
Hampir lupa jadwal update
Pulang ke rumah hanya Zein yang bisa menghapus rasa penat Gianna, melihat wajah Izhar malah membuatnya mengumpat dalam hati. Berkat ucapannya di telepon siang tadi, sekarang Izhar jadi dingin dan sok merajuk, seakan ada yang peduli.
Tepat pukul tengah malam, Gianna bergelut di dapur, memasak untuk mengisi perut. Ya, memang begini adanya, meskipun ia sekarang mencari nafkah, tetapi tetap menyempatkan diri untuk memasak dan membersihkan rumah.
Kadang jika belum mengantuk setelah pulang bekerja, Gianna akan membersihkan rumah terlebih dahulu, agar keesokan harinya sudah tak lagi perlu menyapu, mengepel, dan bisa langsung pergi bekerja.
Gianna tak percaya jika menyerahkan semuanya pada Izhar, tentu tak akan ada yang beres. Baju kotor saja akan menjadi Gunung Rinjani jika Gianna tak turun tangan untuk memasukkannya ke dalam mesin cuci.
Menikmati masakannya sendirian di meja makan, Gianna hampir meneteskan air mata ketika menyadari bahwa hidup ini benar-benar menyedihkan. Di saat mulai berhasil menenangkan hati, Gianna malah mengerti bahwa sekarang hanya berjuang sendiri untuk kebahagiaan.
Bahkan untuk makan setelah lelah pulang bekerja, Gianna harus memasak sendiri. Tak ada yang menyediakan, apalagi menawarkan kehangatan, atau sekadar memuji dirinya hebat dalam menangani dua pekerjaan.
Itu berarti, Gianna berharap Izhar memperlakukannya seperti itu?
Gianna tertawa geli menyadari pemikirannya. Ia meminum habis air di gelas, kemudian menuju bak cuci piring, kembali diterpa kenyataan bahwa alat makan yang kotor selalu menyambutnya ketika pulang ke rumah.
Ia menghela napas berat, mau mengeluh pun rasanya tak bisa, ini sudah menjadi risiko. Gianna pikir mengambil pekerjaan dari Izhar akan membuat pikirannya tenang, nyatanya ia malah memelihara laki-laki tak berguna sama sekali.
Kenapa bisa ia lupa bahwa sejak pertama kali menikah, Izhar memang laki-laki yang sangat tak suka mengerjakan pekerjaan rumah. Sekarang Gianna menyesal menikahi pria itu, benar-benar menyesal.
"Sabar... bentar lagi gue bakal cerai. Kurang dari setahun, nggak ada yang sanggup hidup kayak gini," monolognya.
Setelah mencuci piring, Gianna menuju pintu belakang, di mana terdapat sebuah mesin cuci dan keranjang pakaian kotor. Lagi-lagi menumpuk, menunggu dikerjakan pagi, yang ada dirinya akan telat pergi bekerja.
Mengelus dada berkali-kali, Gianna menghilangkan emosi. Berharap ada yang peka pun, rasanya tak mungkin, itu sama saja menunggu hujan turun di gurun pasir. Tak akan ada yang membantunya, tidak akan ada.
"Aaaarrgh!" jerit Gianna menghilangkan sebongkah kekesalan di dada.
Dadanya naik-turun dengan cepat, jantungnya berdetak cepat, mungkin sekarang wajahnya menjadi merah padam. Gianna ingin marah, tetapi tak tahu ke siapa. Alhasil ia hanya bisa berjongkok di sebelah mesin cuci dan lagi-lagi hanya bisa mengelus dada berkali-kali.
"Sabar... sabar... sabar...," ucapnya.
"Kamu kenapa teriak?"
Gianna tak menoleh, sebab ia tahu bahwa melihat ke arah Izhar hanya akan membuat emosinya kembali meletup-letup. Pria itu tak bisa membuat suasana hati Gianna kembali baik, sebab Izhar pelaku kejam yang membuatnya terpuruk saat ini.
"Ada kecoak," bohongnya.
Tangannya cepat menutup pintu, agar tak lagi melihat wajah Izhar. Gianna ingin menyelesaikan pekerjaan, tanpa harus bertengkar dan semakin membuat suasana hati menjadi sangat buruk.
"Tuhan, jika benar ada kehidupan kedua, jangan pernah buat aku bertemu sama Izhar. Sumpah, aku nggak bakalan kuat kalau sampai ngulang kejadian ini, nggak bakal kuat, Tuhan."
Ya, di rumah ini Gianna hanya bisa bermonolog, tak ada tempat mengeluh, apalagi meminta bantuan. Ia benar-benar sendiri sekarang.
**
Gianna ingin melepas penat setelah bekerja, rumah bukan solusinya, ia belum ingin kembali menghadapi kapal pecah. Saat pertama kali dirumahkan, Izhar memang berusaha untuk membersihkan rumah, tetapi itu hanya disanggupi empat hari, sebab Gianna selalu turun tangan sendiri dan Izhar menjadi terbiasa hidup santai.
