
Nada mengira keluarganya sempurna, tempat di mana ia merasa aman dan dicintai.
Namun, semua itu hancur saat ia memergoki ayahnya bersama wanita lain. Dunia yang selama ini terasa hangat, seketika runtuh. Menyisakan kehampaan dan luka yang tidak terhindarkan.
Dan dalam sekejap, semua tidak lagi sama.
BAB 1
“Papa?”
Nada berdiri terpaku di sisi meja restoran. Menatap datar pada pria yang selama ini dipanggilnya ‘Papa’ dan tengah duduk bersama seorang wanita asing.
“Nada!” Rizal tersentak. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan putrinya di jam makan siang seperti sekarang. Wajahnya tegang sesaat, sebelum akhirnya memaksakan senyum dan berusaha bersikap tenang. “Kamu ngapain di sini?”
“Justru aku yang harusnya tanya, Papa ngapain di sini?” Matanya menyipit tajam. Ia melirik sekilas ke arah wanita asing di sebelah papanya, sebelum bertanya dengan nada dingin. “Lo siapa?”
“Dina,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Berusaha terlihat biasa, kendati ada sedikit perasaan was-was di hatinya.
“Lo ngapain sama Papa gue?” Nada bersedekap. Intonasinya naik satu oktaf, membuat beberapa orang di sekitar mulai menoleh.
Nada hanya menatap Dina sekilas tanpa ekspresi dan membiarkan tangan wanita itu menggantung di udara. Kemudian, pandangannya jatuh pada beberapa paper bag bermerek yang tergeletak di kursi yang berbeda.
“Nada.” Rizal menarik napas dalam. “Mbak Dina ini rekan kerja Papa, jadi sopan sedikit karena dia lebih tua dari kamu.”
Nada menyeringai sinis. “Rekan kerja yang gandengan mesra sambil keluar masuk toko, begitu?” Ia menoleh ke Dina dengan tatapan sinis. “Eh, lo tahu nggak kalau Papa gue masih punya istri?”
Nada menunggu jawaban, tetapi wanita itu hanya diam dan menarik tangannya kembali.
“Nada, pulang sekarang,” Rizal mencoba meraih tangan putrinya saat berdiri. “Kita bicarakan ini semua di rumah.”
Nada segera menarik tangannya dengan kasar. Rahangnya mengeras saat ia kembali menatap Dina.
“Nggak! Jawab dulu!” Nada menunjuk tajam pada Dina. “Lo tahu nggak kalau Papa gue masih punya istri? Lo budeg dari tadi cuam diem aja.”
“NADA!” Rizal menghardik keras dan menatap tajam.
Nada membalas tatapan ayahnya tanpa gentar. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, sedikit bergetar karena menahan emosi yang semakin meluap.
“Apa!” jawab Nada dengan suara yang bergetar dan dadanya mulai naik turun. “Mama lagi sakit di rumah, tapi Papa malah enak-enakan selingkuh sama perempuan murah ini.”
Dina tersentak. Ekspresinya berubah dingin. “Nada! Jaga mulutmu!”
Nada terkekeh pendek. “Kalau lo nyuruh gue jaga mulut, harusnya lo juga bisa jaga harga diri dong!” Ia menutup mulutnya dengan satu tangan, berpura-pura kaget. “Ups, sorry, lo kan nggak punya harga diri.”
Rizal menggeram. “Nada, pulang!” Matanya melirik ke sekeliling restoran. Orang-orang menatap mereka, beberapa bahkan sudah mengangkat ponsel, merekam setiap detik pertengkaran ini.
Nada mencibir. Ia menatap sekilas paper bag di kursi. Tanpa berpikir panjang, ia meraih semua sekaligus, lalu membalikkan isinya ke lantai. Gaun, sepatu, dan tas bermerek berhamburan.
Tanpa puas, ia menginjak barang-barang itu. Sol sepatunya menggesek kain mahal, merusaknya tanpa ampun. Lalu, ia meraih botol saus dari meja dan menuangkan isinya ke atas benda-benda itu.
“Nada! Berhenti!” Dina berteriak panik, segera berdiri dan mendorong tubuh gadis itu. Namun terlambat. Semua barang belanjaannya sudah hancur.
Nada menatap puas, meskipun dadanya masih sesak karena kemarahan. “Gimana rasanya, Din? Sakit? Nyesek, kan, lo?” Nada berdecih dan tersenyum miring. “Tapi ini semua nggak sebanding dengan apa mama gue rasain!”
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat telak di pipi Nada.
Nada terhuyung ke belakang. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang kini panas berdenyut. Matanya membulat, menatap Dina dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan.
“LO!”
Nada baru mencoba mendekat, tetapi tubuh Rizal dengan segera menghalangi.
“Papa bilang pulang!” desis Rizal sambil mencengkram erat lengan putrinya. “Kamu di sini cuma bikin malu!”
“Papa nggak lihat? Dia baru aja nampar aku!” Nada menunjuk Dina yang sibuk dengan barang belanjaannya dan dengan sengaja mengeraskan suaranya.
Restoran mendadak sunyi. Tidak ada yang bergerak, bahkan suara bisik-bisik pun lenyap melihat keributan yang baru terjadi.
“Itu karena kamu nggak bisa jaga sikap!” hardik Rizal melihat ke sekitar lalu menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. “Papa sudah bilang kita bicara dan selesaikan semuanya di rumah, tapi kamu justru bikin onar!”
Nada menatap ayahnya dengan mata berkilat, seolah pria itu baru saja berubah menjadi orang asing. Rahangnya mengeras. Dadanya terasa sesak.
“Papa yang selingkuh tapi aku yang dibilang bikin onar!” Suara Nada semakin keras. Ia pun lantas bertepuk tangan setelah menghempas tangan papanya. “Hebat!”
Selagi Nada sibuk dengan dramanya, Rizal buru-buru menghampiri Dina yang memasukkan barang belanjaan ke dalam paper bag-nya dengan menggerutu.
“Ayo kita pergi,” ajak Rizal meraih lengan Dina. “Kita makan di tempat lain.”
“Tapi, Sayang, ini semua rusak,” ucap Dina tidak lagi mau peduli dengan orang di sekelilingnya. “Gara-gara anakmu.”
“Nanti kita beli lagi,” ucap Rizal lalu dengan segera membawa Dina keluar dari restoran.
“HEI!” Nada berteriak, tetapi kedua orang itu terus berjalan tanpa mau menoleh lagi padanya.
Geram karena tidak dipedulikan, Nada meraih botol saus sambal dan kecap dari meja berbeda dengan gerakan cepat. Napasnya memburu, dadanya naik-turun dipenuhi luapan emosi. Tanpa pikir panjang, ia berlari menyusul keduanya.
Saat jaraknya cukup dekat, tanpa ragu ia mengangkat kedua botol itu tinggi-tinggi, lalu menumpahkan isinya tepat di atas kepala Dina dan melemparnya ke tubuh wanita itu. Cairan merah dan hitam kental itu bercampur, menetes perlahan di rambut dan bahu wanita itu. Mengotori pakaian yang sebelumnya tampak sempurna.
Dina menjerit histeris, tangannya reflek meraih kepala, tetapi terlambat. Noda lengket sudah menyebar, meresap ke kain dan turun ke wajahnya. Ia berbalik dan membeliak, wajahnya memerah menahan malu dan amarah.
Sementara itu, Nada berdiri tegak, menatap Dina dengan sorot mata yang tajam dan penuh kemenangan.
PLAK!
“NADA!” Rizal reflek menampar dan membentak putrinya sekaligus.
Nada tersentak, langkahnya goyah saat rasa panas kembali menjalar di pipinya. Tamparan itu mendarat di tempat yang sama seperti sebelumnya. Namun, bukan hanya kulitnya yang terasa perih, tetapi lebih dari itu. Ada sesuatu yang jauh lebih menyakitkan, yakni sikap papanya yang lebih memilih membela wanita itu.
“Aku nggak nyangka anakmu bisa seliar ini!” hardik Dina sedikit menjauh untuk mengambil tisu yang ada di meja di dekat pintu.
“Liar katamu!” Nada mendesis, rahangnya mengeras menahan gejolak amarah yang membuncah di dada. Matanya yang mengembun semakin terasa panas, karena mengingat sang mama yang terbaring sakit di rumah.
Tanpa pikir panjang, Nada melesat ke arah Dina. Dalam sekejap, tangannya mencengkeram rambut wanita itu dengan keras, menariknya hingga Dina menjerit dan …
💙💙💙💙💙💙💙
BAB 2
“Ini baru yang namanya liar!”
Nada mencengkeram rambut Dina, menariknya ke belakang dengan gerakan kasar hingga wanita itu terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan.
"LEPASIN!" Dina meronta panik, merintih kesakitan. Tangannya menggapai udara, mencoba mencakar lengan Nada, tetapi gadis itu terlalu gesit. Nada terus menarik dan memutar kepala Dina ke berbagai arah, membuat wanita itu terhuyung tidak menentu dan hampir terjatuh.
Dina tidak bisa menggapai tubuh Nada, karena gadis itu berada di belakangnya. Ketika ia hendak berputar, Nada dengan gesit tetap memposisikan tubuh di belakangnya.
"Lo pikir lo siapa!" Nada berteriak. Ia tidak mau peduli dengan banyak mata yang melihat dan merekam tindakan brutalnya. Baginya, semakin banyak yang merekam justru semakin bagus.
Jika mau rusak, maka Nada akan merusak semuanya sekalian. Berikut dengan image papanya yang berprofesi sebagai karyawan penting di salah satu perusahaan negara.
“Mas,” rintih Dina putus asa.
“Nada! Cukup!” Rizal akhirnya membuka mulut, suaranya menggelegar. Namun, putrinya seolah tuli, tangannya semakin mengerat pada rambut Dina, menariknya ke belakang hingga wanita itu menjerit kepedihan.
Sejak tadi, Rizal mencari celah untuk memisahkan keduanya, tetapi Nada bergerak terlalu cepat, terlalu beringas. Amarahnya seolah sudah melampaui batas. Jika Rizal memisahkan mereka dengan cara yang salah, Dinalah yang akan terluka.
Sudah bisa dipastikan, rambut Dina akan rontok dan kulit kepalanya akan terluka jika Rizal tidak memisahkan di waktu yang tepat.
“Mbak, Mbak, sudah, Mbak,” ucap salah satu karyawan restoran yang mencoba menenangkan dan juga mencari cara untuk melerai dua perempuan itu. “Kasihan, Mbak.”
Alih-alih berhenti, cengkraman Nada di rambut Dina justru semakin erat. Ia mendorong kepala Dina ke depan, lalu menariknya lagi ke belakang dengan kasar.
“NADA! BERHENTI!” Rizal akhirnya menarik Nada dengan paksa, melepaskan cengkeramannya dari rambut Dina sebelum sesuatu yang lebih parah terjadi.
Benar saja, Rizal melihat segumpal helaian rambut sudah berada di tangan putrinya dan Nada membuangnya dengan tatapan jijik.
Sementara itu, Dina gemetar sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ia bisa merasakan ada bagian kulit kepalanya yang perih dan terasa kosong.
“Rambutku ...” rintihnya histeris lalu menunjuk Nada. Namun, gadis itu bertolak pinggang dengan tatapan sangar, membuat nyali Dina ciut seketika dan menurunkan tangannya. “Aku pasti laporkan semua ini! Tunggu aja!”
“Silakan!” tantang Nada pongah. “Gue nggak takut sama perempuan murah kayak lo! Dengar itu! MU-RAH!”
“NADA!” Tangan Rizal sudah kembali melayang di udara. Namun, Nada yang menyadari hal tersebut segera menjauh dan menjaga jarak.
“Sekali lagi gue lihat lo sama Papa—”
“Diam!” bentak Rizal pada Nada yang menunjuk Dina. “Sekali lagi kamu bicara, uang bulanan dan biaya kuliahmu Papa stop!”
Tanpa ingin bicara lagi dan memperpanjang masalah, Rizal menarik tangan Dina, menggiringnya keluar dari restoran.
Dina menoleh sekilas, sorot matanya penuh ketakutan dan kemenangan sekaligus. Ia tahu bahwa dirinya adalah pemenang dalam pertengkaran ini karena Rizal memilihnya, bukan putrinya sendiri.
Sementara itu, Nada berdiri terpaku, dadanya terasa sesak. Tangannya bergetar hebat, dan akhirnya, air mata yang sejak tadi ia tahan jatuh satu per satu.
Nada kalah. Bukan karena dia yang salah. Tetapi karena orang yang seharusnya berada di pihaknya justru memilih ... meninggalkannya.
~~~~~~~~~~~~~
“Biiik!” Suara Rizal menggelegar saat memanggil asisten rumah tangganya dari ruang tengah.
Tidak butuh waktu lama, seorang wanita paruh baya muncul tergesa dari dapur. Wajahnya dipenuhi kecemasan saat ia melihat ekspresi tuannya yang tampak lebih suram dari biasanya.
“Nada sudah pulang?” Rizal bertanya tanpa basa-basi, matanya menatap ke arah tangga, lalu menyipit ke lantai dua.
“Su-sudah, Pak,” jawab wanita itu dengan sedikit tergagap.
Rizal menarik napas dalam, mencoba menekan amarah yang masih membara di dadanya. “Panggil Nada dan bawa ibu ke sini. Sekarang.”
Wanita itu mengangguk lalu berbalik, berjalan cepat menuju lantai dua.
Sementara itu, Rizal menghempaskan tubuhnya ke sofa tunggal dengan kasar. Kedua telapak tangannya mengusap wajahnya yang penat, sementara pikirannya terus berputar tentang kejadian tadi.
Nada sudah kelewatan.
Dan sebagai seorang ayah, ia harus memastikan putrinya memahami konsekuensi dari setiap perbuatannya.
Tidak peduli seberapa kuat putrinya itu akan melawan dan seberapa dalam luka yang mungkin tercipta di antara mereka.
Sebab, malam ini ... segalanya akan berubah.
“Mbak Nada sebentar lagi turun, Pak,” ucap Nining, asisten rumah tangga yang baru saja turun tangga. “Saya ke kamar ibu dulu, permisi.”
Rizal tidak menjawab atau mengangguk. Ia hanya melihat Nining menghilang, lalu beralih pada ujung tangga lantai dua. Karena belum ada tanda-tanda kemunculan Nada, ia pun menyandarkan kepala lalu memejam. Mengistirahatkan pikirannya barang sejenak.
“Ada apa, Pa?” tanya Anggi lalu mengangguk pada Nining. Memberi isyarat, wanita itu sudah bisa meninggalkannya di ruang tengah.
Rizal membuka mata, mengembuskan napas perlahan saat pandangannya jatuh pada sosok Anggi yang duduk di kursi roda. Sejak kecelakaan dua tahun lalu, banyak hal yang berubah dalam hidup mereka, terutama bagi istrinya. Tulang belakangnya mengalami cedera serius, merenggut kemampuan Anggi untuk berjalan.
“Kita tunggu Nada sebentar.” Saat pandangan Rizal mengarah ke lantai dua, sosok putrinya tampak di sana. Tanpa ekspresi, Nada menuruni tangga dan menatap datar ke arahnya. “Itu dia.”
“Papa serius mau bicarain ini di depan Mama?” Nada tertawa hambar sambil melangkah tergesa menuruni tangga. “Jadi, begini akhirnya?”
“Ada apa ini, Nad?” tanya Anggi melihat ke arah Nada dan Rizal bergantian.
“Papa yang cerita atau aku?” tanya Nada dengan berani.
Di saat Nada tahu papanya lebih membela wanita asing di restoran, di saat itu juga rasa hormatnya hilang pada Rizal. Ia terus berjalan melewati Anggi dari belakang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berseberangan dengan Rizal.
“Apa yang mau diceritakan?” tanya Anggi semakin penasaran karena belum mendapatkan jawaban.
“Nada ...” Rizal menghela panjang, sebelum berujar, “ribut sama Dina di restoran siang tadi.”
Nada sontak menegakkan tubuh. Menatap tanya dengan dahi berkerut. Jelas ia terkejut karena mamanya ternyata tahu perihal Dina.
“Mama tahu Dina?” tanya Nada tegas.
Anggi menahan napas saat melihat tatapan intimidasi Nada. Namun, matanya menyipit ketika melihat pipi kiri putrinya yang memerah.
“Kenapa pipimu, Nad?” tanya Anggi mengarahkan kursi rodanya mendekat. Saat tangannya ingin menyentuh wajah Nada, putrinya menjauhkan wajah.
“Mama kenal Dina?” tanya Nada lebih tegas lagi dengan suara yang semakin lantang.
Napas Anggi terbuang besar. Ia menatap Rizal sesaat lalu kembali pada Nada dan mengangguk pelan.
“Dina itu ...
💙💙💙💙💙💙💙💙
BAB 3
“Apa!” Nada menggeleng. Tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya dari Anggi. Napasnya tercekat dan dadanya semakin sesak. “Dina itu ... istri papa?”
Nada tertawa getir. Ternyata, kenyataan yang terungkap lebih menyakitkan dari apa yang ia lihat tadi siang.
“Kapan? Sejak kapan Papa nikah dan sejak kapan Mama tahu semuanya?” cecar Nada tidak sabar dan langsung beranjak dari tempatnya. Ia berdiri di tengah ruang dengan perasaan gusar. Menunggu jawaban dari orang tuanya.
“Nada, duduk dulu,” pinta Anggi masih menatap pipi putrinya yang memerah.
“Aku nggak mau duduk,” tolak Nada lalu bersedekap dengan tangan yang mengepal erat. “Aku mau jawaban.”
“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rizal tetap tenang saat memberi jawaban pada putrinya. “Dan Papa sudah minta izin ke Mamamu sebelum menikah.”
Satu setengah tahun?
Nada sontak membeku di tempat. Jadi ... selama ini ia hidup dalam kebohongan? Keluarga harmonis yang selama ini sempat tercipta di kepala, menyimpan rahasia yang cukup membuatnya terluka.
Ia mengira, Dina hanyalah perempuan murahan yang menempel pada papanya. Namun, nyatanya? Perempuan itu sudah SAH menjadi istri.
Nada menelan ludah, tatapannya beralih pada Anggi yang duduk diam di kursi roda. Mamanya tidak terlihat marah, maupun kecewa. Bahkan, Anggi terlihat baik-baik saja. Seperti tidak ada hal penting yang sudah terjadi selama ini.
“Kenapa, Ma?” Nada meninggikan intonasi bicaranya. “Kenapa—”
“Karena Mama nggak bisa apa-apa,” sela Anggi datar. “Apa kamu nggak lihat, Mama cuma bisa duduk di kursi roda? Sementara papamu ...” Anggi menarik napas dalam-dalam. “Mama sudah ....”
Anggi tidak lagi bisa meneruskan ucapannya. Mengingat bagaimana kondisinya saat ini, ia hanya bisa pasrah karena tidak lagi bisa melayani suaminya seperti dulu.
“Karena kamu sudah tahu siapa bu Dina, Papa mau kamu minta maaf ke dia karena sudah berlaku kasar,” titah Rizal tegas.
“Apa yang sudah terjadi?” Anggi belum mendapatkan jawaban rinci akan masalah yang ada. “Apa yang sudah Nada lakukan dengan Dina?”
“Nada sudah menjambak rambut Dina,” ucap Rizal menatap tegas pada putrinya yang tidak menunjukkan rasa sesal sama sekali. Ia pun menjelaskan semua perkara yang terjadi di restoran pada Anggi dengan singkat.
Nada berdecih tanpa sungkan begitu Rizal menyelesaikan ceritanya. “Kenapa Papa nggak cerita kalau si Dina sama Papa juga nampar aku?”
“Dina ...” Tangan Anggi mulai mengepal. “Dia nampar kamu? Dia berani nampar kamu?”
“Itu karena Nada membuang semua barang belanjaan Dina dan menumpahkan kecap juga saus sambal di atasnya,” ungkap Rizal dengan segera.
“Tapi bukan berarti Dina sama Papa bisa nampar Nada di depan umum!” Anggi hampir menjerit. Ia tidak terima jika putrinya diperlakukan seperti itu. “Selama 20 tahun aku membesarkan Nada, nggak pernah satu kali pun aku mukul dia. Tapi kalian!”
“Nggak usah dibesar-besarkan!” hardik Rizal. “Aku seperti itu karena Nada sudah kelewatan. Harusnya dia bisa jaga sikap dan bicara dengan baik-baik. Tapi apa? Nada justru seperti orang yang kesetanan! Ngamuk di restoran dan bikin malu keluarga! Dengar itu, Nad! Kamu itu disekolahkan, dikuliahkan biar tahu adab dan bisa jaga sikap!”
Rahang Nada mengeras. Matanya mulai berkaca dan menatap tajam pada papanya yang masih saja membela Dina. Nada sadar sikapnya memang kelewatan, tetapi semua itu bukanlah salah dia. Andai Nada tahu sejak awal jika papanya sudah memiliki istri selain mamanya, mungkin sikapnya tidak akan seperti tadi.
“Jadi, aku yang salah?” tanya Nada tidak lagi bisa membendung air matanya yang menitik perlahan. “Aku nggak tahu apa-apa, tapi aku tetap yang salah?”
“Ya!” jawab Rizal tanpa ragu. “Karena itu, kamu harus minta maaf ke bu Dina.”
Nada berdecih keras. “NGGAK AKAN!” Ia juga menolak tanpa ragu. “Aku mungkin salah, tapi kesalahanku itu gara-gara Mama sama Papa! Jadi, aku nggak akan pernah minta maaf sama perempuan itu! Sampai kapan pun!”
“Baik!” Rizal berdiri dan mengangguk menerima ucapan Nada. “Tapi mulai sekarang, jangan pernah berharap apa pun dari Papa! Nggak akan ada lagi transferan setiap bulannya ke rekening kamu dan biayai kuliahmu sendiri! Dan kalau kamu mau semua kembali ke tempatnya, datang temui bu Dina dan minta maaf sama dia.”
“Pa!” Anggi menekan tuas kursi rodanya mendekati Rizal. “Mama nggak masalah kalau Papa mau nyetop uang bulanan Nada, tapi untuk biaya kuliah? Itu sudah kelewatan. Kita nggak bisa menyalahkan Nada sepenuhnya karena dia nggak tahu apa-apa. Jadi—”
“Keputusan ada di tangan Nada,” putus Rizal menunjuk ringan pada putrinya yang tampak masih teguh pada pendiriannya. “Kalau dia mau sedikit saja menurunkan egonya, semua pasti kembali seperti semula.”
