
Sekam yang sengaja ditutupi akhirnya meledak juga. Bagaikan gelombang menghantam pantai yang tenang. Mamak mendatangi sumber malapetaka yang menghancurkan rumah tangganya. Menghilangkan asa anak-anaknya.
BAB 3
…Biar bagaimanapun,
Seorang bapak itu pernah menyayangi dan membimbing kita,
Jika bapakmu melakukan kesalahan, maafkanlah…
Setahun setelah lulus sekolah lanjutan. Usia Raka sudah sembilan belas tahun. Sudah mencoba sana sini memasukkan surat lamaran pekerjaan. Sudah berpuluh-puluh lembaran fotokopi ijazah. Membuang uang percuma. Raka bingung. Kenapa sulit sekali mencari pekerjaan bagi yang belum berpengalaman. Apa memang harus ada orang dalam untuk bisa menembus dunia kerja. Kalau itu benar, tidak adil sekali bagi mereka yang tidak punya kerabat atau teman. Seharusnya pemerintah meregulasi aturan main dalam penerimaan karyawan di semua instansi. Baik milik pemerintah atau swasta.
Masih sabar. Masih terus berusaha. Mau apalagi. Mengeluh, hanya mematikan semangatnya. Memperberat langkahnya. Baru setahun. Abang temannya perlu waktu sembilan tahun untuk mendapatkan pekerjaan, sebagai petugas kebersihan. Itupun melalui penyaluran yayasan. Setelah diterima, harus mengeluarkan uang membeli seragam. Berapa uang yang harus disediakan sebelum bekerja. Bagaimana dengan orang miskin seperti dirinya. Harus mencari uang kemana. Meminjam uang tidak akan ada yang percaya dengan keadaan keluarganya. Padahal orang miskin sepertinya hanya berani meminjam dengan jumlah yang sedikit. Beda dengan orang kaya, meminjam milyaran di bank-pun sangat mudah.
Sungguh tidak adil dunia ini.
Untuk sebulan dua bulan ke depan, Raka akan beristirahat mencari pekerjaan. Sekarang waktunya membantu mamak, menerima cuci gosok baju orang-orang. Raka bisa mengerjakannya di rumah sembari menjaga adik kecilnya. Mungkin ini yang dimau Tuhan, bekerja di rumah bisa menjaga adiknya yang sedikit hiperaktif. Kalau mamak yang bekerja sambil menjaganya, sudah pasti kewalahan. Tahun ini Rasya sudah berusia empat tahun.
Sama seperti kakak-kakaknya, Rasya tidak mengenyam sekolah paud atau taman kanak-kanak. Tidak ada uang. Sekolah diusia itu saja bayarannya sudah selangit. Apalagi Sekolah Dasar, Sekolah lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Akhir. Raka dan Rindu telaten mengajarinya. Rasya sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Anak seusianya sudah berseragam paud, pergi ke sekolah. Atau yang setahun di atasnya sudah berseragam Taman kanak-kanak. Bercanda dengan teman-temannya. Berinteraksi dengan gurunya. Rasya kerap diejek belum bersekolah. Setiap habis main selalu saja menangis kejer. Tak kuat dengan ejekan itu. Bukan hanya anaknya, terkadang ibunya pun juga mengejek. Kalau tidak dicegah mamak, Raka sudah menghajar mulut-mulut jahanam itu. Ia tidak rela keluarganya jadi bahan bulian tetangga-tetangga tidak tahu diri itu.
“Sabar ya Rasya. Tahun depan giliran Rasya yang masuk sekolah” Rindu coba menghibur.
Rindu sendiri sekarang kelas sebelas. Sudah berusia tujuh belas tahun, usia keramat bagi remaja perempuan. Usia menuju dewasa yang sebenarnya sudah dipaksa dewasa karena keadaan menjepit sejak dini. Rindu bertumbuh menjadi remaja cantik, berkulit kuning langsat namun sangat menarik –bagi teman sekolah prianya, kakak-kakak kelasnya. Bahkan bagi guru-guru prianya. Satu keuntungan baginya.
