wanita yang mendekati. Jadi untuk apa mengingat orang sepertiku? Tentu saja dia lupa. Bodohnya aku berharap dia masih ingat kenangan kita.

"Cheril sudah ketemu Ayahnya, Han?"

"Udah, Bang."

"Apa ayahnya nerima dia?"

Aku tidak tahu apakah Kak Afrizal akan menerima Cheril atau tidak, kalau pria itu belum berubah maka Cheril akan tetap diperlukan dengan baik. Jika tidak... bagaimana?

"Aku cuma bisa berdoa, semoga ayahnya nerima Cheril setidaknya sampai lebaran."

"Pria yang udah ninggalin kamu pas hamil, tidak yakin bisa menerima anak itu. Apalagi Jakarta keras, bisa jadi Cheril malah ditelantarkan."

Tadi, aku memasukkan nomor telpon Mas Malik di ransel Cheril. Tertulis di sana jika Kak Afrizal tidak mau menerima Cheril maka aku minta menelpon nomor itu, biar aku jemput Cheril dari pada terlantar di Jakarta.

"Insyaallah nggak, Bang. Aku kasih nomor Mas Malik kalau dia tidak mau menerima Cheril. Nanti biar aku jemput Cheril lagi."

"Kamu ini hamil besar, wara-wiri ke Jakarta emang nggak takut kandunganmu kenapa-napa?"

"Takut sih, Bang. Tapi mau gimana lagi."

Benar, mau bagaimana? Aku sendirian menghadapi segalanya. Tidak ada yang menolong sekalipun sudah bersuami. Dari dulu memang seperti ini.

Andai orang tuaku masih hidup, apakah semua akan lebih baik? Ah, aku jadi meratapi nasib lagi. Padahal selama ini sudah mencoba tidak mengingat mereka.

"Walaupun Abang saudaranya Malik, tapi paham kalau dia bukan orang baik. Kamu hati-hati aja."

"Makasih, Bang."

Aku tahu Mas Malik bukan orang baik, gelagat jahatnya terlihat sejak aku hamil. Dia mengikatku lewat kehamilan ini dan menunjukkan sifat aslinya. Padahal dulu sebelum menikah Mas Malik menunjukkan kasih sayang kepada Cheril, membuatku berpikir bahwa ada harapan Cheril disayangi seorang ayah.

Meski ragu, aku tetap menerima lamaran Mas Malik. Apalagi Paman dan Bibi mendorongku supaya menerima lamarannya. Katanya tidak ada pria di dunia ini yang mau menerimaku yang punya anak di luar nikah.

"Apakah Cheril sekarang sudah tidur nyenyak dengan ayahnya?" gumamku sembari melihat ke samping.

Mobil masih melanju di jalan tol, sudah melewati Jakarta dan masuk ke daerah Banten.

Padahal baru beberapa jam berpisah, aku sudah merindukan Cheril, anak dengan senyum indah itu selalu menggandeng tanganku. Terlihat kuat menemani setiap penderitaan yang kami lalui.

Ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu, saat ciuman Kak Afrizal pertama kali dilayangkan. Badan besar dengan tenaga yang kuat. Sekeras apapun mencoba melawan aku tidak sanggup menandinginya.

"Aku mohon, jangan.... "

Aku berusaha melindungi bajuku yang hendak dia robek. Satu hal yang paling aku takuti saat itu, yakni membencinya. Orang yang aku cintai dengan sepenuh hati dan kuanggap bisa melindungi. Merampas hal paling berharga yang aku jaga.

"Kenapa, apa kamu tidak menyukaiku?" tanyanya sembari mengunci pergelangan tanganku ke atas. Membiarkan kancing bajuku lepas.

"Aku tidak ingin membencimu, Kak. Tolong jangan seperti ini. Aku tidak memiliki apapun selain kehormatan sebagai wanita. Tolong jangan rebut itu dariku."

Aku menangis kencang, mencoba melawan namun percuma. Dia tidak mendengarkan sama sekali. Setan sudah menguasainya, mengambil kehormatanku dengan paksa sampai terasa sangat sakit. Tidak hanya rasa sakit fisik akibat perbuatannya tapi juga sakit hati. Perasaanku sangat terluka melebihi apapun.

Setelah apa yang dia lakukan, aku merasa sangat trauma. Mengunci diri di dalam kamar mandi selama berjam-jam. Tubuhku kotor, semuanya kotor, tidak pantas wanita sepertiku hidup di dunia. Tidak ada yang kumiliki lagi.

"Kamu tidak tahu sama sekali seberapa sakitnya aku."

Sekali lagi aku melihat ke lampu-lampu, perumahan di Banten dekat dengan labuhan. Ingatan masih menerawang ke masa suram itu.

Aku menyalahkan diri sendiri, kenapa membawa Kak Afrizal ke kosan? Kenapa aku tidak kuat menghentikan perbuatannya? Kenapa semua terjadi padaku? Bahkan aku sempat menyalahkan Tuhan yang tidak pernah memberikan kebahagiaan.

Saat itu aku sempat depresi, merasa semuanya kotor, bahkan jika tidak dihentikan oleh Diandra maka rambutku sudah habis aku potong.  Bersyukur ada Diandra yang menemani hingga aku tidak sampai bunuh diri.

Beberapa waktu berlalu, Kak Afrizal pergi ke Jakarta. Mungkin dia melarikan diri. Tak apa, aku juga belum sanggup bertemu dia lagi.

Namun malangnya, satu bulan kemudian aku merasa mual dan pusing. Diandra menyarankan untuk mencoba tespek. Tanganku bergetar menguji alat pipih panjang itu di kamar mandi.

Dua garis merah yang tampak jelas membuat tubuhku lemas, benda itu jatuh ke lantai. Kebingungan melanda, jantung berdebar kencang. Umurku masih 18 tahun dan bisa kuliah dengan susah payah.

Aku menangis dalam keheningan, tidak tahu harus berbuat apa. Hamil tanpa suami, cemooh orang-orang. Saat itu aku hanya menyalahkan Kak Afrizal yang meninggalkan diriku dalam keadaan sulit. Tuhan sangat tidak adil hingga terus memberikan penderitaan bertubi-tubi.

"Gugurkan saja, aku pinjami uang." Usul Diandra.

Aku hanya bisa menangis, tidak tahu harus bagaimana. Dalam pelukan Diandra, meluapkan segala rasa. Di dalam perutku sudah ada nyawa, anaknya Kak Afrizal. Bagaimana bisa aku membunuhnya?

"Tolong bantu nyari Kak Afrizal." Aku mengusap air mataku yang terus mengalir deras.

Dibantu Diandra, kami mencari dengan bertanya ke semua orang. Mencari nomor yang bisa dihubungi. Tapi sikap Kak Afrizal yang tertutup ditambah tidak memiliki teman membuat semuanya sangat sulit. Hanya satu yang aku tahu, bahwa dia ingin sekali kuliah S2 dan bekerja di Jakarta.

Tapi, Jakarta itu luas. Aku tidak ada biaya untuk menelusuri jejak Kak Afrizal di Jakarta.

"Sudahlah, gugurkan saja. Aku ada dua juta. Kamu pakai dulu nggak papa, bisa diganti kalau keadaanmu lebih baik." Diandra masih mengusulkan hal yang sama.

Aku pernah kehilangan keluarga, diabaikan Paman dan Bibi. Aku satu-satunya keluarga bayi ini setelah ditinggal ayahnya, Kak Afrizal. Apakah aku tega membuang dia dan tidak memberi kesempatan hidup?

"Aku nggak bisa, aku nggak tega. Bunuh bayi itu dosa. Aku takut."

Aku menangis kencang sembari jongkok.

"Terus kamu mau putus kuliah? Mau jadi apa kamu nanti? Sudah hamil di luar nikah dan miskin kayak gini."

Perkataan Diandra membuatku semakin kencang menangis, dari dulu hidupku memang sulit. Tidak pernah bahagia. Bayi ini memang salah satu dari sekian kesulitan. Mungkin, sekeras apapun aku mencoba keluar dari penderitaan memang tidak akan pernah berhasil.

"Aku akan putus kuliah dan merawat anak ini."

Keputusan yang membuat hidupku semakin berantakan. Diandra berbalik. Aku bisa melihat dia menghapus air matanya. 

 

⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️

 

Bab 8

Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?

Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna.

Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku.

"Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin."

Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar.

"Nggak papa, Bang. Aku di luar saja."

Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelikan bensin atau makan sedikitpun. Setidaknya rokok satu bungkus ingin kuberi.

"Sudahlah, nggak papa. Sekalian Abang istirahat juga. Ayo."

Bang Anton mendorongku supaya naik tangga, tanpa bisa menolak aku menurut. Masuk ke ruangan setelah Bang Anton membayar, terlihat banyak orang yang sudah tidur.

Aku diberikan bantal yang disewa seharga 5 ribu. Tidak bisa tidur dengan nyenyak karena kondisi kehamilan yang semakin besar. Miring salah telentang juga salah.

Mungkin karena terganggu aku ganti posisi terus, Bang Anton memberikan bantalnya. Diletakkan di perutku yang miring supaya lebih nyaman.

"Nggak usah, Bang."

"Nggak papa. Mirna juga sulit tidur waktu hamil besar."

Dia berbaring lagi setelah melepaskan jaket, membuntal dan diletakkan di kepala. Tidur dengan bantal dari jaket.

Masih ada orang baik di dunia ini, aku memakai bantal yang diberikan dan memang rasanya jauh lebih nyaman. Kapal terus melaju ke arah Bakauheni.

Paman dan bibi tidak menerima Cheril, kehamilan yang membuat mereka malu. Sepupuku juga sama saja. Mereka menghina dan menyuruh supaya aku diusir. Tanpa diminta pun aku pergi, meninggalkan mereka kembali ke kosan.

"Ada aku, kamu tidak perlu khawatir."

Satu-satunya orang yang ada di pihakku hanya Diandra, tanpa imbalan apapun bersedia menemani di setiap masa sulit. Sahabat yang sudah membuatku merasa masih ada hal baik di kehidupanku ini, yakni bertemu sahabat seperti Diandra.

Menginjak usia kehamilan ke delapan, aku masih bisa bekerja. Di restoran sebagai tukang cuci piring. Malamnya bekerja sebagai buruh cuci warga sekitar kosan. Mengumpulkan uang supaya bisa tenang tanpa takut kelaparan saat melahirkan, juga biaya persalinan yang terbilang besar.

Mendekati bulan ke 9, Diandra terus berada di sisiku. Menjagaku dengan baik sampai merasa bahwa dunia ini tidak seburuk itu.

"Ini aku beliin susu ibu hamil."

"Kamu ini kan udah kubilang nggak perlu. Tapi selalu aja beliin. Kamu sendiri kan juga butuh uang."

Aku tidak sanggup membeli susu, sayang uangnya juga. Harus irit selama hamil supaya uang tabungan cukup untuk biaya persalinan. Diandra tahu betul apa yang ada di pikiranku. Dia berisiatif sendiri membelikan susu tanpa mau dicegah.

"Buat ponakan tercinta apa sih yang nggak." Diandra mengelus perutku.

Hanya dia, sahabat yang sangat aku sayangi. Orang yang menerima aku apa adanya.

Malam ketika hujan lebat, aku merasa akan melahirkan. Membangunkan Diandra yang memang siap siaga. Bersusah payah membawaku ke bidan di tengah hujan.

Rasa sakit yang tidak akan pernah aku lupakan, menyusahkan Diandra yang meminjam becak untuk membawaku di tengah hujan.

Memang hanya berjarak 10 menit dari kosan, becak milik tetangga pun Diandra ambil. Mendorongku hingga sampai ke bidan dengan tubuh kecilnya yang basah kuyup.

Di antara rasa sakit yang tiada tara, aku masih berharap Kak Afrizal datang. Menemaniku melahirkan bayinya.

"Aku keluar dulu, bajuku basah kuyup nggak boleh di sini. Kamu yang kuat ya?"

"Makasih, Din." Aku menjawab sembari mengangguk.

Ingatanku terus berputar pada kenangan ayah dari bayi yang akan lahir ini, kalimatnya yang halus dan penuh perhatian seakan tidak akan pernah meninggalkan diriku sendirian. Sekarang dia meninggal diriku yang kesakitan melahirkan anaknya. Berjuang antara hidup dan mati.

"Tarik napas dan coba dorong bayinya." Bu Bidan memberi aba-aba.

Keringat yang bercucuran di pelipis, tubuhku sangat kelelahan sekuat tenaga mencoba mengeluarkan bayi ini dari perut. Rasa sakit sampai membuat kepalaku nyeri.

Air mataku menetes, tidak ada waktu untuk bersedih.

"Kepalanya sudah terlihat, ayo dorong lagi."

Bayi yang tidak kuingkan lahir ke dunia. Ikut serta dalam luka. Tanpa memiliki seorang ayah yang mengazani. Aku sebagai ibu tunggal akan merawatnya. Bayi perempuan yang sehat, anak kak Afrizal. Kuberi nama Cheril Lisyana. Anak yang sekarang sudah bertemu dengan ayahnya.

Tanpa sadar waktu sudah hampir pagi, kapal akan menepi di labuhan. Aku keluar meninggalkan ruangan. Hanya tidur setengah jam.

Waktu sudah menunjukkan waktu subuh, aku mencari mushola dan shalat di sana. Setelah itu baru keluar dan menunggu matahari muncul.

Lautan biru mulai terlihat di antara matahari yang baru saja terbit. Bersinar terang sampai menimbulkan silau. Aku mengusap perutku yang buncit. Berbeda dengan Cheril, anak ini memiliki ayah yang akan menemaniku melahirkan. Mengazani dan menyayanginya.

"Hana, ayo masuk mobil."

Bang Anton keluar dari kamar mandi, wajahnya basah dengan air menetes.

"Iya, Bang."

Perjalanan dilanjutkan menuju Bandar Lampung. Kembali ke rumah pengap dengan suami dan ibu mertua. Sebenarnya Mas Malik punya ayah, tapi sekarang sedang di Malaysia untuk mengurus sesuatu. Aku sendiri hanya beberapa kali bertemu beliau selama menikah.

Sesampainya di rumah sudah disambut wajah masam ibu mertua. Menyindir habis-habisan.

"Enak ya habis jalan-jalan ketemu mantan."

"Setelah mengantar Cheril ketemu ayahnya, Hana langsung pulang, Bu."

"Halah alasan aja."

Lagi pula, percuma dijelaskan. Biarkan saja beliau bicara apa. Rumah ini terasa hening tidak ada Cheril.

Semoga Cheril sekarang bahagia bersama ayahnya. Aku membersihkan dapur sembari terus memikirkan Cheril.

"Besok kamu bersiap, kita akan membelikan perlengkapan bayi."

Mas Malik baru pulang kerja. Meletakkan rompinya di meja makan. Melewatiku untuk mencuci tangan.

Aku tersenyum, akhirnya kebahagiaanku akan datang. Benar bahwa Mas Malik tetap menyayangi anak ini di balik sikapnya yang selalu judes.

Sepertinya ramadhan tahun ini akan menjadi hal baik untukku dan Cheril. Aku tersenyum ke samping, melihat wajah suamiku yang mulai perhatian.

"Iya, Mas. Besok pagi kita belanja perlengkapan bayi bareng."

Mas Malik tidak mempedulikan ucapku, dia terus menggosok tangannya yang kotor menggunakan sabun. 

 

💕💕💕❤️❤️❤️❤️❤️❤️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️💕💕❤️

 

Bab 9

 

Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring.

Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging.

Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya.

"Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor.

Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial.

"Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam."

Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa.

"Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ayah. Elil anak halam, Cila bukan anak halam."

"Jadi, kalo Elil digendong Ayah, Elil bukan anak halam lagi?"

Zila mengangguk dengan pasti, meyakinkan Cheril supaya bisa digendong ayahnya.

Setelah menangkap obrolan dengan Zila, Cheril mendekati Malik. Mengambilkan sepatunya setiap kali mau berangkat kerja. Selalu berusaha dekat hingga suatu hari bisa minta digendong. Dulu, kata Malik sebelum menikah dengan ibunya, Malik akan menjadi ayah Cheril.

Namun, setelah menikah malah tidak mau dipanggil Ayah. Kalimatnya selalu kasar dan pedas. Membentak sampai memukul.

"Kamu mau apa? Hah?" tanya Malik keras ketika Cheril terus mendekatinya.

Selama memakai sepatu, Cheril terus berada di sampingnya. Kepala bocah itu menunduk malu.

"Elil ngin digendong Om Alik."

"Jangan mimpi!" Malik berdiri. Mendorong Cheril hingga terjatuh lalu berjalan melewatinya. "Aku ini bukan ayahmu! Ingat itu!"

Keinginan kecil yang tidak sampai, dorongan kasar sampai punggungnya sakit. Dan harapan yang pupus. Cheril menangis kencang sampai membuat ibunya lari dari dapur ke teras depan.

"Ada apa ini?"

"Ajari anak harammu itu, jangan dekat-dekat denganku! Apalagi minta digendong, memang dia pikir aku ayahnya?!"

Malik mengambil rompi dan kunci motor, menatap Hana yang memeluk Cheril. Bocah itu masih menangis kencang dengan posisi duduk.

"Kalau nggak mau gendong Cheril, ya udah. Tapi nggak usah kasar."

"Kamu berani, ya sekarang?!" Bentak Malik sembari menyabetkan rompinya pada tubuh Hana.

Wanita itu melindungi Cheril dengan mendekapnya erat. Kepalanya disabet baju rompi beberapa kali hingga terasa ada luka.

Sejak saat itu, Cheril tidak pernah berharap apapun lagi kepada Malik untuk bisa menjadi ayahnya. Bahkan harapan memiliki ayah sudah pupus, dia terima saja dibilang anak haram. Karena nyatanya memang tidak pernah digendong Ayah.

"Cheril bukan anak haram, Cheril anak yang suci sejak lahir."

"Tapi Elil nggak punya ayah, Bu."

Hana menghapus air matanya yang mengalir, sejak tahu tidak bisa mengharapkan apapun dari Malik. Cheril terus menerus sedih dan melamun.

"Cheril punya Ayah, suatu hari nanti Cheril bakal ketemu sama ayah."

"Ayah Cheril kayak Om Alik?"

Hana menggeleng, dia mengusap pucuk kepala anaknya dengan lembut.

"Ayahnya Cheril orang baik, dia bakal sayang sama Cheril."

Dari cerita ibunya, Cheril mulai membangun imajinasi sendiri tentang ayah. Setiap malam bertanya bagaimana wajah ayahnya, apa kesukaan ayah dan apa yang tidak disukai ayah. Semua ditanyakan untuk memuaskan rasa penasaran tentang ayah yang tidak pernah dia jumpai.

Dan, tadi sore. Keinginan terwujud. Bertemu ayah dan digendong. Harapan yang sejak dulu hanya berada di angan kini menjadi kenyataan.

"Kamu bisa makan sendiri, 'kan?" tanya Rizal sembari duduk.

Balita itu mengangguk, punggung tangannya membenarkan anak rambut yang menutupi matanya. Air liur hampir menetes, namun Cheril belum mengambil makanan apapun. Takut Rizal marah. Kalau di rumah, ibunya selalu bilang jangan mengambil makanan apapun sebelum disuruh.

"Elil boleh maem, Yah?" tanya bocah itu ragu.

"Iya cepat makan, habiskan."

Rizal mendorong steak yang sudah dia iris kecil, tepat berada di depan Cheril.

"Elil boleh maem banyak, Yah?" tanya bocah itu lagi dengan mata berbinar.

"Iya, makan sepuas kamu. Ini sayurannya juga dimakan."

Selama tinggal bersama ibunya, bocah itu jarang sekali makan daging. Pernah beberapa kali ibunya sengaja menyembunyikan potongan kecil daging di baju, lalu diberikan kepada Cheril. Meminta anak itu makan di kamar mandi supaya nenek dan ayah tirinya tidak tahu.

Meski kamar mandi bau, bocah itu tetap menikmati daging yang diberikan ibunya. Katanya supaya dia tidak kurus kering.

Dengan memakai garpu Cheril mengambil potongan steak, tanpa mengoleskan ke saos dia memakan steak sapi yang terasa kenyal dan enaknya lumer di mulut.

"Enak, Yah." Wajah balita itu berbinar. Sangat menikmati makanan enak yang baru pertama kali dimakan.

Rizal hanya mengangguk, dia mengambil steaknya dan makan sendiri. Sesekali melirik Cheril yang makan dengan lahap dan sangat cepat.

"Pelan-pelan saja," ucapnya. Berusaha membuat anak itu makan hati-hati.

Memang seperti anak kelaparan yang tidak pernah diberi makan, Cheril tak mengindahkan peringatan Rizal. Terus makan dengan mata berbinar. Daging pertama dari ayahnya sangat enak.

Biasanya dia hanya kebagian ceker sisa, atau paling beberapa bulan sekali ibunya menyelipkan secuil daging untuk dirinya. Cheril tidak pernah makan daging seenak dan sebanyak saat ini.

"Sayurannya juga dimakan." Rizal memberikan brokoli ke piring Cheril.

Anak itu makan dengan sangat lahap hingga mampu membuat Rizal kenyang hanya dengan melihatnya. Belepotan ke pipi.

Azan magrib sudah terdengar satu jam lalu, sebelum makan Rizal shalat Magrib lebih dulu. Belum mandi dan memandikan Cheril.

Ah, pria itu bingung cara memandikan anak kecil. Terlebih perempuan, sangat canggung.

Setelah makan Rizal mencuci piring, Cheril dengan kaki kecilnya berjinjit berusaha meraih piring. Membantu seperti biasanya. Rizal menoleh ke bawah, melihat anak yang kesusahan meraih piring.

"Kamu mau apa?" tanyanya.

"Bantu Ayah."

"Nggak usah," ucap Rizal.

Dia menaruh sarung tangan dan mengangkat Cheril supaya duduk kembali di kursi meja makan. Mengambil anggur dari kulkas. Diletakkan di depan bocah itu supaya tenang dan makan pencuci mulut.

"Elil boleh maem ni?" tanyanya bingung.

"Iyalah, kan sudah Om taruh di situ. Eh, Ayah taruh. Makan saja itu dan jangan mendekat ke sini. Nanti kejatuhan piring."

Buah anggur terlihat sangat menggoda, besar dan berwarna ungu mengkilap. Belum pernah Cheril makan anggur, hanya melihat dari jauh ketika Zila makan bersama nenek.

Dia mengambil buah itu, dimakan dengan hati-hati. Rasa manisnya lumer di mulut hingga bocah itu terkejut.

Sarung tangan dilepaskan ketika Rizal selesai mencuci piring. Berbalik melihat bocah yang terlihat kagum dengan rasa manis dari anggur. Di sudut bibirnya tersenyum. Teringat kepada ibu bocah itu yang bereaksi sama.

Steak yang dia beli dari restoran untuk Hana, wajah gadis yang belum pernah merasakan enaknya steak. Sangat mirip dengan ekspresi Cheril sekarang. 

 

⚔️⚔️⚔️💕💕💕💕💕💕💕💕⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️

 

Bab 10

Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh.

"Elil kenyang, Yah."

"Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi."

TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses.

Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi.

"Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.

Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus.

"Ya ampun, lupa."

Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.

"Ayo mandi," ucapnya. Menyuruh Cheril mengikuti.

Kaki kecil itu berjalan di belakang, berlari kecil mengimbangi langkah ayahnya yang panjang. Menuju kamar, Rizal menaruh tas ransel Cheril di sana.

Bocah itu kagum melihat kamar yang luas dan kasur empuk, kasur yang tingginya sedadanya. Ia menggaruk kepala, gatal dan lengket.

"Sini," panggil Rizal. Menarik tangan Cheril untuk berdiri di depannya. Ingin mencopot ikat ramput yang sudah berantakan.

"Akit, Yah." Keluh Cheril ketika Rizal mencoba menarik karet gelang dari rambut Cheril.

"Ibumu ini gimana, masak ngucir pake karet gelang."

Pandangan mata Rizal masih fokus ke ikatan rambut yang semakin menggumpal, sulit dilepaskan. Satu persatu helain rambut berusaha dilepaskan dengan hati-hati supaya Cheril tidak kesakitan.

"Bu nggak da uang buat beli, Yah."

"Masak cuma beli ikat rambut aja nggak ada uang?"

Karet gelang sudah terlepas, rambut Cheril terurai. Sedikit bergelombang akibat bekas kuciran. Balita itu menggelengkan kepalanya.

"Nggak da uang."

"Om Alik kerja apa sampai kalian nggak ada uang."

"Om Alik da uang Ibu nggak da uang nenek da uang."

Rizal berkerut kening, kurang paham maksud perkataan Cheril. Dia meraih tas ransel milik Cheril, dibuka tas itu di tas kasur.