“Apa Papa mau minta maaf karena sudah nampar aku?” tanya Nada sambil mengusap air matanya dengan kasar.
“Papa nampar kamu karena ada alasannya,” ujar Rizal membela diri. “Sikap kamu sudah keterlaluan dan nggak punya sopan santun sama sekali. Jadi, anggap itu pelajaran untuk kamu agar ke depannya bisa berpikir dua kali kalau mau melakukan sesuatu.”
“Pa, ini sudah keterlaluan.” Anggi kembali bersuara. Meskipun Nada salah, tetapi Rizal tidak bisa bersikap seenaknya. Suaminya itu sudah berat sebelah dan tidak lagi memikirkan masa depan putri mereka. “Nada masih butuh biaya untuk kuliah.”
“Sudah kubilang, semua akan kembali ke tempatnya kalau dia mau minta maaf sama Dina, Ma.”
“Kita yang salah dari awal, Pa,” ucap Anggi tetap berada di pihak putrinya. “Jadi, Papa nggak bisa—”
“Aku bisa,” sela Rizal tegas. “Dan pembicaraan kita cukup sampai di sini. Nggak ada lagi transferan dan uang kuliah. Titik!” ucapnya dengan suara yang semakin meninggi. “Silakan kalau Mama mau biayai Nada. Tapi Papa, nggak akan lagi mau mengeluarkan uang sepeser pun buat Nada sampai dia berubah. Oia, mobilmu juga Papa tarik,” lanjut Rizal menunjuk pada putrinya. “Serahkan kuncinya ke pak Samuel.”
“Papa bisa menghukum Nada sampai seperti itu.” Suara Anggi juga mulai meninggi. “Tapi, bagaimana dengan Dina yang sudah menampar Nada?”
“Dina menampar Nada karena—”
“Nggak ada karena!” hardik Anggi sudah tidak bisa menahan diri. “Nada cuma membuang barang belanjaan Dina, tapi dia sudah berani nampar Nada! Harga barang-barang yang dirusak Nada, nggak akan pernah sebanding dengan tamparan yang didapatnya!”
“Terserah!” ucap Rizal tidak mau lagi membahas masalah yang terjadi. Ia memilih pergi dari rumah, meninggalkan dua wanita yang tidak bisa diatur sama sekali itu. “Pilihan ... ada di tangan kalian!”
💙💙💙💙💙💙💙💙💙
BAB 4
“Nada ...” Anggi mendorong tuas kursi rodanya mendekati Nada yang masih berdiri tegak di tempatnya. Wajah Nada sudah basah dengan air mata dan sesenggukan menahan tangis. “Mama minta maaf karena sudah merahasiakan semua ini sama kamu,” ucapnya sambil meraih dan menggenggam tangan putrinya.
Nada menatap mamanya tanpa bisa berkata-kata. Entah harus menyalahkan siapa, karena kedua orang tuanya ternyata punya andil dalam kejadian ini.
“Tapi kamu harus paham dengan kondisi Mama,” lanjut Anggi menunduk, menatap kedua kakinya yang tidak lagi berguna. “Dan papamu ... dia punya kebutuhan yang nggak bisa Mama beri.”
Air mata Nada kembali menitik, tetapi ia segera mengusapnya kasar. Sebenarnya, Nada belum terlalu dewasa untuk memikirkan masalah yang terjadi di dalam rumah tangga orang tuanya. Namun, setidaknya Nada bisa mengerti dengan kebutuhan yang dimaksud oleh Anggi.
“Jadi, Mama kenal dengan Dina?” tanya Nada menarik tangannya dari genggaman mamanya.
Anggi mengangguk pelan. Ada rasa kecewa ketika Nada melepas tangannya dan memilih menjauh. “Dina itu, dulunya kerja di perusahaan konsultan yang sering kerja sama dengan perusahaan papamu. Mereka kenal dari sana.”
Nada menarik napas panjang, berusaha melegakan sesak di dadanya, tetapi rasanya sia-sia. Rasa sesak itu masih saja menetap dan seolah menghimpit paru-parunya.
“Jadi, aku harus minta maaf dengan si Dina itu?” desis Nada mengepalkan kedua tangannya ketika mengingat tamparan wanita itu.
Anggi tidak bisa menjawab. Di satu sisi, sikap Nada memang salah. Namun, semua kesalahan Nada berakar dari Anggi dan Rizal. Lantas, di sisi lain Anggi juga tidak bisa terima dengan sikap Dina dan Rizal yang sudah menampar Nada.
“Aku mau ke kamar,” ucap Nada ketika tidak mendapatkan jawaban dari mamanya. “Dan perlu Mama tahu, kalau aku nggak mau minta maaf sama perempuan itu. Nggak, akan, pernah!”
~~~~~~~~~~~~~~
“Dipanggil ibu ke kamar, Mbak,” ujar Nining setelah Nada membuka pintu kamar. “Tapi, Mbak Nada di minta ganti baju, karena mau jalan katanya.”
Nada mengangguk. “Papa belum pulang juga, Bik?”
Nining menggeleng.
“Sama sekali?” tanya Nada lagi.
“Sama sekali, Mbak,” terang Nining. “Terakhir waktu malam minggu itu. Yang Bapak marah-marah.”
Nada menarik napas panjang dan kembali mengangguk. “Makasih.”
Setelah Nining berbalik pergi, Nada segera melakukan perintah mamanya. Ia mengganti pakaian, lalu pergi ke kamar Anggi yang berada di lantai bawah.
Sejak malam itu, hubungan Nada dan mamanya merenggang. Ia lebih memilih menghabiskan waktu di kamar dan enggan pergi ke bawah. Bahkan, ia meminta makanannya di antara ke kamar karena Nada masih ingin sendiri, untuk memikirkan hidupnya ke depan jika tidak meneruskan kuliah.
“Kita mau pergi ke mana?” tanya Nada setelah Anggi membukakan pintu kamar untuknya.
“Tutup pintunya dan kunci,” titah Anggi lalu menjalankan kursi rodanya menuju lemari pakaian.
Meskipun bingung, tetapi Nada tetap menuruti perintah mamanya. Ia mengunci pintu lalu duduk di sudut ranjang. Melihat mamanya mengambil beberapa barang dari dalam sana.
“Kita mau ke mana?” tanya Nada penasaran.
“Ke toko perhiasan,” ucap Anggi sambil memundurkan kursi rodanya lalu berbalik, menghampiri Nada dengan sebuah kotak kayu di pangkuan. “Buka dan pindahkan semua isinya ke tas mama,” pintanya sambil menunjuk sebuah tas yang berada di nakas.
“Ini ... kotak perhiasan Mama, kan?” tanya Nada mulai bisa memikirkan sesuatu. “Dan kita mau ke toko perhiasan? Mama mau jual?”
“Iya.” Anggi menggangguk. “Mama sudah nggak butuh semua perhiasan itu, jadi, lebih baik dijual aja. Nanti, kita juga mampir ke pegadaian untuk nyairin semua logam mulia Mama.”
“Kenapa dijual?”
“Simpan uangnya untuk kuliahmu,” ujar Anggi meraih kedua tangan Nada dan menyatukannya. “Janji sama Mama, jangan sampai putus kuliah.”
“Ma—”
“Nggak usah bilang apa-apa ke papa,” putus Anggi. “Ini semua demi masa depan kamu, jadi jangan dibantah dan jangan menolak. Mengerti?”
“Tapi, Ma? Ini semua simpanan Mama.” Nada jadi tidak tega dengan Anggi jika seperti ini. Mamanya sampai rela menjual semuanya untuk membiayai kuliah dan memastikan masa depan Nada tidak terpuruk.
“Mama sudah nggak butuh itu semua,” jawab Anggi semakin mengeratkan genggamannya. “Ah! Mama lupa, habis ini ambil buku tabunganmu sekalian. Karena setelah semua uangnya cair, kita langsung masukkan ke rekeningmu dan sebagian taruh di deposito.”
“Mama—”
“Sudah, Nad.” Anggi menggeleng. Kali ini, Anggi sudah memutuskan untuk berada di pihak Nada. Terlebih ketika Rizal tidak kunjung membalas pesan ataupun mengangkat panggilannya sejak kemarin.
Padahal, ada yang harus mereka selesaikan, tetapi suaminya justru tidak pulang ke rumah sama sekali. “Sekarang masukkan semua perhiasan Mama, sama surat-suratnya sekalian. Oia, kita pergi bertiga dengan bik Nining dan kamu yang nyetir, supaya pak Samuel nggak laporan sama papamu.”
“Pak Samuel pasti laporan ke papa kalau kita pergi keluar.”
“Dia cuma laporan, tapi nggak tahu kita pergi ke mana,” ujar Anggi yakin. “Tapi, nggak usah pikirkan itu semua. Urusan papamu, serahkan ke Mama.”
“Mama...” Nada meletakkan kotak perhiasan Anggi di sampingnya. Perlahan, ia merosot, berlutut di hadapan mamanya, lalu memeluknya erat.
“Maafin aku,” bisiknya lirih, suaranya bergetar oleh emosi yang tertahan. Air matanya kembali jatuh, mengalir tanpa bisa dihentikan. Nada menangis, bukan hanya karena masalah yang menimpa keluarga, tetapi juga karena semua pengorbanan mamanya yang selama ini tidak pernah ia sadari.
Kita nggak usah pergi ke mana-mana.” Nada menarik napas, mencoba menguatkan dirinya. “Biar aku temui Dina dan minta maaf sama dia.”
“Jangan!” sergah Anggi. Matanya mulai mengembun, menahan sesak karena beban yang selama ini telah ia pikul seorang diri.
Istri mana yang bisa tahan jika suaminya memiliki wanita lain di luar sana? Meskipun memberi izin, tetapi tetap saja Anggi merasa sakit sendiri.
Namun, Anggi juga tidak bisa melakukan apa-apa karena kondisinya. “Jangan temui dia dan minta maaf. Selama papamu nggak bisa bersikap adil, kamu nggak perlu merendahkan diri di hadapan Dina. Ingat omongan Mama ini ... baik-baik.”
💙💙💙💙💙💙💙💙💙
BAB 5
“Hitung lagi uangnya sebelum kita pergi ke bank,” titah Anggi setelah menjual koleksi perhiasannya.
Meskipun berat karena mengingat mamanya sudah tidak memiliki apa-apa, Nada tidak lagi membantah. Ia menghitung kembali uang di hadapan pegawai toko, agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Selagi Nada sibuk menghitung, Anggi menjalankan kursi rodanya dengan perlahan untuk melihat beberapa koleksi perhiasan di sana. Lantas, tatapannya berhenti pada sebuah kalung berlian yang cukup menarik perhatian.
Desainnya elegan dan minimalis. Rantainya terdiri dari susunan berlian kecil yang mengelilingi leher dengan pola simetris. Sangat sederhana tetapi tetap terlihat mewah.
Namun, Anggi hanya mengagumi dan tidak berniat membeli.
“Mbak Anggi.”
Sapaan dari seorang wanita, membuat Anggi menoleh dan mendongak. Ia cukup terkejut dengan sosok Dina, yang sudah berdiri dengan begitu menawan di sampingnya.
“Mbak di sini juga?” tanya Dina tersenyum manis. “Sendirian?”
“Sama Nada.” Saat Anggi baru saja hendak tersenyum, lengkungan di bibirnya perlahan memudar. Tatapannya beralih pada seorang wanita berseragam babysitter yang baru saja berdiri di samping Dina. Wanita itu menggandeng seorang balita, yang tampaknya sedang belajar berjalan. Langkahnya masih goyah, tetapi penuh semangat.
Anggi menahan napas sejenak. Apakah balita itu anak Rizal?
“Ah! Nada.” Anggi melarikan tatapannya ke seluruh toko. Kemudian, tatapannya berhenti pada gadis muda yang sedang duduk dan sibuk menghitung tumpukan uang. Amarah Dina seketika mencuat, mengingat bagaimana gadis itu mempermalukan dan menyakitinya dengan bar-bar. “Mas Rizal sudah—”
“Dia anakmu?” putus Anggi tidak ingin didera rasa penasaran yang terasa menyakitkan.
“Oh!” Dian sontak menunduk dan tersenyum pada balita yang sedang menaik turunkan tubuhnya dengan lucu. Sejurus itu, ia berjongkok lalu membawa balita tersebut ke hadapan Anggi. “Halo, Ibu Anggi, namaku Rizaldi. Dipanggil Aldi,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanan putranya pada Anggi.
Luka yang ada di hati Anggi semakin teriris perih. Kendati wajar jika Rizal memiliki anak dengan Dina, tetapi tetap saja rasanya begitu menyakitkan. Terlebih, Rizal tidak pernah mengatakan jika mereka berdua sudah memiliki seorang putra.
Namun, balita tampan yang sedang menatapnya saat ini tidaklah berdosa. Anggi tidak bisa membencinya, karena Aldi tidak tahu-menahu dengan permasalahan yang terjadi dengan orang tua.
“Halo, Ganteng,” balas Anggi menyambut uluran tangan mungil itu dengan lembut. “Berapa umurnya?” tanyanya pada Dina.
“Satu tahun dua bulan,” jawab Dina. “Tapi baru bisa jalan.”
Anggi menahan napas. Memaksakan senyum, dikala hatinya teriris. “Sehat-sehat, ya,” ucapnya lalu mengusap pelan puncak kepala balita itu.
“Oia, Mbak, mumpung ketemu, aku mau bicara masalah Nada,” ujar Dina sembari berdiri dan menyerahkan kembali putranya pada baby sitter. “Dia—”
“Kita nggak akan bicara masalah Nada,” putus Anggi mendongak dan memberi senyum kecil pada wanita itu. “Anggap masalah kemarin sudah selesai, karena Nada sudah dapat hukuman dari papanya.”
“Tapi, Mbak, dia itu harus diajari sopan santun,” ujar Dina tetap ngotot dengan pendiriannya. “Dia itu perempuan dan nggak seharusnya bersikap bar-bar.”
“Dia seperti itu karena membelaku,” balas Anggi sembari menoleh pada Nada, yang masih sibuk menghitung hasil penjualan perhiasan dan membelakangi mereka. “Kalau mau ditelusuri lagi, semua ini bukan salah Nada tapi salah kita semua yang nggak jujur dari awal sama dia.”
“Mbak—”
“Dan perlu kamu tahu.” Anggi menunjuk Dina dengan tegas saat kembali memutus ucapan wanita itu. “Nada nggak akan nyerang, kalau kamu nggak nampar dia duluan.”
“Tapi—”
“Jauhkan tanganmu dari anakku,” sela Anggi tanpa ekspresi dan tegas. “Kali ini aku masih bisa sabar, tapi ... nggak untuk lain kali.”
Dina menarik napas dan memutuskan enggan berdebat. Ia memilih memutar tubuh dan kembali ke tujuan utamanya. Menjauh dari Anggi dan melihat-lihat koleksi perhiasan yang rencananya akan ia beli.
Sementara itu, Anggi juga memilih untuk pergi dan menghampiri Nada, daripada terus bicara dengan Dina. “Belum, Nad?”
“Dikit lagi, Ma,” ucap Nada tinggal memastikan jumlah satu gepok uang di tangan.
Anggi menunggu dengan sabar, sampai akhirnya tugas Nada selesai. Ia memasukkan semua uang itu di dalam tas ransel, lalu bersiap pergi.
“Itu ...” Nada tidak jadi melangkah ketika melihat Dina sedang melihat sebuah kalung berlian di atas etalase.
“Dina,” ucap Anggi tenang, kendati hatinya tengah bergejolak hebat. “Dia sudah di sini dari tadi,” lanjutnya sambil menunjuk balita yang sedang belajar berjalan, sambil menggenggam erat tangan susternya. “Dia anak papamu. Aldi, Rizaldi.”
Dahi Nada mengerut dalam. Napasnya mendadak berat, dadanya terasa sesak. “Papa punya anak ... laki-laki?”
“Nggak usah dipikirkan,” ucap Anggi mulai menjalankan kursi rodanya ke arah pintu. “Ayo, Nad. Kita pergi dari sini.”
Sembari terus berjalan keluar, Nada menatap balita yang tiba-tiba juga melihatnya. Balita meringis lebar, memperlihatkan deretan giginya yang mungil.
Harusnya, Nada bisa membalas senyum itu, tetapi dia tidak bisa.
“Laper, Ning?” tanya Anggi melihat Nining sedang mengunyah dan memengang sebuah tusuk yang berisi deretan bakso.
“Ohh, nggak, Bu,” ucap Nining mempercepat kunyahannya. “Tadi ada tukang bakso mangkal bentar. Mendadak pengen pas lihat orang beli.”
Anggi tertawa, menatap Nada. “Kita mampir beli bakso dulu sebelum ke bank, ya. Bik Nining laper, cuma malu aja.”
“Ahh, Ibu.” Nining ikut tertawa. Mempercepat memakan baksonya dan bergegas membantu Anggi menuruni teras. Dengan perlahan, ia membantu Anggi menaiki mobil, lalu menyimpan kursi rodanya di bagasi.
“Makan bakso di mana, Bik?” tanya Nada sembari memasang sabuk pengaman dan memastikan semua posisi kaca spionnya sudah sempurna.
“Sembarang aja, Mbak,” jawab Nining. “Yang penting enak.”
“Yang sejalan aja, Nad,” ujar Anggi sembari mengeluarkan ponsel. “Daripada muter-muter.”
“Oke, Ma,” jawab Nada, menoleh ke belakang sekilas. Ia melihat Anggi baru saja menempelkan ponsel di telinga.
“Halo, Wirda,” sapa Anggi ramah setelah panggilannya diterima. “Ini aku, Anggi, mantan sekretaris pak Adrian.”
“Halo juga, Mbak Anggi, apa kabar,” sahut Wirda ramah. “Ada yang bisa aku bantu?”
“Baik, baik,” ucap Anggi terkekeh ringan. “Oia, aku langsung aja, bisa minta tolong buatkan janji sama pak Adrian? Aku mau konsultasi.”
“Mbak Anggi belum dengar? Pak Adrian sudah nggak nangani kasus lagi,” ujar Wirda. “Setelah mbak Novita nggak ada, Bapak milih pensiun karena mau fokus nemenin cucunya.”
“Ohh ...” Anggi reflek menutup mulut. Setelah ia mengalami kelumpuhan, Anggi memang lebih tertutup dan lebih fokus pada keluarganya. “Maaf, aku nggak tahu.”
“Tapi kalau Mbak mau, saya bisa buatkan janji sama mas Sastra,” ujar Wirda memberi solusi. “Sekarang dia yang gantiin pak Adrian.”
“Emm ...” Anggi menimbang-nimbang sejenak. “Oke, buatkan janji dengan beliau. Terima kasih.”
💙💙💙💙💙💙💙
BAB 6
“Kenapa telponku nggak diangkat seharian ini?”
Nining yang baru meletakkan ayam goreng di meja makan, beringsut mudur dan pergi dari ruangan tersebut. Daripada ia ikut terseret dalam amukan Rizal, lebih baik melarikan diri menuju kamarnya.
“Jadi, bagaimana rasanya kalau telpon Papa nggak diangkat?” balas Anggi tetap tenang sembari menuang nasi ke piringnya. “Marah? Kesal?”
“Apa maumu?” Rizal tahu, Anggi sedang menyindirnya karena tidak membalas pesan dan panggilan sejak malam itu. “Ngapain kamu sama Nada pergi ke toko perhiasan siang tadi?”
“Ah! Istri mudamu pasti yang cerita, kan?” Anggi mengambilkan ayam goreng untuk Nada, lalu menoleh pada Rizal. “Selamat, ya, karena Aldi akhirnya sudah bisa jalan.”
Rizal terpekur sesaat. Namun, ia segera bersikap biasa. Seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Rizal menghela pelan, sebelum akhirnya membuka mulut. “Ma—”
“Hebat! Nikah baru satu setengah tahun, tapi umur Aldi sudah satu tahun lebih,” putus Anggi masih berusaha tenang, kendati emosinya sudah membuncah tidak karuan.
Nada yang baru sadar akan perkataan mamanya, langsung tidak jadi menyuapkan nasi. Ia memang tidak paham dengan usia perkembangan bayi, tetapi, Nada sangat mengerti bagaimana proses seorang anak bisa terlahir ke dunia.
Namun, kali ini Nada tidak akan bersuara. Ia memilih diam dan mendengar lebih lanjut.
“Jadi, selama ini aku sudah dibodohi, dibohingi?” lanjut Anggi memberi tatapan dingin pada Rizal. “Kalian lebih dulu berselingkuh di belakangku, kan? Dan memanfaatkan kecelakaanku supaya bisa menikah.”
Rizal menarik napas, lalu duduk di samping Anggi. Kenapa Dina tidak mengatakan jika Anggi bertemu dengan Aldi?
Kalau begini caranya, tidak ada lagi yang harus ditutupi di depan istrinya.
“Aku sama Dina sudah menikah siri lebih dulu,” ucap Rizal pada akhirnya.
“Akhirnya ...” Nada berceletuk lalu menghela lega. “Aku nggak nyesal sudah narik rambut perempuan itu.”
“Jada bicaramu, Nad!” hardik Rizal.
“Harusnya aku bisa lebih brutal dari kemarin,” ucap Nada tidak lagi mau menuruti papanya.
“NADA!”
“Jangan berani-berani bentak Nada!” Anggi balas menghardik suaminya. Kedua tangannya mengepal di atas lengan kursi roda. “Papa yang salah di sini, jadi jangan coba membela diri karena sudah selingkuh!”
Wajah Rizal menegang. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin membantah, tetapi tidak ada kata yang keluar.
“Ma—”
“Bahkan Papa sudah selingkuh waktu Mama masih dalam keadaan sehat!” potong Anggi tanpa memberi ruang untuk penjelasan. Suaranya tegas, menusuk, penuh amarah yang sudah lama dipendam. “Iya, kan?”
“Intinya, aku sama Dina sudah menikah dan kami sekarang punya anak.” Rizal menatap Nada sekilas lalu berdiri. “Yang lalu, nggak perlu lagi dibahas karena selama ini aku tetap bisa bersikap adil dengan Mama dan Nada. Kalian nggak pernah kekurangan apa pun, kan? Rumah, uang, mobil, kasih sayang? Semua nggak ada yang berubah, kan?”
“Selera makan Mama hilang,” ujar Anggi sambil memundurkan kursi rodanya lalu berbelok pergi. Rasa kecewanya sudah terlalu dalam, terlebih ketika mengetahui Rizal memang sudah bermain api dengan Dina di belakangnya.
“Kita belum selesai bicara,” sahut Rizal segera menghalangi Anggi. “Ngapain kalian berdua di toko perhiasan? Jual perhiasan? Iya, kan?”
“Ya!” seru Anggi sudah terlalu lelah. “Aku jual perhiasan untuk biaya kuliah Nada! Kenapa? Salah? Itu semua perhiasanku, jadi aku nggak perlu minta izin!”
Rizal menunjuk putrinya yang baru saja berdiri. “Ini semua gara-gara kamu! Kalau kamu bisa sedikit bersikap sopan di restoran, Mama nggak akan menjual perhiasannya.”
“Papa yang selingkuh, kenapa aku yang disalahin,” balas Nada sudah tidak peduli lagi dengan papanya.
“Nada!”
“Nada, masuk ke kamar,” titah Anggi menatap putrinya dengan anggukan kecil.
“Ma—”
“Masuk kamar!” putus Anggi lebih tegas lagi.
Meskipun ingin sekali berada di sisi mamanya, tetapi Nada tidak bisa membantah. Ia pun pergi dari ruang makan, tetapi tidak langsung pergi ke kamar. Nada berdiri di sisi ruang yang berbeda, karena ingin menguping, sekaligus khawatir dengan mamanya.
Sementara itu, Anggi yang masih berada di ruang makan segera menjaga jarak dengan Rizal.
“Pergilah ke tempat Dina, Pa,” ujar Anggi sudah menurunkan intonasi bicaranya karena terlalu lelah. “Jangan buat keributan di rumah, apalagi di depan Nada. Harusnya, cukup aku yang terluka di sini, tapi ... sekarang Nada juga ikut merasakannya. Dan satu lagi, jangan pernah menyalahkan Nada atas semua kekacauan yang sudah Papa mulai. Papa yang lebih dulu selingkuh, jadi, akui kesalahan itu atau diam, kalau lidahmu berat untuk meminta maaf.”
“Aku mungkin salah, tapi Nada juga harus diberi pelajaran karena—”
“Mungkin?” Anggi tertawa sinis. “Selingkuh itu sudah nyata-nyata salah, bukan lagi mungkin, Pa. Jadi tolonglah, jangan blunder ke mana-mana.”
“Ma—"
“Aku capek,” potong Anggi. “Aku seharian ada di luar, jadi aku mau istirahat. Pulanglah ke apartemen Dina sampai semuanya tenang, karena Aldi lebih butuh papanya daripada kami.”
“Maksudnya, kalian sudah nggak butuh aku lagi?” tanya Rizal menarik kesimpulan dari ucapan Anggi. “Setelah semua yang aku beri dan lakukan selama ini? Begitu?”
“Apa Papa masih butuh aku dan Nada?” Anggi bertanya balik dengan tenang.
Rizal terdiam. Pertanyaan tersebut menghantamnya telak hingga tidak bisa memberi jawaban. Seharusnya semua berjalan baik-baik saja dan tidak menjadi rumit seperti sekarang.
“Kalau hati sudah nggak bisa bersikap adil, jalan satu-satunya adalah melepaskan,” ucap Anggi berusaha tegar.
“Maksudmu ... berpisah?”
Anggi mengangguk pelan. “Karena kondisiku yang seperti ini, aku ikhlas memberi izin Papa nikah dengan Dina. Tapi, karena ada kebohongan di belakang pernikahan itu, aku rasa kita sudahi semuanya sampai di sini.”
“Coba pikirkan semuanya baik-baik, Ma,” ucap Rizal. “Nada masih kuliah dan kondisimu seperti ini. Apa yang mau kamu harapkan kalau kita berpisah.”
Anggi mengendik dan tersenyum pahit menatap Rizal. “Sekarang, aku cuma bisa berharap sama Tuhan. Jadi, pulanglah dulu dan pikirkan semua baik-baik. Ajak juga Dina bicara. Setelah itu, baru kita selesaikan semuanya.”
Anggi menjalankan kursi rodanya melewati Rizal yang terpaku di tempat. “Hati-hati di jalan dan ... sampai jumpa lagi.”
💙💙💙💙💙💙💙
BAB 7
“Mi, kenapa nggak bilang kalau Anggi ketemu sama Aldi?” buru Rizal tanpa basa-basi ketika memasuki kamar.
“Ssshh ...” Dina meletakkan telunjuknya di bibir. “Aldi baru tidur, jangan keras-keras ngomongnya.”
Dina memang sengaja tidak memberi tahu, karena sudah waktunya Anggi mengetahui segalanya. Ia lelah jika harus menutupi perihal Aldi terus-terusan, karena putranya juga semakin tumbuh besar. Terlebih setelah Dina mendapat perlakuan kasar dari Nada.
Kebetulan, siang tadi Dina bertemu Anggi di toko perhiasan. Untuk itulah, pertemuan itu ia manfaatkan untuk mengenalkan Aldi pada istri pertama Rizal.
“Mi.” Rizal memelankan suaranya ketika menghampiri Aldi yang berada di tempat tidur mereka. Ia tersenyum sebentar, saat melihat jagoan kecilnya sudah tertidur lelap. “Aku sudah bilang, kan, nanti ada waktunya kita—”
“Sudah terlanjur.” Dina mendudukkan Rizal di tepi ranjang, lalu duduk di pangkuan pria itu dan mengalungkan kedua tangannya. “Kami nggak sengaja ketemu, jadi sudah nggak bisa menghindar lagi. Mana Aldi manggil-manggil mami terus.”
“Dan karena itu Anggi minta pisah.”
“Ya bagus dong!” seru Dina tidak menyembunyikan rasa bahagianya. Akhirnya, sebentar lagi ia akan menjadi satu-satunya istri Rizal Pangestu.
“Kamu tahu yang terjadi kalau aku bercerai dengan Anggi?” Rizal berdecak, karena memikirkan akibat yang akan diterimanya. “Ada harta gono gini yang harus dibagi. Fifty-fifty, dan ada pembagian juga untuk Nada. Begitu sepengetahuanku.”
Dina mengerjap pelan. Melepaskan kedua tangannya dari leher Rizal, lalu menatap putranya yang terlelap. “Semuanya dibagi?”
“Ya,” angguk Rizal. “Kami nggak punya perjanjian pisah harta, jadi, semua harta bersama saat menikah akan dianggap gono gini.”
Dina masih menatap putranya. Ternyata, ini yang menjadi alasan Rizal tidak bisa atau tidak mau bercerai dari Anggi. Semua harta, rumah, dan yang lain-lainnya merupakan harta gono gini yang pasti akan dibagi jika mereka berpisah.
“Bagaimana dengan rumah?” tanya Dina kembali teringat dengan rumah Rizal yang cukup besar. “Apa nantinya dijual?”
Rizal menggeleng. “Aku sedang mencari cara agar kami nggak cerai.”
“Nggak cerai?” Dina seketika bangkit dari pangkuan Rizal. Saat mengingat ada putranya yang terlelap, Dina lantas berbicara pelan. “Aku yakin hartamu masih banyak kalau nanti dibagi dua. Mas masih punya gaji tiap bulan, kan? Ada bonus tahunan juga dan—”
“Nggak segampang itu, Mi,” putus Rizal yang juga bicara pelan. Banyak hal yang memang harus Rizal pertimbangkan, sehingga ia tidak bisa melepas Anggi begitu saja. “Itu semua harta yang aku kumpulkan selama 23 tahun menikah dengan Anggi. Kalau harus dibagi dua—”
“Mas! Harta bisa dicari lagi,” ujar Dina kemudian berlutut di hadapan Rizal. “Tapi aku dan anakmu? Kami juga butuh ... jangan nomor duakan kami terus-terusan. Mbak Anggi sudah minta pisah, jadi kenapa nggak diturutin aja? Lagian dia juga sudah nggak bisa apa-apa, kan? Jadi, lepasin aja!”