Tetapi tetap saja, ia bukanlah murid yang dianggap spesial. Meskipun cukup bisa bersaing di semua mata pelajaran. Rindu bukanlah murid dari golongan keluarga berada. Dibilang dari keluarga cukup pun bukan. Lebih masuk ke keluarga di bawah garis kemisknan. Sama dengan kakaknya yang suka menunggak uang bayaran sekolah. Sudah beberapa bulan ini Rindu belum membayar. Sudah ditegur berkali, namun Rindu belum bisa memberikan uang yang diminta.
Berbulan menahan malu karena wali kelas sering menagihnya. Sama seperti yang dialami Radit. Setiap wali kelas berlaku sama saja.
Rindu mencoba mencari uang sendiri untuk melunasi bayaran sekolah yang tertunggak. Sudah berkeliling dari rumah ke rumah, tidak ada yang mau memberinya. Rindu hampir putus asa. Lalu tercetus ide yang belum pernah dipikirkan. Rindu ingin bertemu bapak. Meminta bantuannya. Siapa tahu masih ada belas kasih.
Hanya ada satu petunjuk dari yang ia tahu. Wanita itu, yang telah merebutnya dari mamak dan adik-adiknya. Rindu tahu kalau wanita itu sering membeli makan di warung ujung gang. Ia melihatnya sendiri, tetapi tidak pernah berbicara ke mamak. Apalagi Raka. Takut terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan, yang akan merugikan keluarganya. Sifat Raka keras, mungkin karena dari kecil sudah mendapatkan perlakuan kasar dari bapaknya. Dan sekarang menggantikan posisi bapaknya, sebagai kepala rumah tangga.
Pulang sekolah. Masih mengenakan seragam. Rindu berjalan pelan. Dia tidak langsung pulang ke rumah, menunggu di depan gang. Ada keyakinan kalau wanita itu membeli makan di warung ujung gang.
Lama menunggu. Lebih dari sejam. Kakinya sudah pegal. Badannya menggigil kelaparan. Tidak ada ongkos hari ini ke sekolah, jadi Rindu tidak membeli makanan untuk mengganjal perutnya. Benar saja dari kejauhan, ternampak wanita itu berjalan ke arahnya membawa tas kecil. Sesaat masuk ke warung membeli makanan. Lima menit berlalu, ia keluar dengan tentengan di tangan kanannya.
Sekitar sepuluh langkah di belakangnya, Rindu mengikuti wanita itu. Menjaga jarak. Menjaga pula agar tidak ketahuan. Tiga puluh menit menyusuri jalan membuntuti. Sampailah ia di satu rumah. Sebuah rumah yang lebih besar dari rumahnya sendiri. Berdiri di belakang pohon, Rindu melihat seorang pria duduk menyambut wanita itu. Ternyata bapaknya. Berita itu bukan sekedar gosip belaka.
Bapak dan wanita itu masuk ke dalam. Mindik-mindik Rindu berjalan masuk melewati pagar sepinggang. Ia intip dari jendela rumah di samping pintu. Bapak dan wanita itu akan memulai makan siangnya. Rindu menelan ludahnya. Tetiba perutnya berkeruyuk, ia ingat belum makan.
Dari balik pintu depan, Rindu menangis. Menyaksikan bapaknya bahagia dengan pilihan hidupnya. Apakah bapak sudah menikah, atau hanya tinggal serumah tanpa ikatan. Rindu tidak mempedulikan itu. Ia hanya ingin bertemu. Ia rindu pada bapaknya. Dan ingin meminta bantuan, itupun kalau dapat. Kalau tidak mendapatkan bantuan tidak masalah karena bertemu bapaknya bisa memuaskan dahaga kerinduan tersimpan.
Rindu menunggu bapak dan wanita itu selesai makan. Membiarkannya dalam kehangatan pasangan seperti muda mudi.
Berselang berapa menit, Rindu mendengar suara ditumpuknya piring makan. Setelah itu kembali hening. Di saat itulah, Rindu mengetuk pintu, mengucapkan salam.
***
Langit gelap mulai menyelimuti. Udara dingin merambat pelan. Membawa ketenangan semu. Mamak Ningsih dilanda kebingungan. Sudah melewati senja, Rindu belum pulang ke rumah.
Berjalan tersendat bertanya ke beberapa orang di ujung gang, Mamak Ningsih tidak menemukan jawaban yang dicari. Mamak terus mencari dimana kembang keluarganya itu. Baju daster robek yang dipakainya berkibar tertiup angin kencang. Langit menggelap, hujan akan turun. Sampai ia tiba di warung makan sederhana di ujung gang. Mamak masuk ke dalam dan bertanya pada penjualnya.
“Tadi mbak Rindu mengikuti wanita yang suka beli makan disini mak” ujar penjual bertubuh renta itu dengan ingatan yang masih kuat ketika mamak menanyakan ciri-ciri wanita tersebut. Mamak berlari cepat kembali ke rumah. Ia memerintahkan Radit untuk mencari kakak sulungnya, Raka. Rasya disuruhnya masuk.
“Kenapa mak?” tanya Raka sesaat masuk ke dalam rumah.
“Rindu belum pulang, Raka. Kata penjaga Rindu mengikuti wanita yang ciri-cirinya sama dengan wanita itu” Mamak diam sesaat menyebutkan wanita itu. Lehernya tercekat. Kering.
“Wanita siapa mak?”
Mamak diam terus. Belum berkata lagi.
Tetapi akhirnya bersuara. Pelan dan lirih.
“Siapa lagi. Dia yang pergi sama bapak kamu” Raka nanar menatap kurus ke depan. “Jadi Rindu nemuin bapak” ucapnya. Kata-katanya lembut namun tegas.
Mamak khawatir sekali, takutnya Rindu akan ditahan tidak boleh diperbolehkan kembali. Kemarahan Raka sudah di ubun-ubun. Otaknya mendidih. Bukan kemarahan pada adiknya. Tetapi pada bapaknya yang pergi meninggalkan mereka bertahun lamanya. Belum lagi seandainya kejadian benaran, Rindu tidak diperbolehkan pulang. Emosinya akan semakin meluap.
Raka ikutan gelisah. Dia berjalan tidak tentu arah, di halaman sempit. Lalu ke depan rumah. Mondar mandir saja ia di sana. Capek, balik lagi ke halaman. Benar-benar gusar.
Tetapi setengah jam menunggu. Perasaan yang kalut terobati dengan kepulangan Rindu. Seragamnya sudah awut-awutan. Jangan ditanya soal rambutnya. Lebih acak-acakan dari seragamnya. Rindu yang tadi pagi berkucir, sekarang melerai rambutnya. Lebih cantik dilerai sebenarnya. Yang aneh hanya wajahnya. Pucat. Bercampur keringat. Dan ada bekas lelehan air mata di pipi yang memerah.
Mamak langsung memeluknya begitu Rindu masuk. “Rindu sudah makan?” Remaja cantik itu menggeleng. “Dari pagi?” Sekarang mengangguk. “Mamak siapin makan ya. Sekarang Rindu ganti seragam dulu” Mamak menggandengnya ke kamar. Lalu berkata pada Raka, “Jangan kamu marahi. Ingat itu!”
Aneh si Mamak. Giliran ia pulang lewat senja dikit saja, pasti segudang kata-kata keras keluar begitu saja. Tidak peka-lah. Tidak peduli pada mamak-lah. Tidak mau menjaga adik-adiknya-lah. Tetapi giliran anak gadis satu-satunya di keluarga ini pulang terlambat. Disambut penuh haru. Seperti telah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.
Selesai makan malam. Mamak mengumpulkan semuanya di ruang tamu. Saat ini semuanya sudah dianggap mengerti untuk bisa diajak berdiskusi. Delapan bulan lagi usia Raka menginjak dua puluh. Rindu sekarang berusia dua bulan lewat dari tujuh belas. Dan Radit berusia tiga belas. Sementara si bungsu sudah genap enam tahun. Sudah waktunya mereka belajar berdemokrasi. Mendengar dan didengarkan –tidak hanya mendengarkan tanpa mau didengarkan.
Mamak duduk menghadap Raka, Rindu dan Radit.
Ketiga anaknya itu diam menatap mamak. Menunggu instruksi kapan akan dimulai persidangan kecil ini.
“Baik, mamak mau bicara soal kejadian hari ini..” Rindu menunduk. Raka semakin serius menatap mamak. Radit hanya menggigit-gigit pulpennya. Sebenarnya ia tidak mau diajak serius-serusan kayak gini. Dunianya masih tentang anak-anak remaja yang doyan main.
“Hari ini Rindu dateng ke rumah bapak. Dan janda itu..” jantung Rindu berdetak tak beraturan. Raka memajukan duduknya. Agak membungkuk. Menunggu kata demi kata dari mulut mamak. “Sekarang mamak mau Rindu menceritakan bagaimana di sana..”
Rindu berdehem. Membersihkan tenggorokannya yang gatal. Lalu ia lantang menceritakan kejadian di rumah bapaknya. Dimulai dari kejadian di sekolah.
“Rindu tadi ditegur lagi sama wali kelas. Karna belum bayaran..” Raka memundurkan tubuhnya bersandar di kursi rotan yang sudah reyot. Membuang kasar nafasnya. Merasa bersalah karena belum mendapatkan pekerjaan.
“Ya sudah Rindu terpaksa datang ke rumah bapak. Mau minta bantuan buat bayar uang sekokah. Rindu selalu lihat wanita itu beli makanan di ujung gang. Rindu ikutin tadi pas pulang sekolah..”
“Terus kak” tanya Radit menggebu. Ia hanya ingin tahu kabar bapaknya.
“Di sana ketemu bapak langsung. Bapak sempat suruh masuk, tapi dilarang sama istrinya..”
“Kamu bilang istrinya, Rindu. Memang mereka sudah resmi”
“Raka!!” Raka kaget dengan teriakan mamak. Bersamaan dengan bentakan. Tangannya bergetar hebat. “Hati-hati kamu kalau bicara. Biar bagaimanapun itu bapak kamu. Orang tua kamu!”
Anak pertama itu mendengus kesal. Tidak adil rasanya kalau memaafkan orang tua yang menelantarkan keempat anaknya. Tetapi untuk protes sama omongan mamak, itu sama saja seperti Malin Kundang. Durhaka. Raka sangat menghormati mamaknya. Mamak sudah berjuang dengan tenaga tersisanya, menghidupi dan menyekolahkan mereka.
“Apa yang perempuan laknat itu katakan, Rindu?” tanya Raka tanpa tedeng aling-aling berbicara seperti itu. Mamak berdehem keras. Ditujukan ke Raka. Namun Raka tidak peduli. Tidak dosa mengatakan ‘perempuan laknat’ pada wanita itu. Wanita yang telah merebut bapak dari empat jiwa tidak bersalah ini. Pun dengan mamak.
“Rindu maksa meluk bapak..” seketika air matanya tumpah. Deras sekali. Radit ikutan menangis. Mamak menahan air matanya. Berusaha tidak tumpah di depan anak-anaknya. Sementara Rasya hanya celingak celinguk menatap bergantian mamak dan Rindu. “Tapi dilepas paksa sama perempuan itu..” Raka meninju pahanya sendiri. Geram dan amarah beradu.
"Trus, pipi kamu kenapa? Ditampar?” desak Raka. Rindu mengangguk. Lemah. Dari kepulangannya, Raka sudah memperhatikan pipi adiknya yang memerah. Justru mamak yang tidak ngeh dengan keadaan putrinya. Umpatan kata-kata kasar terlontar tidak berpenghalang. Raka naik pitam. Mengancam akan segera menemui wanita itu. “Tunggu aja!” ucapnya lantas pergi. Lemas mamak memandangnya. Menyaksikan punggung anak pertamanya melenggang pergi dengan kemarahan. Bisa jadi baru besok Raka akan pulang. Entah tidur dimana malam ini.
Mamak Ningsih tahu. Anak-anaknya kecewa dengan sikapnya yang diam. Setelah pertengkaran itu, bertahun lalu.
Menerawang jauh ke masa silam. Masa dimana kebahagiaan sering datang meski hidup terhitung pas-pasan. Mamak bahagia tinggal bersama suaminya, dengan dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Tiang kehidupan mulai tergoyah saat penyanggahnya mulai rapuh tergoda arus. Kejadian ketika mamak mengandung anak keempatnya. Suaminya tergoda seorang wanita yang baru saja pindah di kampung itu.
Beberapa bulan masa mengandung, tidak terendus perbuatan tidak mengenal perasaan itu. Mamak hanya memikirkan ketiga anaknya. Dan yang sedang berada di kandungannya. Hingga seminggu sebelum melahirkan itu. Mamak memergoki sendiri, bayangan hitam menutupi hati suaminya. Badai yang menghancurkan rumah tangganya.
Sekam yang sengaja ditutupi akhirnya meledak juga. Bagaikan gelombang menghantam pantai yang tenang. Mamak mendatangi sumber malapetaka yang menghancurkan rumah tangganya. Menghilangkan asa anak-anaknya.
Dua pasang mata bertatapan di rumah kontrakan itu. Mamak Ningsih mencoba berbicara dengan tutur kata tanpa luapan amarah. Wanita peretak cermin itu menanggapinya dengan santai. Bahkan meremehkannya. Begundal wanita itu mengatakan kalau suaminya sudah bosan dengan dirinya.
Tidak berpikir panjang, baja yang menjaga kelembutan hatinya terpatahkan. Sebuah sambaran keras mendarat mulus di wajah wanita itu. Dua kali. Melelehlah darah dari sudut bibirnya yang telah tersentuh susuk berselimut emas. Susuk pemikat. Wanita itu meringis kesakitan.
Bapak sempat meminta maaf. Berjanji tidak mengulanginya. Mamak pun memaafkan. Demi anak-anak yang masih butuh perlindungan dari seorang pemimpin. Hati mamak bagai hati seorang bidadari. Mudah memaafkan. Tetapi tidak selamanya mudah seperti itu. Sekali memaklumi perbuatan suaminya. Dua kali masih memaafkan. Ketiga kalinya sudah tidak tahan.
Dan di malam itu. Malam yang berkabut, membawa hawa panas ke dalam rumahnya. Mamak dan suaminya bertengkar hebat. Di depan anak-anaknya. Setengah jam kemudian, pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan tangisan Rindu dan Radit. Meninggalkan amarah Raka. Meninggalkan wajah lugu Rasya. Dan menyuguhkan kekosongan hati mamak.
“Mak.” Sentuhan lembut Radit menggugahnya. Menyadari keberadaannya. “Sudah malam mak. Istirahat yuk,” ajak Rindu.
Gelap malam memayungi. Hamparan gemerlap bintang bersinar di pekatnya permadani angkasa. Dingin menyentuh kalbu. Semilir angin berdesir lirih. Perih menyiksa. Samar mengenang kenangan yang tidak pantas untuk dikenang. Dari cahaya di lubuk hati yang dalam seakan berbisik,
Istirahatlah jiwa yang terusik. Jiwa yang sakit. Dan tersakiti. Dan jiwa-jiwa yang telah mati.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
