
Lima tahun lalu Hana dinodai Rizal, sahabatnya yang mabuk hingga hamil. Ketika menginginkan pertanggungjawaban Rizal, pria itu sudah pergi.
Beberapa tahun kemudian Hana dijodohkan dengan Pria lain, sayangnya pria itu selalu menyiksa Cheril, putrinya yang baru berusia 4 tahun. Ia yang hamil anak kedua tidak bisa melindungi putrinya lagi.
Tanpa disangka Hana melihat Rizal sudah sukses, Hana pun mengantar Cheril ke rumah Rizal untuk tinggal selama satu bulan sampai ia melahirkan.
Akankah Rizal yang tidak tahu memiliki anak akan menerima Cheril?
Bab 1
"Ibu, Elil laper." Ungkap bocah itu sembari memegang perutnya.
Aku menatapnya dengan iba, merasa bersalah telah membuat anak yang sebentar lagi berusia 4 tahun berada di situasi ini. Dia yang seharusnya merasakan masa kecil dengan penuh kebahagiaan malah harus menderita bersamaku.
Cucian baju masih banyak, ibu mertua tidak akan memberi makan kami jika belum menyelesaikan semua pekerjaan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, akibat kehamilan yang memasuki usia 8 bulan setengah membuatku tidak segesit dulu. Kami pun jadi sering kelaparan.
Padahal sebentar lagi bulan ramadhan, kandungan yang besar pasti semakin membuatku kewalahan. Aku akan sulit mendapat jatah makan untuk Cheril. Apakah aku harus menyuruh Cheril puasa supaya tidak merengek minta makan?
"Sabar ya sayang, Ibu beresin ini dulu."
Cheril duduk di pojokan dengan wajah murung, terlihat lemas dan kurang nutrisi. Tubuhnya kurus meski dalam masa pertumbuhan.
Pintu kamar mandi dibuka dengan keras, terlihat Mas Malik melotot ke arah kami.
"Kamu lama banget nyucinya, jam segini belom selesai!"
"Anu, Mas. Soalnya aku hamil besar jadi susah buat jalan."
"Alasan aja, cepat selesaikan dan lap meja makan."
Pintu hendak ditutup kembali namun aku segera menahan pintu itu supaya tidak tertutup. "Mas, bisakah kasih makan ke Cheril. Kasihan dia kelaparan."
Cheril melihat ke kami dengan penuh harap, wajah kelaparan itu hanya menginginkan nasi kering seperti biasa, tanpa lauk pun tak masalah. Asalkan perutnya kenyang.
"Jangan harap, selesaikan dulu pekerjaan baru kalian boleh makan."
Pintu kamar mandi ditutup dengan keras hingga membuat wajah Cheril sedih. Tidak hanya Cheril, aku sebagai ibunya lebih tersayat.
Merasa bersalah telah melahirkan Cheril dan membuatnya dalam kondisi seperti ini. Air mataku menetes begitu saja ke dalam ember berisi pakaian. Kembali mencuci, jangan menangis, aku harus segera memberi makan anakku.
"Ibu jangan nangis, Elil bisa nahan lapel."
Ntah sejak kapan Cheril sudah berada di sampingku, tangan kecil itu mengusap air mata di pipiku. Padahal biasanya aku tidak pernah menangis di depannya. Menyimpan sendiri rasa sakit yang menyayat.
"Maafin Ibu, ya. Ibu bakal cepat selesaikan ini supaya Cheril bisa makan."
"Elil bantu ya, Bu."
Dengan tangan kecilnya Cheril mengambil air dari bak menggunakan gayung. Aku takut dia pingsan karena lapar. Tidak kusangka Cheril lebih kuat dari yang kubayangkan.
Pernah berkali-kali aku menyesal melahirkan dia, bukan tidak sayang. Tapi membuat dia ikut merasakan kesulitan hidupku terasa lebih jahat dibandingkan membunuhnya ketika janin.
Sekitar 5 tahun lalu ketika aku barusia 18 tahun. Aku jatuh cinta kepada senior. Afrizal Ghurafa, ayah kandung Cheril. Orang yang bahkan tidak tahu Cheril ada di dunia.
Rasa peduli dan cinta itu membuatku bodoh, menolong dia ketika mabuk. Membawanya ke kosan, tidak sanggup melawan ketika dia mengambil kehormatanku. Kupikir, dia adalah orang yang bertanggung jawab. Bukan malah menghilang setelah mengambil satu-satunya harga diri yang aku miliki. Membuatku mengandung anaknya di tengah kesulitan.
Aku hanyalah anak yatim piatu yang hidup bersama bibi dan paman yang tidak pernah memberi kasih sayang. Hidupku sudah sulit malah menghadirkan Cheril ke dunia yang tidak bersahabat ini.
Satu tahun lalu, Paman dan Bibi memaksaku untuk menikah dengan Mas Malik. Orang yang katanya bisa menerima aku dan Cheril apa adanya. Kupikir Cheril memang butuh sosok ayah dan aku juga perlu pendamping hidup. Tidak menyangka bahwa pernikahan ini malah membuat kami semakin menderita.
"Udah selesai, ayo kita makan."
"Yeey makan."
Cheril bersorak di antara kegetiran hatiku, kami ke dapur. Memberikan makan untuk Cheril sementara aku mengelap meja makan dan membersihkan dapur. Anak itu terlihat lahap menikmati nasi dan lauk sisa selaman. Tidak memedulikan bahwa sayur kacang itu hanyalah sisaan. Dia tidak protes sedikitpun.
Mungkin Cheril sadar diri, kami hanya menumpang di rumah ini. Sejak kecil Cheril sudah diperlakukan tidak baik oleh paman dan bibi. Kupikir setelah menikah keadaan kami akan lebih baik. Tapi ternyata sama saja.
Aku pernah kabur dengan Cheril, tapi lulusan SMA sepertiku tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Biaya hidup di Bandar Lampung juga tinggi, kalau ke kota lain juga sama saja. Membawa balita yang belum bisa ditinggal sangat sulit. Akhirnya kami kembali ke rumah paman dan bibi.
Setelah melahirkan aku ingin minta cerai. Tidak tahan diperlakukan seperti ini terus. Masalahnya aku tidak memiliki uang. Bagaimana menghidupi dua anakku yang masih kecil?
"Bu, yo maem."
Cheril menunjukkan nasi di tangannya, kaki kecil itu bergoyang di kursi. Aku mengangguk, dari kecil aku sudah terbiasa menahan lapar. Tidak menyangka bahwa anakku juga mengalami hal yang sama.
Setelah membereskan semuanya aku mengambil makan, jam segini Mas Malik sudah berangkat kerja di proyek bangunan. Dia adalah seorang mandor. Sementara ibu mertua pasti sedang ghibah dengan tetangga.
Mas Malik punya kakak perempuan, sering ke sini minta uang padahal sudah berumah tangga. Tidak berbeda dengan mereka. Mbak Tara juga memperlakukan diriku seperti orang tidak berharga.
"Cheril sudah kenyang?" tanyaku.
"Dah, Bu."
Anak itu mengangguk, rambutnya yang sebahu terurai. Aku menaruh piring sembari mengambil karet gelang. Mengucir rambutnya dengan karet gelang bekas ikat kangkung.
Andai aku bisa memberikan kehidupan yang lebih layak, pasti Cheril tumbuh tanpa keprihatinan seperti ini. Bajunya sangat lusuh, bekas dari anak Mbak Tara. Pertumbuhan yang cepat menginjak usia ke tiga membuat bajunya tidak muat lagi, sementara aku tidak memiliki uang untuk membelikan baju.
"Elil mau bantu ibu masak." Cheril menoleh ke belakang, wajahnya tersenyum.
"Makasih sayang."
Tumbuh dengan ibu yang payah sepertiku membuat Cheril tidak pernah minta apapun selain makan, kadang aku merasa miris sendiri ketika melihat anak lain bisa mainan boneka. Cheril hanya melihat tanpa pernah meminta. Dia sadar bahwa ibunya tidak bisa membelikan.
Aku sangat egois melahirkan Cheril ke dunia ini untuk menemaniku menderita, dia bukan kesalahan tapi anugrah yang Tuhan berikan supaya aku mau melanjutkan hidup.
"Elil bantu lap kulsi ya, Bu."
Suara pintu depan dibuka, ibu mertua datang dengan bunyi kerincing dari gelang emas yang memenuhi tangannya. Melotot ke arahku dan Cheril.
"Udah jam sebelas baru beresan, cepet masak buat makan siang. Nanti Tara dan suaminya dateng."
"Baik, Bu."
Heran dengan Ibu mertua, padahal suami Mbak Tara hanya memoroti keluarga ini. Sering meminjam uang dengan dalih untuk investasi. Aku yang selama bertahun-tahun mempelajari saham tahu bahwa dia berbohong.
Sudah aku peringatkan Mas Malik supaya tidak tertipu tapi tidak pernah didengar. Ibu mertua juga sama saja tidak mendengarkan nasihatku. Malah menganggap bahwa aku iri tidak diberi uang.
Suara televisi dinyalakan, suaranya sampai ke dapur yang hanya disekat dengan tembok sebahu. Cheril mengelap aquarium, matanya melihat ikan yang berenang. Mengetuk kacanya dengan jari supaya ikannya berenang dan tidak berdiam diri.
"Cheril, jangan seperti itu. Nanti nenek marah." Aku menghampiri Cheril sebelum Ibu mertua yang menonton TV sadar perbuatan Cheril.
"Ikannya nggak belenang, Bu."
Ibu mertua menoleh ke belakang, melihat kami dengan wajah masam.
"Namanya anak haram memang sulit diatur. Jangan pegang aquarium lagi. Tangan anak haram bisa buat ikannya mati."
Ucapannya sangat pedas sampai membuat Cheril berlari memelukku. Menenggelamkan wajahnya di perutku yang buncit. Aku mengusap rambutnya, berusaha menenangkan. Anak sekecil ini tidak seharusnya mendengar kalimat seburuk itu.
❤️❤️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️💕💕
Bab 2
Lampu kota Jakarta menyala terang, gedung pencakar langit menghiasi pemandangan malam ini. Afrizal melihatnya melalu balkon apartemen. Duduk di sana sembari menikmati secangkir kopi dan cemilan. Tangannya menscrol tablet. Melihat berita yang tengah hangat.
Pertama kali masuk ke perusahaan WterSun group, ia menjadi karyawan magang karena harus melanjutkan S2, bukan hanya karena suruhan Yuno, sahabat sekaligus bosnya. S2 di UI memang cita-cita dari dulu.
Dia berjuang, mengumpulkan uang. Hingga sekarang sukses lulus S2 dan menjadi sekretaris pribadi presiden direktur WterSun group, Yuno Bagaskara. Handal dan bisa melakukan apapun.
Dulu dia hanyalah anak panti asuhan yang miskin, bahkan untuk ikut lomba cerdas cermat saja tidak punya sepatu yang layak sampai dipinjami Yuno.
"Aku pulang dulu, sebelum tidur tolong kau cek sekali lagi email dari hacker."
Yuno memakai sepatunya, sejak menikah temannya itu tidak pernah lagi menginap di apartemen ini. Membuat hari-hari yang dilalui Rizal semakin sepi.
Meski memiliki segalanya, pria berusia 27 tahun itu merasa kosong. Pernah mencoba mencintai wanita, Marsha. Teman sekantor yang selalu memberikan bekal. Wajah manis dengan rambutnya yang bergelombang. Jelas menunjukkan cinta dengan segala kebaikan.