“Ini sudah malam,” ujar Rizal kemudian berdiri setelah menggeser tubuh Dina. “Kita bicara lagi, setelah aku bicara sama Anggi. Tidurlah.”
“Mas.”
“Aku bilang tidur, istirahat.” Rizal pergi menuju kamar mandi. “Aku mau mandi dan pembicaraan kita selesai.”
~~~~~~~~~~~~~
“Mbak Anggi.” Wirda spontan beranjak dari kursinya, saat melihat Anggi menghampiri menggunakan kursi roda. “Sejak kapan? Kok, aku nggak tahu?”
“Sejak kecelakaan waktu itu,” ucap Anggi sudah terbiasa melihat keterkejutan rekan atau kawan lamanya ketika melihatnya memakai kursi roda.
“Maaf, aku nggak tahu,” ujarnya sembari menunduk lalu memeluk Anggi dengan singkat. “Aku sempat ke rumah sakit, tapi waktu itu Mbak nggak bisa dijenguk karena masih di ICU. Habis itu, aku nggak pernah lagi dengar kabarmu, Mbak.”
“Nggak papa,” ujar Anggi seraya tersenyum. “Betah, ya, kamu kerja di sini. Dari magang, loh! Sampai ...”
“Sampai tua,” Wirda tertawa sembari menegakkan tubuh kembali dan tersenyum melihat gadis yang berdiri di belakang Anggi.
Anggi pun ikut terkekeh. “Oia, ini Nada. Anakku satu-satunya.”
Nada segera mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri dengan sopan.
“Oia, Mbak, maaf,” ucap Wirda sambil kembali ke kursinya. “Mas Sastra ada tamu dadakan barusan. Klien besar, jadi nggak bisa nolak.”
“Apa pertemuannya diundur?”
“Cuma undur waktu, bukan hari,” ucap Wirda. “Mbak Anggi mau nunggu atau reschedule?”
“Nunggu aja,” jawab Anggi yang memiliki banyak waktu luang jika hanya sekadar menunggu. “Nggak papa.”
“Kalau begitu, silakan nunggu di ruangan mas Sastra.” Wirda bergeser beberapa langkah, lalu mempersilakan Anggi dan putrinya menunggu di dalam ruangan.
“Bu Widaaa!”
Teriakan dua anak kecil yang berlari ke arahnya membuat Wirda menepuk dahi. Namun, ia tidak bisa mengeluh karena kedua bocah itu adalah cucu dari pemilik Firma.
“Halooo ...” Wirda segera berdiri tepat di tengah pintu dan merentangkan kedua tangan. “Nggak boleh masuk, ada tamu,” ucapnya lalu menunjuk ruangan yang berseberangan dengannya. “Kalian main di ruangan opa aja, oke?”
“Ompa di dalam?” tanya gadis kecil yang rambutnya acak-acakan dan mamakai seragam merah putih yang sudah awut-awutan.
“Ompa masih di ruang meeting,” jawab Wirda lalu mengangguk kecil pada Adrian. “Siang, Pak. Anak-anak pulang cepat, ya?”
“Si Kakak drama habis imunisasi,” ujar Adrian lalu menunjuk ruangan putranya yang terbuka. “Ada orang?”
“Mbak Anggi, mantan sekretaris Bapak dulu,” terang Wirda sambil menghalangi bocah berseragam TK yang hendak masuk ke ruangan. “Anggi Anastasia. Bapak masih ingat? Tadinya mau konsultasi sama Bapak, tapi—”
“Ingat!” sela Adrian lalu menunjuk Wirda, memberi isyarat agar wanita itu bergeser. Setelah itu, barulah ia masuk dan terpaku melihat mantan sekretarisnya duduk di kursi roda. “Anggi?”
“Pak Adrian!” Anggi dengan segera menjalankan kursi rodanya ke arah Adrian. Menyalami dan menyapa sopan. “Saya Anggi! Bapak masih ingat?”
“Anggi, kamu ...” ucapan Adrian menggantung tetapi tangannya menunjuk kursi roda yang dipakai
Anggi tersenyum dan bercerita singkat tentang kejadian yang menimpanya. Setelah itu, ia segera memperkenalkan putrinya pada pria tua itu.
“Waaah! Kursinya jalan sendiri!” celetuk bocah laki-laki yang tanpa sungkan menghampiri menghampiri Anggi dan langsung duduk di pangkuan.
“Cairo! Turun,” titah Adrian tegas. “Pergi keluar sama Kak Milan dan datangi bu Wirda. Opa ada tamu.”
“Nggak mau!” tolak Cairo bersedekap.
“Nad, bisa tolong bawa cucunya pak Adrian keluar?” pinta Anggi karena perlu bicara serius dengan pria itu, untuk mencari pendapat lain. “Mama perlu bicara sama pak Adrian.”
Nada menggaruk kepala. Ia tidak pernah dekat atau “mengasuh” anak sebelumnya. Namun, ia juga tidak bisa mengelak perintah mamanya.
“Ikut Kakak keluar ayok!” ajak Nada. “Kita ke minimarket mau? Beli jajan!”
“Mauuu!” Milan lebih dulu meraih tangan Nada dan menariknya keluar dengan semangat. “Cairo tinggalin aja!”
“Aku ikut!” Cairo langsung turun dari pangkuan Anggi dan berlari menyusul kakak perempuannya. Ia segera meraih tangan Nada yang satunya lalu berjalan bersama-sama menuju lift.
“Kak! Aku mau beli cokelat!” celetuk Milan menarik Nada dengan semangat. “Tapi kita makan di bawah aja, biar nggak dimarahin opa!”
“Aku mau memen!” pinta Cairo yang berjalan sambil melompat-lompat.
“Apa itu memen?” Nada mulai pusing, karena dua bocah yang dibawanya ternyata banyak maunya.
“Permen, Kak!” sahut Milan membenarkan ucapan adiknya yang berusia lima tahun.”
“Okelah!” jawab Nada tidak bisa menolak. “Kita beli cokelat, kita beli permen Nanti kita makan di minimarket aja. Nggak usah balik ke kantor biar nggak ketahuan siapa-siapa.”
“Apa maksudnya nggak usah balik ke kantor biar nggak ketahuan siapa-siapa!”
“Ompa! Ak—”
“Sudah Om bilang, jangan pernah pergi sama orang asing!” Sastra, yang hanya mendengar sepenggal kalimat Nada sontak menarik kedua keponakannya. “Jane, bawa Milan sama Cairo ke ruangan saya. Dan panggil security!”
“Iya, Mas!” Dengan sigap, Jane mengambil alih kedua bocah yang langsung bicara saling bersahutan itu dan pergi menjauh.
"Dengar!" Sastra menghabiskan jarak dalam sekejap, tangannya langsung mencengkeram lengan gadis yang menurutnya mencurigakan. "Kamu—"
"Sakit, taaau!" Nada meringis, wajahnya sedikit berkerut menahan nyeri.
Tidak terima diperlakukan kasar, dalam hitungan detik kaki Nada mengayun keras, menendang tepat ke bagian inti tubuh Sastra.
“Kamu ...” Napas Sastra tercekat. Ia spontan membungkuk menahan nyeri yang menjalar cepat di sekujur tubuhnya.
Nada tersenyum miring penuh kemenangan. “Itu, baru pemanasan! Jangan coba—”
“Astaga, Mas Sastraaa .…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
