
Chapter 6 - Tamu Tak Diundang
Kantin sekolah begitu ramai oleh siswa-siswi yang kelaparan setelah bergelut dengan mata pelajaran selama dua jam. Bintang yang tak membawa camilan hari ini pun ikut ke kantin. Bersama dengan dua temannya, Nathania dan Juwita.
“Kamu beneran udah mulai akrab ya sama Langit ya. Gimana kesanmu?”
“Kesan apa maksudnya?”
“Obrolannya nyambung?”
“Kalian mikir apa sih, padahal udah jelas kalau Langit pinter ngomong. Dia baik kok. Tadi dia juga jelasin tentang festival. Aku penasaran.”
“Festival? Dia bahkan ga ikut festival tahun kemarin. Katanya buang-buang waktu dan tenaga.”
Bintang terkesiap mendengar jawaban Nathania. bukankah itu jawaban yang biasa dilontarkan dalam drama oleh pria ketus yang sok pintar dan sok bijak.
“Langit bilang gitu?”
“Iya. Awalnya kita ngeremehin eh tahunya beneran dia rangking satu.”
“Selain pintar pelajaran, kayanya dia memang tahu caranya cari musuh,” celetuk Bintang yang seketika merasa kesal. Membayangkan memiliki lawan bicara yang menjawab seperti Langit, siapapun akan merasa seperti diremehkan.
“Iyakan. Kalau kamu nemenin dia karena merasa kasihan dan berpikir kita anak kelas pada jahatin dia, mending pikir ulang deh. Aku juga khawatir kamu capek ngadepin dia yang nguras energi banget.”
“Tapi dia ga gitu kok. Eum ... mungkin nih ya, dulu dia mikir waktu adalah segalanya tapi bisa aja sekarang dia mulai ngerasa kesepian dan ingin mulai membuka diri tapi ga tahu harus mulai darimana. Soalnya respon dia bagus. Ga jauh berbeda sama anak-anak yang lain,” balas Bintang mendorong teman-temannya untuk percaya jika Langit tak seburuk pikiran mereka.
“Bisa jadi sih.”
“Kalau gitu coba bujuk dia ikut festival atau kegiatan lainnya. Itu jadi pembuktian kalau dia benar-benar membuka diri untuk mulai berteman dengan yang lainnya. Kalau dia mendekat, kita juga pasti akan kasih respon yang baik kok.”
Bintang tertegun mendengarnya.
Ia tak bisa membayangkan bagaimana Langit hidup selama ini hingga teman sekelasnya mengatakan seperti itu. Sebegitu tertutupnyakah? Lalu bagaimana dengan acara kegiatan sekolah? Apa dia sama sekali tidak ikut? Bintang menggigit bibir bawahnya. Banyak pertanyaan namun tak satupun yang bisa ia keluarkan.
“Kalau gitu aku coba nanti.”
Membujuk Langit menjadi misi penting bagi Bintang. Ia ingin mengubah pandangan teman-temannya. Balas dendam? Lupakan saja. Itu bisa dilakukan nanti, saat ini ia hanya ingin tahu apa yang terjadi dalam hidup Langit selama ini.
Merasa hubungannya sudah lebih baik. Setelah jam istirahat Bintang langsung membujuk Langit untuk hadir di kegiatan festival. Hasilnya sama saja. Langit menolak dengan tegas meski kali ini, ia tak melontarkan kata-kata yang diucapkan oleh Nathania saat jam istirahat.
Padahal Bintang sudah siap untuk berdebat. Langit hanya mengatakan jika ia memiliki kegiatan yang tidak bisa ditinggal.
Asumsi Bintang, alasan Langit menolak karena pekerjaan part time. Itu alasan paling masuk akal dan jika alasan itu benar, Bintang akan mencoba untuk membujuk atasan agar memberi jatah libur.
“Aku akan mengikutinya hari ini.”
***
Diam-diam mengikuti orang lain memang tindakan yang tidak sopan. Sambil menjaga jarak, Bintang berhasil mengetahui tempat tinggal Langit. Jaraknya cukup jauh dari sekolah membuat Bintang terengah karena Langit mengayuh sepedanya sangat cepat.
“Dia pasti mau ganti baju sebelum pergi ke tempat kerja,” pikir Bintang dan memilih untuk menunggu di belokan. Bintang terus memandangi rumah yang Langit masuki, tak melepas pandangan sedikitpun.
Sepuluh menit berlalu. Bintang terpaku dengan lima anak kecil yang kini berada di depan rumah Langit. Dari penampilannya, mereka hanya menggunakan pakaian biasa, namun semuanya mengenakan tas ransel.
“Apa bukan kerja ya? kursus? Atau mereka mau menemui adik Elang? Seingatku orang tua sambungnya punya anak kecil.”
Bintang tak bisa membiarkan rasa penasaran terus menghantuinya. Ia kini terang-terangan mengayuh sepeda menghampiri ke lima anak tersebut.
“Permisi adek, ini rumah kak Elang ... ah! kak Langitkan?” tanya Bintang memberikan senyum terbaiknya.
Anak-anak sekarang sudah pandai untuk waspada terhadap orang yang tak dikenal. Beberapa tampak menjaga jarak darinya. “Ini rumah kak Langitkan? Kalian sedang apa di sini?”
“Kakak temannya kak Langit?”
“Iya. Aku dan Kak Langit satu sekolah, kita juga satu kelas. Seragamnya juga sama,” balas Bintang dengan bangga. Ia harus meyakinkan anak-anak di depannya agar mendapatkan kepercayaan anak-anak di hadapannya.
Terdengar bisik-bisik diantara kelima anak tersebut. Mencoba untuk meyakinkan satu sama lain jika wanita tak dikenalnya itu bukan orang berbahaya.
“Kayanya beneran temen kak Langit deh,” celetuk salah satu anak.
“Kakak sedih lho. Kak Langit ga pernah bilang ya kalau punya temen secantik kakak?” balas Bintang lagi dengan memasang ekspresi muram, mencoba menarik simpati anak-anak di depannya.
“Kak Langit ga pernah kenalin siapa-siapa ke kita. Kakak cari Kak Langitkan? Ini rumah kak Langit dan kita mau belajar sama kak Langit.”
“Belajar? Setiap hari?”
“Engga seminggu tiga kali.”
“Kalau gitu kakak juga mau ikut deh,” ucap Bintang dengan senyum merekah ia memarkirkan sepedanya. Berkamuflase menjadi anak-anak, Bintang dengan setia menunggu pintu gerbang di buka, hingga akhirnya pria yang dinanti muncul.
Raut terkejutnya sangat terlihat dan Bintang dengan senang hati menyapanya.
“Maaf, tapi aku tersesat sampai sini. Aku boleh mampir sebentarkan? Aku mengayuh sepeda jauh sekali, capek banget.” Bintang membuat alasan kala sorot mata Elang memandangnya dengan tajam.
Ia penasaran. Langit cukup ketus dengan teman sekelasnya, ia ingin melihat bagaimana cara Langit mengajari anak-anak yang tak lain menjadi sumber uangnya.
“Kalian masuk dulu ya,” ucap Langit dengan sangat lembut dengan menepuk pelan pundak anak didiknya. Hal itu membuat Bintang yang di dekatnya terjengit sekaligus merinding.
“Wah ... aku tak tahu seorang Elang sangat menyukai anak-anak.”
“Apa aku pernah mengatakan benci anak-anak? Dari dulu kita juga tinggal dengan banyak anak-anak. Jadi apa maumu?”
“Menemuimu. Boleh lihat kamu ngajarin mereka? Aku akan diam seperti patung.”
“Pulang. Apa ga cukup menggangguku di kelas? Berhentilah untuk terobsesi dekat denganku.”
“Obsesi? Kejam sekali ucapanmu. Padahal aku datang dengan niat ba─”
“Langit! Kenapa kamu kenapa masih di luar?!” Suara wanita paruh baya menginterupsi begitu lantang. Perhatian Langit dan Bintang teralihkan.
“Selamat sore tante. Saya temannya Langit. Apa saya boleh mampir? Saya Bintang Kejora, teman satu sekolah Langit.”
“Ah ... teman ya? Ini pertama kali Langit bawa temannya ke rumah, ibu cukup kaget. Tentu saja boleh tapi ... Langit sangat sibuk karena harus mengajar. Apa dek Bintang baik-baik saja?”
“Tentu saja. Saya akan baik-baik saja. Ada yang ingin saya bicarakan juga dengan tante.”
“Mau bicara apa kamu?” ketus Langit dengan kewaspadaan tinggi. “Pulang sekarang!” gertaknya kali ini dengan mata melotot. Alih-alih takut, Bintang justru berlari menghampiri wanita paruh baya yang Bintang yakini sebagai ibu sambung Langit.
“Lihat tante, Langit sangat kejam. Ibumu saja mengijinkan kenapa kamu melarang. Apa kekuasaan tertinggi di rumah ini di pegang olehmu? Tidakkan?” galak Bintang.
“Tante, aku ga tahu kalau Langit mengisi bimbingan belajar.”
“Anak itu sangat suka belajar. Sebagian yang bimbingan belajar dengan langit bisa masuk sekolah negeri jadi banyak ibu-ibu yang menitipkan anaknya.”
“Luar biasa sekali. Di sekolah Langit juga sangat pintar.”
“Tentu saja, siapa dulu ibunya.” Bintang tersenyum lebar dengan penuh ketulusan meski punggungnya terasa panas. Tanpa perlu menoleh, ia yakin Langit sedang menahan amarahnya sekarang, namun Bintang tak peduli. Ia ingin merayu ibu Langit agar memberikan ijin untuk festival.
Selagi Langit mengajar dengan waspada. Bintang tampak ceria berbincang dengan ibunya.
‘Sial! apa yang dia lakukan di sini,’ batin Langit merana.
“Tante, tahu gak? Di sekolah Langit kejam sekali. Dia selalu memasang wajah datar dan mengasingkan diri dari orang lain. Aku sampai penasaran dan datang menemui tante langsung. Apa Langit memang seperti ini? Oh iya! Langit juga ga pernah jajan. Dia selalu tidur di sela-sela waktu pagi, saat istirahat, setelah jam makan. Dia tidur terus. Akukan jadi sedih, tante juga pasti sedihkan? Karena itu ... aku minta ijin ke tante buat bujuk Langit biar ikut festival. Apa boleh?”
“Festival?”
“Iya. Ini kegiatan sekolah. Semua siswa datang. Katanya tahun lalu Langit ga datang, kan sayang kalau tahun ini ga datang juga.”
“Tentu … tentu saja boleh. Kalau semua orang datang, anak ibu juga harus datang.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
