
Chapter 11 - Air Mata Bintang
Bintang duduk di kamarnya yang temaram. Lampu utama sudah dimatikan diganti dengan lampu tidur agar tidak terlalu silau. Ia terrhanyut dalam dunianya sendiri. Bintang sudah bersiap untuk tidur dengan rangkaian skincare malam yang tertata rapi dihadapannya. Tinggal di kost sendiri membuat ia tak memiliki kegiatan lain.
Ia juga tidak suka begadang jika tidak ada hal yang penting. Tahapan terakhir ritual malamnya sudah selesai. Bintang merebahkan tubuhnya dengan nyaman dan bersiap untuk memejamkan mata.
"Alarm!" seru Bintang meraih ponselnya. Ia tinggal sendiri. Bisa saja jika ia meminta bantuan tetangga kost untuk membangunkannya, namun hal itu akan sangat merepotkan dan alarm menjadi cara jitu yang sejauh ini ampuh untuk membangunkannya
Matanya menyipit mendapati sebuah pesan dari Arga. Pesan satu jam yang lalu.
'Kak Bintang. Keluargaku lagi ada masalah yang aku belum tahu jelasnya. Mendadak aku dan ibuku pindah rumah karena ayah akan menjual tempat tinggal kami, masalahnya ibu ga bawa Kak Langit dan ayahku juga ga mungkin karena ayah mau nikah sama selingkuhannya. Aku khawatir dengan kak Langit. Ponselnya tidak aktif.'
Mengerjap Bintang membaca pesan panjang yang dikirimkan oleh Arga. Jual rumah?
"Lalu dimana Langit tinggal sekarang?!" Bintang terlonjak bangun. Ia mengedarkan pandangannya. Jam menunjukan pukul sembilan malam.
"Kenapa aku mematikan hp!" rutuk Bintang menyesal. Pesan yang Arga kirimkan sejak satu jam yang lalu saat ponselnya sedang dicharge. Bintang memiliki kebiasaan mematikan ponsel.
"Dia baik-baik saja kan?" gumam Bintang gelisah.
Matanya menatap gamang layar ponselnya, mencoba membuat panggilan dengan Langit namun tak terhubung.
Air mata Bintang seketika mengalir seiring dengan kepanikannya. Tanpa pikir panjang ia langsung meraih jaketnya. Udara malam sangat dingin. Ia tak bisa membayangkan jika Langit seorang diri di jalanan.
"Bodoh! Kenapa panggilannya tidak tersambung?!" rutuk Bintang setengah mati. Ia langsung keluar dari kostnya. Celingukan mendapati jalan raya begitu gelap. Ia tak punya keberanian untuk menerjang malam dengan sepedanya.
Kejahatan sedang marak terjadi di tempatnya. Apalagi minggu lalu tetangga kosnya juga hampir kena begal saat pulang kerja, walaupun saat itu tetangga kosnya pulang sendirian di jam setengah satu malam. Sekarang masih jam sembilan, tapi Bintang tak memiliki keberanian senekat itu.
"Ojek online," lirih Bintang mundur kembali. Ia mencoba untuk menenangkan diri meski tangan yang menggenggam ponsel terus bergetar. Bintang memesan ojek online dengan tujuan rumah Langit.
Dia tidak sabar untuk sampai di rumah Langit. Lima menit bahkan terasa begitu lama bagi Bintang yang terus menatapi titik lokasi ojek online. Hatinya terus berdegup dengan kekhawatiran yang tak kunjung reda.
Ketika ojek akhirnya tiba, Bintang segera melompat ke atasnya. Dia merasa terhanyut dalam kecemasan dan ketidakpastian, dan jelas saat ini. Dia hanya ingin segera sampai di rumah Langit.
"Elang! Elang!" Bibirnya terus bergumam. Bintang tak bisa menuntaskan kekhawatiran sepanjang jalan. Air matanya bahkan menetes. Tak bisa membayangkan jika ia tak bisa bertemu lagi dengan Langit nantinya. Bayangan buruk terus menghinggapi pikirannya.
Akhirnya, motor yang ia bonceng berhenti di depan rumah Langit yang sepi. Bintang membayar ojek tersebut dan bergegas melangkah menuju pintu depan. Tetapi saat dia mencoba membukanya, pintu itu terkunci rapat.
Bintang merasa semakin panik. Dia mencoba mengetuk pintu, berharap Langit akan membukanya. Tetapi tidak ada jawaban. Ketukan pintunya semakin brutal dengan terus memanggil Elang berharap pria itu ada di rumahnya.
"Elang! Ini aku! Kamu masih di dalamkan?" tanya Bintang mengitari rumah. Air mata kembali mengalir, dan dia merasa putus asa.
Suara kunci pintu terdengar. Bintang segera menyeka air mata dengan tatapan penuh harap. Ia berharap Langitlah yang membukakan pintu.
"Kenap—"
Tanpa sadar Bintang menyerbu Langit dengan pelukan yang membuat Langit mematung. Tangannya bahkan seketika terangkat ke atas. Ingin saja ia mendorong namun isak tangis Bintang membuat Langit memilih untuk tidak berkutik.
"Hei ... Ada apa?"
Bintang mendongak dengan air mata yang tak bisa berhenti mengalir. Melihat wajah Langit yang jauh dari kata baik-baik saja namun justru menanyakan keadaannya, tangis Bintang kian kencang.
"Kalau kamu menangis sekeras ini, tetangga pasti akan datang dan menuduh kita macam-macam," ucap Langit pelan namun seketika mampu membuat Bintang terdiam.
Wanita itu dengan segera membekap mulutnya. Menghentikan paksa tangis dan menyisakan sesak yang tak bisa dikendalikannya.
"Ru—rumahmu," gagap Bintang kembali menangis. Air matanya mengalir namun suaranya terendam dalam bekapan tangannya sendiri.
"Siapa yang memberitahumu? Kamu datang karena ini?" tanya Langit tersenyum simpul. Ia mencoba tenang meski pikirannya sejak tadi sangat kusut. Memikirkan dimana ia harus tinggal besok, kemana ia harus pergi dan kedatangan Bintang membuyarkan pikiran sekaligus kegelisahannya.
"Minum dulu. Aku tak akan menjawab apapun sampai pikiranmu lebih tenang," ucap Langit menyandarkan tubuhnya. Menatapi ruang tamu yang kini tak berisi. Tak ada lagi sofa dan foto keluarga. Hanya dinginnya lantai tanpa alas yang menjadi tempatnya sekarang.
Hanya kekosongan dengan barang-barang miliknya yang sudah dirapikan.
***
“Padahal aku sangat ingin menangis tapi apa yang harus aku lakukan sekarang? Padahal aku yang diusir tapi kamu yang menangis lebih kencang,” ucap Langit melihat Bintang yang berhasil menenangkan diri. Langit memeluk lututnya dengan pandangan matanya yang lekat menatap wanita di hadapannya.
“Kaꟷkamu boleh menangis sekarang,” balas Bintang asal. Ia menghirup udara dalam-dalam namun isaknya tak kunjung reda. Ia datang untuk menghibur Langit dan kini … justru keadaan tampak berbalik.
“Kamu bercanda ya? Bagaimana bisa aku menangis sekarang. Pulanglah, aku sangat berterimakasih kamu mengkhawatirkanku sampai datang ke sini, tapi sudah terlalu malam.”
“Lalu kamu?”
“Aku … akan di sini sampai besok.”
Bintang menggelengkan kepalanya tegas. Kakinya bahkan sudah kedinginan menyentuh lantai tanpa alas. Ia juga tak melihat ada karpet di sekelilingnya, jika Bintang pergi begitu saja meninggalkan Langit, bukankah pria di depannya akan tidur tanpa alas? Membayangkannya saja Bintang langsung bergidik.
“Kamu mau tidur di sini sendirian?” tanya Bintang. Alih-alih menjawab, Langit hanya mengendikan bahunya. Ia tak berpikir bisa tidur malam ini.
“Kamu punya uang? Aku akan coba loby ibu kostku. Kayanya masih ada kamar kosong. Kalau kamu ga ada uang, aku masih ada tabungan, aku juga bisa minta bantuan Bunda atau akꟷ”
“Kamu ga ngantuk?” tanya Langit mengalihkan pembicaraan dengan santai. Bintang mendelik tajam merasa kepeduliannya tidak dihargai. “Gak! Aku ga ngantuk sama sekali, kenapa?!” galak Bintang melupakan air mata yang beberapa waktu lalu mengalir deras.
“Aku capek banget, jadi bisa hubungi ibu kosmu sekarang?”
Bintang seketika berbinar. Amarah yang sempat memuncak mereda begitu cepat. Senyumnya terukir tipis dengan semangat ia mengecek ponselnya. Mengabaikan malam sudah semakin dingin.
Bintang menghubungi ibu kosnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
