FANA JINGGA - Bertemu Teman-Teman Kembali

2
0
Deskripsi

Segalak-galaknya seorang guru, dia akan selalu menjadi prajurit terdepan untuk membimbing muridnya. Segalak-galaknya seorang guru, dia tidak akan menjerumuskan muridnya jatuh dalam jurang kebodohan.

BAB 2 

 

“Sahabat itu tidaklah seperti kentir dan cahayanya

Jika minyaknya habis, sang cahaya akan meninggalkan kentir tersebut

Sahabat tidaklah berlaku demikian

Sahabat akan selalu dekat berada di samping kita, apapun kondisinya”

______

Setelah tujuh belas hari aku mengucilkan diri di rumah –termasuk dua kali sabtu dan minggu. Menyepi dari berbagai kegiatan belajar offline. Menyepi dari pergaulan dengan teman-teman. Menyepi dari hiruk pikuk dunia. Aku ingin kembali ke sekolah. Kebetulan besok adalah hari senin. Sudah dua minggu aku meliburkan diri. Memohon izin pada wali kelasku -Bu Asma. Dialah wali kelas terbaik yang pernah memayungi kelasku. Dan menjadi wali kelas terakhirku di SMA Pelita Unggul. Kurang dari lima bulan ke depan aku akan meninggalkan SMA penuh kenangan itu.

Selama dua minggu, aku selalu mengikuti kegitan belajar secara live. Guru-guru berinisiatif mengajak aku ikut kegiatan belajar dari rumah, mereka siaran langsung melalui handphonenya. Aku sangat terbantu. Kadang aku bertanya pada dua sahabatku –Rini dan Maya, mengenai pelajaran yang tak kumengerti. Maklum penjelasan live di handphone kadang membuatku ngantuk. Beda dengan menghadiri kelas offline. Lantas mamah memintaku untuk masuk sekolah saja. “Rasanya sudah cukup dua minggu kamu belajar di rumah. Kamu harus bertemu teman-temanmu. Kamu akan terhibur nanti”

“Mamah aku tinggal sendiri ngga papa?,” tanyaku khawatir. Ya, aku masih mengkhawatirkan mamah. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan kala mamah sendiri di rumah. Mamah memang sudah mengikhlaskan, tapi kadang kulihat masih suka melamun sendiri. Kerap kali kulihat mamah sedang memperhatikan foto almarhum papah di ruang tamu. Mengelusnya. Kadang memeluknya. Aku tahu perasaan mamah seperti apa. Tanpa sepengetahuan mamah, aku juga suka melakukan hal yang sama. 

"Kamu ngga usah pikirkan. Mamah baik-baik aja.” Ya sudah, kuputuskan senin besok masuk sekolah. Bertemu teman-teman sekolahku. Teman sekelas. Dan sebangku. Aku excited sekali. Aku sudah kangen dengan canda dan tawa bersama mereka. Kangen berinteraksi dengan guru yang berhubungan dengan mata pelajaran yang tak kumengerti. Aku kangen mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam yang akan aku kenakan beberapa bulan lagi sebelum aku meninggalkan bangku SMA. Karena kata orang – masa SMA adalah masa yang paling indah – bagiku benar sekali. Masa dimana peralihan terjadi di sini. Peralihan dari dunia remaja menuju fase awal dewasa. Peralihan menjadi individu yang mandiri –sedikit egois. Dan aku sangat menikmati berada di fase ini. Dan fase dimana aku menyukai seorang siswa. Melintas rasa ingin bertemu dengannya. Sekedar melihat wajahnya.

Nama siswa itu Fajar Alamsyah. Siswa berkacamata berwajah kalem tapi berotak cemerlang. Berbeda kelas denganku. dia sekelas dengan sahabatku, Maya. Fajar selalu menduduki tiga besar dikelasnya dari kelas satu hingga kelas tiga. Fajar menjadi bintang di SMA-ku. Dan yang menjadi daya tariknya semakin kuat adalah Fajar rajin beribadah. Menjaga salatnya. Pembawaannya yang kalem juga menarik perhatianku. Tentu aku tak sendiri. Sainganku banyak sekali. banyak yang ingin dekat-dekat dengannya. Tapi anehnya, menanyakan mata pelajaran adalah cara yang sama yang kami gunakan untuk mendekatinya. Aku pun memakai cara yang sama. 

Sampai di rumah, aku menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Mamah hanya meminta dibuatkan roti tawar diolesi selai srikaya yang menjadu kesukaan almarhum papah. Pun denganku. 

Siap dengan sepiring roti berselai dan secangkir cokelat hangat. Kuhampiri mamah yang duduk sambil menggulirkan butiran tasbih di tangannya. Tasbih berwarna hitam glossy pemberian istri pak Andi sehabis pulang umroh akhir tahun kemarin. Tasbih itulah yang menguatkan mamah mengarungi kehidupan tanpa nahkoda. Dan tasbih itulah yang menemani mamah mengambil alih setir nahkoda.

Aku dikejutkan dengan kehadiran ibu-ibu tetangga yang mengetuk pintu rumah kami yang hanya tertutup setengahnya saja. Ucapan salamnya dijawab oleh mamah. Ibu-ibu yang sudah lama tidak bersua dengan mamah –karena mamah mengasingkan diri di rumah, membawa beberapa penganan untuk sekedar ngobrol. Sesuatu yang sudah lama tidak dilakukan mamah. 

Aku pun mempersilahkan mereka masuk. Berjalan ke dapur membuatkan teh hangat untuk ibu-ibu tetanggaku yang banyak membantu kami. Selagi mereka ngobrol ngalor ngidul, aku membereskan buku-buku yang harus ku bawa besok. Kulihat jadwal matpel yang kutempelkan di meja belajar. Bahasa Inggris tertera di sana. Aku suka sekali dengan matpel satu ini. Dan nilai Bahasa Inggrisku sangat baik.  

Tak sabar aku menunggu esok pagi. 

 

-)(-

                

Aku bangun di jam lima pagi. Masih memicingkan mata kala lampu kamar kunyalakan. Seraya berdiri, aku meregangkan otot-otot tubuhku –ngulet. Melemaskan yang kaku karena tidur miringku yang tidak berubah sampai terbangun. Kebas terasa di tangan kanan. Menopang kepalaku sejak tertidur. Aku gerak-gerakkan tangan kananku. Bahkan kuputar 360 derajat dari lengan hingga ke ujung jari sambil tangan kiri memegang bahu kananku. 

Selanjutnya ritual pagi yang paling aku suka. Mandi. Tujuh belas hari yang melelahkan mental, hampir tidak pernah kurasakan lagi mandi pagi di jam lima. Selama tujuh belas hari,  selalu di atas jam sepuluh pagi. Bahkan kalau aku belajar online pun, aku tak pernah mandi pagi –toh aku pikir tidak terlihat oleh teman-temanku.

Segar sekali. Seluruh tubuhku merasakan curahan semangat dari aliran air yang merasuk ke sendi-sendiku. Menyuntikkan napas di nadiku. Kulitku tersapu belaian dari wangi sabun yang kupakai. Tak lupa meniupkan napasku ke telapak tangan. Sudah harum.

Aku duduk di depan meja belajar. Kupandangi wajahku sendiri. Kutarik napas panjang. Untuk pertama kalinya aku akan pergi sekolah tanpa mencium punggung tangan papah. Tangan yang selalu merestui perjalananku. Hanya punggung tangan mamah yang tersisa. Akan selalu kucium kemanapun aku meninggalkan rumah. Dan akan aku cium punggung tangan mamahku lagi ketika aku kembali. 

“Kamu sudah siap nak?,” tanya mamah ketika aku keluar dari kamar.

“Sudah mah. Aku siap belajar di kelas lagi”

“Semangat ya nak. Tinggal beberapa bulan lagi kamu menanggalkan seragam SMA  itu,” ucap mamah dibarengi dengan senyum bangganya. Aku memeluk tubuhnya. Tubuh yang tadinya selalu memancarkan keceriaan. Sekarang telah berubah. Walaupun suram di wajahnya menghilang namun masih tersisa kegelapan yang terpancar.

Aku memastikan kalau mamah baik-baik saja ketika kutinggal berangkat sekolah. mamah mengatakan padaku untuk fokus belajar. Tidak perlu memikirkannya. Seraya memasukan roti sandwich yang dibuatnya. Mamah memelukku. “Kamu bisa melewati ini semua. Mamah yakin kamu akan menjadi orang yang sukses.” Aku mengamininya. Berjanji padanya, aku akan menjadi anak yang bisa mamah banggakan nantinya. 

Lalu aku berlari keluar rumah. Tukang ojek yang selalu jadi langgananku sudah menunggu di depan rumah. “Berangkat baaanngg..,” ucapku sambil meraih helm bututnya.  

“Beres neng...”

Mamah tersenyum melihatku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku melambaikan tangan padanya. Aku lihat mulut mamah komat kamit seperti mengirimkan doa untukku. Terima kasih mah. Aku lantas mendoakan mamah. Semoga mamah tidak terus kepikiran almarhum papah. 

 

-)(-

 

Aku yang telat berangkat dari rumah –karena menunggu tukang ojek mengantar anaknya ke sekolah, hampir saja ketinggalan jam pelajaran pertama. Pak Komar yang bertugas menjaga sudah menggeret gerbangnya. Aku berteriak kencang agar pak Komar menyisakan pintu kecil untukku. 

“Loh, nak Amara sudah masuk?”

Kujawab dengan napas tersengal. “Sudah pak. Aku bosan belajar sendiri di rumah”. Lalu aku berlari ke kelas. Aku mindik-mindik. Sampai di depan pintu, aku membungkukkan badanku. Mengintip melalui lubang kunci. Melihat guru matematika sudah di dalam kelas atau belum datang.

“Amara!.” Aku terhenyak. Suara tegurannya mengingatkanku ketika aku tidak mengerjakan tugas matematika. Bu Nainggolan. Aku menoleh perlahan. Dan benar saja. seorang guru yang berasal dari Medan itu telah berdiri di belakangku. Sambil tersenyum. Kali ini senyum ramah, bukan senyum yang galak sepeti biasanya.

“Kamu sudah masuk?” Pertanyaan yang sama dengan pak Komar –penjaga gerbang sekolah.

“Su-sudah bu.."  Aku terbata saat menjawab pertanyaan guru yang terkenal galak ini. Tetapi kejadian selanjutnya tak kusangka. Bu Nainggolan membelai rambutku dan mengusap kepalaku lembut. Aku terharu di buatnya. Air mata hampir saja terjatuh. Bu Nainggolan menjulurkan kedua tangannya tepat di depanku. Aku menyambutnya. Kami berpelukan.

"Aku senang kamu hadir hari ini. Yuk kita masuk.” Aku mengangguk. Bu Nainggolan merangkul bahuku dan membimbingku masuk. Dia mendorong pintunya dengan tangan kiri seraya menahan buku-buku diktatnya agar tetap dalam genggamannya.

"Lihat siapa yang datang,” ujarnya dengan suara yang cukup kencang dengan logat bataknya. Semua mata memandang ke arah kami. Dan bisa diduga. Siswi-siswi berlarian menyambutku. Bahkan ada yang berteriak memanggil-manggil namaku. Aku menjelma menjadi idola dadakan pagi ini. 

Jebol juga pertahananku. Sejak dari rumah aku menguatkan diri tidak akan menangis. Dan sekarang derai air mata tak bisa kubendung. Berkali-kali tetesan yang tak kuhendaki terjatuh tanpa henti. Pagi ini aku kembali mengingat almarhum papah. Kenangan-kenangan yang seharusnya sudah kulepaskan memutar cepat di kepalaku. Bergetar tubuhku didalam tangan-tangan yang saling menggapai. Memeluk. Menguatkan. 

Teman-teman melepaskan pelukannya setelah Bu Nainggolan berbicara lembut. Kami pun duduk ke bangku kami masing-masing. Aku mendapat tepukan di bahu dari beberapa siswa yang duduknya dekat denganku –di deretan dekat pintu di baris ketiga. 

“Baik anak-anak. Buka halaman 129. Ini adalah subjek terakhir kalian di kelas tiga. Saya sengaja percepat. Nantinya saya akan mengadakan tes setiap pertemuan, agar kalian terbiasa mengerjakan soal untuk menghadapi ujian masuk PTN”

Segalak-galaknya seorang guru, dia akan selalu menjadi prajurit terdepan untuk membimbing muridnya. Segalak-galaknya seorang guru, dia tidak akan menjerumuskan muridnya jatuh dalam jurang kebodohan.

Di tengah-tengah kegiatan belajar berlangsung. Bu Asma menyempatkan dirinya menghampiri kelasku. Menyapaku. Sekedar berbincang menanyakan kabarku dan mamah. Bahkan ketika jam istirahat, aku diajaknya ke ruang guru yang berada tepat di samping kelasku. Sebungkus makanan diberikan padaku. Aku malu-malu menyantap makanan itu, karena hampir semua guru bersantap siang di ruangan tersebut.

Tetapi Bu Asma membimbingku ke mejanya. Dia bahkan membukakan sebungkus makananan itu untukku. Ah, aku tidak pernah lupa perlakuan memanusiakan seperti ini. kelak aku akan kembali ke sini. Suatu saat nanti. Kalau aku sudah menjadi siswa impian para guru. Dan orang tua. Manusia yang sukses. 

 

-)(-

 

Hari berlalu. Minggu berjalan. Dan bulan lambat laun berganti. Dunia yang menyita waktu remajaku, kujalani menjelang akhir masa-masa indah di sekolah. Dua bulan tersisa menuju kebebasanku melepas seragam kebanggaan ini. Aku semakin rajin belajar matpel yang akan ada dalam daftar ujian masuk PTN. 

Di samping kelasku. Di depan jendela. Aku melihat siswa yang menjadi idola cewek-cewek di seantoro sekolah ini –Fajar Alamsyah. Sudah lama aku tidak bertatap muka dengannya. Kelasku berada di lantai bawah. Kelasnya berada di lantai atas. Aku lebih sering pulang terlebih dahulu setelah jam terakhir usai. Aku khawatir dengan mamah. Sebelum papah meninggal aku sering pulang agak telat karena ngobrol dulu dengan teman-temanku. Padahal itu alasanku saja, aku hanya ingin bertemu dengan Fajar. Sekedar menyapa  hai atau saling memandang sudah memuaskan dahaga batinku. Sekarang tiap pulang sekolah, aku tidak pernah menunggu lagi. Langsung pulang bersama dua sahabatku –Rini dan Maya.

Sejak itu aku jarang sekali bertemu. Atau melihat keberadaannya. Timbul rasa kangen. Tapi, apa Fajar juga memiliki rasa kangen denganku. Karena hilangnya kebiasaan kami bertemu. Ah, aku saja yang ge’er. Yang suka sama Fajar banyak. Walaupun belum ada satu pun yang disukanya. 

Tapi tatapan Fajar tadi sewaktu lewat depan kelasku. Mengandung arti hingga menggetarkan jantungku. Dan aku membalas tatapannya. Apa itu bukan sesuatu untuknya.

Beberapa menit selanjutnya, Fajar kembali dari ruang guru. Kembali berjalan melewati jendela kelas, dan ia kembali menatapku. Kali ini sorot matanya mengandung arti yang bisa kutangkap kalau dia suka padaku. Tetiba aku berteleportasi ke sebuah kebun berisi aneka bunga dengan warnanya yang indah dan wanginya yang menghipnotis. Aku tersenyum sendiri. Mengimajinasikan berjalan berdua bergandengan tangan menjelajah kebun itu dengan gaun bak putri kerajaan dari negeri seribu satu malam. Indahnya –mataku menerawang langit-langit ruang kelas dengan senyum yang mengembang laksana ratu kecantikan yang baru dimahkotai. Dan tak sadar sudah berdiri guru Bahasa Inggris di sampingku. Bu Margaret namanya. Aku sangat menyukai matpel ini, tapi tidak dengan gurunya. 

“Kau sepertinya sedang berkhayal,” suara riuh tertawa mengikuti ucapannya. “Berkhayal apa kau heh, tuan putri Amara.” Damn!. Kenapa dia tahu aku tengah berkhayal menjadi puteri kerajaan. Bikin malu saja –maksudnya aku. 

“Eh, ngga bu”

“Ngga apa?!. Orang saya lihat kau senyam senyum sendiri menatap ke aras. Tidak ada bintang-bintang di dalam kelas ini. Bah!.” Sekali lagi. Suara riuh tertawa mengikuti ucapannya yang kadang terdengar lucu. Tapi ngeselin. “Atau kau sedang memikirkan cowok-cowok ganteng di sekolah ini.” Bu Margaret tetap menatapku nanar. Seakan punya dendam pribadi padaku. “Kau masih sekolah, jangan cowok yang ada di pikiranmu itu. Aku saja tidak memikirkan cowok-cowok di sekolah ini.” Riuhnya tertawa, lagi-lagi terdengar menganggu pendengaranku. 

“Diam!!. Kontan seisi kelas menutup mulutnya yang dari tadi tercium aroma tidak sedap. Maklum sudah seharian ini kami berjuang menahan lapar dan kantuk untuk menimba ilmu. “Pikirkan masa depan kau.” Telunjuk jarinya mengarah padaku. Sejurus di keningku. 

Aku hanya bisa cengar-cengir sendiri. Wajahku merah padam. Tidak enak rasanya menjadi pusat perhatian di kelas dengan cara memalukan seperti ini. Tiba-tiba bunyi lonceng sekolah yang terletak di atas pintu kelasku bergaung kencang. Memekakan telinga. Hampir semua murid menutup telinga setiap kali lonceng berbunyi. Sangat menganggu pendengaran kami. Dan tidak ada usaha sekolah memindahkan lonceng tersebut. 

Tapi..., save by the bell. Aku terselamatkan dari tikaman matanya yang mengulitiku. Benar-benar menyebalkan. Memalukanku di depan teman sekelas. Kejadian ini akan terus kuingat sebagai kejadian paling tidak mengenakan di sekolah ini.

Menjadi yang terakhir keluar kelas. Aku masih merasakan malu akibat teguran Bu Margaret. Kubiarkan saja teman-temanku keluar terlebih dahulu. Dan aku, berjalan lemas keluar kelas. Betapa besar pengaruh ucapan seseorang di depan banyak orang, bisa membuat mental down orang yang merasakannya langsung.

Aku melihat Maya sudah menungguku di depan pintu. Hari ini Rini tidak masuk karena sedang kurang sehat. Jadi kami akan pulang berdua saja. Rencana ke toko buku pun terpaksa kami tunda, sampai Rini masuk kembali. “Hei, kok lemes gitu sih?,” tanyanya padaku. 

"Iya aku ngantuk May,” jawabku sekenanya. Malas menceritakan kejadian di jam terakhir tadi. Kami berjalan menembus ramainya siswa dan guru yang hendak meninggalkan sekolah ini. semua punya tujuan yang sama –ingin cepat sampai di rumah. Tetapi aku dan Maya berjalan santai, tidak terburu-buru. Toh kami akan sampai di rumah juga. Biar lambat asal tetap sehat kan. 

Tiba-tiba dari belakang ada siswa yang memanggil sahabatku. “May.. Maya..!.” Maya menoleh ke sumber datangnya suara itu. Aku pun ikut menoleh. Ternyata Fajar. Dia berlari ke arah kami sambil memegang buku pelajaran. 

“Fajar, kenapa?”

“Ini buku pelajaran yang aku pinjam tadi,” jawab Fajar seraya menyerahkan buku Matematika. Aku terpana. Tertatap di depanku.  Melihat kegantengannya dari jarak sedekat ini. Karismanya itu loh. Tertegun beberapa saat. Pun dengan Fajar yang  tertangkap memperhatikanku kala tak menatapnya. Tapi Maya menyadarinya. Kami berdua bersitatap. “Ehheem.”

Kami langsung memalingkan  wajah ke tempat lain. Untuk kedua kalinya di hari ini, wajahku memerah bak udang rebus. Malu itu kembali menyapaku. 

“Mmm, kayanya ada yang cinlok nih.”

Aku menyikut Maya. Membuatnya terdiam. Tapi dia cekikikan sendiri menahan geli. Fajar merasa tak enak hati. Lalu ia pamit berjalan duluan. “Fajar, bareng aja sih jalannya,” ucap Maya. Wajah temanku terlihat sumringah. Lagi-lagi Maya sukses membuatku salah tingkah. Dan Fajar menuruti kemauan Maya. Jadilah kami berjalan beriringan bertiga. Fajar berjalan di sebelah Maya yang berada di tengah-tengah kami. Mereka berdua ngobrol asik sampai melupakan keberadaanku. Aku bagai nyamuk yang sedang puasa menghisap darah.          Sambil berdiri di tepi jalan. Aku menunggu abang ojek yang mengantar jemputku. Maya menunggu jemputan bapaknya. Biasanya mereka berbarengan jalannya ke sekolah kami. Dan Fajar menunggu ojek online yang sudah dipesannya. 

Sesekali fajar bertanya padaku. Kemana aku akan meneruskan kuliah. Aku menjawab akan mengikuti ujian nasional masuk PTN terlebih dahulu baru memikirkan universitas swasta. Sesekali aku menangkap senyumnya saat memandangku. Dan aku diam-diam juga memperhatikannya kala Fajar memperhatikanku. Mencuri pandang padaku. Tubuhku seperti dipasang pelampung udara dan ditiup gas hingga melambung tinggi ke udara. Aku dibuat melayang jauh ke angkasa. Terbang menembus batas cakrawala. 

Tetapi sayang, waktu sering tidak bersahabat ketika bahagia sedang bersama. Inginnya selalu cepat pergi dan datang kembali di lain waktu –yang tidak bisa ditentukan. Kami masing-masing telah dijemput. 

                

-)(-

 

Hari ini adalah seminggu terakhir berjarak dari kelulusanku. Semakin intensif aku mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk PTN. Aku sering menghabiskan waktu belajar kelompok bersama teman sekelas. Atau bersama Rini dan Maya. Kadang Maya mengajak Fajar untuk mengajari kami. Atau hanya untuk mendekatkannya denganku. Dasar Maya, tahu aja yang ada di pikiranku -menurut pengamantanku sih, aku agak ge'er dibuatnya.

Minggu pagi. Sang mentari menyapa dengan sinarnya yang hangat. Sehangat ketulusan mamah membimbingku. Mengarungi kehidupan bersama. Kicauan sekelompok burung gereja menyambut cerah pagi. Berdansa dan menari mengiringi  semilir angin berhembus. Waktu yang tepat untuk sekedar memaksa bulir-bulir air yang tersimpan di kelenjar keringatku ikut menikmati hangatnya sapaan sang mentari. 

Aku melangkah keluar rumah. Bersiap menempuh ratusan meter di aksi pertamaku. Berpakaian lari lengkap dengan handuk kecil dan sepatu runningku. Baru beberapa langkah, aku dikagetkan dengan kedatangan Fajar ke rumah. Mendadak salting. Jantungku tak bisa diajak kompromi, berdebar terus. 

Tumben pagi-pagi sekali dia datang ke rumah. Dan tidak ditemani oleh Maya. Ada apa ini.  Apa ini akal-akalan Maya meminta dia datang kerumahku. “Hai Fajar..” Aku menyapanya. Mencoba menghilangkan kegrogianku, kuputar-putar handuk kecil di tanganku. “Mau apa kesini?”

“Kamu mau lari pagi ya?”

“Ya gitu deh,” jawabku sungkan. Kupasang senyum paling menawan. 

“Maya bilang kamu mau tanya matpel matematika.” Tuhkan benar. Ini akal-akalan Maya. Dasar kacrut. “Sub bab yang mana Amara?,” tanyanya lagi mendesakku. Duh Fajar. Apa dia tidak lihat pakaian yang aku kenakan pagi ini. Aku tuh mau relax dulu. Karena sebentar lagi mau tempur memperebutkan kursi di PTN. Tapi kalau kupikir-pikir ngga papa deh, sekalian mau ngetes dia. Sebenarnya dia punya rasa sama tidak dengan yang aku rasakan. 

“Ya udah Fajar, masuk dulu yuk.” Aku mengajaknya masuk. “Sebentar ya aku ganti baju dulu.” Aku mencoba tenang walau sumringahnya hati ini tak bisa disembunyikan. Lalu kukatakan ke mamah kalau Fajar datang dan kami ingin belajar bersama. 

Di kamar setelah ganti baju. Aku menelepon  Maya, “Yang bener aja lu!, nih si Fajar pagi-pagi dateng ke rumah gue. Mana gue udah siap-siap mau lari, aelah.” Maya hanya tertawa terbahak. Dan menutup teleponnya. Aku mendengus kesal. Kelakuan randomnya kadang bikin orang lain senewen. Tapi menghibur. Maya tahu aku akan senang kedatangan Fajar, karena  dia tahu kalau aku suka sama cowok kalem itu. 

Tapi ya ngga dadakan gini juga. 

Aku membawa buku catatan dan buku pelajaran matematika ke ruang tamu. Fajar sudah menunggu dengan sepiring pisang goreng dan secangkir teh yang disediakan mamah. Sebelum mamah keluar rumah bergabung dengan tetangga-tetangga yang bergosip, beliau hanya berpesan menitipkan aku pada Fajar. Lah, mamah pikir aku mau diajak kemana. Atau dititip untuk apa. Kaya mau menikah aja. Tertawa geli aku mendengarnya saat Fajar bercerita.  

Waktu bergulir cepat sekali. Saat aku mulai menikmati indahnya dunia. Berdua bersama Fajar. Bahkan yang diajarkannya padaku tidak ada yang masuk ke kepala. Aku tak mengerti satu pun. Fokusku tidak ke pelajaran itu, perhatianku terpusat ke Fajar. Cowok yang semakin dilihat semakin menarik itu. Sesekali aku kepergok sedang memperhatikannya. Dan sesekali aku yang memergokinya. Entah kenapa aku tidak berani menanyakan hal pribadi padanya. 

Seperti, kamu udah punya pacar belum?

Pacar kamu anak SMA mana?

Atau satu sekolah sama kita?

Tidak. Aku tidak seberani itu. Aku takut kecewa. Aku takut kepikiran kalau ternyata Fajar sudah memiliki pacar. Bisa bikin tidak fokus ujian nanti. 

Tapi tiba-tiba. “Kamu udah punya pacar Amara?” Bleess… Napasku berhenti sejenak. Beberapa detik. Aku tak sempat bereaksi apapun. Reaksiku begitu natural. Bengong. Mulut menganga. Diam mematung. 

Apa Fajar bertanya begitu ingin menjadikanku pacarnya?. 

“Hei..,” Dia menyadarkanku. Tangannya bergoyang ke kanan ke kiri di depan mataku. “Kok bengong?”

“Eeee, ngga papa Fajar. Hehehe.” Tawaku terdengar aneh. “Iya, itu.. Fajar. Mmm, belum.. Fajar terseyum menatapku. Ia tersenyum. Tapi aku tidak tahu maksud dari senyumannya. “Memang kenapa Fajar?.” Aku sudah menguasai diri. Dan menghilangkan kegugupanku. 

“Itu.. aku.. ee..”

Belum satu kalimat keluar dari mulutnya, mamah mendadak masuk. Membawakan makanan untuk kami makan siang. “Kalian makan ya. Sudah mau jam dua belas siang. Pasti laper kan,” ucap mamah sambil mengeluarkan dua bungkus makanan dari dalam kantung kresek. “Dari pagi kalian belajar.” Kalau seandainya mamah tahu, belajarku tidak seserius yang dibayangkannya. 

“Mamah ngga makan?” Aku mengambil satu boks makanan dan kuberikan pada Fajar. “Mamah  gampang. Nanti aja, belum laper juga.” Ya sudah, kupikir mamah memang belum lapar. Jadi aku mengambil boks lainnya untukku” 

                 

-)(-

 

Suara tertawa anak-anak bermain bola di depan rumah menghiburku dan mamah. Kami duduk-duduk di beranda rumah sambil menikmati sore hari yang bersolek menyambut senja. Sepiring kudapan yang dibuat mamah memaksaku tetap nyaman duduk bersandar –mamah memberikan sepiring lainnya pada anak-anak yang masih bermain itu. Seraya berbincang hangat, dan sesekali memainkan handphoneku. Aku berharap ada pesan masuk dari Fajar. Tapi yang kutunggu-tunggu tak kunjung berkabar. Ya sudah, mungkin perasaanku dan dia hanya sekedar cinta anak kera yang sedang tumbuh.

Move on. Kami terus menatap masa depan. Meskipun belum sepenuhnya melupakan. Kenangannya akan sulit hilang begitu saja. Akan terus tertanam di benak kami. Kadang kami merasa spirit papah masih bersama kami. Memperhatikan kami. Hanya tidak bisa berinteraksi bersama kami saja. 

Mamah masuk ke dalam. Membereskan dapur yang masih berantakan setelah menyiapkan kudapan ini. Aku msih duduk di beranda. Depan rumahku telah sepi. Semua anak yang tadi bermain bola telah pulang ke rumah masing-masing. Sekitar dua puluh menit lagi senja akan kembali menyapa. Aku naik ke atas. Menunggunya di balkon kecil. 

Kembali kulihat layar handphoneku. Masih berharap Fajar mengucapkan salam padaku. Atau hanya dua buah kata -terima kasih. Tidak ada. Kulihat lagi. Berharap lagi. Tidak ada. 

Heeeh..

Napasku sedikit panjang ketika sengaja kubuang. Ada rasa kecewa. Tetapi aku segera tersadar. Jangan berharap apapun pada manusia, jika tidak ingin kecewa. Kulihat ke langit di ujung cakrawala. Senja mulai mendominasi langit biru. Membawa secercah damai di sana. Melatarbelakangi sekelompok burung jalak yang terbang memutar beriringan. Sinar jingganya membawa harapan yang meredup. Oleh keadaan. Daya magisnya menghantarkan kehaluan yang didamba. Aku berdiri terpukau oleh keindahan sesaat yang akan lekas menghilang. 

Sesuatu yang menyenangkan akan cepat berakhir. Dan yang mengecewakan akan lebih senang menetap lama di diri. Tetapi tiada yang abadi. Semua akan berganti. Berputar mengikuti alur hidup yang tak pernah pasti.

Dan ini adalah senja pertama yang kunikmati tanpa jiwa dan raga papah. 

 

-)(-

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya FANA JINGGA - Menembus Batas
3
0
Ah, masa SMA akan sulit terulang. Belum apa-apa aku sudah kangen..
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan