Jangan Pergi bab 3

62
9
Deskripsi

"Aku menuhin janji, aku datang ke sini dan menikahimu."

Lyam tersenyum, sementara Ruhi menggigit bibir bawahnya dengan kuat, tampak gregetan.

"Itu kan hanya janji anak-anak, jadi nggak perlu kamu tepati."

Lyam ingat pertama kali bertemu Ruhi, saat itu orang tuanya dinyatakan meninggal dalam kasus kecelakaan kapal pesiar, Ruhi datang ke rumahnya bersama Mamanya. Menghibur dia yang sedang sedih.

Mereka bermain bersama dan Ruhi melamarnya menggunakan gigi yang copot, kata Ruhi, Lyam sangat tampan dan kaya. Jadi di masa depan, dia ingin menikah dengan Lyam.

"Janji nikah sama Ruhi?"

Ruhi mengulurkan potongan giginya yang baru saja copot terkena bola, karena merasa bersalah, Lyam menerima potongan gigi itu sembari mengangguk.

"Janji."

Ruhi tersenyum lebar, menampakkan giginya yang hilang satu.

Masa kecilnya sangat menyenangkan, dia suka Ruhi yang selalu menempel dan bergantung padanya. Setahun kemudian Ruhi pindah ke Inggris. Semenjak itu mereka tidak pernah bertemu lagi.

Walaupun waktu berlalu sangat lama, namun Lyam tidak pernah melupakan janjinya pada Ruhi, Lyam memang sering pacaran dan berbuat kenakalan di luar sana. Tapi dia selalu ingat siapa wanita yang akan dia nikahi di masa depan.

"Ruhi?" tanya Lyam, senyumnya terukur indah di sana.

"Sudah lama sekali ya, Lyam?" ungkap Ruhi.

Wajah Ruhi tidak banyak berubah, masih sangat mempesona seperti dulu. Matanya cantik dan sekarang berhijab. Lyam merasa tidak sia-sia menjaga janji untuk wanita seperti Ruhi.

Dulu, Lyam memilih kuliah di Inggris karena berharap bertemu Ruhi. Sayangnya Inggris sangat luas. Sampai lulus S2 pun mereka tidak pernah bertemu.

"Kamu sudah besar," ucap Lyam. Dia takjub melihat perubahan Ruhi.

"Cukup besar untuk tiba-tiba dinikahkan," sindir Ruhi, dia tersenyum tapi seolah ingin menampar Lyam.

Pria itu berdehem, pura-pura tidak peka.

"Aku menuhin janji, aku datang ke sini dan menikahimu."

Lyam tersenyum, sementara Ruhi menggigit bibir bawahnya dengan kuat, tampak gregetan.

"Itu kan hanya janji anak-anak, jadi nggak perlu kamu tepati."

Lyam terdiam sejenak, rupanya Ruhi tidak ingin janji mereka terealisasikan. Wajar, saat itu Ruhi masih kecil dan pasti hanya asal bicara.

"Janji tetap janji," ucap Lyam. Tidak peduli pendapat Ruhi.

Gadis itu menoleh ke Papanya, tersenyum di sana. "Pa, aku mau ngomong bentar."

Ruhi berjalan cepat dan menarik tangan Papanya masuk ke dalam, Lyam tidak tahu apa yang dibicarakan, tapi ia yakin Ruhi merasa tidak senang dengan kedatangannya.

Lyam pikir, Ruhi akan langsung berlari memeluknya seperti saat mereka kecil. Dari dulu dia mencari keberadaan Ruhi dan ingin sekali bertemu.

Tapi ternyata, rindu hanya miliknya sendiri. Ruhi tidak merasakan hal yang sama. Jujur, Lyam kecewa.

"Dia cantik dan sholehah, kamu pinter milih istri."

Mama menyentuh lengan Lyam yang kekar, pria itu langsung membusungkan dada, merasa sangat bangga. Dia berusaha tersenyum, mencoba berpikir positif, Ruhi pasti hanya shock.

"Cukup sholehah buat nuntun Bang Lyam ngucap ashadualla ilahailallah."

Semua pasang mata menoleh ke Aster, kepalanya langsung dijitak Lyam hingga mengaduh kesakitan.

"Kamu jangan ngomong sembarangan," ucap Papa. Tidak suka penyakit Lyam dijadikan candaan.

"Dasar bocah geblek!"

Sementara itu, di ruangan lain, Ruhi sangat marah pada Papanya. Apalagi setelah dia melihat tumpukan uang mahar. Gadis itu merasa dijual.

"Apa Papa pikir pernikahanku mainan?"

Ruhi memang tidak ada niat menikah, dia ingin berkarir dan tidak ingin berhubungan dengan pria mana pun. Tapi dia tidak pernah mengatakan pemikirannya itu pada orang lain. Dia takut membuat orang tuanya khawatir.

Ruhi akan terus berdalih tidak punya calon suami, belum siap dan lain sebagainya. Dia tidak bisa jujur bahwa tidak percaya pada pria lagi sejak orang tuanya bercerai.

Papa pernah menyakiti Mama di depan matanya, ketakutan terus muncul setiap ia dekat dengan pria. Saat di pondok dulu, banyak surat berdatangan untuknya, dari santri putra, ustadz bahkan Gus. Tapi tidak ada yang Ruhi balas.

"Papa ngelakuin ini demi kamu, Lyam itu anaknya Presiden Direktur Andalas Grup, konglomerat! Kapan lagi Papa punya besan konglomerat? Ini keberuntungan buat keluarga kita!"

Sejak kecil Ruhi tahu siapa Lyam. Perusahaan keluarga Lyam terus berkembang pesat hingga menguasai minyak sawit mentah. Bahan baku untuk membuat berbagai produk.

Sekarang, perusahaan itu jauh lebih besar dan menggurita ke segala aspek tidak hanya minyak. Kekayaan Lyam sebagai pewaris tentu tidak terkira. Wajar kalau Papa berpikir dapat rejeki nomplok.

"Aku nggak mau, pokoknya aku nggak mau nikah sama Lyam." Ruhi menggeleng.

Pria sempurna seperti Lyam tentu banyak yang suka, Ruhi tidak ingin terlibat dalam percintaan yang akan membuatnya sakit di kemudian hari. Dia merasa sudah cukup dengan kehidupannya yang sekarang.

Papa memegang kedua bahu Ruhi, membuat tatapan anak itu melihat depan.

"Dengar, kamu sudah Papa nikahkan. Mau tidak mau, sekarang Lyam suamimu."

Ruhi menggigit bibir bawahnya, dia tahu bahwa kehadirannya di dalam akad nikah tidak harus. Dia pernah mempelajari itu di kitab Kifayah al-Akhyar saat di pesantren dulu. Membuatnya semakin frustasi dengan keadaan ini.

"Papa sungguh ngelakuin ini ke aku? Aku salah apa ke Papa? Kalau Ayah Arkam tahu, dia bakal marah banget ke Papa," ucap Ruhi, dia sangat kecewa pada Papanya.

"Stop! Jangan sebut nama ayah tirimu itu! Dia nggak berhak atas kamu, cuma Papa yang bisa jadi wali nikahmu. Cuma Papa yang boleh mengambil keputusan untuk hidupmu! Denger itu Ruhi!"

Sebenarnya, ayah tirinya jauh lebih baik dari Papa. Tapi kehidupan ayah tirinya tidak bisa membuat Ruhi nyaman.

Dia sudah berusaha hidup di antara keduanya, tidak tinggal bersama Ayah atau Papa. Tapi, seperti yang dikatakan Papa. Hidupnya di tangan Papa sejauh apapun dia pergi.

"Kalau kamu mau jadi anak durhaka, teruslah nentang Papa!"

Ibu tirinya ikut maju, memegang tangan Ruhi. Bunda Wulan adalah orang yang menghancurkan keluarga kecilnya, juga orang yang pernah menyiksanya ketika kecil.

Dulu, Papa dan Bunda Wulan pernah bercerai tapi balikan lagi karena Bunda Wulan hamil anak ke dua. Membuat Ruhi memiliki dua adik dari Papa dan dua adik dari Mama.

"Kamu jangan mikirin diri sendiri terus, Ruhi. Selama ini kamu tidak pernah berkontribusi apapun pada keluarga ini, terima saja pernikahanmu dengan orang kaya itu, anggap saja sebagai balas budi."

Ruhi tahu keuangan keluarga ini sedang tidak bagus. Tapi bukan berarti bisa menjualnya. Dia bukan barang.

"Aku baru tahu kalau merawat anak adalah hutang yang harus dibayar," sindir Ruhi. Tidak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya.

"Ruhi! Jaga bicaramu! Sekarang cepat keluar temui keluarga mertuamu, minta maaf sama mereka. Jangan berpikir buat ngelakuin hal aneh-aneh."

Ruhi mengambil napas panjang, dia mundur. Sebutan anak durhaka tidak pantas untuknya. Selama ini dia selalu berusaha berbakti. Meskipun sakit hati pada Papa, tapi dia tidak pernah mengucapkan hal buruk.

Ruhi berjalan keluar, menemui Lyam dan keluarganya. Dia membahasi bibir, harus meluruskan kesalahpahaman.

"Tante, Om, Lyam dan ... adiknya. Sebelumnya saya mau minta maaf, sepertinya Lyam salah paham dengan janji kita waktu kecil." 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Jangan Pergi
Selanjutnya Jangan Pergi bab 4
55
5
Bang! Gue harus ikut, kalo lo tiba-tiba tidur di jalan gimana? Nggak usah ikut, jangan ganggu pengantin baru, aku mau tidur sama istriku!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan