
Chapter 2 - Air Mata Langit
Malam terasa begitu hampa meski suara diluar sana begitu bising. Di luar gema irama dangdut diputar oleh tetangganya yang sedang menyelenggarakan acara pernikahan. Kemeriahan itu seakan angin lalu yang diabaikan oleh Bintang.
“Aku ga dapat apa-apa hari ini,” gumam Bintang menjejakan kakinya. Elang yang dikenal memiliki keceriaan tinggi, jiwa pelindung dan sosok yang ramah kini terlihat berbanding terbalik. Pria itu nampak rapuh, selalu murung dan hanya bicara seperlunya.
“Apa moodnya buruk karena aku tiba-tiba datang? aku harus tukar bangku dulu,” lirih Bintang memainkan ponselnya. Teman sebangku Elang adalah Satria. Mantan ketua kelas sebelumnya.
‘Selamat malam. Aku Bintang Kejora anak baru yang datang hari ini. Mantan ketua kelas apa boleh kalau aku minta tuker tempat? tulisan dipapan tulis terlalu buram. Maaf kalau merepotkan.’
‘Oh deal! Tapi Langit ga bisa duduk di belakang. Dia juga punya mata minus.’
“Dia minus? Padahal aku berbohong. Padahal hanya tiga tahun ga bertemu kenapa banyak hal yang tidak aku ketahui,” dumal Bintang kembali memainkan ponselnya. Mengetikan pesan balasan.
‘Iya ga papa. Terima kasih mantan ketua kelas. Maaf jika aku terlalu merepotkan.’
‘Jangan terlalu kaku. Kita teman sekelas. Panggil aja Satria.’
‘Siap bang sat.’
‘Kamu ... ah! sial. oke fine.’
Bintang tertawa terpingkal membaca balasan teman sekelasnya. Ia mencoba untuk mengakrabkan diri karena pada dasarnya, ia bukan anak yang sulit bergaul. “Aku harus mengatur strategi. Aku harus masuk lebih awal dan mengajak Elang bicara. Karena Elang ga pergi di jam istirahat ... aku harus bawa bekal dan memulai percakapan.”
Bulat! Rencana Bintang sudah bulat untuk memulai pendekatan dengan Elang. Ia tak mau kepindahannya berakhir sia-sia.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu di ketuk diiringi suara knop pintu. Tetangga kosnya muncul dengan bingkisan di tangannya. “Dari ibu kos, katanya di kasih dari yang punya hajatan,” ucap wanita yang masih mengenakan seragam kerja. Bintang bergegas menghampiri dan menerima bingkisan itu.
“Mba baru pulang ya?” tanya Bintang pada tetangga kosnya. Siska.
“Iya. Kamu jadi mau kerja? Mba ada nih beberapa nih. Jaga stand minuman dari jam empat sore sampai jam setengah sepuluh malam. Catering event biasanya weekend tapi harus stay dari jam setengah enam pagi. Cafe juga ada tapi pulangnya larut banget. Kadang bisa sampai jam setengah satu malam baru pulang.”
Bintang meneguk ludah dengan kasar mendengar penjelasan dari Siska. Membayangkan ia pulang jam setengah satu, baginya itu terlalu menakutkan. Belum lagi maraknya kasus kejahatan yang terus disiarkan melalui televisi dan media sosial yang membuatnya kian khawatir.
“Berat juga ya mba. Bayarannya gimana?”
“Kalau jaga stand enam ratus lima puluh ribu, catering kurang lebih seratus ribu perevent itupun tergantung jumlah timnya. Kalau cafe satu juta lima ratus. Coba dulu aja, pertimbangin yang ga ambil waktu belajarmu. Kalau dirasa sulit bagi waktunya, coba jualan aja.”
Bintang termenung setelah tetangga kosnya pergi. Sebenarnya ia memiliki persediaan uang yang cukup untuk biaya hidupnya. Uang kos bahkan sudah ia bayar untuk enam bulan ke depan.
“Kenapa aku malah menyulitkan diri sendiri hanya untuk menemuinya. Elang pengkhianat! Dia harus tanggung jawab.”
***
Pagi ini Bintang mengayuh sepedanya lebih santai. Matanya melirik ke kanan kiri mengamati aktivitas orang-orang di sekelilingnya. Beberapa toko masih tutup, hanya pasar yang sudah ramai.
“Apa jualan di pasar semenguntungkan itu?” lirih Bintang dengan raut wajah penasaran. Ragam pertanyaan memenuhi isi kepalanya hingga ia tiba di sekolah, tak satupun jawaban yang bisa ia temukan.
‘Bagaimana cara berjualan di pasar?’
‘Orang di pasar dapat barang darimana?’
‘Apa yang harus dilakukan jika barang tidak habis?’