Namun, Izhar akan kembali sadar diri jika mereka mulai bertengkar lagi, hanya sebentar, tak terlalu membantu Gianna, tidak terlalu menipiskan bebannya di hidup ini. Sekarang Gianna tahu, mengapa kebanyakan wanita karir akan memilih untuk menyisikan uang menggunakan jasa asisten rumah tangga, ternyata inilah penyebabnya.
Hanya saja, Gianna tak bisa melakukan hal tersebut, sebab yang memiliki pekerjaan hanyalah dirinya, yang berpenghasilan hanyalah Gianna. Bagaimana ia bisa mengimbangi gaji dengan cicilan rumah dan cicilan mobil?
Tentu gajinya tak akan cukup. Oleh karena itu Gianna hanya bisa bertahan, sampai tubuh ini benar-benar remuk. Ia bukan mengharapkan pertolongan, hanya berharap ada yang sekadar menoleh padanya, dan berkata, "Istirahat dulu."
Masih mengenakan blazer hitam dan rok hitam menyentuh lutut, Gianna melompat dan bergoyang mengikuti alunan lagu. Ya, di sinilah Gianna menghilangkan lelah, melupakan sejenak masalah yang ada. Nanti, setelah keluar dari sini, barulah ia akan memikirkan bagaimana langkah ke depan agar tetap waras.
Dentuman musik menggelegar di seluruh ruangan, lampu berwarna-warni menyinari tiap kalangan yang datang bergoyang di lantai ini. Gianna tak memiliki seseorang yang dikenal di sini, itu mengapa tak perlu malu dan terus bergoyang untuk dirinya sendiri.
Katakan Gianna gila, tak ingat anak di rumah, ia akan menerima ucapan tersebut. Hanya saja, ia menyangkal bahwa melupakan Zein, saat ini dirinya bertahan karena sang anak, tetapi biarkan dulu ia merasakan ketenangan sendiri.
"Mbak Anna!" sapa seseorang.
Gianna menoleh, meskipun suara musik sangat keras sampai terasa mengetuk dada, ia tetap bisa mendengarkan suara tersebut, sebab yang menyapa berteriak di sebelahnya.
"Mas Emir?"
Sungguh tak menyangka, bisa melihat pria itu di sini, menandakan bahwa ada dua orang stress bertemu dalam satu ruangan dan di kondisi yang sama. Ya, keduanya sama-sama memiliki masalah keluarga dan tak tahu di mana tempat untuk mencurahkan keresahan.
"Ke sana!" Emir menunjuk sebuah sofa di sudut ruangan.
Gianna mengangguk dan mengikuti pria itu. Sejujurnya ia belum pernah ke klub malam bersama laki-laki, kecuali Kevin dan beberapa teman kuliah, tetapi waktu itu mereka pergi beramai-ramai hanya untuk istirahat sejenak dari tekanan skripsi. Itu pun, Gianna dan teman perempuannya tak berani untuk minum minuman keras, mereka hanya memesan jus apel.
"Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini," ucap Emir, senyumnya mengembang sempurna, "ini bukan tempatmu, 'kan?"
Gianna mengerti maksud pertanyaan pria itu. "Iya, aku ke sini buat ilangin galau."
Emir mempersilakan Gianna untuk duduk. "Kalau boleh tahu, galau kenapa?" tanyanya, "selama ini kamu jadi teman curhat aku, sekarang gantian."
Tentu Gianna tak akan membeberkan apa yang tengah terjadi dalam rumah tangganya, sama saja ia membuka fakta bahwa dirinya adalah istri Izhar, pria yang sangat dibenci oleh Emir.
"Hanya masalah kecil, orang tua minta aku buat balik ke kampung," ia tersenyum pahit, "tapi aku nggak mau ninggalin pekerjaan, apalagi gajinya lumayan. Aku pengin mandiri."
Emir mengangguk paham. "Kalau kayak gitu, beri mereka pengertian, katakan alasannya."
Gianna menggigit bibir bawahnya. "Ah, ngomong-ngomong, gimana persiapan pernikahan Devira?" Sengaja mengalihkan topik, sebab malas berbicara tentang omong kosong yang dibuatnya sendiri.
"Kemarin udah lamaran resmi, pernikahannya satu bulan lagi. Nanti kamu datang, ya, ajak anaknya juga," kata Emir.
Mengangguk pasti. "Aku bakalan datang, kok, Mas," tersenyum manis, "Mas, sering datang ke tempat ini? Bukan karena lagi punya masalah, 'kan?"
Meskipun penerangan tak cukup melihat ekspresi Emir, Gianna tetap berusaha meneliti dengan seksama. Ya, bahu Emir seketika turun, begitu pula ujung bibirnya melengkung ke bawah. Bisa ditebak, sebelum datang ke tempat ini, Emir melewati satu hal yang membuat frustrasi.
"Istriku minta cerai."
**
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