Namun, tidak menggetarkan hatinya sama sekali. Malah ingatannya terus tertuju kepada Hana. Juniornya di kampusnya dulu ketika masih di Lampung.
"Kakak ini orangnya baik, pekerja keras. Salut pokoknya."
Hana memberikan setumpuk buku kepada Afrizal, perpustakaan itu terasa dingin dan sejuk. Cahaya menyorot masuk ke dalam lewat jendela kaca.
"Apa kamu masih kerja di cafe?"
"Iyalah, Kak. Mau makan dari mana kalau nggak kerja. Kakak juga kerja sambilan di restoran 'kan?"
"Iya. Kapan-kapan kalau aku sudah punya uang bisa bawain kamu steak dari sana. Enak banget, aku pernah nyobain sedikit."
"Wah, nggak sabar. Kakak semangat kerjanya ya."
Senyumannya, rambutnya yang berkilau, semangatnya. Semua tentang Hana masih bersemayam sampai sekarang. Sudah hampir lima tahun berlalu sejak terakhir bertamu, apakah dia sudah sukses juga? Rizal sangat penasaran.
Malam semakin larut, udara juga semakin dingin. Dia beranjak sembari membawa cangkir yang sudah kosong. Menutup pintu kaca yang mengarah ke balkon.
Apartemen dengan tiga kamar, bersih karena setiap pagi ada Bi Sarah yang membersihkan. Sering membuatkan dia makanan yang bisa dipanaskan sendiri. Tinggal sendirian membuatnya sering lupa makan.
Ingat teringat kalimat dari Bunda di panti.
"Kamu jangan ngurus kami terus, pikirkan dirimu juga. Cepat menikah dan punya keluarga."
"Belum ada yang cocok, Bun. Sekarang mau fokus ngurusin perusahaan sama anak panti dulu."
Kalimat penolakan yang terus diulangi, kekayaannya sekarang mencapai 35 milyar. Belum termasuk saham WterSun Group yang dia beli sejak menjadi karyawan magang. Dulu, pertama kali dia membeli saham sebesar 13 juta. Gaji yang dia kumpulkan selama 6 bulan dan sudah dipotong keperluan.
Dia berani bertaruh kepada Yuno bisa membuat uangnya berlipat ganda, dia juga percaya pada dirinya sendiri bisa membantu Yuno dalam mengembangkan WterSun Group. Setiap sisa gaji selain dikirim ke panti dia gunakan untuk membeli saham. Hal itu sudah berlangsung selama 5 tahun ini.
Sedikit lama-lama menjadi bukit. Sekarang total ia memiliki 0,2% saham WterSun Group. Angka yang cukup besar untuk masyarakat biasa sepertinya.
Saat ini market capitalization WterSun Group mencapai angka 824 triliun, itu berarti nilai saham miliknya mencapai sekitar 164,8 milyar. Terus berkembang pesat dari tahun ke tahun.
"Banyak uang kalau tidak digunakan untuk membahagiakan orang tercinta buat apa?" Celetuk Yuno.
Saat itu adalah hari di mana Yuno menyiapkan resepsi pernikahannya. Memilih semuanya yang terbaik dan menginginkan hari pernikahan yang megah serta mewah.
"Nggak semua kemewahan bisa membuat orang bahagia."
"Itu karena kamu nggak punya orang yang mau kamu bahagiain."
Kalimat yang tidak salah sama sekali, selain mengirim ke panti asuhan. Rizal tidak memiliki siapapun untuk dibahagiakan lewat kesuksesannya.
Sembari mencuci gelas dia mendesah, meniriskan di samping kran dan mengelap tangan. Berjalan ke kamar, menjatuhkan diri ke ranjang king size.
Dia sudah terbiasa kesepian, tidak mengharapkan apapun dalam hidup. Bisa makan dengan baik dan terus menjalani hari. Jodoh pasti akan datang sendiri.
Ketika matanya terpejam ingatannya langsung kepada Hana lagi, hari-hari yang dijalani ketika saling berjuang dan menyemangati. Dulu dia belum berani mengungkapkan rasa cinta ke Hana. Harus sukses dulu, tidak boleh membuat anak orang menderita.
Setelah sukses, dia pernah mencari Hana. Namun hampir 5 tahun berlalu dan sangat sulit mencarinya. Tapi satu hal yang dia tahu, Hana tidak menjadi alumni Universitas Lampung sepertinya. Dia putus kuliah di semester 2. Tidak lama setelah dia pergi ke Jakarta.
"Kamu di mana? Apa masih single? Apa kalau aku datang kamu akan menyambutku?"
Ingatan terakhir tentang Hana adalah hari di mana teman kuliah sengaja mencekoki dia dengan alkohol. Membuatnya mabuk sampai tidak sadar.
"Kakak kenapa bisa seperti ini?" tanya Hana. Memapah Afrizal dengan tubuhnya yang kurus.
"Hana, kamu sangat cantik." Racaunya.
"Kakak mabuk berat, ayo ke kosanku yang dekat dari sini buat ngilangin mabuk."
Sampai saat itu dia tidak ingat apapun lagi, bagaimana cara Hana membawa dia ke kosan? Ingatannya benar-benar terputus. Ketika membuka mata dia berada di ranjang sendirian dengan baju yang berantakan. Kepalanya sangat sakit hingga tak berpikir apapun lagi selain cepat pergi untuk membeli obat.
Ketika mencari Hana untuk berpamitan sebelum ke Jakarta, gadis itu tidak ada di manapun. Alhasil hanya bisa menitip salam lewat temannya. Sampai akhir pun dia tidak berani mengungkapkan cinta.
Afrizal menarik selimut, AC membuat ruangan dingin. Setiap malam kerinduan terus menumpuk. Tidak tahu bagaimana caranya membuat hatinya lebih baik dan kerinduan ini terobati.
Keesokan harinya, istri Yuno mengalami kecelakaan. Membuat semua orang sibuk menutupi kejadian dan menenangkan pers. Dia bergerak cepat dengan menyusun strategi hingga mengumpulkan media masa.
"Tutupi kejadian ini dari media, kita tidak boleh gegabah atau musuh akan lebih menghancurkan kita," ucap Yuno setelah operasi yang dijalani istrinya.
Sebuah truk menabrak Husna, istri Yuno. Menyebabkan kerusakan parah di restoran milik Husna dan menewaskan seseorang. Bersyukur Husna hanya keguguran dan nyawanya masih bisa selamat.
"Aku tahu."
Afrizal sebagai juru bicada Yuno diwawancarai wartawan tentang kejadian yang menghebohkan dunia bisnis. Dia menutupi bahwa kejadian itu hanya kecelakaan dan akan diurus dengan baik.
"WterSun Group selalu berusaha mengambangkan potensi dengan meraih semua aspek. Tidak disangka bahwa kejadian buruk ini akan menimpa Nyonya WterSun Group."
"Lalu, apakah ada kecurigaan bahwa hal ini disengaja?"
"Kami akan bekerjasama dengan polisi dan mengatasi semua sesuai hukum yang berlaku."
Liputan terus berlangsung, kesaksiannya menjadi buah bibir di berbagai media masa. Disiarkan langsung bahkan Rizal juga diundang di StarTV. Menjadi pembicara mewakili Presdir WterSun Group.
⚔️⚔️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️⚔️⚔️
Bab 3
Nampan di tanganku jatuh ke lantai, menimbulkan suara keras hingga membuat Ibu mertua berteriak. Pandanganku masih terpaku ke layar televisi. Kak Afrizal sedang menjadi bintang tamu di sebuah acara televisi sebagai perwakilan WterSun Group.
Orang yang sampai detik ini masih ada di hati meski aku sudah memiliki suami, walaupun rasa kecewe menggunung tetap tidak tidak mengurangi rasa cinta untuknya. Dia adalah satu-satunya orang yang memperlakukan diriku dengan baik.
Plak!
Mas Malik memukul belakang kepalaku hingga aku terhuyung ke depan. Hampir jatuh jika saja tidak meraih meja.
"Kamu ini tidak dengar ibu teriak?"
Aku jongkok dan menaruh lututku di lantai untuk mengambil nampan, susah payah berdiri dengan kehamilan yang semakin berat.
"Maaf, Mas."
"Dasar istri nggak guna," dengusnya sembari berlalu.
Cheril berlari ke arahku setelah Mas Malik pergi, di tangan kecilnya ada kain lap. Selama ini Cheril tidak boleh bermain, setiap hari harus bantu beres-beres. Jika tidak maka kami tidak boleh makan.
Meski tahu bahwa keluarga ini seperti iblis, kejam kepada kami. Masih saja aku sedikit berharap semua akan berubah setelah bayi ini lahir. Jika keadaan tidak membaik setelah bayi ini lahir maka aku memilih pergi.
"Ibu nggak papa?"
"Nggak papa, Sayang."
Wajah kurang terawat, pipinya kotor, rambutnya hanya dikucir asal menggunakan karet gelang bekas ikat kangkung. Padahal ayahnya adalah orang sukses, pasti bisa memberikan Cheril kehidupan yang lebih baik.
Aku ke dapur, membereskan meja setelah ibu selesai makan. Lalu mengambil nasi untuk Cheril makan beserta lauknya, ada sisaan ceker ayam. Meski begitu mata Cheril terlihat berbinar, karena biasanya kalau masak ayam tak tersisa sedikitpun dan hanya makan kuahnya.
"Ayo sini makan."
"He.em," jawab bocah itu sembari menyingkirkan anak rambut yang menghalanginya ke samping.
Dia duduk di kursi, makan malam dengan lahap. Gigi kecil itu mencari daging di antara tulang ceker. Begitupun dia terlihat bahagia hingga membuatku tersenyum.
Andai Kak Afrizal tahu punya anak, apakah dia akan membelikan Cheril daging hingga tidak kurus kering seperti ini?
"Bu, kata Cila lebalan banyak jajan. Nanti Elil boleh makan jajan lebalan kan, Bu?"
Zila adalah anak Mbak Tara, ponakan Mas Malik. Umurnya baru 5 tahun. Sudah masuk TK. Sering dititipkan di sini. Walaupun mereka hampir seumuran, ibu mertua melarang Zila bermain dengan Cheril. Katanya Cheril anak haram nanti ketularan sial.
"Cheril ingin makan apa?"
"Elil ingin makan permen lolipop," jawabnya.
Ini pertama kalinya dia menginginkan sesuatu, bulan puasa tinggal beberapa seminggu lagi. Dia harus menunggu lebaran untuk sebuah permen. Hatiku miris.
Mungkin aku sulit membelikan permen lollipop, tapi ketika berkunjung ke rumah tetangga untuk silaturahmi. Pasti ada permen. Aku pun mengangguk sembari tersenyum, pasti bisa memberikan Cheril permen lollipop.
"Cheril pasti bisa makan permen lollipop saat lebaran nanti."
Tangan kecil itu belepotan, masih mencari daging padahal ceker itu tinggal tulang. Terus menjilati seperti tidak ingin berhenti. Kaki kecilnya bergoyang.
Aku sudah selesai memasukkan nasi ke rice cooker, mengambil sedikit dan ditaruh di piring. Makan bersama Cheril dengan nasi dan sayur lodeh. Mengambil kuah ayam yang seharusnya dibuang. Masih aku sisakan sedikit siapa tahu nanti malam lapar. Bisa dimakan pakai nasi.
"Bu, kata Cila. Neneknya yang di Metlo lebalan nanti Dateng ke lumah. Olang-olang yang pelgi jauh lebalan nanti pulang. Kalau Ayah Elil dateng juga nggak, Bu?"
Pertanyaan polos itu membuat hatiku terasa terkoyak, ayahnya saja tidak tahu bahwa dia ada. Bagaimana mungkin Cheril masih menunggu kedatangan Kak Afrizal?
"Bu, Ayah Elil nanti pulang nggak?"
Selama ini Mas Malik tidak mau dipanggil Ayah oleh Cheril, apalagi Ibu mertua selalu bilang bahwa Ayah Cheril kabur dan tidak peduli pada kami.
Cheril paham bahwa Mas Malik bukanlah ayahnya, dia masih menunggu kedatangan ayah kandungnya. Sering juga bertanya ayahnya orang yang seperti apa? Kenapa Cheril tidak pernah bertemu? Ayah di mana? Apa ayah tidak sayang Cheril?
Semua pertanyaan itu selalu aku jawab dengan kebohongan, tidak tega mengatakan bahwa ayahnya pergi setelah memperkosa ibunya. Tidak peduli lagi dengan ibunya bahkan tidak tahu bahwa dia telah lahir.
"Cheril ingin ketemu ayah?"
Kepala kecil itu mengangguk dengan pasti, antusias dengan pertanyaanku. Mungkin aku harus mencoba menghubungi Kak Afrizal. Mempertemukan ayah dan anak. Sekarang aku sudah tahu keberadaan Kak Afrizal, aku percaya dia orang baik. Pasti tidak akan menelantarkan anaknya.
"Cheril mau nggak tinggal sama Ayah? Nanti kalau dedek di perut Ibu sudah lahir, Ibu akan jemput Cheril."
Anak itu diam, matanya menunjukkan keraguan. Lebaran tahun ini aku ingin Cheril bisa merasakan kebersamaan dengan ayahnya. Tidak seperti diriku yang selalu sendirian.
Kemungkinan besar bayiku akan lahir sebelum lebaran, semoga lebaran tahun ini Mas Malik dan Ibu mertua akan memperlakukan aku dengan baik, lalu bisa mengambil Cheril kembali dalam keadaan keluarga yang tidak seperti sekarang.
"Ibu janji jemput Elil, 'kan?"
"Tentu, Ibu nggak akan ninggalin Cheril. Bulan puasa ini Cheril sama Ayah ya? Katanya Cheril kangen ayah."
"Elil ingin ketemu Ayah dan makan makanan enak di hali lebalan."
Bocah itu mengangguk, bisa aku tebak bahwa dia sangat merindukan ayahnya. Setiap melihat Zila digendong ayahnya, wajah Cheril selalu sedih. Dia iri. Ingin digendong dan dicintai ayahnya juga.
Malam harinya aku bicara dengan Mas Malik, menyinggung soal baju lebaran tahun kemarin, Cheril tidak dibelikan dan memakai pakaian lusuh sampai orang-orang menghakimi. Saat itu Mas Malik sangat malu dan marah besar.
"Kalau lebaran ini Cheril sama ayahnya, Mas nggak perlu repot-repot ngeluarin uang buat Cheril."
"Emang ayahnya di mana?"
"Di Jakarta, kerja di sana."
"Kerja apa? Ah, nggak usah kasih tahu sudah bisa aku tebak pasti jadi pesuruh. OB? Kuli bangunan? Atau pemulung?"
Aku tidak boleh mengatakan pekerjaan Kak Afrizal, takut Mas Malik memoroti atau memanfaatkan Cheril demi keuntungan dirinya.
"Memangnya kenapa kalau Ayahnya Cheril cuma OB? Itu kan halal."
Mas Malik mengibaskan tangan, berjalan ke lemari. Mengganti baju. Tidak peduli dengan kalimat sok bijakku.
"Hari rabu Bang Anton ke Jakarta. Kamu sama anak itu bisa nebeng. Awas kalau kamu macem-macem di Jakarta."
"Makasih, Mas. Aku kemasi barang-barang Cheril dari sekarang."
"Kemasi semua barangnya, tidak balik lagi juga nggak masalah. Dasar anak haram."
Perkataannya sangat menyakitkan, hatiku tersayat setiap mendengar Cheril dikatai anak haram. Padahal Mas Malik dan Ibu mertua hampir setiap hari mengatakan hal itu. Aku tetap tidak terbiasa.
Aku segera memasukkan baju-baju Cheril ke tas ransel, hanya baju lusuh bekas Zila. Itu pun sudah aku pilihkan baju yang kelihatan masih bagus.
Semoga ramadhan tahun ini Cheril bisa bahagia bersama ayahnya.
❤️❤️❤️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️❤️❤️
Bab 4
Aku mengusap rambut Cheril, dia sedang memeluk foto Kak Afrizal yang aku sobek dari koran. Ketika melihat wajah ayahnya untuk pertama kali, bocah kecil itu langsung berbinar. Katanya tidak sabar bertemu ayah.
Sobekan koran itu didekap erat, seperti kerinduan yang terus bertumpuk melebihi diriku. Aku penasaran dengan sikap Kak Afrizal nanti, pasti dia terkejut. Atau... tidak menerima Cheril.
Senyum menghiasi wajah Cheril dalam tidurnya, pasti sedang bermimpi indah. Aku mendekap erat. Besok sebelum subuh kami akan ke Jakarta dan berpisah selama sebulan lebih.
Debaran jantung kurasakan, setelah hampir 5 tahun akhirnya aku dan Kak Afrizal akan bertemu kembali. Ingatan tentang masa lalu terbayang, kupikir kami akan menjadi pasangan. Perhatian yang dia tunjukkan, kasih sayang yang dia berikan dan segala hal yang kami lalui bersama.
Ternyata kami tidak jodoh meski perasaan ini belum pudar sedikitpun. Sekarang aku sudah memiliki suami dan tengah mengandung anak Mas Malik. Mana bisa merindukan dan mencintai pria lain. Harus lupakan dan tutup semua celah yang membuatku berdosa. Cukup dosa di masa lalu yang menjadi aib ku. Jangan ada lagi.
Sebelum pagi menjelang, Bang Anton sudah menghampiri kami dengan mobil pick up berisi muatan pisang untuk dijual ke Jakarta.
"Mas, kasihlah uang jajan. Nanti di jalan kami makan apa?"
Aku mengulurkan tangan, meminta setidaknya uang untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu di jalan.
"Kamu ini ngerepotin banget, masih untung aku cariin tebengan ke Jakarta. Kalau naik trevel dua orang bisa habis 600 ribu. Jangan manja, bawa bekal aja dari rumah."
"Mas, aku ini sedang hamil. Gimana kalau terjadi sesuatu dan nggak bawa uang?"
"Yaudah kalau gitu nggak usah pergi, gitu aja kok repot."
Mas Malik menampik tanganku, berlalu ke ruang tengah dan menyalakan televisi.
Cheril melihat kami dari balik tembok, sesekali mengintip. Mungkin takut kalau kami tidak jadi ke Jakarta dan bertemu ayahnya. Pada akhirnya aku hanya membawa uang dua puluh ribu sisa belanja. Juga bekal dari rumah, nasi dan lauk seadanya.
Dari awal aku bilang ke Bang Anton bahwa aku tidak bisa memberikan uang bensin, bersyukur beliau sangat pengertian.
"Aku tahu gimana suamimu, sudah paham pelitnya kayak apa. Sudahlah, aku ikhlas nolong Cheril biar ketemu ayahnya. Ayo naik."
"Makasih banyak, Bang."
Aku segera menaikkan Cheril ke mobil pick up. Melalui jalan raya lintas Sumatra, meninggalkan kota Bandar Lampung menuju pelabuhan Bakauheni yang terletak di Lampung Selatan.
Ini adalah perjalan pertama Cheril, dia terlihat gembira melihat pemandangan gunung yang menjulang. Sempat tertidur selama satu jam di jalan dan terbangun ketika sudah sampai pelabuhan.
Aku mengusap perutku yang agak nyeri, ibu hamil perjalanan jauh seperti ini sembari menjaga Cheril lumayan sulit. Tapi aku pun senang menikmati suasana baru dan berhenti sejenak dari kepenatan rumah.
"Itu apa, Bu?" tanyanya.
"Itu kapal, nanti kita naik ke sana."
"Wah, bagus ya Bu."
Aku mengusap rambutnya, kunciran karet kulepaskan. Membiarkan rambutnya terurai. Wajahnya penuh senyum dan semangat.
Sesekali aku melirik Bang Anton, beliau adalah sepupu Mas Malik. Tidak seperti Mas Malik, Bang Anton jauh lebih pengertian dan peka. Padahal beliau perokok tapi sepanjang perjalanan tidak menyalakan asap rokok karena ada kami.
Mobil sampai di pelabuhan Bakauheni, menunggu antrian masuk ke dalam kapal. Berjejer dengan mobil lainnya.
"Bu, nanti kalau udah ketemu Ayah. Ayah nyuapin Elil kayak itu nggak?" tanya Cheril sembari menunjuk ke mobil samping.
Mobil Fortuner mewah yang kacanya dibuka, menampakkan pengemudi yang sedang menyuapi balita seumuran Cheril dipangku seorang wanita.
Tangan Cheril menempel kaca, melihat dengan antusias keluarga lengkap dan harmonis di dalam mobil.
"Cheril kan bisa makan sendiri, jangan manja sama ayah. Jangan ngerepotin ayah dan jangan nakal."
"Kalau Elil nakal nanti ayah nggak suka Elil dan ninggalin Elil lagi ya, Bu?"
Aku bingung kenapa setiap pertanyaan Cheril terasa menyayat hati. Mulutku terasa kelu untuk menjawabnya.
"Nggak ada orang yang suka sama anak nakal," celetuk Bang Anton.
Cheril menoleh ke Bang Anton, pria itu fokus mengegas mobil pelan dan menunggu giliran masuk kapal. Tinggal tiga mobil lagi di depan kami.
"Elil nggak bakal nakal kok, nanti Elil baik nggak buat Ayah lepot. Elil kan nggak mau ditinggal lagi."
"Iya, Cheril anak baik. Ibu percaya. Nanti baik-baik ya sama Ayah."
Aku mengusap rambutnya dengan lembut, bocah itu menoleh ke belakang dan mengangguk. Setuju dengan perintahku.
Mobil yang kami naiki masuk ke dalam kapal, jantungku semakin berdebar. Sebentar lagi bertemu Kak Afrizal setelah 5 tahun berlalu. Perasaan yang seharusnya tidak boleh ada. Aku sudah punya suami, bisa jadi Kak Afrizal juga sudah punya pacar. Semoga pacar Kak Afrizal mau menerima Cheril.
Sesampainya di kapal, kami turun. Tidak masuk ke ruang istirahat karena harus membayar 15 ribu perorang. Alhasil hanya bisa duduk di emperan. Sementara Mas Anton ke tempat karaoke bersama temannya.
Aku membuka bekal, makan bersama Cheril dengan lahab. Meskipun hanya nasi putih dan tempe goreng, Cheril terlihat senang.
"Kenyang nggak?" tanyaku.
Cheril mengangguk.
"Mau minum, Bu."
Aku segera mengambil aqua besar yang aku isi dari rumah, memberikan ke Cheril. Dia menyibak rambut yang menghalanginya. Ingin aku ikat rambutnya itu, tapi tidak memiliki ikat rambut bagus dan hanya karet gelang. Tidak enak nanti dilihat Kak Afrizal.
Tapi pada akhirnya aku mengikat rambut Cheril, kasihan kalau dia merasa tidak nyaman seperti itu.
"Kalau udah selesai sini senderan di tembok."
Cheril bergeser, menurut seperti yang aku bilang. Segera tanganku membereskan bekal kami. Masih sisa untuk dua kali makan.
"Bagus ya, Bu?" Tanya Cheril sembari menunjuk lautan.
"Iya, bagus."
Perjalanan kapal selama dua jam, aku menahan kantuk dengan susah payah. Sementara Cheril tertidur dengan meletakkan kepalanya di pahaku. Tubuh kecil itu tertidur di lantai dingin beralaskan koran yang aku bawa dari rumah. Jika menyewa karpet harganya mahal, aku tidak punya uang.
Pengumuman bahwa kapal sudah sampai merak terdengar, aku segera membangunkan Cheril dan kami menuju ke parkiran. Di sana sudah ditunggu Bang Anton, menyuruh kami segera naik.
"Hana cepet dikit," suruhnya.
"Iya, Bang."
Aku segera menaikkan Cheril, mesin mobil sudah dinyalakan. Kami turun dari kapal dan melaju menuju Jakarta.
Berangkat subuh dan sampai di Jakarta sore hari, aku segera meminta diantar ke gedung WterSun Group. Takut kalau Kak Afrizal sudah pulang, aku tidak tahu di mana rumahnya.
"Tunggu bentar ya Bang."
"Iya, Cepat."
Aku menggandeng Cheril menuju gedung WterSun Group, tapi tidak menemukan Kak Afrizal dan malah diarahkan ke mushola. Katanya sedang solat di sana. Sudah kuduga bahwa Kak Afrizal masih jadi orang baik, dia pasti bisa menjadi ayah yang baik untuk Cheril.
Dengan berjalan kaki aku dan Cheril mencari mushola yang dimaksud. Mataku melihat Mas Afrizal sedang mengobrol dengan seorang perempuan berhijab. Sangat cantik dan elegan. Apakah itu pacarnya?
"Itu Ayah, Bu!" Cheril menarik tanganku.
Dia langsung bisa mengenali ayahnya padahal belum pernah bertemu. Kami berjalan cepat menuju ke arah mereka.
💕💕💕💕💕💕⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️⚔️💕💕💕💕💕
Bab 5
Pintu lift terbuka, Rizal dan karyawan lain keluar menuju lobby. Gedung WterSun Group sangat tinggi dan luas, megah dari depan. Suatu kebanggaan bisa menjadi bagian dari WterSun Group. Dulu, Rizal ingin menjadi karyawan karena harus menjaga Yuno seperti janjinya. Tak disangka sekarang dia sangat bangga memiliki tanda pengenal karyawan WterSun Group yang tercantel di leher.
Fotonya terpajang dengan senyum merekah, foto yang tidak dia ganti sejak berumur 22 tahun. Dari mulai karyawan magang, lalu menjadi karyawan tetap, setelah Yuno lulus S2 dan menjadi direktur di bagian WterSun food. Afrizal langsung menjadi sekretaris pribadi.
Satu tahun kemudian Yuno menjadi presiden direktur, jabatannya pun ikut naik. Selalu di samping Yuno dan mengatasi semua masalah bersama. Terkadang juga menjadi juru bicara mewakili Yuno.
"Husna, ngapain ke sini?" Gumamnya.
Di ujung sana, dia melihat istri Yuno. Orang yang dia hormati setelah Yuno. Beberapa waktu lalu terjadi kecelakaan hingga mengakibatkan Husna keguguran. Luka Yuno kehilangan anak juga menjadi lukanya.
"Maaf Nyonya, Tuan Yuno sedang rapat di Singapur. Satu jam lagi baru kembali, apakah Nyonya mau menunggu di ruangannya?"
Rizal bertanya dengan penuh hormat, di sini banyak karyawan yang mengawasi. Meski hubungan mereka bertiga di luar WterSun Group adalah sahabat. Tetap saja harus formal ketika di kantor dan di depan orang lain.
"Sudah ashar, temani aku shalat, yuk."
Yuno memang tidak salah memilih istri, Husna sangat cantik dan berbudi baik. Wanita berhijab itu mengajaknya shalat.
Di depan kantor ada mushola, tidak lebar tapi cukup terawat dan bersih. Yuno yang mendanai pembangunannya satu tahun lalu supaya pegawai WterSun Group bisa shalat di sana dengan leluasa. Dia yang memberi saran itu.
"Kalau aku menjadi imammu nanti Yuno marah." Bisiknya.
Mendengar ucapannya, Husna tertawa. Dia mengibaskan tangan ke depan.
"Baiklah, Nyonya. Saya akan menemani anda. Mari." Rizal mengulurkan tangan ke depan. Mempersilakan.
Husna berjalan di depannya, diikuti beberapa pengawal. Pengawalan nyonya WterSun Group semakin ketat sejak keguguran. Mereka berjalan kaki menyebrang jalan menuju mushola.
"Hati-hati," ucap Rizal menjaga Husna menyebrang.
Sesampainya di mushola, pengawal perempuan membantu Husna wudhu. Tangannya masih sakit akibat kecelakaan kemarin. Rizal menjadi imam. Shalat dibagi dua kloter.
Selesai shalat Husna mengijinkan pengawal shalat juga, bersedia menunggu di depan mushola. Samping beduk. Ditemani olehnya. Bercerita banyak hal tentang masa kecil di Lampung.
"Sebentar lagi bulan puasa, ini lebaran pertamamu bareng dan keluarga Bagaskara."
"Lebaran pertama setelah menikah. Kapan kamu nikah?" tanya Husna.
"Hahaha belum nemu yang cocok."
"Aku denger dari Yuno katanya Marsha suka sama kamu."
"Ntah, dia terlalu ambisius aku tidak suka wanita kayak gitu."
"Trus kamu carinya yang kayak apa? Kalau ada kenalanku yang cocok nanti aku kenalin, biar lebaran kamu punya gandengan."
"Makasih deh makasih, tapi nggak perlu. Lebaranku pasti juga gitu-gitu aja. Nggak terlalu penting."
Tiba-tiba seorang perempuan dengan anak kecil datang, menghampiri mereka dengan wajah lelah.
"Ayah!" Anak kecil itu berlari ke Rizal, memeluk kakinya.
"Kamu siapa? Kenapa manggil saya Ayah?"
Ada wanita yang bersama anak kecil itu. Melepas sandal dan menghampiri mereka. Memakai daster bunga dan sepertinya sedang hamil tua.
"Kakak lupa sama aku?" tanya wanita itu kepada Rizal.
"Siapa ya?"
"Ya ampun, aku adik kelas kakak di UNILA. Lima tahun lalu tepat acara wisuda Kakak nginep di kosan ku. Masak lupa."
Jantung Rizal seakan berhenti berdetak melihat gadis yang dia rindukan selama ini. Wajahnya tidak ceria seperti dulu, jauh berbeda sampai dia tidak mengenalinya terlebih sedang hamil besar.
Memang tidak mungkin bagi wanita berumur 24 tahun masih single. Melihat kenyataan itu membuat dadanya terasa nyeri.
"Oh ya Hana? Ada apa tiba-tiba ke sini?"
Mulutnya terasa bodoh, seharusnya menanyakan kabar atau basa-basi. Malah bertanya langsung seperti tidak pernah dekat. Dalam hati pria berjas hitam itu merutuki dirinya sendiri.
"Huh, aku cari Kakak dari bertahun-tahun lalu. Akhirnya ketemu juga. Itu anakmu, sebentar lagi aku akan melahirkan jadi susah mengurus Cheril."
Anak? Mata Rizal melihat ke bawah. Balita perempuan itu tersenyum padanya. Memang sangat mirip. Tapi bagaimana bisa dia memiliki anak jika tidak pernah membuatnya?
Sementara itu pandangan Husna melirik tajam dan merendahkan, tidak hanya Husna namun juga semua pengawal yang ada di sana.
"Ini nggak seperti yang Nyonya pikirkan." Rizal mencoba membela diri.
Tidak ada yang percaya dengan ucapannya, tatapan penuh sumpah serapah masih mereka berikan.
"Kalau Kakak nggak percaya Cheril anak Kakak, tes aja DNA. Aku cuma nitip beberapa bulan aja kok selama melahirkan. Suamiku udah nunggu di mobil, barang-barang Cheril juga udah aku bawa semua dari Lampung."
"Tunggu tunggu ... aku memang pernah menginap di kosanmu karena tidak sengaja minum alkohol. Tapi kamu nggak bilang kalau kita gituan."
Saat itu dia memang mabuk akibat salah minum, temannya menjahili akibat dia mendapat predikat tertinggi nilai IPK dan menjadi mahasiswa paling unggul.
Dia tahu bahwa Hana menolongnya dan membawa ke kosan, merawatnya dengan baik sampai sadar. Tidak mungkin dia hilang kendali sampai berzina. Terlebih Hana tidak menolak, hal itu sangat mustahil.
"Iyalah, orang Kakak pagi-pagi langsung pergi."
"Elil kangen Ayah." Anak itu menggelayut di kakinya.
Pengawal yang tadi shalat sudah keluar, Husna menepuk bahu Afrizal. Memandang ke bawah kepada anak perempuan imut berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Lalu beralih ke tersenyum kepada Hana.
"Ck ck ck. Aku duluan, permisi." Ucap Husna.
"Ini sungguh tidak seperti yang anda bayangkan, Nyonya." Teriak Rizal.
Husna tidak peduli, pergi menuruni anak tangga dan memakai sepatu. Bersama pengawal keluar dari area mushola.
Tas ransel ditaruh Hana, melihat ke arah pria yang tidak mengakui anaknya.
"Aku sungguh hanya akan menitipkan sampai melahirkan, kalau Kakak tidak mau mengakui Cheril sebagai anak. Tolong jaga dia sebagai anak dari teman Kakak di masa lalu sampai lebaran nanti.
"Cheril sangat merindukan ayahnya, hanya lebaran ini. Tolong habiskan waktu bersama Cheril. Setelah itu kalau Kakak tidak ingin melihat kami lagi. Aku siap tidak akan muncul sedikitpun di hadapan kakak lagi."
"Bukan gitu, Hana. Kalau memang Cheril anakku. Kenapa kamu tidak memberitahu dari dulu? Kamu tahu sifatku, aku pasti tidak akan bertanggung jawab."
Air mata Hana menetes begitu saja, wajahnya melihat ke samping. Menghapus air matanya yang jatuh tiba-tiba. Padahal dari tadi dia terlihat sangat kuat.
Lalu kedua tangannya memegang telinga Cheril, menutup supaya anak itu tidak mendengar percakapan mereka.
"Aku sudah mencoba mencari Kakak, tapi Jakarta itu luas. Aku tidak punya biaya untuk mencari pria yang memperkosaku lalu pergi begitu saja."
Ungkapan Hana membuatnya sangat terkejut, dia sungguh tidak bisa mengingat apa yang terjadi malam itu. Tidak menyangka sedikitpun bahwa dia telah menghamili Hana dan memiliki anak.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