Bintang berjalan lesu menuju kelas. Ajaib. Dari tiga puluh empat siswa yang ada di kelas. Hanya ada dia dan Elang sekarang.
‘Apa semesta kini berpihak padaku?’ batin Bintang riang. Ia bergegas menghampiri bangkunya. Lagipula ia juga sudah membuat kesepakatan dengan Satria untuk bertukar bangku.
“Hei pengkhianat, rajin juga kamu,” ucap Bintang melambaikan tangan tepat di depan wajah Langit. Senyum miring terukir di bibirnya. Pria itu hanya melengos tak menjawab. Menjatuhkan kepala di atas tas. Mengabaikan keberadaan Bintang.
“Wah ... mau pura-pura ga kenal ya?” ucap Bintang terpancing emosi dan memukul bahunya. Tanpa di duga pukulan yang bagi Bintang itu pelan rupanya membuat Langit mengaduh kesakitan. Bintang mengerjap mendapati mimik wajah Langit yang berubah, matanya terpejam sesaat dengan kening mengkerut seakan menahan rasa sakit.
“Aku memukulmu pelan lho, jangan berlebihan. Elang ... sadarlah. Yang harusnya marah itu aku, kenapa kamu tiba-tiba per─”
“Diamlah berisik. Kamu sengaja mengikutiku sampai kesinikan? Memang apa yang kamu harapkan setelah bertemu denganku? Apa aku harus menyapamu dan menyambutmu dengan bahagia saat kamu datang? Kamu pikir aku akan begitu?”
“Ahh cerewet juga ternyata ... akhirnya aku tahu kenapa kamu seperti orang yang dikucilkan meskipun pintar. Saat kamu diam, kamu seperti orang aneh. Tapi saat kamu bicara, kamu menjadi orang jahat. Lucu sekali, oke aku akan diam sekarang.”
Bintang mendengus kesal. Suasana hatinya berubah begitu buruk. Bintang mengeluarkan ponsel, kacamata dan alat tulisnya. Mengatur keuangan yang sejak semalam membuatnya stress lebih baik daripada harus mengontrol emosi karena pria di sampingnya.
“Uang dari bunda enam ratus lima puluh ribu satu bulan, aku akan dapat sampai lulus SMA. Aku juga harus siapin uang buat beli buku, uang makan, uang jajan dan dana darurat. Aku ga boleh otak-atik uang tabungan lagi,” gumam Bintang sambil membuat tabel pengeluaran. Ia cukup teliti dalam menggunakan uang.
“Kalau masih susah, kenapa harus pindah kesini hanya untuk menemuiku,” celetuk Langit mengamati gerak-gerik Bintang yang menarik perhatiannya. Ia tak bisa mengabaikan begitu saja wanita yang jelas-jelas mengganggu pikirannya.
“Kalau sadar harusnya kamu berbaik hati, kenapa malah membuatku semakin kesusahan. Asal kamu tahu aja, sekarang aku lagi cari kerja juga untuk uang tambahan. Jangan berpikir untuk kabur lagi.”
“Sudahlah, kembali ke bangkumu.”
“Sayangnya aku pindah tempat sekarang. Satria merelakan bangkunya untukku,” balas Bintang dengan mengedipkan matanya. Menggoda Langit.
“Lagipula, bukannya hanya aku yang rela berbagi bangku denganmu? Jangan buat orang lain tertekan dan merasa bersalah oleh sikapmu. Banyak orang yang membicarakan hal buruk tentangmu.”
Langit tak menggubris. Pria itu kembali menjatuhkan kepalanya. Memejamkan mata perlahan sambil menunggu jam pertama dimulai. Tindakannya justru membuat Bintang kian kesal.
“Hei! kamu mau tidur di jam pertama?”
“Arghh!”
Pria itu lagi-lagi mengaduh. Kali ini suaranya lebih keras membuat Bintang terperanjat mendengarnya. Manik mata Langit bahkan tampak berkaca membuat Bintang menjadi serba salah.
“Kamu sakit ya? Habis jatuh? Coba lihat!” Bintang khawatir dan mencoba untuk menggulung lengan baju Langit. Usahanya gagal karena Langit menepisnya dengan keras.
“Apalagi yang kamu inginkan? Berhenti memukulku. Tidak! Berhenti menyentuhku. Apa yang mau kamu bicarakan?”
Bintang tercekat melihat ekspresi putus asa dari pria di depannya.
“Selama ini ... kamu hidup dengan baikkan?”
Tes!
Deg!
Bintang meneguk ludah kasar melihat Langit yang tiba-tiba mengeluarkan air mata. Perasaan Bintang campur aduk tak karuan.
“Elang, kam─ kamu ...”
“Lho. Bintang, kenapa kamu duduk di situ?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
