
GRATIS
________________
Berkisah tentang tiga orang istri yang berjuang menghadapi masalahnya sendiri. Mereka tidak saling mengenal, namun suami-suami mereka bekerja dalam satu perusahaan yang sama.
Ikuti ceritanya, karya ini akan gratis sampai bab terakhir
Kalau cinta kita tulus pada orang yang kita sayangi,
Maka tidak akan pernah sedikit pun terbersit untuk mengkhianatinya
BAB 16 – KETULUSAN HATI
Taksi itu melaju pelan di jalanan yang tidak terlalu macet. Mengantarkan seorang wanita yang sedang sakit hati karena sang suami yang tega menduakannya. Berat sekali beban hidup yang dirasakannya. Setiap orang yang pernah berada di fase ini pasti akan merasakan apa yang Muthia rasakan. Ingin rasanya ia pergi sejauh-jauhnya dari Jakarta, menghilangkan rasa sakit hatinya. Tapi keluarga adalah tempat kembali yang terbaik. Ia butuh mencurahkan segala isi hati. Menghilangkan rasa sakit yang menghimpit di dadanya.
Taksi yang dinaikinya berhenti di depan sebuah rumah berukuran sedang. Tampak sedang duduk di teras rumah sepasang suami istri paruh baya sedang menikmati waktu santai mereka. Sang istri sedang memotong daun-daun yang sudah menguning di tanaman hias yang di milikinya. Sementara sang suami sedang menikmati segelas kopi hitam yang masih panas.
Muthia membayar total argo taksi tersebut. Kemudian Muthia turun. Berjalan pelan mendekati pintu pagar dengan menyeret kopernya. Didorongnya pintu kecil pagar tersebut dan dilihatnya kedua orang tuanya termenung menyaksikan kedatangannya dengan membawa sebuah koper sambil menangis.
“Thia kamu kenapa?” tanya Ibunya.
`“Sini-sini masuk dulu ke dalam,” timpal ayahnya.
Lalu ayahnya mengunci pintu pagar kecil dan mengikuti Muthia dan istrinya masuk dengan membawa koper yang di tinggal oleh anaknya di teras.
Muthia menangis sesenggukan dipelukan ibunya.
“Kamu kenapa thia? Ada apa?”
Muthia tidak menjawab. Tangisannya semakin keras.
“Sudah bu biar nanti saja tanya-tanyanya. Biar Muthia istirahat dulu di kamarnya.” ujar Ayah Muthia sambil memberi kode ke istrinya untuk membawanya ke kamar tamu yang juga bekas kamarnya Muthia.
Ayahnya mendorong koper itu dan meletakannya di kamar Muthia. Ia meninggalkan istri dan Muthia berdua saja. Ia berpikir sesama perempuan akan lebih leluasa menceritakan apa yang sedang terjadi.
“Thia kamu istirahat dulu ya. Ayah buatkan teh hangat.” Muthia menggangguk. Ia masih tetap dipelukan Ibunya. Ia merasa nyaman mendapatkan kehangatan dari orang tuanya. Hal inilah yang sudah lama ia dambakan. Setiap kali ingin ke rumah orang tuanya, Marga selalu melarangnya dengan berbagai alasan.
Bu Ika membelai rambut anaknya memberikan kasih sayangnya. Inilah yang sudah lama tidak dirasakan oleh Muthia. Walaupun anaknya sudah bersuami tapi tetap saja Muthia akan selalu menjadi anaknya ketika pulang ke rumah orang tuanya.
“Ini teh hangatnya, ayah sudah buatkan,” ujar Bu Ika kepada anaknya ketika suaminya membawakan segelas kecil teh hangat.
Muthia meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa hangat terasa di dadanya, menghilangkan rasa sesak yang meguasai perasaannya saat ini.
“Ya sudah Thia kamu tidur dulu saja. Tenangkan diri kamu, nanti kalau kamu sudah siap bercerita kamu bisa bercerita ke Ibu sama Ayah”
Kedua orang tuanya keluar kamar Muthia. Membiarkan anaknya mengistirahatkan pikirannya terlebih dahulu. Sementara Muthia membaringkan tubuh dan Bu Ika menyelimutinya. Ia belum bisa membebaskan pikirannya dari pengkhianatan Marga. Dipejamkan matanya, berharap cepat terlelap.
“Ayah sudah menelepon Anggi untuk datang ke sini, Bu. Mungkin kalau sama kakaknya Muthia mau menceritakan apa yang terjadi”
“Benar Yah kalau sama kita ada rasa sungkan. Dan ini memang mencurigakan, Thia datang bawa sekoper pakaian sambil menangis. Ibu yakin ada apa-apa sama Marga”
“Ya sudah Bu kita tunggu saja Anggi datang”
-oOo-
Seraya menikmati kopi di kamar hotelnya, Andi dan Marga membicarakan kondisi rumah tangganya masing-masing. Andi baru sempat mengajak Marga berbicara serius karena temannya itu baru saja bangun pada jam tiga sore. Marga ingin sejenak melupakan masalah dengan istrinya. Tapi ia teringat kembali begitu Andi mengajaknya berbicara mengenai istri mereka.
Andi menceritakan kalau istrinya mengidap kanker payudara stadium dua. Sementara Marga juga memiliki masalah pelik lainnya, wanita yang menjadi selingkuhannya tengah mengandung anaknya dan ia diminta pertanggung jawabannya.
“Kalau menurut saya, Ndi, kita pulang saja dulu. Kita bicarakan baik-baik dengan istri-istri kita. Kamu mah enak masalah kamu ngga sepelik saya”
“Sama aja, Marga. Saya yakin Shiren udah tau kita ngapain aja. Shiren itu wanita yang cerdas”
“Iya sih. Tapi kamu coba dulu aja lah, Ndi. Tinggal saya nih yang bingung harus gimana. Saya yakin Muthia akan sulit ngasih maaf. Dia udah terlanjur sakit hati karena mergokin saya langsung sama Siska waktu dia ngasih testpacknya”
“Lagian kamu ngga hati-hati sih. Kamu ngga pake pengaman. Dan harusnya kamu lebih waspada kalau Muthia akan mencari tahu”
“Saya nggak berpikir sejauh itu”
“Ya udah kita hari ini pulang ke rumah masing-masing. Kita minta maaf sama istri-istri kita. Udah cukuplah kita bersenang-senang”
Andi dan Marga memutuskan untuk pulang ke rumah. Petualangan mereka diakhiri hari ini. Andi akan menemui Shiren dan ingin menguatkannya. Memberikan dukungan moril untuknya. Biar bagaimanapun Shiren sudah menemaninya lebih dari 15 tahun dalam bahtera pernikahan. Dan selama itu pula Shiren tidak pernah menyusahkan dirinya. Ia adalah wanita mandiri nan tangguh.
Sedangkan Marga akan meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat bersama Siska. Tetapi Marga belum mendapatkan keyakinan keputusan apa yang akan diambil nantinya.
-oOo-
Meskipun Vina sudah merasa baikan dan tidak pernah berteriak-teriak lagi, tapi masih ada kekhawatiran dari Rudi akan kondisinya. Belum sepenuhnya ia bisa melepaskan pikirannya dari tekanan-tekanan mental yang Vina rasakan selama setahun terakhir.
Rudi berencana pulang satu jam lebih awal setelah mendapat izin dari Manajer Operasional. Semua tugas sebagai staf di bagian keuangan telah diselesaikannya. Bahkan untuk bahan meeting Andi di hari senin nanti.
Besok sudah memasuki akhir pekan. Malam ini Rudi dan Vina akan berangkat ke Bandung menggunakan kereta keberangkatan malam hari. Vina mengambil ponselnya yang ia letakan di atas meja makan. Lalu diketiknya sebuah pesan singkat untuk suaminya.
Sayang kamu jadi pulang jam 4?
Jadi sayang
Sekarang aku lagi siap-siap
Iya sayang
Jadi kita bisa santai berangkatnya
Kereta nanti pukul 19.40 dari stasiun Gambir ya
Siap sayang hehe
Sampai nanti ya
Love you
Love you too
Vina tersenyum-senyum sendiri. Ucapan cinta dari Rudi persis seperti pertama kali Rudi mengirimkannya ketika mereka baru menjalin hubungan menjadi sepasang kekasih. Kehangatan Rudi tidak berkurang sedikitpun kepadanya hingga saat ini.
Ia sudah mulai bisa melupakan kesedihannya karena kehilangan anak pertamanya. Dan Vina sudah tidak sabar berbulan madu yang kedua kalinya, meskipun kali ini hanya dua hari saja di Bandung.
Ia mengemasi pakaian yang akan di bawanya ke dalam sebuah tas. Rencananya Vina dan Rudi akan backpackeran dan menyewa motor untuk berkeliling kota Bandung dan Lembang. Rencana yang sudah dibuatnya dari minggu lalu. Dan selama seminggu ini ia juga merasa keuangan Rudi meningkat tajam, tapi ia tidak peduli sumbernya yang terpenting baginya bisa bahagia menjalani kehidupan berumah tangga.
Selesai berkemas Vina menghangatkan makanan yang tadi pagi ia masak. Makanannya ini akan ia makan di dalam gerbong kereta malam nanti. Ia akan menempatinya di tempat makan sekali pakai. Semua sudah dikerjakannya tinggal menunggu kepulangan suami tercinta.
Vina ingat hari ini ia harus membuat janji dengan Psikiater. Janji berkonsultasi harus dilakukan tiga hari sebelum kedatangan pasien. Pesan suami kepadanya agar dirinya bisa terbebas dari depresi yang telah menemaninya selama setahun ini. Makanya Vina akan terus berobat sampai keadaannya pulih seperti di awal-awal pernikahannya dengan Rudi. Dan suaminya sudah menjamin biayanya selalu tersedia.
-oOo-
Menjernihkan pikiran dengan pergi ke tempat-tempat baru,
adalah salah satu cara memperbaiki suatu hubungan yang pernah renggang
BAB 17 – HEALING
Anggi sudah tiba di rumah kedua orang tuanya. Ia datang sendiri tanpa ditemani oleh suaminya yang masih bekerja. Sementara anaknya ia titipkan pada asisten rumah tangganya. Jarak yang tidak terlalu jauh memungkinkannya berangkat sendiri dengan menggunakan motor matic yang telah lama dimilikinya. Anggi adalah anak pertama dari pasangan Satria dan Ika, anak kedua mereka bernama Muthia.
Kedatangan Anggi atas permintaan Ayahnya yang menelepon sesaat setelah Muthia datang. Ibu muda dengan satu orang anak itu langsung bergegas menemui kedua orang tuanya setelah diceritakan melalui telepon.
“Thia mana bu?”
“Ada di kamarnya, Anggi”
“Dia sudah makan, Bu?”
“Sepertinya belum. Tadi ditawari juga tidak mau”
“Ibu sudah tanya ada apa?”
“Sudah, ibu sudah tanya. Tapi Thia belum mau cerita”
“Ayah kemana, Bu?”
“Ayah lagi keluar sebentar. Sepertinya ayah menelepon Marga”
“Ya sudah, Bu. Anggi ke kamar Thia ya”
Tanpa menunggu jawaban dari Ibunya, Anggi berjalan dan masuk ke kamarnya Muthia. Dilihat wajah adiknya yang sedang tertidur pulas. Anggi merasa iba dengan adiknya. Ia bisa menatap wajahnya yang menahan rasa sakit hati yang mendalam walaupun ia tidak menemukan jawaban karena Muthia belum bercerita pada keluarganya. Anggi belum tahu kenapa Muthia membawa sekoper pakaian seolah ingin menginap lama. Dan kedatangannya tidak ditemani oleh Marga.
Anggi membuka koper yang dibawa Muthia dan memasukan pakaiannya satu per satu ke dalam lemari. Setelah selesai ia keluar kamar menemui ayahnya yang sudah kembali ke rumah.
“Yah, dari mana?”
“Ayah habis nelpon Marga. Ayah minta datang ke sini. Karena Ayah yakin ini ada sangkut pautnya dengan dia”
Anggi duduk di sofa ruang tamu di samping Ayah dan Ibunya. Batinnya juga mengatakan kalau Muthia seperti ini karena ada hubungannya dengan Marga.
“Marga jawab apa, Yah?”
“Iya nanti malam jam delapan dia datang”
“Anggi, Thia gimana?” tanya Ibunya.
“Masih tidur, Bu”
“Ya kita tunggu sampai bangun saja. Tapi ibu harap kita dapat jawabannya sebelum Marga tiba. Kalau Thia belum mau cerita juga kita suruh Marga bicara jujur”
“Anggi sih maunya Marga langsung yang bicara nanti malam. Biar Thia tidak ada tekanan untuk bercerita. Anggi yakin sih ini berat buat dia cerita bu”
“Ayah setuju, biar Marga yang cerita. Jadi kita tidak usah bertanya lagi pada Thia”
“Kalau gitu Anggi mau telepon mas Irwan dulu ya. Mau kasih tahu kalau pulangnya agak telat nanti. Sekalian mau kabari si mbak untuk lembur jagain dede.” Anggi keluar rumah menelepon suaminya. Kemudian ia mengabari asisten rumah tangganya untuk lembur menjaga anaknya sampai suaminya pulang.
-oOo-
Ditutupnya laptop yang sudah menemaninya seharian ini. Dengan malasnya ia rapihkan dokumen-dokumen di atas mejanya. Ia bersihkan meja kerja tersebut yang biasanya menjadi tugas office boy. Lalu ia masukkan beberapa lembar dokumen tadi ke dalam laci dan menguncinya. Dipakainya jas yang ia sampirkan di sandaran kursi kerjanya. Pelan tanpa ekspresi. Ia ambil kunci mobil di saku dalam jas tersebut.
Shiren keluar ruangan kerjanya, berjalan tanpa semangat seperti kebiasaannya. Karyawan lainnya melihat perbedaan yang mencolok dari biasanya. Apalagi ini tepat jam lima. Biasanya Shiren selalu pulang diatas jam tujuh malam. Suatu kebiasaan yang dianggap janggal bagi karyawan lain.
“Ada apa ya bu shiren, tumben banget pulang jam segini,” tutur seorang karyawan.
“Iya tidak biasanya seperti ini,” timpal karyawan lainnya.
“Dari tadi pagi Bu Shiren pucat kaya lagi sakit,” ujar seorang office boy.
Hampir sepuluh tahun Shiren mengabdi di perusahaan ini. Tidak butuh waktu lama untuknya naik ke jenjang karier berikutnya setelah masuk menjadi seorang staf keuangan. Otaknya yang cemerlang menarik perhatian para petinggi. Dengan cepat jabatannya naik dari seorang Senior Staf menjadi seorang Manajer Keuangan. Dan setelah enam tahun bekerja jabatan CFO dipercayakan kepadanya karena seorang Senior CFO pensiun di usia 55 tahun.
Karier yang cemerlang selalu berbanding terbalik dengan kehidupan rumah tangga atau percintaan seseorang. Inilah yang dialami Shiren. Pertengkaran kerap terjadi antara ia dan suaminya. Apalagi kalau pertengkaran itu menyangkut anak mereka. Kenaikan jabatan bukan saja berhasil diraih oleh Shiren. Tapi juga sang suami. Andi mendapatkan promosi jabatan menjadi seorang Manajer Keuangan di kantornya.
Inilah yang membuat Dewa merasa kurang diperhatikan. Hingga kenakalan yang dibuatnya adalah untuk mencari perhatian Shiren dan Andi. Dewa selalu mendapatkan surat panggilan dari wali kelas dan guru BK-nya. Dan situasi seperti ini selalu Shiren yang menghadapinya. Ia selalu datang ke sekolah menemui guru yang bersangkutan. Timbul perasaan kesal pada suaminya yang tidak bisa diandalkan. Dari sinilah bermula segala permasalahan timbul di antara mereka.
Mobilnya melaju pelan di jalanan yang sudah penuh oleh berbagai jenis kendaraan. Pandangannya kosong lurus kedepan seperti sedang melihat masa depannya sendiri. Shiren masih memikirkan di mana Andi yang sampai sekarang belum membalas pesannya.
Ditepisnya bayangan Andi dengan memikirkan Dewa. Selama ini Shiren belum memberikan yang terbaik untuk anaknya terutama perhatiannya. Karena kesibukannya bekerja, ia tidak sempat melihat perkembangan Dewa hingga tumbuh menjadi seorang remaja.
Mungkin dengan aku diberikan penyakit ini aku jadi punya waktu memberi perhatian lebih ke Dewa. Shiren mencoba berpikiran positif walaupun sulit.
Ia memperlambat laju mobilnya ketika sudah memasuki area perumahan. Diturunkan kaca mobil di sampingnya. Dilihatnya warga perumahan yang sudah lama tidak ia sapa. Awalnya rasa canggung menghinggapinya ketika ia menganggukan kepala kepada beberapa orang yang dilewatinya.
Mulai sekarang aku harus beramah tamah dengan para warga di sini. Karena kalau ada apa-apa tetangga terdekatnya lah yang akan ia butuhkan.
-oOo-
“Assalamu alaikum, sayang,” ucapnya tiba-tiba di telinga istrinya.
Vina terkejut dan berbalik. Ternyata Rudi sudah sampai dan Vina tidak mendengar kedatangannya. Ia sedang menunggu suaminya sembari duduk di sofa ruang tamunya dengan memainkan ponselnya.
“Wa alaikum salam, sayang” jawabnya dengan senyum.
“Autis banget sih istri aku sampai-sampai suaminya datang nggak lihat”
Keduanya tertawa bersama lalu mereka masuk ke dalam. Vina menyiapkan secangkir jeruk peras hangat kesukaan Rudi.
“Kita langsung berangkat?” tanya Rudi sambil menerima secangkir jeruk peras hangat dari tangan istrinya di meja makan.
“Iya sayang takutnya macet. Tapi kamu mandi dulu ya. Pakaian kamu sudah aku siapkan di kamar”
“Oke, sayang. Makasih ya,” ujarnya dengan mengecup bibir mungil istrinya lantas bergegas ke belakang mengambil handuk yang masih terjemur.
Tepat jam lima sore mereka berangkat ke Stasiun Gambir menggunakan taksi online. Jalanan yang sudah padat oleh kendaraan tidak menyurutkan semangat mereka untuk berlibur setelah setahun tidak merasakannya. Kegiatan inilah yang ditunggu-tunggu Rudi. Meskipun tinggal serumah tetapi sudah lama Rudi merindukan keintimannya dengan Vina.
Taksi online yang mereka tumpangi dengan gesitnya mencari celah diantara kendaraan-kendaraan besar. Kebetulan mereka mendapatkan taksi dengan ukuran mobil city car. Jadi mobil kecil itu bisa menerobos kemacetan yang sangat parah menuju Stasiun Gambir.
Dengan kelihaian pengendara taksi online yang mereka tumpangi, kurang dari jam enam sudah sampai di Stasiun Gambir. Kepadatan pengunjung stasiun ini sudah terlihat, banyak sekali pengguna kereta api tidak mendapatkan tempat duduk di ruang tunggu keberangkatan.
Vina dan Rudi menunggu jam keberangkatan kereta yang mereka naiki di sebuah kafe. Rudi memesan segelas kopi sementara Vina memesan segelas coklat panas. Setelah mendapatkan kopinya mereka keluar dari kafe tersebut karena tidak ada satu pun meja yang kosong.
Duduk di pinggiran untuk pejalan kaki adalah pilihan mereka sambil menunggu keretanya datang.
-oOo-
BAB 18
Ketika Anggi dan kedua orang tuanya menunggu kedatangan Marga, Muthia keluar dari kamarnya. Lapar melanda. Dari semalam tidak sedikit makanan yang masuk ke perutnya.
“Thia..” Bu Ika terkejut melihat anaknya keluar kamar.
“Thia kamu pucat banget sih. Kamu kaya orang belum makan”
“Iya Mbak Anggi. Thia dari semalam belum makan”
“Ya ampun gimana sih kamu. Mbak ambilin ya”
Anggi mengangguk. Lalu ia duduk di dekat ibunya dan bersender ke lengan ayahnya.
Dengan lahapnya Muthia menyantap makanan yang tersedia. Kedua orang tuanya dan Anggi saling berpandangan dengan herannya. Anggi segera menyadarkan kedua orang tuanya untuk mengajaknya ikut makan bareng. Akhirnya mereka berempat duduk di meja makan. Muthia mengambil lagi sepiring nasi dan teman-temannya untuk menambah isian perutnya. Ia benar-benar kelaparan.
Jam di dinding bergerak perlahan menyaksikan harap-harap cemas kedua orang tua Muthia dan kakaknya. Menunggu seorang pria untuk diinterogasi. Pria tersebut tidak lain adalah Marga. Bahkan dengan gagahnya pak Satria mengeluarkan kata-kata bernada ancaman.
“Kalau seandainya Marga tidak datang, Ayah akan ke kantornya meminta penjelasan.”
Muthia menunduk melihat ayahnya berbicara keras. Ia hanya diam karena sampai malam ini belum memberikan keterangan apapun kepada keluarganya. Sementara Anggi memaklumi sikap ayahnya yang demikian. Orang tua mana yang rela anaknya disakiti meskipun oleh suaminya sendiri.
Jarum pendek di jam dinding tepat berhenti di angka delapan. Dan Marga menepati janjinya pada pak Satria untuk datang di jam tersebut. Mobilnya terparkir di depan pagar rumah.
Marga berdiri di depan pintu rumah. Mengetuk dan mengucapkan salam. Sepatunya bermerk ternama asal Italia yang ia beli bersama Andi di lepasnya dan hanya menyisakan kaus kaki saja. Laki-laki yang baru saja menginjak usia 30 tahun itu duduk di sofa ruang tamu. Di ruang tamu itulah sudah menunggu kedua mertua dan kakak iparnya.
Dengan wajah tenang ia duduk seperti seorang pesakitan di ruang sidang yang sedang menghadapi hakim, jaksa penuntut dan pengacara. Ketiga pasang mata di depannya tidak menyiratkan sedang beramah tamah dengannya. Tetapi semua sikap itu sudah diantisipasinya sejak ia menerima telepon dari pak Satria.
“Dari tadi siang sejak Muthia datang ke sini tidak mau cerita ada apa sebenarmya,” tegas Pak Satria.
“Marga tolong kamu cerita kenapa Muthia bisa seperti itu. Muthia membawa koper berisi baju-bajunya. Dan dari semalaman dia baru mau makan,” pinta Anggi.
“Nggak biasanya seperti itu, Marga,” ucap Bu Ika menambahkan.
Marga menarik napas dan membuangnya perlahan. Ia sibuk memikirkan kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. Tidak ingin salah berucap karena akan menyinggung perasaan keluarga istrinya. Dengan dia berkata jujur saja ia akan menyakiti keluarga Muthia.
“Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga Bapak,” Marga berucap lalu menunduk. “Saya tidak bisa menjaga Muthia dengan baik. Saya telah melakukan kesalahan besar yang menyakiti anak bapak.” Ia terdiam sesaat dan kembali menunduk. Air matanya jatuh. Air mata penyesalan.
“Saya minta maaf sekali lagi. Saya sudah menduakan Muthia”
“Ha! Yang benar Marga? kok bisa?” tanya Anggi terkejut. Ia ingin penjelasan lebih lanjut. Kedua orang tuanya hanya bisa melongo tanpa berkata apa-apa
“Iya, Mbak. Anyawal saya hanya iseng saja. tapi jadi keterusan”
“Iseng kamu bilang Marga?” Pak Satria mulai menunjukan kekesalannya.
“Saya kecewa sama kamu Marga, selingkuh kamu bilang iseng. Kamu sudah menyakiti anak Ibu”
“Kamu ingat dulu janji kamu ke kami sewaktu kamu melamar Thia,” Anggi pun mulai emosi. Marga semakin bingung untuk mengungkapkan satu hal lagi setelah melihat semuanya tampak emosi. Ia berbasa basi menanyakan keberadaan Muthia.
“Kalau boleh saya tahu, Muthia ada dimana?”
“Thia ada di kamarnya,” jawab Anggi singkat. “Dia tidak mau ketemu kamu”
“Ada yang mau kamu ungkapkan lagi,” tanya Pak Satria
Ini saatnya aku kasih tahu lagi satu hal ke mereka. Batin Marga
“Iya pak. Wanita itu bernama Siska”
“Trus...” desak Anggi
“Ia sedang mengandung anak saya”
“Apa!” Tangan pak Satria melayang mendekati pipi marga, tapi keburu ditahan oleh bu Ika.
“Yah jangan kotori tangan ayah dengan menampar dia. Tidak pantas buat ayah.” Anggi menenangkan ayahnya yang berada di puncak emosi. Kemarahannya tertahan sejak kedatangan Muthia.
“Marga sekarang Ibu minta kamu memberitahu kedua orang tua kamu. Lalu datang ke kami. Kalian meminta Thia baik-baik. Kalian juga harus kembalikan baik-baik. Ngerti!”
“Sekarang kamu pulang Marga. Kami minta tidak lebih dari tiga hari kamu datang lagi bersama orang tua kamu. Tidak boleh diwakilkan!” ucap Anggi tegas.
Marga lalu berpamitan tanpa mencium tangan kedua mertuanya. Ia langsung pergi dengan cepat. Antara dirinya yang malu atas perbuatannya atau ia yang sudah tidak tahan diinterogasi seperti itu.
Suara mobil terdengar ke dalam menandakan Marga sudah meninggalkan rumah Pak Satria.
-oOo-
Shiren sedang duduk termenung di samping kolam ikan kecil di bagian belakang rumahnya. Memerhatikan dengan lincahnya pergerakan ikan mas berwarna-warni yang berenang mengelilingi kolam. Stresnya hilang. Dewa mengaburkan lamunan panjangnya sejak kepulangannya tadi sore.
“Mah..” tegurnya seraya memegang bahu Shiren
“Eh kamu Dewa. Kamu sudah selesai belajarnya?”
“Sudah mah. Mamah kenapa kok nangis?” tanya Dewa menyelidik. Sejak Mamahnya lebih perhatian, Dewa menangkap perubahan di dirinya.
“Mamah tidak kenapa-kenapa Dewa,” jawabnya tersenyum.
“Karena Papah ya mah. Sampai sekarang belum pulang?”
“Tidak sayang,” lirih Shiren.
“Ngomong-ngomong kamu sudah lapar belum? Perut mama udah keroncongan nih”
“Udah mah. Dewa ke sini mau ngajakin Mamah makan malam”
Wanita tangguh itu merangkul anaknya menuju meja makan di mana ia sudah menyiapkan makanan ketika Dewa sedang belajar di kamarnya. Dewa tersenyum bahagia. Sekarang Mamahnya memiliki banyak waktu untuk dirinya.
Sangat jarang terjadi mereka makan malam dengan masakan yang dibuat Shiren sendiri.
Senang sekali melihat Dewa seperti ini. Gampang diatur dan tidak membuat ulah. Sayang perubahan besar Dewa ini tidak didampingi oleh Andi yang hingga kini belum ada kabarnya.
“Mah ngomong-ngomong Papah kapan pulang?”
“Kalau ngga hari ini besok sayang. Mungkin juga lusa”
Shiren memnjawab sekenanya saja agar Dewa tidak bertanya lebih lanjut.
“Ko bisa gitu Mah. Nggak pasti pulangnya”
“Ya kan Mamah ngga tahu Dewa peraturan di perusahaan Papah itu seperti apa”
“Oh..” ujar Dewa manggut-manggut padahal tidak mengerti apa yang dimaksud Shiren.
Ketika perbicangan antara Shiren dan Dewa berlangsung, tiba-tiba pintu gerbang rumah di geser oleh seseorang.
“Siapa itu mah? Jangan-jangan Papah”
“Coba Dewa tolong kamu intip”
Dewa berlari ke ruang tamu dan menyibakan sedikit gorden yang menutupi jendela depan. Benar itu Papahnya. Kemudian ia kembali ke meja makan dan melanjutkan santapan malamnya bersama Shiren. Anak remaja itu melihat kecanggung Mamahnya.
Sementara Shiren berkata dalam hati tidak akan memulai pertengkaran. Dan akan berbicara berdua saja tanpa diketahui oleh Dewa.
Suara ketukan pintu terdengar cukup kencang di telinga membuat Shiren merasa tidak tenang setelah hampir satu minggu tidak berjumpa dengan suaminya.
Andi berdiri di depan meja makan. Ia melihat Shiren dengan tatapan tanpa sedih sekaligus masih ada sedikit rasa marah. Shiren menengok ke arahnya. Mereka beradu pandang cukup lama.
-oOo-
Dalam hubungan berkeluarga, jika terjadi gesekan
Diperlukan suatu tindakan agar bisa kembali mendekat erat
BAB 19
Sudah jam sepuluh malam, rangkaian gerbong kereta yang ditumpangi oleh Rudi dan Vina masih melaju kencang membelah persawahan. Kurang lebih satu jam lagi mereka akan sampai di Bandung. Udara dingin di dalam kereta bukan semata karena pendingin ruangan tapi daerah sekitaran Bandung yang sudah memasuki musim hujan terasa hingga ke dalam gerbong kereta.
Vina mendekatkan dirinya ke tubuh Rudi. Jaket yang dipakainya tidak cukup tebal untuk menahan hawa dingin yang begitu kuat menusuk hingga ke dalam tulang.
...SESAAT LAGI KERETA INI AKAN TIBA DI TUJUAN TERAKHIR. STASIUN BANDUNG. PERIKSA KEMBALI BARANG BAWAAN ANDA. JANGAN SAMPAI ADA YANG TERTINGGAL.
TERIMA KASIH DAN SELAMAT MALAM...
Suara pemberitahuan dari staf yang bertugas terdengar sangat jelas di setiap gerbong kereta.
Rudi segera berbenah. Tas yang mereka letakan di bagasi di atas tempat duduk di turunkannya. Kemudian tas itu di taruh di pangkuannya. Ia membelai rambut wanita yang sudah lebih dari dua tahun dinikahinya dengan lembutnya.
Hotel yang mereka pesan tidak jauh dari Stasiun Bandung. Letaknya dekat dengan sebuah toko oleh-oleh. Rudi melakukan konfirmasi ke meja resepsionis atas pesanan kamar hotelnya.
-oOo-
“Dewa kamu sudah selesai makannya?”
“Sudah, Mah”
“Mau nambah?” tanya Shiren
“Ngga, Mah. Dewa mau ke kamar aja”
“Ya sudah. Istirahat ya. Besok kita jadi ke Puncak Bogor. Mamah mau refreshing”
Dewa bingung dengan kalimat terakhir dari Mamahnya. Kapan Mamah bilang mau ke puncak. Pikirnya. Remaja itu menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya. Sesekali ia menengok ke bawah menyaksikan kedua orang tuanya. Ada rasa aneh. Sudah hampir seminggu ini Dewa teramat nyaman hanya dengan Mamahnya saja. Tanpa kehadiran Papahnya yang tidak memberi perhatiannya sama sekali. Itulah mengapa Dewa tidak menyapa Andi ketika ia pulang.
Kini hanya tinggal Shiren dan Andi di depan meja makan. Berhadapan. Shiren masih duduk di kursinya. Andi masih berdiri kaku melihat istrinya yang tidak ia sangka sedang mengidap kanker payudara stadium dua. Ide masih belum muncul di kepalanya. Ia belum tahu harus melakukan apa. Di tegurnya Shiren walaupun kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar canggung.
“Kamu sudah makan?”
“Sudah. Kamu bisa lihat piring kosong di depan aku. Dan itu piring kosongnya Dewa,” ujar Shiren seraya menunjuk piring kosong yang ada di seberangnya. “Kenapa? Kamu mau makan?”
“Tidak, aku tidak lapar”
“Kamu tidak lapar atau kamu sudah kenyang makan di luar?”
Sindiran Shiren bak panah yang dilesakkan ke ulu hatinya. Tapi Andi mencoba mengindahkan kata-kata maut itu. Walaupun kata yang keluar telah membuatnya salah tingkah.
Andi menggeser kursi di samping Shiren. Mereka masih di meja makan. Ia menghadap Shiren yang membuat posisi duduknya terlihat menyamping dari pandangan Andi.
“Mana yang sakit?”
“Sebelah kanan,” jawab Shiren dengan memiringkan kepalanya ke kanan.
“Boleh aku...”ucap Andi dengan gugupnya.
“Ya tentu saja. Kamu masih diperbolehkan memegangnya”
Terdiam dalam beberapa detik. Terasa seperti beberapa jam bagi keduanya.
“Sini,” kata Andi perlahan sambil membimbing tubuh Shiren menghadapnya. Kemudian ia menyentuh dada kanan yang terdapat benjolan sebesar 5 cm.
“Sebelah sini?” tanya Andi
Shiren mengangguk.
“Dokter bilang sel kankernya sudah menyebar ke kelenjar getah bening di area terdekat”
Air matanya menetes. “Berita baiknya sel kanker ini belum menyebar ke bagian tubuh yang lebih jauh”
“Dokter bicara apa?”
“Dokter bilang di kemoterapi walaupun masih stadium dua”
“Kenapa ngga dioperasi aja”
“Aku hanya berpikir Dokter Gina hanya ingin membuat aku senang saja. Aku menebak ini kanker stadium tiga setelah aku cari informasi”
“Tidak mungkin seorang Dokter berkata dusta. Dia akan mengatakan yang sebenarnya”
“Aku ngga tahu,” ujar Shiren sambil geleng-geleng kepala dan menangis.
Dipeluknya dengan erat tubuh Shiren. Andi merasa bersalah atas perlakuannya selama ini. Sebagai seorang kepala rumah tangga tidak seharusnya seperti itu.
“Sakit, jangan kencang-kencang peluknya”
“Iya maaf,” tutur Andi dengan memegang kedua lengan Shiren.
“Mamah kena kanker?”
Shiren dan Andi terkejut ketika Dewa sudah berdiri di samping mereka.
“Mah, benar Mamah kena kanker?”
Shiren tidak menjawab hanya memandang wajah anaknya. Dan seketika itu juga Dewa memeluk Mamahnya. Ia tak peduli suara sakit terdengar di telinganya yang terpenting Mamahnya bisa dipeluknya dengan erat.
“Dewa jangan terlalu keras peluk Mamah?” pinta Andi pada Dewa.
“Biarin aja,” jawab Dewa dengan suara lantang.
Dengan meringis kesakitan Shiren mengangkat telapak tangannya memberikan kode untuk Andi.
“Udah ya sayang. Mamah nggak bisa napas nih”
Dewa melepaskan pelukannya setelah diminta oleh Shiren. Ada air mata yang jatuh di pipi Dewa. Shiren mengusapnya.
“Mamah pasti sembuh kok. Dokter bilang seperti itu. Pokoknya Dewa sekarang harus nurut sama Mamah dan Papah. Nggah boleh membantah lagi. Kami berdua sayang sekali sama Dewa. Tolong bantu Mamah ya”
“Iya, Mah. Dewa janji nggak bandel lagi”
“Mm, kamu kebanggan Mamah,” ucap Shiren dengan menyentuh ujung hidungnya Dewa. Andi menatap keduanya dengan perasaan haru.
“Sekarang kita beresin meja makan. Sisa makanan kita masukan ke kulkas dan yang kotor kita cuci. Walaupun ada yang bantu di rumah ini tapi kita harus mandiri. Oke sayang”
Dewa mengangguk. Lalu Andi dengan sigap mengambil piring dan gelas yang kotor di masukan ke dalam wastafel dan mencucinya. Sementara Dewa memasukan makanan sisa ke dalam kulkas sesuai perintah Shiren. Wanita tangguh itu yang membersihkan meja agar tidak ada kotoran yang tertinggal di atasnya.
Mereka kini bercengkerama di kolam kecil. Andi terpukau dengan ikan mas berbagai warna yang dibeli Dewa tiga hari yang lalu. Ia telah melewatkan banyak hal di rumah ini. Shiren menyebarkan makanan ikan ke dalam kolam. Ikan-ikan mas itu saling berebut melahap butiran-butiran kecil berwarna coklat yang dilempar ke permukaan kolam. Melihat hal itu ketiganya tertawa.
Sudah lama keluarga ini tidak menghabiskan waktu sambil tertawa seperti ini. Banyak kenangan yang sudah terkubur lama akibat Shiren dan Andi yang sering berseteru untuk masalah apa pun itu. Kadang masalah kecil bisa menjadi besar akibat keegoisan masing-masing. Bahkan mereka bisa bertengkar di depan Dewa. Hal itulah yang membuat Dewa tidak betah di rumah. Ia merasa diasingkan oleh kedua orang tuannya.
Awal mula masalah adalah Andi yang cemburu atas karier cemerlang Shiren. Istrinya selalu melakukan semuanya sendiri. Shiren tidak pernah meminta bantuan pada dirinya apa pun itu. Shiren juga tidak pernah bercerita mengenai pekerjaannya sebagai seorang CFO. Shiren tidak pernah curhat mengenai masalah yang sedang dihadapinya. Ia sangat mandiri. Secara tidak langsung ia tidak membutuhkan Andi.
Sebagai seorang laki-laki dan kepala keluarga, Andi merasa tidak dihargai. Itulah yang membuat dirinya sering pulang larut malam dan mencari kebahagiaan di luar.
Kesempatan untuknya membalas perlakuan Shiren terhadapnya ketika ia di promosikan menjadi Manajer Keuangan. Ia merasa lebih berwibawa dari sebelumnya. Ia akhirnya juga bisa mandiri seperti Shiren. Dan Shiren telat menyadarinya.
Andi hanya ingin keberadaannya diakui oleh istrinya sendiri. Disaat membutuhkan sesuatu, ia berharap Shiren meminta bantuannya. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Shiren selalu melakukannya sendirian seolah tidak butuh dirinya.
Dengan terdeteksinya kanker di tubuh Shiren, membuat Andi merasa dibutuhkan sebagai suami.
-oOo-
Hargai pasanganmu jika ingin hubungan yang awet
Jangan kamu khianati
cintanya akan mati, pergi menjauh darimu
BAB 20 – PASANGANMU ADALAH SURGAMU
Marga sudah sampai di rumahnya. Ketika pagarnya digeser ke kiri ia terkejut. Sudah berdiri di dalam wanita yang telah menjebaknya. Wanita yang telah membuatnya terpeleset. Masuk dalam jurang nista.
Marga memasang muka masam ketika melewati Siska.
“Kamu baru pulang?” tanyanya mencoba bersikap lembut.
“Ngapain kamu kesini,” Marga menjawab ketus.
“Loh kamu sudah hilang ingatan, Marga?”
“Tidak sama sekali. Aku masih ingat yang ada di perut kamu itu anak aku”
“Oh bagus dong kalau kamu masih ingat”
Marga mengangkat tangannya dengan tiba-tiba. Siska berhenti seketika. Wajah wanita itu tercengang. “Kamu dengar Siska. Walaupun sekarang kamu sedang mengandung anak aku. Aku tidak akan menikahi kamu”
“Ha! Maksud kamu apa. Kamu pikir aku wanita apaan”
“Kamu wanita apa? Silahkan kamu jawab sendiri,” balasnya dengan senyum merendahkan. Kata-kata Marga menusuk hati Siska dengan kerasnya. Ia terdiam tidak mampu menjawab.
“Dengar. Aku akan tetap bertanggung jawab atas anak yang kamu kandung. Membiayainya sampai ia bisa mandiri. Tapi sekali lagi aku katakan aku tidak akan menikahi kamu”
“Kamu tidak bisa mengambil tindakan sepihak dong, Marga”
“Ingat ya, Siska. Kamu sendiri yang awalnya bilang tidak mau berkomitmen. Tidak mau berhubungan lebih jauh. Dan kamu bilang tidak mau memakai perasaan”
“Itu kan dulu sebelum aku seperti ini. Sekarang sudah beda keadaannya!”
“Terserah kamu mau ngomong apa! Aku sudah lelah. Aku stres. Aku harus mempertanggung jawabkan di depan keluarga Muthia dan di depan keluargaku. Sekarang kamu pulang. Aku mau istirahat”
“Aku tidak mau!”
“Aku perjelas. Terserah!!...”
Marga segera masuk ke dalam rumahnya. Ditepisnya tangan Siska ketika hendak menariknya. Dan mengunci pintu secepatnya ketika sudah berada di dalam. Ia matikan semua lampu di depan rumahnya. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya.
Ia tidak peduli pada Siska yang terus berteriak-teriak memanggil namanya. Bahkan ia bersikap acuh atas suara gedoran pintu rumahnya. Ia juga tidak peduli jika ada tetangga yang mendengar kegaduhan itu dan mendatangi rumahnya.
Kini ia sudah merebahkan diri dan memejamkan matanya. Di putarnya musik instrumen untuk membuatnya rileks. Sesaat kemudian ia tertidur.
Sementara Siska memutuskan untuk pergi dari sana setelah ia merasakan sakit pada tulang ruas jarinya karena telah mengetuk pintu sekeras-kerasnya. Dilihatnya kepalan tangan kanannya, lecet di dua jarinya. Jari telujuk dan jari tengah. Perih. Ia ngedumel tidak henti-hentinya.
Awas saja Marga. Kamu akan tahu siapa aku. Aku akan ke rumah Muthia nanti. Ancamnya dalam hati.
-oOo-
Pagi ini terasa jauh lebih indah dari hari biasanya. Udara kota Bandung yang sejuk menyambut ramah kedua insan yang tengah dimabuk kepayang untuk kedua kalinya. Rudi dan Vina terbangun dengan perasaan bahagia. Selimut yang menutupi keduanya menjadi saksi keintiman mereka semalam.
Vina memeluk tubuh suaminya. Disambut Rudi dengan mencium keningnya. Mesra sekali.
“Kamu pulas sekali sayang tidurnya. Sampai tidak terbangun sama sekali”
Rudi tertawa mendengarnya.
“Masa sih sayang. Aku ngorok ngga?”
“Mm, pelan sih..” Vina tersenyum melihat wajah Rudi dengan rambut berantakan. Keduanya tertawa dan kembali berpelukan diselingi ciuman mesra.
“Aku mau bersih-bersih dulu. Habis itu kita sarapan, sayang”
“Kalau begitu kita bareng saja,” ucapnya menggoda diselingi sentuhan manja di pipinya. Vina tertawa dan berjalan masuk ke kamar mandi. Diikuti Rudi dengan gerakan yang cepat. Selanjutnya bunyi gemericik air yang jatuh bersahutan dengan suara candaan sepasang suami istri. Saling membelai dan menggelitik jadi momen terindah aktivitas mereka di dalam.
Selesai membersihkan diri Rudi dan Vina keluar kamar menuju lantai tujuh hotel tersebut untuk melanjutkan sarapan pagi ala prasmanan. Bergandengan tangan dengan mesranya menjadi pusat perhatian bagi tamu hotel yang lain.
Keduanya pun antri bersama tamu yang lain mengambil menu sarapan.
“Sayang jadi kita kemana dulu?” tanya Rudi.
“Hari ini kita ke Ciwidey dan situ patenggang sayang. Jadi abis sarapan kita langsung jalan aja, mumpung masih pagi karena lumayan jauh”
Motor yang di sewa sudah di antarkan ke hotel tempat mereka menginap di pagi ini. Serah terima dilakukan setelah pasangan suami istri ini selesai menghabiskan sarapannya.
Dan setelah mempersiapkan semuanya, keduanya berangkat jam sembilan pagi menembus jalan kota bandung, melewati lembang hingga sampai di Ciwidey. Dan tidak jauh dari tempat wisata lainnya yang sangat indah yaitu Situ Patenggang.
Sepanjang perjalanan ketika mendekati daerah wisata yang akan di singgahi, Rudi terus mengucap rasa sukurnya karena keadaan Vina saat ini. Ternyata memang Vina tidak membutuhkan Psikiater atau obat-obatan. Yang dibutuhkanya adalah perhatian lebih dan kasih sayangnya sebagai suami.
Kalau selama ini Rudi kurang memperhatikannya karerna ia sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Ia yang memangku dirinya dan Vina, setelah wanita yang ia sayangi terjatuh dalam jurang depresi.
“Bagus banget sayang pemandangannya.” Vina terkagum-kagum.
“Iya sayang fresh banget udara disini”
Sepertinya Rudi memang harus sering-sering ajak Vina refreshing. Supaya ia tidak bosan di rumah dan merasakan liburan yang bisa menyegarkan pikirannya. Tidak terkungkung di dalam rumah terus. Minimal ke daerah puncak. Ujarnya dalam hati sambil konsentrasi mengendarai motor sewaannya.
Keduanya berisitirahat di warung pinggir jalan yang menyediakan jajanan murah. Mie rebus dan segelas kopi menjadi menu wajib makan siang keduanya. Karena niat mereka menjadi turis backpackeran jadi mereka bisa membeli makanan di mana saja yang mereka inginkan tidak perlu makanan mewah khas mal-mal elit di Jakarta atau kota Bandung.
“Kita kembali ke hotel, sayang,” tanya Rudi pada istrinya begitu Vina selesai buang air kecil di toilet yang terdapat di warung sederhana itu.
“Iya sayang yuk. Kita lembali ke hotel”
Waktu sekarang menunjukan pukul dua siang. Dengan jarak tempuh yang cukup lama sekitar dua jam lebih, Rudi memutuskan untuk kembali ke hotel agar tidak kemalaman di jalan. Kerena ia ingin memberikan kejutan untuk istrinya yang dia sayangi.
-oOo-
Harap-harap cemas penantian Muthia menunggu kedatangan Marga beserta keluarganya. Pertemuan nanti akan membahas keputusan yang akan di ambil oleh keluarga besarnya dan keluarga besar Marga.
Jam empat sore Marga datang bersama kedua orang tuanya beserta keluarga dari paman dan tantenya. Disambut oleh kedua orang tua dan keluarga kakaknya.
Mereka bertemu dan berembuk setelah Marga mengakui perbuatannya. Keputusan akan diambil hari ini. Muthia masih berada di dalam kamarnya bersama Anggi. Rasa malas menemui Marga yang sudah mengkhianatinya bersama wanita lain.
“Thia kamu harus keluar, bertemu dengan Marga dan keluarganya. Supaya masalahnya cepat selesai”
“Aku malas sebenarnya bertemu dengan Marga, Mbak. Lagian aku juga bingung mau ambil keputusan apa”
“Kamu tidak perlu risau begitu. Kamu tentukan saja. Mau kamu lanjutkan pernikahan kamu atau kamu cukupkan saja”
“Itu dia, Mbak. Aku belum tahu jawabannya”
“Mbak saranin. Kamu pending jawabannya, kamu berdoa nanti akan ada jawabannya.”
Muthia mengangguk pelan. Lantas Anggi mengajaknya keluar dimana kedua keluarga sudah berkumpul menunggu kehadiran Muthia di tengah pertemuan itu.
“Muthia sudah hadir di tengah-tengah kita, jadi kita mulai saja pembicaraan ini,” tutur Irwan suami Anggi.
“Iya biar masalahnya cepat selesai kita langsung saja ke inti pembicaraan kita,” tambah Anggi. Marga melihat ke arah Muthia dengan perasaan bersalah tapi sebaliknya yang di rasakan Muthia adalah perasaan bencinya terhadap pria yang sudah menemaninya selama tiga tahun itu tanpa kehadiran seorang anak. Tatapan Muthia sangat tajam. Membuat Marga tertunduk tak berdaya. Mukanya merah padam. Menahan rasa malu.
-oOo-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