Ada kertas di sana, buru-buru Rizal baca.

Assalamualaikum. Kak Afrizal.

Aku Hana. 
Aku minta tolong terima Cheril sampai lebaran, dia sangat merindukan ayahnya. Beri makanan yang enak dan pakaian yang layak selama kalian bersama. Itu sudah cukup membuat dia bahagia dan mengenang ayahnya sebagai orang yang baik.

Aku tahu kakak sudah sukses dan mungkin kehadiran Cheril akan mengganggu. Aku tidak bisa memaksa. Kalau kakak tidak mau memenuhi permintaanku, tolong hubungi nomor suamiku atau antarkan Cheril ke Lampung. Alamat dan nomor telepon aku tulis di bagian belakang surat.

Wassalamu'alaikum.

Surat itu dibalik, ada nomor telepon dengan nama Malik dan alamat rumah di Telukbetung, Bandar Lampung. Padahal Hana tidak jauh dari UNILA. Tapi kenapa pencariannya tidak membuahkan hasil sama sekali? Apakah selama menikah Hana tidak pernah keluar rumah?

Saat dia mencari memang dua tahun yang lalu, katanya Hana tidak berada di Bandar Lampung dan pulang ke rumah paman bibinya. Rizal tak tahu sama sekali rumah paman bibi Hana. Tidak disangka wanita itu kembali lagi Bandar Lampung.

Rizal memotret alamat yang diberikan untuk dikirim ke Dimas, kepala kepolisian yang merupakan teman dekatnya. Minta diselidiki perihal Hana dan Malik. Tak lupa juga asal usul Cheril.

"Yah, mandi."

"Oh, iya."

Rizal meletakkan surat dari Hana dan ponselnya, berganti mengambil pakaian di dalam ransel. Semuanya pakaian buruk yang lebih cocok untuk lap atau dibuang. Benar ini pakaian Cheril?

"Kenapa bajumu lusuh semua seperti ini?"

Pakaian itu dikeluarkan semuanya, tidak ada satupun yang menurutnya pantas dipakai Cheril. Jatuh ke lantai dan bocah itu punguti.

"Ini baju Elil bekas Cila. Jangan dibuang, nanti Elil nggak punya baju." Baju yang tadi dipunguti bocah itu kembalikan ke dalam tas.

"Jadi ini baju bekas?" tanyanya.

Bocah itu mengangguk sembari membenarkan anak rambut yang menutupi matanya.

"Nanti Om belikan baju baru yang bagus. Pokoknya pakaian ini buang saja semua."

Rizal menelpon anak buahnya, minta dibelikan baju anak kisaran umur 4 tahun yang nyaman. Tiga stel dan harus diantar sekarang juga.

Sekarang masih pukul sembilan malam, kemungkinan masih ada toko yang buka. Besok hari jumat dan di kantor ada rapat, belum bisa ke mall membelikan baju untuk Cheril. Kemungkinan bisa di hari Sabtu, jadi untuk sementara memakai baju yang dipilihkan anak buahnya.

"Sekarang ayo mandi," ucap Rizal menggandeng tangan Cheril ke kamar mandi.

Rasanya canggung memandikan anak perempuan, jadi Rizal hanya menunjukkan alat-alat mandi. Rupaya Cheril tidak bisa memakai shower. Alhasil Rizal menaruh air hangat di bathtub. Memintanya cepat mandi. Dia akan menunggu di luar.

Rizal menyuruh Cheril memakai pakaian sendiri, meninggalkan anak itu di dalam kamar setelah mandi. Menyuruh tidur tanpa ditemani.

"Yah, Elil takut tidul cendili."

"Nggak ada apa-apa di sini, lampunya ngga dimatiin. Aku belum mandi, besok pagi harus kerja. Kamu cepet tidur dan jangan rewel."

Rizal meninggalkan Cheril di dalam kamar sendirian, wajah bocah itu memelas ingin ditemani. Namun Rizal tetap menutup pintunya tanpa memberikan belas kasih.

Baginya memberikan makan dan pakaian sudah lebih dari cukup, seperti permintaan Hana. Dia belum bisa menganggap Cheril anaknya. Bagaimana bisa dia memiliki anak jika tidak ingat pembuatannya?

Pagi buta suara air kran di tempat cuci piring terdengar, dengan mata berat Rizal ke dapur. Melihat Cheril membasahi kain lap dengan air.

Sembari mengucek matanya Rizal bertanya, "kamu sedang apa? Kok jam segini udah bangun?"

"Elil belsih-belsih lumah."

"Buat apa? Siapa yang nyuruh? Hoam...." Rizal masih mengumpulkan nyawanya.

"Kalau nggak belsih-belsih lumah nanti Elil nggak boleh maem."

"Eh?" Rizal terkejut. "Siapa yang bilang kayak gitu? Apa ibumu nyuruh kamu kerja?"

Rizal jongkok, menyeimbangkan tubuh dengan Cheril. Bocah itu menggeleng.

"Kata nenek, kalo Elil ma Ibu nggak belesin lumah. Nggak boleh maem."

Rizal menelengkan kepalanya, kurang paham perkataan Cheril. Tapi melihat anak ini seperti kurang makan, mungkin saja memang dia dan ibunya hidup susah.

Sekarang masih pukul lima pagi, azan subuh baru terdengar beberapa menit lalu. Rizal mengambil kain lap Cheril dan mengangkat bocah itu menuju kamarnya.

"Nggak usah bersih-bersih, kamu bakal aku tetap kasih makan. Sekarang tidur lagi sana, nanti jam tujuh aku bangunin."

Rizal memasukkan Cheril ke kamar dan menurunkan tepat di ranjang. Dia menguap lagi sembari berbelik. Harus solat subuh dan mungkin masih bisa tidur satu jam lagi.

Hari jumat seperti biasa, Bi Sarah datang untuk membersihkan apartemen, terkejut dengan kehadiran Cheril. Dengan susah payah Rizal menjelaskan siapa Cheril dan kenapa ada di sini.

"Hari ini tolong titip anak ini ya, Bi. Saya harus lembur di kantor."

Rizal mengambil roti bakar yang disiapkan Bi Sarah, langsung digigit sembari berjalan memakai jas.

"Jam berapa Tuan pulang?"

"Mungkin jam dua belas malam, jangan tungguin. Urus aja anak itu dengan baik nanti kukasih gaji dua kali lipat."

Ketika memakai sepatu, Cheril berlari ke Rizal. Menarik jasnya, tidak mau ditinggal. Sudah jauh-jauh ke Jakarta ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya. Bukan orang lain.

Mata bocah itu berkaca-kaca. "Ayah jangan pelgi."

"Aku harus kerja, kamu di rumah aja sama Bi Sarah. Besok kita ke mall beliin kamu pakaian. Oke?"

"Ayah nggak akan tinggalin Elil, 'kan?"

"Nggaklah. Kan kamu di rumahku, gimana aku bisa pergi? Udah jangan rewel dan main aja sama Bi Sarah."

Rizal pergi sembari melepas tangan Cheril dari jasnya. Meninggalkan bocah yang menatap nanar kepergian ayahnya. Cheril masih berharap Rizal mau berbalik dan menghabiskan waktu bersama.

"Nggak papa, Non. Tadi kan Tuan bilang kalau besok kalian akan ke mall. Jalan-jalan bareng, pasti seru." Bi Sarah menunduk, memegang bahu balita itu dan menghapus air matanya yang mengalir di sudut.

"Elil main sama Ayah?"

"Iya, besok kalian bakal main bareng. Jadi jangan sedih dan biarin Ayah Non Cheril kerja. Cari uang buat main besok. Sekarang ayo sarapan," ucap Bi Sarah.

Bocah itu mengangguk dengan semangat. Berharap hari esok segera datang.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Kami Tanpa Kamu
Selanjutnya Kami Tanpa Kamu bab 11-15
14
3
Nggaklah! Mana mungkin aku berzina dan punya anak haram! Bentaknya. Emosi.Wajah Cheril sepenuhnya berubah, dia berbalik. Melangkah menuju Rizal dan memegang ujung bajunya. Mendongak ke atas melihat ke ayah yang telah mengucapkan kata 'anak haram'.Elil bukan anak halam, Yah. Sekalang Elil punya ayah telus udah pelnah digendong Ayah. Elil bukan anak halam lagi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan