BAB 3. PRAKOSO TUNGGA?

14
8
Deskripsi

PART INI BERISI MASA SEKARANG. 15 TAHUN KEMUDIAN. TERIMAKSIH. 

BAB 3 JANJI ABANG

“Abaangg….”.

Lagi-lagi mimpi itu. Mimpi buruk yang menghantuinya dua tahun belakangan ini, lebih tepatnya ketika ia memutuskan pindah dari Bali ke Jogja. Dia lantas bangun dari ranjangnya, dan berjalan ke balkon kamar kostnya. Tak lupa dengan segelas air putih.

Matanya memandang lurus langit malam, bukan ini pasti sudah dini hari menjelang subuh. Dinginnya malam juga tak membuat gadis itu kembali masuk ke kamarnya.

“Abang dimana?. Kenapa Abang pergi?. Arumi rindu, bang. Lihat, Arumi bisa wujudtin mimpi Rumi, Bang”.

Airmatanya menetes kembali. Ia tak peduli pada suara tangisannya yang mungkin terdengar tetangga kamarnya. Ia hanya ingin menumpahkan segala rindu ini.

Gadis itu Arumi, si peri kecil milik Shandy yang 15 tahun lalu selalu ia hampiri setiap akhir pekan.

Berawal dari liburan keluarga Shandy ke Kaliurang. Disanalah Shandy bertemu Arumi. Anak pembantu di villa milik Shandy. Arumi yang polos dan periang juga sopan. Membuat Shandy sudah menganggapnya adik sendiri.

“Ini, abang punya hadiah”. Ucap Shandy. Sebuah kalung dengan liontin huruf AA.

“Kok ada dua A, bang?”. Tanya Arumi polos.

“A untuk Abang, A satunya untuk Arumi. Kalung ini sebagai tanda Abang sayang Arumi.”.

Arumi menyentuh kalung cantik yang menempel dilehernya, belakangan ia tahu harga kalung itu menyentuh tiga digit. Apalagi ini sudah 15 tahun berlalu. Pasti makin mahal.

“Sudah 15 tahun ya, Bang?. Abang pasti sudah menikah. Sudah punya keluarga, sudah punya anak. Dan abang pasti sudah berumah tangga”.

“Abang apa kabar?. Abang janji bakal nemenin Rumi sampai lulus. Tapi sejak kelulusan sekolah dasar sampai Arumi disumpah jadi dokter pun Abang nggak ada. Abang kemana?. Abang bahkan nggak pamit sama aku kalau pergi pendidikan. Apa karna Abang nggak sayang Rumi?”.

Malam makin larut, tapi tangisan Arumi juga tak kunjung surut. Ia rindu pada pria itu, ahh mungkin saja sudah suami orang lain. Pilu rasanya jika memikirkan Shandy yang telah menjadi milik yang lain.

Ia ingat, 15 tahun yang lalu. Saat ia bangun pagi di hari Minggu. Biasanya akan bertemu Shandy di meja makan, lelaki itu pasti menginap di villa setiap minggunya. Ia akan Memasakkan makanan untuknya, lalu bermain bersama. Begitulah aktivitas mereka.

Tapi hari itu tidak. Shandy sudah pulang kembali ke Jogja sabtu malam. Dan tak berpamitan dengannya.

Setiap minggu selalu ia menunggu Shandy di gazebo depan. Berharap setiap sabtu sore Shandy datang. Tapi nyatanya, Shandy tak pernah datang. Sampai 15 tahun berlalu, ia tak pernah bertemu.

“Ibu, Abang kemana?. Kenapa nggak pernah kesini lagi?.”, dan setiap bertanya pada Ibunya, selalu saja jawabannya ia diminta sabar. Mungkin Abang Shandy sedang sibuk.

Akhirnya belakangan ini dia tahu. Ibunya pada awalnya tak tega berkata yang sejujurnya, jadilah ia akan berkata pada Arumi nanti beberapa bulan lgi. Tapi sebelum Ibunya mengakatakan semuanya. Keluarga mereka ditimpa musibah. Ia baru tahu 5 tahun ini. Setelah Ibunya makin sehat dan dia mengingat sesuatu.

“Maafkan Ibu, Rumi. Karna ketidakjujuran Ibu. Kamu jadi berpisah sama Nak Shandy”.

Ia memang bisa apa?. Marah dengan ibunya?. Tentu tidak. Ia hanya mencoba iklas. Mungkin inilah jalannya.

Drt

Drt

Drt

Dering telfon membutnya sadar. Ia terlalu lama menangis. Ia lantas berbalik kekamar dan menutup pintu balkon.

“Halo Asslamu a’laikum. Mah”.

Ia berusaha menyembunyikan suara paraunya. Mamahnya akan sedih jika tahu dia menangisi lelaki bernama Shandy. Mamahnya akan menyalahkan dirinya sendiri karna telah memisahkan dia dengan Shandy.

“Kamu sehat, Rum?”. Tanya seorang perempuan yang ia panggil Mamah diseberang sana.

“Alhamdulillah Arumi sehat, Mah. Mamah bangun solat tahajud ya?”.

Melirik jam dinding di kamar kost yang menunjukkan pukul 3 dini hari. Pasti Mamahnya melaksanakan solat malam.

“Iya Rum, terus keinget kamu. Tadinya mamah nggak mau ganggu kamu. Kan pulang dari jaga rumah sakit jam 11 malem. Pasti kecapekan. Eh kok mamah bawaanya inget kamu”.

Ada segurat senyum diwajah Arumi. Meski bukan ibu kamdungnya, sang mamah sudah lebih dari cukup membesarkan dia. Wajar jika ikatan batin secara tak sengaja terjalin. Mamah dan Papahnya lah yang membuatnya dan adiknya Ayumi bisa seperti ini. Meski diawali dengan tragedi yang membuatnya harus perpisah dengan Shandy.

“Makasih ya Mah. Udah selalu inget Arumi. Aku sama Ayumi berhutang banyak sama Mamah”.

“Rum, mamah yang harusnya minta maaf. Karna kejadian itu, karna anak mamahlah hidup kalian berubah. Termasuk berpisah dengan ‘Abangmu’”

“Mah, apa yang mamah dan papah berikan udah lebih dari cukup untuk kami. Ibu juga udah sehat lagi. Toh memang dari awal Ibu menyembunyikan tentang Abang. Takut aku kefikiran. Aku juga baru keinget Abang 5 tahun belakangan ini setelah Ibu cerita semuanya. Jadi mamah jangan merasa bersalah apapun ya”.

Ada suara isakan diseberang sana. Arumi yakin, mamahnya sedang menangis. Sungguh ia tak tega melihat mamahnya bersedih seperti ini.

“Mamah sayang kamu dan Ayumi, Rum. Papahmu juga. Kalian tetep jadi anak mamah kan?.”

“Selalu, Mah. Kita juga sayang mamah papah.”

Arumi berakhir tak mampu memejamkan matanya kembali, selalu seperti ini jika mengingat Shandy, Abang tersayangnya.

________________________________________

“Selamat pagi dokter Arumi,”

“Pagi Sus Ana”

“Pagi Dok”.

“Pagi, Sus Dera”.

Meski hanya tidur 4 jam, Arumi tetap kelihatan segar. Setiap pagi ia menyempatkan berolahraga terlebih dahulu.

Seperti pagi ini, ia ada jadwal praktek pukul 8 pagi. Bekerja sebagai seorang dokter umum di Rumah Sakit Negeri di Jogkakarta, membuatnya harus disiplin juga ramah.

“Kopi inthemurning for Arumi”.

Segelas less coffee low sugar tersaji dimejanya. Ia mengernyit bingung.

“Aku nggak pesen kopi, Sel”.

Selia, teman satu profesinya. Bahkan teman dari jaman berkuliah di Bali, sekarangpun satu rumah sakit.

“Ya lu kira gue seromantis itu buat ngasih kopi ke elu?.” Sewot Selia malas.

“Terus?”. Ia menghentikan kegiatan memeriksa data pasien di komputernya.

Selia mencodongkan tubuhnya, mensejajarkan wajahnya dengan komputer Arumi.

“Dari bakal calon suami lu, Dokter Prasetya Nugroho spesialis anak. Cuman sayangnya belum ada yang mau diajak bikin anak”.

Tawa suster yang bertugas sebagi asisten Arumi pagi ini tumpah. Untung ada masker yang meredam tawanya.

“Ngaco kamu, tuh. Sekelas dr.Pras ngapain naksir aku?. Tuh banyak yang lebih kece dari aku”.

“Makannya bergaul. Kagak ngedongkol aje dimari. Noh, seantero rumah sakit udah tahu lu bakal calon bininya Dokter Pras”.

Mata indah Arumi membola kaget. Ini masih pagi dan dia sedang digosipkan se rumah sakit. Yang bener aja?.

“Gimana konsepnya?”. Tanya Arumi penasaran. Ia melilirik sejenak jam ditangannya. Masih ada 15 menit sebelum jam prakteknya dibuka.

“Pertama, tiap kali ke IGD selalu yang ditanyain adalah elu, masuk apa, lagi dimana, kira-kira udah makan belum, terus ada lemburan enggak. Kedua, tiap ke kantin kusus dokter dia selalu nanya ke petugas, elu udah makan belum. Ketiga, selalu gue yang diteror buat dimintain tolong ngirim beginian ke eluu, nyet. Peka napa sihhh!!!”.

Arumi mulai mencocoklogi semua perkataan Selia. Iya sih, dia selalu dapat salam dari Dokter Pras tiap kali di IGD, salamnya dititipkan ke suster jaga. Dia juga sering dapat kiriman entah makanan atau minuman, ada yang dititipkan Selia, ada yang dari petugas kantin, ada juga dari satpam yang menerima orderan gofood untuk dirinya padahal dia nggak pesen. Ia fikir memang dokter Pras ramah dan baik kesemua orang.

“Tapi kenapa dia nggak pernah nemuin aku langsung? Nggak pernah ngechatt juga, nelfun apalagi”. Selidik Arumi. Bukannya lelaki kalau naksir tuh ada effort pendekatan ya?.

“Kalau itu lu tanya aja sama dia. Menurut gue nih. Dengan dia ngirim berbagai makanan ke elu. Biar elu wa tuh, bilang makasih. Terus lu bales ngirim balik ke dia. Akhirnya makin deket, jadian, nikah, bikin anak, jadi deh se KK”.

“Ihhhh mulutmu tuh, lagian aku kalau dia pamrih minta dikirim balik. Ogah ah. Hemat. Duit disimpen. Sana gih balik udah jam praktek hlo”.

Lebih baik mengusir soibnya ini, dari pada dia bilang yang aneh-aneh. Ingatkan dia bahwa suster dibelakangnya adalah admin lambe turah rumah sakit. Sudah pasti ini akan segera menyebar seantero jagad raya. Arumi malas dengan hal seperti itu.

Sebelum langkahnya benar-benar keluar dari ruangan Arumi, Selia mebalikkan badannya. “Rum, mamah kamu minta aku bujukin kamu ambil spesialis. Toh kamu sekarang udah dokter reside, mumpung ada kesempatan, Rumi”

Belum sempat dia menjawab, Selia sudah menutup pintu ruangannya. Inilah alasan dia mendaftar di rumah sakit ini, ingin mandiri. Supaya tidak merepoti mamah dan papahnya. Sudah cukup uang mereka untuk pendidikan dia dan adiknya. Belum biaya kuliah kedokteran yang luar biasa mahal. Masih harus juga menghidupi ibunya. Rasanya Arumi sungkan merepotkan mereka. Sudah menjadi dokter umum saja dia sudah bersyukur, ini mimpinya. Meski tanpa Abang Shandy yang menjadi saksi keberhasilannya.

“Aku kangen Abang”

_______________________________________

BRAK!!!

“Arumiiii…..”.

“Apa sihh. Astafirullahalzim. Ngangetin tahu nggak”. Arumi terkaget dengan kedatangan Selia lagi di jam makan siang begini.

Dengan nafas ngos-ngosan sehabis berjalan cepat dari ruangannya. Selia langsung mendobrak pintu ruangan Arumi yang didalam IGD.

“Gue dapet berita. Lu jadi salah satu dokter yang dikirim ke 3T. Lu diterima CPNS”

“Seriusss!!!”. Arumi berseru girang. CPNS dia diterima?. Ia lolos begitu?.

“Iyaa….aaaaaahhh gue seneng banget, Rum. Perjuangan lu nggak sia-sia. Ntar kalau duit udah kumpul lanjut spesialis ya. Ok?. Janji hlo”

“Iya gue janji. Alhamdulillah Ya Allah”.

Kedua sahabat itu nampak bahagia. Melupakan status mereka yang seorang dokter yang harus jaga wibawa. Keduanya nampak saling berpegangan tangan dan berputar-putar bahagia.

Ini mimpinya, namun dia beruntung memiliki sahabat seperti Selia yang selalu mendukungnya. Meskipun gadis itu lebih dulu PNS dan mendapatkan gelar spesialis kulit. Bahkan sudah punya klinik sendiri. Tapi ia sama sekali tak ada persaingan. Persahabatan mereka tulus.

“Lu berangkat ke tempat 3T barengan 2 kompi penuh TNI AD dari Batalyon Jogja. Komandannya ganteng parah. Gue denger bapaknya petinggi rumah sakit ini. Keluarga Prakoso Tungga”.

“Prakoso Tungga. Kayak nggak asing?”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BAB 4. ADA APA DI 15 TAHUN LALU?
0
0
Ini kisah tentang apa yang terjadi dengan Arumi 15 tahun lalu. Selamat membaca
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan