
GRATIS
________________
Berkisah tentang tiga orang istri yang berjuang menghadapi masalahnya sendiri. Mereka tidak saling mengenal, namun suami-suami mereka bekerja dalam satu perusahaan yang sama.
Ikuti ceritanya, karya ini akan gratis sampai bab terakhir
Tidak mengapa bila waktu menghambatmu,
Dengan begitu engkau akan berlaku lebih baik lagi
BAB 41 – HARI TERLAMA
Siang hari menjelang sore menjadi hari terpanas bagi Marga. Mungkin menjadi hari terlama dalam hidupnya. Ia duduk di ruang interogasi di kantor polisi. Ruang tertutup ini menjadi sangat pengap dan sempit karena ada dua orang lainnya yang juga sedang di interogasi.
Di sekap di ruangan ini tidak lebih baik dari pada disekap di kamar lantai tiga di rumah mertuanya. Di sana Marga masih di perlakukan manusiawi dengan diberikan makan dengan menu yang sama dengan keluarga itu. Di kantor polisi ini ia hanya di berikan segelas air putih yang gelasnya sudah berubah warna menjadi butek, tidak bening lagi. Mungkin saja polisi-polisi itu sering memakainya untuk membuat kopi tanpa cream. Atau dipergunakan untuk yang lainnya.
Apakah polisi-polisi itu mengetahui aku ini menantu siapa. Bagaimana reaksi mereka kalau tahu istriku anak dari jenderal bintang tiga. Kenapa aku jadi bangga begini dengan sosok mertuaku. Sial.
Bunyi keruyukan perutnya terdengar nyaring. Cacing-cacing di dalam perutnya sudah meronta-ronta meminta asupan makanan. Polisi-polisi yang berada di ruangan itu hanya tertawa tanpa bersuara. Menertawakan nasib marga, seorang menantu jenderal bintang tiga yang sekarang menjadi tersangka kasus penggelapan dana di perusahaannya.
Otaknya terus berputar mencari celah agar ia tidak masuk perangkap jeruji besi. Ia ingat ketika di kantor tadi, disaat ia diinterogasi oleh Mr. Raj, CEO itu mengatakan kalau ia menghadiri pernikahannya dengan Siska. Berarti Mr. Raj ini mengenal baik bapak mertuanya. Karena yang diundang di hari pernikahannya adalah mereka yang berhubungan baik dengan Komjen Polisi Agung Raditya. Marga berinisiatif menghubungi Siska. Menceritakan semuanya. Berharap istrinya mau membantu. Dan berharap nama besar papanya bisa membuatnya bebas.
Karena malas menelepon Siska, Marga memberitahukannya melalui pesan whatsapp.
Aku sekarang sedang ada di kantor polisi
Aku jadi tersangka kasus penggelapan uang
Apa!!
Yang benar Kamu?
Iya sekarang aku di polsek
Siapa yang polisikan kamu?
CEO perusahaanku, Mr. Raj
Nanti aku ngomong sama papa
Sudah tidak usah dipikirin
Kamu tenang saja
Lega membaca pesan dari Siska. Ada kesempatannya untuk bebas. Marga jadi merasa bersalah pada Siska, merasa bersalah atas perlakuan buruknya. Dan perkataan kasarnya mengenai anak yang sedang dikandung Siska. Ia teringat Muthia. Wanita yang telah dinikahinya lebih dari tiga tahun. Ada dimana Muthia saat ini, ia bahkan tidak tahu. Yang ia tahu kalau Muthia sedang kesal padanya akan pulang ke rumah orang tuanya.
Aku kangen kamu Muthia. Aku kangen kebersamaan kita. Aku ingin kembali padamu. Aku tahu kamu sangat marah. Aku sudah banyak melakukan kesalahan. Aku ingin minta maaf padamu. Bisiknya di hati.
Melamun di antara para polisi yang sedang menginterogasi para tersangka berbagai kasus. Marga tidak menyadari kedatangan dua orang polisi bersama seseorang yang baru saja di tangkapnya. Kedatangan itu tidak mengalihkannya dari ponsel yang ia pegang.
Ditepuk bahunya. Marga seketika menengok siapa yang menyentuhnya. Orang itu berjalan membelakanginya dan duduk di depan meja polisi paling pojok.
“Andi,” seru Marga
Andi tidak menjawab hanya tersenyum pahit. Polisi yang duduk di depannya bersiap menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan sulit, karena ia pemeran utama dalam kasus ini. Marga terus menatap ke pintu, ia berharap ada satu orang lagi yang di tahan. Rudi. Namun hingga satu jam berjalan tidak ada yang masuk, Marga memberanikan diri bertanya.
“Pak satu orang lagi yang bernama Rudi kemana?”
“Mr. Raj hanya melaporkan pak Marga dan pak Andi saja. Tidak ada yang lain”
Sudah kuduga. Selain cerdas dan kinerjanya yang bagus. Mungkin Rudi dianggap berjasa sudah memberitahu yang sebenarnya. Pikir Marga.
Saat ini Marga hanya menuggu belas kasih Siska dan papanya. Menunggu dijemput. Tidak seperti kemarin-kemarin, sekarang disekap di rumah Siska menjadi impiannya. Karena Marga tidak mau berada di sel. Interogasi Andi sudah selesai. Baik Marga dan Andi akan dimasukan ke sel tahanan menunggu berita acara selesai dibuat.
-oOo-
Menunggu hari senin pekan depan terasa lama bagi Muthia. Rasanya mau dilewatkan saja hari-hari sebelumnya. Sidang mediasi kedua sudah ditunggunya. Kalau disidang kedua Marga tidak datang, maka akan dilakukan sidang perceraian. Dan itu yang diharapkannya.
Hari-hari dilaluinya sendiri. Tanpa kehadiran Marga. Pasang surut kehidupan berumah tangga terus melekat. Kenangan itu seperti mengajaknya menari-nari. Mendalami perannya kembali. Peran yang sudah dilupakannya. Peran yang tidak ingin diingatnya. Tapi peran itu yang terus muncul dibenaknya. Perannya yang tidak mau digeser dengan peran lainnya. Dan perannya sebagai istri yang tersakiti akan terus melekat hingga bulanan bahkan tahunan.
Mengisi perutnya menjadi kegiatan yang sulit diingatnya. Muthia jarang makan. Setiap harinya ia hanya mengisi sepotong roti yang dibelinya di minimarket di dekat rumahnya. Selebihnya ia hanya memberikan asupan tubuhnya dengan air putih. Entah berapa gelas yang ia minum setiap harinya. Air putih itu yang menjadi kekuatan tubuhnya menghadapi suasana tidak nyaman ini.
Selepas solat isya, Muthia langsung beristirahat. Menidurkan tubuh dan pikirannya. Tapi ia selalu terbangun tepat di jam dua belas malam. Lalu ia tidur kembali. Dan ia terbangun kembali di jam dua pagi. Lalu ia kembali menidurkan tubuhnya. Dan kembali terbangun begitu azan subuh berkumandang. Azan subuh memanggilnya untuk kembali kepada Tuhannya. Mengadukan semua perasaannya. Berdoa. Untuk menguatkannya.
Dan Muthia lupa, berapa lama ia berdoa. Berapa lama ia bermunajat. Meminta dan meminta. Tetapi belum terjawab. Muthia hanya meminta dihilangkannya perasaan yang pernah mengisi hatinya. Malah ia meminta terkena amnesia. Agar kenangannya bisa hilang selamanya. Tidak membekas di hatinya. Tapi kapan munajatnya terkabul. Ia memohon secepatnya.
“Thia, kamu harus makan nak. Jangan seperti ini. Nanti kamu sakit”
“Iya bu nanti saja”
“Ibu ambilkan ya”
Muthia menggeleng. Ia membaringkan tubuhnya. Mengusir secara halus ibunya untuk keluar dari kamarnya. Ingin menyendiri. Tidak ada gangguan dari siapapun.
-oOo-
Dewa dan si mbok masih terus menenangkan mamanya yang tidak berhentinya menangis selepas tertangkapnya Andi. Shiren sempat menceritakan pada Dewa yang terjadi sesungguhnya. Mengapa papanya ditangkap polisi. Shiren yakin Dewa sudah mengerti permasalahan orang dewasa diusianya yang masih remaja. Inilah proses pendewasaan dirinya.
Kamar VIP yang disewa Shiren menjadi sangat asing setelah tidak ada Andi. Shiren memutuskan pulang karena tidak ada yang menjaganya kalau malam. Dewa tidak mungkin menemaninya sepanjang hari di kamar itu. Usianya belum pantas dibebankan dengan masalah yang rumit.
“Suster saya mau dirawat di rumah saja,” pintanya pada perawat ketika masuk ke dalam kamarnya.
“Bu shiren, ibu belum sehat benar. Lebih baik ibu dirawat di sini. Karena masih terus dipantau oleh dokter”
“Iya Bu, lebih baik Ibu di sini saja. Kesehatan Ibu bisa terjaga sampai waktunya ibu pulang,” Simbok turut memberi sarannya.
“Ya sudah saya di sini saja dulu. Nanti kalau sudah membaik saya pulang ya sus”
Shiren tidak jadi pulang. Berpikir kembali kalau di rumah justru akan merepotkam Dewa, mengganggu fokusnya dalam belajar.
-oOo-
Ikhlas pada takdir adalah cara mudah menjalani hidup yang tak pernah mudah
BAB 42 – MENERIMA TAKDIR
Rumah kontrakan yang ditempati Rudi dan Vina jauh dari rasa nyaman bagi Vina. Rumah itu hanya terdiri dari tiga petak saja. Satu ruang tamu, satu kamar tidur dan satu ruangan yang terbagi antara kamar mandi dan dapur. Kecil sekali. Dan rumah kontrakan ini berada di dalam gang kecil atau banyak orang bilang gang senggol.
Vina masih belum bisa menerima atas kondisinya sekarang. Ia belum masuk melihat-lihat ke dalam. Masih duduk di luar melamun. Memperhatikan semut-semut berwarna merah yang sedang mencari makan. Memperhatikan dedaunan yang bergoyang di tanaman milik tetangga. Menyaksikan anak-anak kecil yang berlari-larian saling kejar-kejaran. Melihat ibu-ibu berkumpul sedang bergosip. Telinganya terganggu dengan suara teriakan-teriakan anak-anak dan ibu-ibu itu.
Apa aku bisa tinggal di daerah seperti ini? Ucapnya sendiri.
“Kamu tidak mau masuk ke dalam?” tanya Rudi setelah membereskan semua barang-barangnya sendirian. Barang-barang yang dibawanya sudah lebih dari cukup memenuhi rumah mungil ini.
Vina diam. Masuk ke dalam tanpa bersuara. Menunduk. Ia sama sekali tidak mau melihat wajah Rudi. Sangat membencinya. Padahal ini sepenuhnya bukan kesalahan Rudi. Sangat kebetulan Rudi yang ingin mengembalikan harta yang didapatnya lewat jalur tikus bersamaan dengan audit dari CEO. Dan Vina tidak mepercayai kebetulan itu. Ia terus menyalahkan Rudi.
Pemilik rumah kontrakan itu menyerahkan kuncinya. Rudi hanya membayarnya selama enam bulan saja. Selanjutnya ia akan mencari pekerjaan untuk membayar sewa setelah enam bulan. Vina tidak peduli dengan suaminya. Ia memutuskan tidur untuk melepaskan beban pikirannya.
Tinggal di dalam gang dengan rumah yang berdempetan bagi Rudi tidak masalah. Masa kecilnya hingga lulus kuliah dihabiskannya di gang kecil. Kadang hidup dengan kekurangan juga dijalani. Rudi tidak patah semangat. Ia bisa berhasil lulus menjadi Sarjana dan diterima bekerja sebagai staf di divisi finance.
Kini Rudi harus kembali menikmati kehidupan di gang kecil setelah ketahuan menggelapkan dana perusahaan. Untungnya ia masih diberikan keringanan hukuman dari pihak perusahaan hanya dengan mengembalikan aset perusahaan dan tidak dilaporkan ke pihak berwajib.
-oOo-
Malam menjelang. Hembusan angin dinginnya menyambut jiwa-jiwa tersakiti oleh alur kehidupan yang tidak adil untuk mereka yang menjalani.
Muthia saat ini tengah berjuang mengatasi depresinya, ia harus menghadapi kenyataan akan kehancuran rumah tangganya akibat kehilangan suami yang telah hidup bersamanya selama tiga tahun.
Shiren sedang berjibaku dengan kanker payudaranya yang sudah berada di stadium tiga. Rasa sakitnya sudah menjalar ke bagian tubuh yang lain seperti di bagian lehernya. Shiren kesulitan menoleh ke kanan. Kaku di bagian lehernya adalah salah satu efek dari kanker payudara yang diidapnya. Shiren semakin terjatuh setelah Andi ditangkap polisi. Apalagi Andi sudah berubah seperti sedia kala, seperti diawal pernikahan mereka.
Vina yang sudah sembuh dari depresinya kini kembali mengalami tekanan batin karena harus kehilangan hartanya. Kembali mengalami hidup susuah di rumah kontrakan di dalam sebuah gang kecil. Vina yang pernah mengalami depresi selama setahun karena kehilangan anaknya yang berusia empat bulan, sekarang menghadapi ancaman serupa. Rudi sebagai suami sudah pasrah kalau Vina akan menghalami hal yang sama seperti dulu lagi. Sebagai kepala keluarga ia berkewajiban memberi Vina nafkah, makanya dengan susah payah Rudi mencari pekerjaan.
Sementara Marga dan Andi kini harus mendekam di penjara. Atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Mereka di masukkan ke dalam sel yang sama. Merasakan dinginnya tembok penjara. Dengan makanan ala kadarnya. Tidur hanya beralaskan tikar. Sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
“Begitulah jalan kehidupan. Roda yang melewatinya selalu berputar. Setiap manusia harus berganti peran mengikuti roda yang tengah berjalan. Suatu saat roda itu akan berhenti dan manusia akan meninggalkan dunia ini”
-oOo-
Seminggu berlalu, belum ada tanda-tanda keluarga Muthia akan membebaskan Marga. Bahkan Muthia belum menjenguknya. Marga hampir putus asa. Sedangkan Andi sudah tidak berharap apapun apalagi berharap belas kasih dari perusahaan untuk mencabut laporannya. Hanya keluarga dari Andi saja yang datang. Keluarga Marga sendiri sendiri belum datang menjenguk karena memang mereka belum tahu keberadaan Marga. Akses terbatas yang dilakukan keluarga Siska membuat hubungannya dengam keluarganya sendiri terputus sementara.
Ruang sel yang berukuran tidak lebih besar dari kamar keduanya terasa semakin sumpek dengan bertambahnya penghuni sel. Lima orang saja sudah terlalu sempit apalagi sel ini berisikan tujuh orang. Baik Marga dan Andi sudah resah dengan keadaan yang dialaminya.
“Marga, kapan ya keluarga Siska meminta perusahaan kita mencabut laporannya?”
“Aku tidak tahu, Ndi. Aku kan tidak bisa menghubungi Siska lagi. Nomornya pun aku tidak hapal. Ada baiknya kita tunggu saja. kita sabar ndi, karena kita yang salah kan”
“Iya tahu Marga. Aku hanya kasian sama Shiren dan Dewa. Pasti mereka stress”
“Sabar ya, Ndi, mudah-mudahan Siska mau menolong”
“Kalau Siska mau menolong kamu. Apa selanjutnya yang mau kamu lakukan Marga?”
“Aku akan jalani hidup sama dia. Aku akan lupakan Muthia. Aku pikir Muthia juga tidak mau kembali lagi padaku, aku sudah dua kali menyakitinya. Dan dia sudah tahu aku sudah menikah dengan siska”
“Kamu benar juga Marga. Muthia akan sulit kembali padamu”
“Kamu sendiri, Ndi. Apa yang mau kamu lakukan?”
“Aku akan merawat Shiren dan berperan sebagai Ibu untuk Dewa”
“Mudah-mudah keinginan baik kita terpenuhi ya, Ndi”
Marga dan Andi terus berbincang di sudut sel, keduanya tidak mengakrabkan diri dengan penghuni sel yang lain. Mereka hanya sesekali membaur. Lelah berbincang keduanya berbaring di atas tikar yang sudah tidak layak pakai. Sudah tersobek di beberapa bagian.
Tak lama keduanya dipanggil oleh petugas polisi yang berjaga.
“Saudara Marga dan Saudara Andi. Ada yang datang menjenguk,” ujar seorang polisi sambil membuka kunci sel.
“Kami berdua pak?” tanya Andi
“Benar”
“Siapa ya. Ndi. Aku belum pernah dijenguk. Kok menjenguk kita bareng-bareng gini?”
“Kita lihat saja Marga”
Di ruang tempat menjenguk yang dijaga ketat oleh dua orang polisi telah menunggu seorang berseragam polisi berpangkat tinggi. Seorang wanita bernampilan glamour, terlihat dari tas mahal yang dibawanya dan sebuah kalung berlian berharga ratusan juta melingkar di lehernya. Ada juga seorang pria keturunan India yang mengenakan suit mahal merk desainer Eropa. Ketiganya duduk di sebuah bangku panjang dengan sebuah meja yang terbuat dari kayu.
“Pak Jenderal mau minum apa?”
“Tidak perlu saya hanya mau ketemu menantu saya”
“Menantu bapak?” tanya polisi jaga itu.
“Iya. Marga,” jawabnya singkat.
Polisi diam melongo.
Tak lama Marga dan Andi masuk ke ruang tunggu menemui ketiga pengunjungnya. Marga cukup terkejut dengan kedatangan Siska dan bapak mertuanya yang masih berseragam lengkap dengan membawa CEO perusahaannya, Mr Raj. Andi juga bersikap sama dengan Marga. Terkejut dengan kedatangan mereka ke polsek. Sebaliknya para polisi yang seminggu lalu berada di ruang interogasi ketika mereka di berondong pertanyaan tidak bisa berbicara apa-apa melihat polisi Jenderal Bintang tiga yang ternyata adalah mertuanya Marga.
“Kamu benar-benar membuat saya malu Marga. Apa yang kamu lakukan sudah diluar batas. Gaji kamu di perusahaan itu besar, kenapa melakukan ini!” Komjen Polisi Agung Raditya berbicara keras pada Marga. Wajahnya menunjukan karakter aslinya. Gebrakan tangannya di meja kayu menggema di ruangan yang tidak besar itu.
Jangankan menjawab, menatap bapak mertuanya saja ia takut. Siska mencoba menenangkan Papahnya.
“Pah tenang dong, Pah. Jangan terlalu keras, Marga melakukan itu untuk aku kok Pah”
“Sudah kamu tidak usah membela. Papah malu!”
“Tapi kenyaannya begitu, Pah. Terserah Papah mau percaya atau tidak”
Mereka diam sejenak. Membuat suasana tidak nyaman terasa terutama untuk Marga dan Andi. Marga semakin tidak enak pada Siska. Wanita yang terpaksa dinikahinya itu membelanya di depan Papahnya dan CEO yang sudah memenjarakannya.
“Marga aku minta maaf ya baru sempat datang ke sini. Karena jadwal Papah dan Mr. Raj sangat padat jadi sulit sekali menyesuaikannya”
“Tidak apa-apa siska. Terima kasih ya sudah mau membantu aku”
“Sudah tidak perlu basa basi. Saya tidak banyak waktu,” sela Komjen Polisi Agung Raditya. Ia menelepon ajudannya di luar dan memintanya untuk membawa berkas-berkas perjanjian yang harus di sepakati Marga dan Andi. Berkas-berkas perjanjian yang sudah disiapkan oleh keluarganya bersama manajemen perusahaannya. Ajudan itu masuk dan menyerahkan berkas kepada Marga dan Andi. Sepertinya isi berkas tersebut berbeda di antara keduanya.
-oOo-
Keluarga itu tempatmu kembali,
Perlakukanlah dengan dunia
BAB 43 – KEMBALI KE KELUARGA
Hari senin menjadi hari yang paling tidak disukai bagi sebagian para karyawan. Karena hari pertama masuk kerja sejak libur dua hari di akhir pekan. Tetapi tidak berlaku bagi Muthia. Hari senin ini hari yang ditunggu-tunggu. Hari yang menjadi sidang mediasi kedua dari gugatan cerainya. Hadir kembali keluarga besar Muthia dan keluarga besar Marga tanpa kehadiran Marga sendiri yang belum diketahui oleh keluarganya dimana keberadaan dia.
Semuanya sudah berkumpul di dalam ruang sidang. Tiga orang hakim sudah duduk di tempatnya masing-masing. Menunggu Marga hadir di sidang mediasi ini. Setelah tiga puluh menit berlalu Marga tidak hadir akhirnya sidang dilanjutkan dengan sidang perceraian.
“Dikarenakan saudara Marga tidak serius dalam mediasi ini. Maka kamu memutuskan untuk melanjutkan menjadi sidang gugatan cerai”
Hakim ketua mengetuk palunya tanda sidang gugatan cerai dimulai. Awal sidang dimulai dengan mendengarkan pembacaan surat gugatan persidangan. Muthia membacakan surat gugatannya secara hati-hati tanpa ada satu kata pun yang terlewat. Selanjutnya tergugat diberikan kesempatan mengajukan jawabannya berupa eksepsi dan rekonpensi. Karena marga tidak hadir jadi tidak ada jawaban tergugat.
Kemudian Muthia bersama pengacaranya diminta menyampaikan replik gugatan. Dan replik gugatan ditahap ini tidak dapat dilakukan karena tidak ada jawaban dari tergugat mengenai surat gugatan yang dibacakan pleh penggugat. Dalam hal ini Muthia.
Dan duplik tergugat juga akhirnya dilewatkan karena alasan sang tergugat yang tidak hadir dari sidang mediasi. Akhirnya sampai pada tahap pihak penggugat dan tergugat mengajukan bukti-bukti. Baik Muthia dan keluarga Marga mengajukan bukti berupa saksi. Keluarga Muthia mengatakan bahwa Marga sudah melanggar perjanjian pernikahan dengan melakukan perselingkuhan sampai wanita yang berselingkuh dengannya mengandung. Muthia pun memberikan bukti yaitu alat tes kehamilan atau testpack milik Saskia yang ia simpan. Sedangkan keluarga Marga juga memberikan kesaksian dan membenarkan kesaksian dari para saksi yang diajukan Marga.
Di tahap sidang terakhir majelis hakim meminta kedua belah pihak untuk memberikan pendapat. Tapi sekali lagi hanya pihak Muthia yang memberikan pendapatnya. Sidang pun diistirahatkan selama selama lima belas menit untuk majelis hakim menarik kesimpulan.
Muthia sudah tidak betah berada di ruangan tersebut. Ia benar-benar ingin pergi dari sana. Anggi sampai menenangkan dirinya agar sabar menunggu keputusan akhir.
Lima belas menit berlalu. Lima belas menit yang lama bagi Muthia. Dan lima belas menit yang dilaluinya dengan perasaan hampa. Majelis hakim kembali memasuki ruang sidang. Sudah siap membacakan keputusannya.
“Baik saya akan mmembacakan keputusan sidang gugatan perceraian saudari Muthia kepada saudara Marga,” ketua majelis hakim berbicara setelah jeda singkat.
“Setelah mendengar alasan gugatan dan mendengar para saksi yang hadir di sidang ini. maka kami majelis hakim memutuskan... “
Wajah tegangnya tidak dapat disembunyikan ketika hakim akan membacakan keputusan sidang.
“Kami memutuskan mengabulkan gugatan cerai saudari Muthia kepada saudara Marga. Terima kasih”
Tok tok tok.
Tiga kali ketua majelis hakim mengayunkan palunya dan diketukan ke sebuah alas kayu berbahan kayu jati.
Resmi. Bercerai dengan Marga. Kali ini yang ditunjukan oleh Muthia adalah wajah datarnya. Antara senang dan sedih. Antara suka dan duka. Dan antara antusias dan kecewa. Berbaur jadi satu.
-oOo-
Selesai membaca berkas perjanjian antara Marga, Andi dan Mr. Raj, keduanya menandatanganinya diatas materai. Salah satu isi perjanjian yang sama dari keduanya adalah mereka harus mengembalikan sejumlah dana yang sudah mereka ambil dengan jalan yang tidak benar. Sementara untuk Marga ada poin tambahan yaitu Marga harus setia pada Siska dan bersedia bercerai dengan Muthia.
Marga menyanggupinya. Ia merasa sudah tidak ada harapan melanjutkan biduk rumah tangganya dengan Muthia. Meskipun ia masih menginginkannya. Tapi Marga tahu diri. Sekarang ia akan menjalani kehidupan selanjutnya bersama Siska.
Sudah berganti pakaian, Marga dan Andi meninggalkan polsek. Andi harus kembali ke rumah sakit menjemput istrinya yang sudah diizinkan pulang. Kondisi Shiren belum seratus persen pulih namun karena tidak tega meninggalkan Dewa sendirian, ia memilih untuk rawat jalan saja.
Sebelum masuk mobil, Siska memberitahu email dari pengadilan agama. Ia memberikan ponsel Marga yang ia sita selama hampir dua minggu.
“Ini ponsel kamu”
“Sudah kamu tidak perlu mengembalikan ponsel itu. aku sudah ada yang baru”
“Kamu buka dulu. Buka email kamu”
“Ada apa dengan emailku?”
“Buka saja”
Marga menerima ponselnya yang diberikan Siska. Ia membuka email sesuai anjuran Siska. Dilihat satu per satu emailnya. Di scroll down. Belum menemukan satu email mencurigakan baginya.
“Kamu cari dari pengadilan agama,” ucap wanita yang tengah mengandung itu. Diketiknya kata sesuai anjuran Siska di kotak pencarian. Dan Marga menemukannya. Dibaca email itu dari kata pertama hingga terakhir. Tapi reaksinya mengejutkan Siska. Marga memasang muka datar. Dan sikapnya dingin. Ia justru mengajak pulang Siska.
“Yuk kita pulang”
“Pulang?”
“Iya, memangnya kamu mau kemana?”
“Ya tidak kemana-mana”
“Kalau mau belanja atau mau ngopi di kafe, kita jalan sekarang aja. Kebetulan aku lapar belum makan”
“Seriusan?”
“Iya serius”
Yang membuat Siska semakin terkejut, Marga membukakan pintu untuknya dan membimbingnya masuk ke dalam mobil. Ketika Marga masuk ke dalam mobil Siska melihatnya tanpa berkedip.
“Kenapa kamu lihat aku seperti itu?, apa ada yang salah?”
“Oh tidak”, ujar Siska gelagapan
Mobil melaju meninggalkan tempat yang tidak akan pernah di lupakan Marga. Cukup satu minggu ia menginap di hotel prodeo.
“Jadi kita makan dulu ya. Kamu mau makan dimana?”
“Terserah kamu aja Marga”
“Loh ko terserah aku. Kamu kan lagi hamil jadi kamu yang tentukan aja mau makan di mana”
“Ya sudah aku mau makan di restauran Malaysia”
“Oke kita kesana,” ucap Marga sambil mengarahkan mobilnya ke arah sebuah mall di Jakarta Selatan yang terdapat restauran Malaysia. Dan Siska hanya berpikir mengapa Marga berubah sikap menjadi lebih manis. Ia menebak kalau isi perjanjian itu salah satu diantarnya Marga harus merubah sikapnya pada dirinya.
Aku lihat saja ke depan kalau ia terus bersikap manis berarti ia tulus menyayangi aku. Bukan karena perjanjian yang ia tanda tangani. Batinnya.
-oOo-
Parkiran gedung sebuah rumah sakit sangat ramai oleh kendaraan bermotor baik roda dua dan roda empat. Mobil miliknya sudah terparkir di sana selama seminggu. Tingkat polusi di Jakarta yang sangat tinggi membuat mobil itu diselimuti debu yang tebal.
Dicoleknya kaca belakang dengan ujung telunjuknya. Debu yang tebal menempel di jarinya. Lalu ia tekan tombol di benda kecil yang dikantonginya. Terdengar bunyi dua kali cukup kencang dari mobilnya.
Selanjutnya Andi membuka pintu mobil dan menyalakannya untuk sekedar memanaskan mobilnya yang sempat mati suri. Bunyi mesin menderu. Kangen sekali dengan bunyinya. Dibersihkannya bagian dalam mobil dengan lap yang tersimpan di dashboard.
Andi memandang keluar. Penglihatannya menyapu bersih area parkiran di luar gedung itu. Kemudian pandangannya menembus dinding kaca rumah sakit. Banyak pasien yang sedang menunggu giliran untuk diperiksa oleh dokter-dokter yang dengan setengah hati bekerja. Maklum saja, pasien-pasien itu menggunakan fasilitas pemerintah yang komisinya kecil bagi sang perantara penyembuh.
Sudah selesai memanaskan, Andi keluar dari mobilnya. Mendekati dua orang cleaning service yang sedang beristirahat sambil melahap sekantong gorengan dengan kopi hitamnya yang menemani mereka.
“Permisi pak”, sapa Andi
“Iya pak ada apa?”
“Bapak berdua bisa membersihkan mobil saya tidak. Cukup dilap saja, dibersihkan debunya”
Kedua cleaning service itu langsung menyanggupi tawaran Andi. Dan Andi kontan mengeluarkan empat lembar uang bernilai seratus ribu. Dengan cepat kedua cleaning service itu membersihkan mobil penuh debu dengan peralatan yang mereka bawa. Andi berdiri tidak jauh memperhatikan kerja para cleaning service itu.
Sangat puas melihat mobilnya sudah bersih dari debu, Andi mengucapkan terima kasih dan bergegas masuk ke dalam rumah sakit.
Sampai di dalam, pria yang masih terihat ganteng diusianya yang sudah menginjak empat puluh tahun itu langsung segera menyelesaikan administrasinya. Biaya rumah sakit yang mencapai puluhan juta dibayarkan dengan uang tunai yang sudah disiapkan sejak Shiren masuk rumah sakit. Sejak Andi belum terkurung.
Andi masuk ke ruang VIP dimana Shiren dirawat. Masuk tanpa mengetuk pintu mengagetkan Shiren yang duduk si tepi tempat tidur dan Dewa yang sedang merapikan pakaian mamanya.
“Papa...” Dewa berlari memeluk Andi yang dibalas dengan pelukan hangat seorang ayah yang sudah seminggu lebih tidak bertemu. Dewa sudah tahu kemana Andi menghilang. Shiren menceritakan dengan jujur kemana Andi sebenarnya.
“Dewa itu sepertinya Mamah mau turun. Yuk bantu Mamah”
“Pah.. Papa bisa keluar?”, tanya Shiren
“Iya, Mah. Nanti Papah ceritain ya. Yang penting sekarang kita pulang. Dan menurut dokter kondisi mama agak mendingan,” ujar Andi sambil merangkul dan mengelus kepala Dewa
“Iya Pah kita pulang. Mamah sudah bosan di sini”
-oOo-
Kabar terbaik dari surga adalah
Semua keinginamu dikabulkan, jika belum..
Sabarlah!
BAB 44 – HARI BARU
Matahari menyambut pagi dengan senyumnya yang ramah. Menyentuh banyak jiwa dengan berbagai macam tatanan hati dalam hidupnya. Selama enam bulan melanjutkan hidupnya. Ketiga perempuan yakni Shiren, Muthia dan Vina berkutat dengan problematika hidupnya masing-masing.
Shiren dengan usaha yang gigih untuk bisa terbebas dari kanker payudara. Selain kemoterapi yang dijalaninya. Andi juga membawanya pada pengobatan alternatif. Dukungan suami dan anaknya memberikan dampak yang positif. Usahanya tidak sia-sia. Kondisi shiren semakin hari semakin membaik.
Hasil PET scan menyatakan penyebaran kankernya mulai menghilang dan hasil tes darahnya menunjukan kalau sel kankernya juga berkurang. Pembengkakan kelanjar getah bening yang dekat dengan payudara kanannya mulai mengecil. Dan Shiren sudah tidak merasakan nyeri seperti yang ia rasakan di awal-awal kemunculan sel kanker tersebut.
Rasa bahagia terpancar di wajah keluarga kecil ini tak terkecuali si mbok. Kehidupan keluarga ini mulai menghangat kembali. Andi tidak akan melakukan kesalahan lagi. Ia ingin dekat dengan Shiren dan Dewa. Pengalaman pahitnya di sel selama satu minggu memberikannya pelajaran berharga.
Dan sudah tiga hari Shiren masuk kerja kembali. Kehadirannya sudah dinanti oleh rekan dan stafnya. Wajah yang terlihat lebih segar walaupun kesembuhannya baru mencapai tujuh puluh persen saja. Tetapi semangatnya menggebu-gebu karena harapan kesembuhannya yang meningkat.
Sementara itu berbeda dengan Muthia. Yang selama enam bulan ini menggunakan waktunya untuk solo traveling, bertujuan untuk menyembuhkan dirinya dari siksa batin yang dirasakannya. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Muthia melakukannya setelah mendapatkan warisan dari Marga.
Sejak Siska memberitahukan email dari pengadilan mengenai gugatan cerai Muthia. Sejak saat itu Marga mencari cara agar dia bisa bertemu dengan Muthia. Di satu hari ketika ia mendapatkan kesempatan untuk pergi sendirian tanpa Siska dan pengawalnya. Ia datang ke kediaman orang tua Muthia. Saat itu hanya kemarahan yang datang menyambutnya. Tapi dengan ketegaran hatinya, sang mantan istri menerimanya dengan ikhlas dan tangan terbuka membiarkan Marga masuk ke dalam rumahnya.
Marga mengungkapan penyesalannya atas kejadian yang kedua kalinya yang ia lakukan pada Muthia. Dan ia menceritakan kronologis mengapa ia kembali meninggalkan Muthia. Bahkan ia juga menceritakan siapa ayahnya Siska dan pangkatnya di kepolisian.
Laki-laki yang kini telah menjadi seorang direktur di perusahaan milik keluarga istrinya menyerahkan dua buah kunci sebagai bentuk penyesalan dirinya atas perlakuan buruknya selama menikah. Sebuah kunci rumah dan sebuah kunci mobil diberikan kepada Muthia.
Tidak mau berlama-lama menyimpan pemberian Marga. Akhirnya Muthia menjual rumah beserta isinya serta mobil. Uang inilah yang dipakai Muthia untuk berlibur menyembuhkan jiwanya melakukan kegiatan solo traveling.
Jika Shiren dan Muthia memilih berdamai pada keadaan dan berusaha untuk menyembuhkan diri, lain halnya dengan Vina. Perempuan yang sempat hidup bahagia karena perhatian lebih dari Rudi, kini sedang mengalami kehidupan yang terpuruk. Merasakan depresi kembali karena Vina tidak menerima keadaannya saat ini. Jiwanya terus berontak menolak hidup yang dibalut kemiskinan.
Serba kekurangan. Dan keadaannya terbatas. Vina menderita depresi tapi tidak dibarengi dengan halusinasi. Sepanjang hari ia hanya melamun saja. Makanan yang selalu disediakan Rudi hanya dimakannya sedikit, lantas sisanya dibuang ke sembarang tempat. Keadaan ini sering mengganggu tetangganya. Kadang orang yang sedang lewat di depan rumahnya dilempar sisa nasi yang tidak habis dimakannya.
Pengurus RT sudah menegur Rudi. Teapi Rudi hanya mengiyakan saja. Bukan karerna ia tidak peduli pada istrinya atau tidak peduli pada teguran pengurus RT setempat. Ia sedang berusaha mendapatkan pekerjaan. Sudah enam bulan usaha yang dilakukan Rudi dalam mencari pekerjaan tidak pernah berhasil. Sempat terpikir kalau Mr. Raj telah mengirim email ke berbagai perusahaan untuk melakukan black list terhadapnya. Tapi Mr. Raj telah berjanji kalau dia tidak akan melakukan itu. Setidaknya untuk Rudi seorang.
Dan hari ini Rudi baru saja selesai interview dengan sebuah perusahaan. Lagi-lagi Rudi tersingkir dengan kandidat yang belum memiliki pengalaman namun memiliki orang dalam. Memang sangat sulit mencari pekerjaan saat ini, kandidat yang memiliki kualitas baik akan kalah dengan kandidat yang memiliki hubungan dengan orang di dalam perusahaan tersebut. Fenomena orang dalam memang sangat memprihatinkan.
Mampir ke masjid yang letaknya tidak jauh dari kantor tempatnya interview. Didirikannya solat zuhur. Sehabis solat zuhur diambilnya Al-Quran yang terdapat di laci masjid tersebut. Dibacanya ayat demi ayat, dibaca pula artinya. Rasa tenang hinggap di pikirannya. Hawa dingin meniup dadanya yang tengah mengalami tekanan. Saat ini Rudi sudah menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Ia teringat istrinya, Vina.
Aku harus buru-buru pulang. Vina belum makan siang. Gumamnya.
Begitu keluar masjid Rudi membeli sebungkus nasi di warteg sebelah masjid. Hanya sebungkus. Karena uangnya yang semakin menipis. Dan itu hanya untuk Vina. Ia membiarkan dirinya mengalah tidak makan siang agar Vina bisa makan kenyang hari ini.
Dan di tengah hari yang panas ini Rudi kembali ke kontrakannya. Kembali dengan perasaan yang dia sendiri sulit menggambarkannya. Ada rasa kecewa. Takut. Sedih. Karena bulan ini adalah bulan terakhir kontrakannya selesai. Bulan depan ia sudah harus membayarnya lagi. Turun di depan gang dari ojek online yang ditumpanginya. Ia melihat di depan rumahnya berdiri sekerumunan tetangga yang jengkel melihat keributan yang ditimbulkan oleh suara-suara teriakan dari dalam. Tetiba ia teringat Vina. Rudi berlari ke rumahnya melewati tetangga yang berkerumun.
Untungnya pintu tidak dikunci oleh Vina, jadinya Rudi bisa menerobos masuk. Di ruang tamu barang-barang berantakan tidak karuan. Berseraikan di lantai. Sofa-sofa yang di gulingkan, kaca meja yang pecah berkeping-keping, foto-foto pernikahan mereka sudah tidak berbentuk lagi bahkan sebagian ada yang dirobek-robek. Hanya televisi yang masih berada di tempatnya tanpa tergeser sedikit pun. Sepertinya barang-barang itu dilempar Vina ke berbagai penjuru.
Kemudian Rudi menengok Vina ke dalam kamar yang kebetulan pintunya tidak ditutup. Kondisi kamarnya sama seperti ruang tamu. Tidak lebih baik. Sprei sudah berantakan, kasurnya sudah tidak di atas tempat tidur. Meja rias yang menjadi tempat favorit Vina kala bersolek menjelang tidur, sudah berubah bentuk. Kacanya dipecahkan, meja dan kursinya patah.
Rudi mendapati Vina di pojokan kamarnya. Matanya nanar menatap tajam Rudi.
“Vin, sayang kamu ngapain?”
“Kamu masih tanya! Kamu tidak merasa apa yang aku rasain!”
“Iya aku tahu. Aku hanya memintamu untuk bersabar. Secepatnya aku akan dapat pekerjaan lagi”
“Kapan kamu dapat pekerjaan. Sudah enam bulan kamu tidak berhasil lolos dari interview”
“Itu semua belum rezeki Vina,” ucapnya lirih.
“Rezeki itu sudah ada yang atur. Yang penting aku sudah berdoa dan berusaha. Tinggal menunggu kabar baik dari Alloh,” imbuhnya dengan mengecilkan suaranya
“Sudah cukup! Kamu tidak perlu ceramah. Kapan kabar baik dari Alloh akan datang. Alloh sengaja ingin menyiksamu”
“Vin kamu jangan ngomong kaya gitu”
“Aku sudah muak padamu. Kamu tidak becus sebagai suami. Sekarang keluar kamu!”
Rudi mematung. Baru kali ini Vina mengusirnya. Dan baru kali ini Vina mengeluarkan kata-kata yang menyayat gendang telinganya.
“KELUAR!!” teriaknya menggema hingga tetangga yang berkerumun di depan rumahnya mendengar. Dan semakin penasaran atas kejadian di dalam. Rudi menuruti Vina. Ia keluar. Berjalan ke dapur dengan wajah yang memerah. Menahan amarahnya.
Rudi terbengong-bengong atas peristiwa yang sedang dialaminya. Ia benar-benar tak menyangka akan kejadian seperti ini. ia benar-benar tidak menduga Vina bisa berbuat seperti itu. Vina seorang perempuan lembut dengan perangainya yang baik. Saking lembutnya sudah dua kali ini Vina mengalami depresi.
Kalau aku ada uang seperti dulu. Aku sudah membawanya berobat. Tidak. Tentu tidak dengan uang haram. Tekannya dalam hati. Ia menyesali mengikuti hawa nafsunya yang menyuruhnya menggelapkan dana perusahaan. Setelah ketahuan oleh CEO. Ia dipecat dan sekarang kesulitan mencari pekerjaan.
Rudi menyandar di dinding dapur. Menatap langit-langit yang bolong di salah satu sudutnya. Menerawang ke atas melihat genting-genting tua berlumut dari tempatnya berdiri. Ia membalikkan tubuhnya menghadap dinding. Bersandar pada tangannya yang sudah menempel di dinding. Rudi menangis. Pria itu tidak sanggup menanggung beban yang sangat berat. Tangannya tetap menempel di dinding, Rudi menurunkan tubuhnya. Berjongkok. Tubuhnya bertopang pada dua telapak kakinya yang berjinjit. Melanjutkan tangisannya. Dan ia tersungkur. Merebahkan tubuhnya ke samping. Tubuhnya yang masih berlipat seperti ketika ia berjongkok.
Di dalam kamar, Vina masih berteriak-teriak sambil mengacak-acak kamarnya hingga bulu-bulu angsa di dalam bantalnya keluar berhamburan memenuhi isi kamarnya.
-oOo-
Memang perlu menyenangkan diri sendiri,
Sebagai self reward untuk kebahagian hidup
BAB 45- MEMBAHAGIAKAN DIRI
Sore di kota Jogja menjadi sore terindah Muthia. Ini adalah kota ke sekian yang ia singgahi setelah bercerai dengan Marga. Dari kota Jambi dan Lampung di pulau Sumatera Muthia terbang ke Pontianak. Namun di kota terakhir itu ia tidak menetap lama. Muthia langsung menuju Makasar dan Manado. Mencoba berbagai makanan khas daerah tersebut. Di Manado sendiri ia sempatkan untuk menyelam di Pulau Bunaken, tempat yang sudah terkenal ke mancanegara akan terumbu karangnya yang sangat indah.
Setelahnya ia pergi ke Lombok. Di pulau yang mendapatkan julukan Pulau Seribu Masjid itu , Muthia merengkuh perjalanan spiritual untuk menenangkan batinnya. Banyak sekali hikmah positif yang bisa diambilnya. Pelajaran dalam meraih keseimbangan hidup, keseimbangan antara dirinya sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial. Berinteraksi dengan penduduk sekitar. Dan selama berlibur di sana Muthia menginap di rumah penduduk. Meninggalkan kesan mendalam terhadap penduduk di sekitarnya. Masyarakat di sana selalu berpikiran positif, selalu mengatakan kalau hidup ini sudah ada yang mengaturnya. Mereka tidak terlalu berambisius dengan duniawi.
Persinggahan selanjutnya adalah Pulau Dewata, Bali. Di Bali Muthia menetap selama tiga bulan. Ia menyewa kamar kos di Jalan Dewi Sri. Di daerah tersebut dengan mudah bisa ditemukan berbagai makanan dan tempat membeli oleh-oleh. Di Bali, ia menemukan kedamaian hidup. Ketenangan yang tidak pernah ia dapatkan sewaktu tinggal di Jakarta. Di sini ia tidak mendengar celoteh jahat mulut tetangga dan teman-temannya tentang pernikahannya. Pertanyaan ibu-ibu mengenai anak. Dan orang-orang yang iri atas pencapaian Marga ketika menjadi suaminya. Benar-benar damai.
Dari Bali Muthia menyebrangi lautan menuju Banyuwangi dan Malang. Di Banyuwangi Muthia menginap di hotel dekat pantai. Pantai-pantai di Banyuwangi tidak kalah indahnya dengan di Bali. Dan di kota malang Muthia hanya mengejar sunrise di Gunung Bromo. Liburan yang sangat ia impikan ketika masih menikah dengan Marga.
Dan dari Malang pergi ke Jogja dengan kereta api kelas eksekutif. Sangat dinikmati perjalanannya. Momen-momen indah liburan bersama Marga terbayang di kepalanya. Karena sepanjang mengarungi biduk perkawinan, Marga hanya sekali mengajaknya berlibur ke luar kota. Itu pun karena hadiah bulan madu dari teman-teman kantornya.
Setelah itu tidak ada lagi liburan bersama Marga. Makanya Muthia melampiskannya sekarang, pasca bercerai. Dan kini ia sudah tinggal beberapa hari di Jogja. Mengontrak di rumah yang kecil. Yang terpenting nyaman untuk ditinggali. Jogja adalah kota yang menawarkan kesederhanaan. Hidup bersahaja. Memilih berinteraksi dengan orang-orang yang tinggal di dekat rumah kontrakannya dari pada menyelam di dunia maya.
Muthia sudah bertekad untuk melupakan pernikahannya yang kandas. Bertekad melenyapkan Marga dari benaknya. Selama-lamanya.
-oOo-
Pria berusia dua puluh delapan tahun itu masih menangis menyesali apa yang terjadi dengan istrinya. Dia masih meringkuk di lantai dapur. Beberapa saat kemudian tangisannya berhenti. Perlahan ia bangun. Kemeja polosnya yang berwarna biru muda kotor di bagian lengan kirinya karena menjadi alas kepala.
Rudi bangkit dan berdiri hendak kembali ke kamar. Vina belum berhenti berteriak-teriak mengeluarkan sumpah serapahnya. Ia ragu meneruskan niatnya masuk kembali ke kamar. Rudi hanya berjalan melewati kamarnya ke ruang tamu. Dirapikannya kembali barang-barang yang berserakan di lantai. Beberapa tetangga yang masih berkerumun melihat Rudi sudah berada di ruang tamu sedang membereskan barang-barang. Dan mereka juga mendengar Vina masih berteriak-teriak dari dalam kamarnya.
Selagi membereskan barang-barang tersebut. Sesosok iblis membisikan sesuatu di telinganya.
“Lihat dirimu sekarang. Disaat kamu mentaati peraturan-Nya kamu malah jatuh miskin. Padahal kemarin ketika kamu hidup bebas kamu malah punya segalanya”
Rudi hanya tersenyum dan tidak menanggapi godaan iblis terkutuk. Ia berpikir selama ini telah tenggelam dalam dunia penuh dosa. Dan sekaranglah saatnya untuk melebur semua dosa-dosannya. Tidak masalah aku miskin yang penting aku selalu ingat padaMu. Harapnya.
Iblis tidak habis cara, sosok itu mendatangi istrinya yang sedang di landa kemarahan. Dan orang yang sedang dikuasai amarah akan dengan mudah di tipunya. Dan Vina sedang menangis disudut kamarnya, lantas iblis itu berbisik di telinganya.
“Pecahkan botol parfum itu. Ambil pecahannya. Selanjutnya kamu lebih tahu harus berbuat apa. Hahahahah.”
Tanpa pikir panjang lagi Vina mengambil sebotol parfum yang sudah kosong. Dipecahkannya botol tersebut di tepian tempat tidurnya yang terbuat dari kayu jati. Kayu yang sangat keras untuk dibenturkan dengan sebotol kosong parfum.
PRAANG...
Bunyi botol yang dipecahkan di tepian tempat tidurnya terdengar nyaring. Rudi tersentak kaget mendengarnya. Terdiam beberapa detik lalu ia berlari ke kamar. Dan apa yang dilihat dengan matanya, Vina sudah tergeletak mengeluarkan darah dari pergelangan tangan kirinya. Banyak sekali darah yang keluar.
Secepatnya Rudi kembali berlari keluar rumah menghampiri tetangga yang masih berkerumun.
“Pak tolong, Pak. Istri saya menyayat pergelangan tangannya. Tolong pak.. tolong,” pintanya dengan memelas.
Rudi dan para tetangga berlari ke dalam melihat kondisi Vina. Tetangga lain yang memiliki mobil diminta untuk menyiapkan kendaraannya untuk membawa Vina ke rumah sakit. Tiga orang menggotong Vina sementara satu orang menutupi pergelangan tangannya agar darah tidak terus mengalir keluar.
Mobil telah siap di depan gang. Setelah Vina dimasukan, mobil melaju dengan kecepatan lebih dengan dibimbing oleh dua sepeda motor di depannya. Beberapa orang tetangga menjaga rumah kontrakan Rudi.
Hampir satu jam mobil itu baru sampai di sebuah rumah sakit dan berhenti tepat di depan ruangan gawat darurat. Tidak menunggu perintah, satpam yang berjaga membuka pintu mobil. Membawa tempat tidur berjalan. Dengan susah payah dikeluarkannya dari mobil. Dibantu satpam tadi, Rudi dan seorang tetangga mengangkat tubuh Vina.
Satpam itu dengan cekatan menarik tempat tidur berjalan ke dalam ruang gawat darurat. Rudi dan ketiga orang tetangganya menunggu di luar.
Kecemasan terlihat diwajahnya. Rudi tidak tahu harus berbuat apa. Ia berdiri mematung dan terus menyaksikan pintu gawat darurat.
Ketiga orang tetangganya hanya bisa memberikan semangat. Mereka sudah berusaha memberikan bantuan semampunya. Sementara dua motor yang membimbingnya untuk membuka jalan tadi memutuskan untuk kembali.
“Mas Rudi sabar ya, mudah-mudahan mba Vina ngga kenapa-kenapa”
“Iya pak makasih,” jawabnya sambil menundukan kepalanya.
Kempatnya duduk di kursi tunggu depan ruang gawat darurat. Menunggu kabar selanjutnya dari dalam. Kabar baik yang diharapkan oleh Rudi. Sambil menunggu Rudi menceritakan apa yang terjadi pada Vina. Itu pun setelah salah seorang yang menemaninya bertanya. Rudi juga menceritakan awal mula kenapa mereka bisa pindah rumah. Bangkrut. Itulah alasan utamanya.
“Jadi istri saya tidak bisa terima keadaan kalau kita sedang terjatuh,” ceritanya. Rudi terpaksa berbohong. Ia menceritakan kalau perusahaan tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan hingga semua karyawan terPHK.
“Makanya ia depresi menghadapi tekanan hidup. Ditambah sudah enam bulan saya belum dapat pekerjaan”, Rudi tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ketiga tentangganya mendengarkan dalam diam penjelasan Rudi mengenai musabab keadaan Vina yang dilanda depresi.
Pintu ruang gawat darurat terbuka secara otomatis. Seorang wanita yang menggunakan pakaian seragam berwarna krem keluar dari dalam.
“Keluarga pasien yang baru masuk ruang gawat darurat di mana?”
“Saya suster,” jawab Rudi sambil berdiri.
“Bapak silahkan mendaftar terlebih dahulu di bagian pendaftaran di dalam”
“Istri saya gimana sus?”
“Sedang ditangani dokter terkait pak. Mari pak ikuti saya ke bagian pendaftaran”
Rudi mengikuti perawat tersebut ke bagian pendaftaran melalui fasilitas pengobatan dari pemerintah. Setelah selesai mendaftar, Rudi kembali menunggu di tempat duduk di depan ruang gawat darurat dengan tatapan yang kosong.
-oOo-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
