Makan Siang

36
1
Deskripsi

Upload dulu di sini, nanti baru di sebelah.

Ternyata rasanya capek juga mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Belum juga selesai aku menyiapkan makanan untuk makan siang, cucian sudah siap untuk dijemur. Mau nggak mau, aku harus menjemur pakaian dulu, biar cepat kering dan bisa aku setrika nanti sore.

Kalau nggak malas.

Melipat dan menyetrika baju adalah pekerjaan paling bikin malas, karena rasanya nggak habis-habis. Kadang, aku cuma melipatnya tanpa disetrika. Saking malasnya. Toh cuma baju yang dipakai sehari-hari, nggak kusut-kusut amat juga.

Sudah hampir dua bulan aku jadi seorang istri, dan sudah merasa betah juga di sini. Asal nggak ke rumah mertua, sih. Bapak baik orangnya, pantas menurun ke anaknya. Tapi yang bikin malas itu ya ibunya Hasan. Tuh, kan, aku jadi ketularan Prabu Hanenda saat menyebut ibu mertuaku sendiri. Soalnya, ibu mertuaku itu cerewetnya minta ampun. Apa saja dikomentari. Perkara aku dan suamiku sedang kepingin makan mi instan saja dikomentari.

“Padahal masak yang bergizi juga bisa. Masak ayam goreng sama bikin sayur bening apa susahnya? Jangan mi instan terus, nggak bagus. Jangan kebiasaan suami dibikinin makanan kayak gitu terus karena kamu malas masak,” katanya waktu datang ke sini dan melihat aku dan Prabu Hanenda sedang makan mi instan semangkuk berdua.

Padahal ya, itu mangkuk besar. Mi instannya pun cuma satu, aku menambahkan sebungkus bakso, dua butir telur, jangan lupakan sawi yang baru aku cabut dari kebun. Bumbunya juga aku tambahi. Bawang-bawangan yang ditumis lebih dulu, ditambah cabai rawit, lada ... pokoknya enak, deh.

“Apa, sih, Bu? Biarin aja, mereka makan gitu juga nggak sering,” kata Bapak membela kami. “Udah, ndak usah dengerin Ibu kalian. Lanjutin makannya, Bapak mampir sebentar, mau ke rumah Pak Lurah.”

Karena nggak dapat pembelaan dari suaminya, ibunya Hasan cuma mendengkus, nggak lagi bicara sampai mereka pergi. Mi yang tinggal sisa sedikit, akhirnya nggak kami makan lagi. Keburu kenyang kena omelan.

“Untung nggak tinggal bareng ibunya Hasan, kalau iya, bisa nangis kejer aku minta balikin ke rumah orangtua,” gerutuku saat itu.

Mengingat kejadian itu, aku jadi lebih banyak bersyukur punya suami seorang Prabu Hanenda. Walau sering bikin kesal karena kelakuan dan omongannya yang masih irit (sudah agak mendingan, sih), tapi dia baik dan tentu nggak membiarkan aku merasa tinggal sendiri betulan di rumah ini. Aku terjamin di sini. Dia juga memperbolehkan aku menata rumah sesuka hatiku.

Rencananya, aku ingin mengubah cat rumah agar kelihatan lebih fresh. Cat rumah ini cokelat muda, dan bagian bawahnya kena tempias air hujan, jadi kelihatan kotor banget. Kesannya jadi agak kumuh, meski sudah dibersihkan dengan sapu. Aku sudah bilang, kepingin ganti cat jadi warna putih, biar terang dan rumah terasa lebih luas. Lalu, aku tiba-tiba jadi punya ide untuk mendokumentasikan proses before-after rumah ini. Sejak kemarin, di sisa tenaga dan waktu yang aku punya, aku merekam kondisi rumah sebelum nantinya akan kami perbaiki.

Rumah ini memang nyaman, tapi memang agak gelap kalau jendelanya nggak pada dibuka. Aku menyarankan agar kami mengganti beberapa genting dengan genting kaca yang transparan, agar cahaya matahari bisa masuk walau jendela nggak dibuka.

Kegiatanku sekarang cuma berputar di rumah saja. Aku merekam kegiatanku, mengeditnya, lalu membagikannya di sosial media. Ala-ala ibu rumah tangga zaman sekarang, yang hobinya begitu. Aku sudah minta izin dulu sebelum melakukannya, dan tentu saja diizinkan, dengan beberapa syarat yang aku sanggupi.

Pertama; nggak boleh pakai baju terbuka. Kalaupun aku pakai daster, usahakan pakai dalaman celana yang agak panjang, biar nggak kelihatan misal tersingkap. Aku juga nggak boleh dandan berlebihan, paling cuma pakai bedak dan lipstik yang bikin bibirku nggak pucat-pucat amat. Kedua; aku nggak boleh ngoyo. Dalam artian; nggak boleh terlalu memaksakan diri. Jadikan kegiatan itu sebagai hiburan biar nggak suntuk di rumah. Kalau capek, ya sudah, nggak usah rekam-rekam. Pokoknya tetap harus mengutamakan kesehatan dan tugas sebagai istri yang baik. Ketiga; nggak boleh menyebutkan alamat rumah kami di mana. Kalau ini ya aku tahu, cuma agak aneh saja.

“Kenapa? Takut ada yang ngirimin paket aneh-aneh?” tanyaku waktu itu.

“Bukan. Takutnya nanti viral, ada yang minta dicariin rumah di sini. Repot.”

Aneh, kan?

Yang kelima; aku nggak boleh mengekspos kamar kami. Karena kamar adalah sesuatu yang privasi. Paling saat renovasi nanti ditayangkan sedikit. Aku juga agak nggak nyaman, sih, kalau lihat video serupa yang isinya tentang kamar. Mungkin selera orang itu beda-beda, dan aku memilih apa yang dikatakan oleh suamiku.

Hal lain yang aku batasi adalah; nggak memperlihatkan wajah kami.

Iya, Prabu Hanenda kadang aku rekam sedang ada di kebun. Paling aku rekam Cuma punggungnya, tangannya yang sedang mencabuti rumput, memberi pupuk, atau hal lainnya. Gimana kalau ada yang naksir suamiku? Dih! Nggak sudi aku kalau tahu-tahu suamiku kena pelet dan akhirnya harus rebutan sama pelakor.

“Assalamualaikum,” sapa suara yang sangat aku kenal dari luar.

Siapa lagi kalau bukan suamiku sendiri? Prabu Hanenda masuk sambil melepas helm, senyumnya menyapaku dengan ramah, lalu mengulurkan keresek kepadaku.

“Bakso,” katanya singkat.

“Kok, cuma satu?” tanyaku heran.

“Buat Adek.”

“Loh, Mas Prabu nggak makan?”

“Makan masakan Adek.”

Uh, aku jadi terharu. Hari ini aku masak lodeh, spesial permintaannya. Tapi sebelumnya aku memang pernah bilang, aku nggak suka lodeh. Doyan, sih, doyan, tapi nggak suka. Jadi lebih baik menghindarinya.

“Yang jaga hari ini siapa, Mas?”

Kalau sebelumnya aku mengira Prabu Hanenda berjualan di pasar, ternyata salah besar. Dia nggak berjualan di pasar, melainkan punya toko sendiri. Punya karyawan, dan nggak cuma jualan sayuran. Meski memang pokoknya dia jualan sayuran dan kebutuhan dapur lain.

Letak tokonya nggak jauh dari pasar. Aku pernah ke sana beberapa kali. Pertama, dikenalkan kepada karyawannya sebagai istrinya. Itu membuatku jadi kayak ibu juragan, karena karyawannya langsung menghormatiku layaknya menghormati Prabu Hanenda sendiri. Kedua, saat aku iseng ikut dia berjualan, padahal sudah dilarang, karena aku pasti akan bingung dan capek. Melihatnya lebih mudah membuka mulut pada para pembelinya, aku jadi merasa iri. Saat aku katakan hal itu, tahu apa yang Prabu Hanenda katakan?

“Tapi mereka nggak bisa kayak kamu, yang bisa bikin Mas buka mulut buat cium kamu.”

Gila, kan?

Dia ternyata kayak laki-laki pada umumnya, nggak jauh-jauh dari pikiran mesum ketika di dekat perempuan.

“Mas, kayaknya gas mau habis, udah mepet tanda merah,” ungkapku saat kami makan bersama. Aku dengan baksoku, dan dia dengan sayur lodehnya.

Setelah ini, Prabu Hanenda akan kembali ke toko dan baru pulang sore hari. Dulu nggak pernah, karena belum ada istri yang masakin dia makanan.

“Adek capek?” tanyanya tanpa menyahuti perkataanku barusan.

“Nggak begitu, sih. Kenapa?”

Mau diajak jalan-jalan, ya? Hampir dua bulan di sini, belum pernah aku diajaknya ke pantai, yang katanya nggak ada satu jam naik motor.

Cuma ditanya kenapa, kupingnya sudah memerah. Ini, sih, pasti ada udang si dalam bakwan.

“Mas pasti lagi naik, ya?” tuduhku yang nggak disangkal olehnya. “Kirain mau diajak jalan-jalan, malah diajak bajak kasur,” sindirku membuat ia tertawa kecil.

“Mau?”

Sopannya Prabu Hanenda itu ya begini. Lagi kepingin bercinta saja harus tanya, aku mau atau enggak. Karena dia bilang, dia nggak mau memaksa kalau aku lagi nggak mau. Tapi, secapek apa pun aku, sebisa mungkin nggak menolak kemauannya itu. Meski nggak selalu dapat enaknya juga, tapi ini salah satu hal yang bisa aku lakukan, karena dia menyetujui permintaanku untuk menunda anak lebih dulu. Prabu Hanenda juga mau merogoh kocek lebih dalam buat beli sarung pengaman, karena dia nggak mau aku pasang KB apa pun.

“Tunggu makanannya turun dulu. Nanti yang ada keluar lagi,” kataku sambil menyimpan sisa bakso yang masih ada. Baksonya lumayan banyak soalnya. Rasanya juga enak. Heran, di sini baksonya enak-enak, tapi harganya bisa murah. Aku takut kalau itu bukan bakso sapi, tapi dimarahi Prabu Hanenda, karena dia kenal yang jualan bakso, dan tempat giling baksonya ada di sebelah toko miliknya. Jadi nggak heran, kalau tokonya hampir selalu laris manis tiap hari.

“Aku bentar lagi mens juga, Mas. Udah nyeri ininya,” kataku sambil menangkup buah dadaku.

“Mau jamu?”

Aku mengangguk. Jamu buatannya itu enak. Aku pernah dibuatkannya saat mendekati haid bulan lalu, dan memang tubuh rasanya lebih bugar dari biasanya.

“Nanti, pulang jualan.”

“Lagi nggak banyak yang beli, ya?”

“Iya. Pada habis ambil beras soalnya.”

Beras dari pemerintah. Katanya selalu datang sebulan sekali. Diambil di kantor desa. Tapi kami nggak pernah dapat, mungkin dilihat sebagai orang yang mampu.

Alhamdulillah kalau begitu.

“Mas, kamu kapan mau cukuran? Udah agak panjang ini kumisnya,” ujarku sambil memuntir ujung kumis tipisnya, membuat ia mengaduh.

“Sakit.”

Aku cuma cengengesan. “Cukur, ya? Nanti aku nggak mau kamu cipok kalau kumisnya panjang.”

“Dek, bahasanya,” tegurnya membuatku makin cekikikan.

“Habisnya geli lihatnya, mana kamu jadi makin kelihatan tua. Nanti kita dikira adik kakak, mana kamu manggilnya dak dek dak dek,” kataku.

“Nanti.”

“Aku mau salat dulu, ya? Mau lap ketek juga. Soalnya mau ngelonin suami habis ini. Dah, Ganteng!” kataku sambil berdiri, lalu mengecup pipinya yang agak hangat.

Memangnya dia saja, yang bisa bikin aku salah tingkah?

***

 

“Terus gimana? Aku belum ngomong sama Mas Prabu. Tiba-tiba banget, sih?”

Aku lagi teleponan sama Kanaya. Dia dan Mas Azzam rencananya mau ke pantai. Posting di status WhatsApp tadi, lagi cuci motor dan bilang kalau mau ke pantai.

Jiwa iri milikku meronta-ronta. Terus dia telepon, dan mengajakku pergi bareng.

“Mas, coba kamu telepon lakinya Diana. Ajakin ke pantai bareng, yuk! Biar Diana nggak di rumah mulu. Kasihan, loh, nggak ada hiburan dia,” kata Kanaya di seberang. Lagi ngomong sama suaminya.

Kami jadi dekat semenjak pertemuan pertama kami di sini. Berhubung aku masih baru, jadi kadang merasa kikuk saat ngobrol bareng tetangga, yang mayoritas pakai bahasa Jawa. Menemukan orang yang sebelumnya sudah kenal, rasanya menyenangkan. Kami yang awalnya kenal karena hal nggak mengenakkan, kini malah jadi teman ngobrol yang enak. Kadang, Kanaya datang seorang diri sambil bawa makanan. Katanya belajar bikin inilah, itulah ... lalu aku disuruh coba mencicipinya.

Rumah kami juga nggak jauh-jauh amat, paling cuma naik motor lima menit juga sampai. Cuma beda RW saja, tapi memang rumahnya agak lebih ke selatan sana. Berbatasan dengan desa lain.

Sudah lebih dari setahun menikah dan belum punya anak, nyatanya nggak membuat Kanaya sedih. Atau ... mungkin aku yang nggak tahu, ya. Karena kalau dilihat, mereka adem ayem saja dan tetap romantis.

Serius. Mas Azzam itu lembut banget memperlakukan Kanaya, nggak segan-segan menunjukkan kalau dia sayang istrinya walau di depan umum. Ya nggak main sosor juga, tapi lebih ke love language-nya itu begitu perhatian ke Kanaya.

Kalau mau membandingkan, rasanya nggak sopan. Tapi jujur, kadang aku iri melihatnya. Prabu Hanenda kalau sudah ke luar dari rumah, paling cuma menggandeng tanganku ketika menyeberang. Jangan bayangkan dia mau aku gelendoti seperti yang dilakukan Kanaya.

Rumput tetangga memang selalu kelihatan lebih hijau. Tapi kalau begitu terus, kapan aku bersyukurnya, ya?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Puspaku (Additional Part)
44
4
Bab ini hanya ada di Karyakarsa, ya.Isinya dari sudut pandang Kangmas Prabu. Bagaimana dia melihat Diana, dan kehidupannya yang perlahan bakal Diana tahu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan