CERMIN KERAMAT - Full Part

1
0
Deskripsi

Oneshot || GRATIS

____________________

 

Cerita berawal dari terjebaknya ketiga orang pemuda di sebuah kampung setelah menonton dangdutan. Ketiga pemuda harus melewati sebuah kampung yang tidak mereka kenali, hingga berhari-hari tidak bisa melewati kampung tersebut. 

Gangguan dari hantu-hantu usil kerap mereka alami. Hingga suatu saat mereka bisa melarikan diri dari kampung itu, tetapi siapa sangka, terjebak di kampung itu hanyalah jebakan salah seorang pemuda. 

Bagaimana kisahnya.. 

Silahkan membaca cerita yang tdak begitu panjang namun sangat menghibur. Jangan lupa meninggalkan komen lovemu, SALAM LITERASI. 

 

CERMIN KERAMAT

A Novelet By Hadi Wiyono

____________________________

 

PART SATU

 

Pada suatu malam yang sunyi, di sebuah kampung...

Tiga orang pemuda kembali dari lawatannya ke kampung sebelah. Melewati sebuah kampung yang senyap tanpa seorang pun terlihat, menimbulkan keheranan. Kampung itu terselimuti kabut tipis namun dinginnya sangat menusuk. Anyep. Beda sekali hawa di kampung ini. Dingin mencekam.

            Ketiganya terus menyusuri jalan setapak yang lebarnya tidak lebih dari sebuah mobil. Jalanannya belum di aspal, masih bertanah merah dan berbatu. Ketiga pemuda itu melangkah hati-hati karena tanah yang basah. Dan licin. 

            Di sepanjang jalan kampung itu berjajar rumah berbentuk sama. Berukuran sama pula. Tetapi sepertinya rumah-rumah itu tidak berpenghuni. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Tidak ada lampu yang menyala di rumah-rumah itu. 

Mengandalkan lampu obor di pinggir jalan yang menyala menerangi jalanan tak berpenghuni itu. Mereka baru aja pulang kemalaman sehabis menonton dangdutan di tempat hajatan yang digelar orang kaya di kampung seberang,

            “Kita benerkan lewat sini? tadi kita lewat sini kan?” tanya Budi pada dua temannya. Tidak mendapat jawaban, Budi mengeraskan suaranya. Menegur keduanya. Dan dua temannya –Sandi dan Unang tentu saja terkejut. Bukan hanya terkejut karena suara keras Budi, namun saat teguran itu keduanya tengah memerhatikan sebuah rumah yang berbeda sendiri. 

            “Kenapa, Bud?” tanya Sandi seketika.

            “Auk ah! Gue dari tadi ngomong dicuekin aja”

            Unang malah terkekeh melihat tingkah Budi yang kesal sendiri. Mereka terus saja berjalan menyusui jalanan basah dan berbatu itu. Sesekali ada saja yang terpeleset. Entah sekedar selip atau sampai terjengkang. Ketiganya saling menertawai. Menertawai kebodohan mereka sendiri.

Tidak sadar dengan tingkahnya, ada sesosok yang sedang menyaksikan. Sesosok yang tengah duduk sambil memainkan kakinya di sebuah pohon besar. 

“Bang. Mampir sini bang.” Sesosok itu tiba-tiba memanggil ketiga pemuda tersebut. Budi tampak celingak celinguk mencari sumber suaranya, suara perempuan memanggil. 

“San lu denger?”

Sandi memandang dengan wajah datarnya. “Denger apa bud? gue ngga denger apa-apa”

“Itu suara cewe manggil-manggil, San, Lu denger kan, Nang?”

Unang menggeleng ragu. Iapun sama tidak mendengar suara perempuan memanggil. “Ah lu jangan nakut-nakutin, Bud!” bentak Sandi sambil terus berjalan. 

Tetapi penasaran mereka bertiga melihat sekeliling untuk mencari sumber suara perempuan tadi. Selagi mereka heran karena hanya Budi yang mendengar suara perempuan memanggil. Tiba-tiba ketika ketiga pemuda itu menoleh ke belakang, sudah berdiri perempuan cantik dan seksi. Perempuan itu memakai dress sepaha berwarna merah. terlihat lekuk tubuh sintalnya dengan jelas meski sepanjang jalan itu hanya diterangi obor.

Terkejut ketiganya hingga mundur beberapa langkah. Sandi yang berada paling belakang langsung menggenggam erat tangan Budi dan Unang. Kedua temannya yang berdiri tepat di depannya malah ikut gemeteran.

“Dari mana bang?” 

Suaranya mengingatkan sama bintang film horor yang pernah populer di tahun 90an. 

“Neng. E-eneng siapa? Kok tau-tau muncul di mari?” Unang memberanikan diri buat bertanya pada perempuan tersebut.

“Kok abang tau sih nama saya Eneng? Tau dari mana bang?”

“Nebak, neng,” sahut Sandi serasa menyenggol-nyenggol memberikan kode untuk mengambil langkah seribu. Sebelum ketiganya berlari, Enneng yang tahu pemuda-pemuda ini ketakutan, tertawa sekencang-kencangnya. 

Bukannya lari ketakutan ketiga pemuda itu justru ikutan tertawa.

“Lah! Kok Abang-abang nggak takut sih. Eneng ini kuntilanak bang”

“Kuntilanak?” ketiga pemuda itu kembali tertawa. Beberapa menit yang lalu mereka tampak ketakutan, sekarang justru tertawa bahagia

“Beneran deh Bang, Eneng ini kuntilanak”

“Kunti ko giginya putih bener, Neng” kelakar Budi.

“Ih si Abang. Dulu nih Bang waktu Eneng masih idup, gigi eneng di veneer. Eh pas Eneng ko’it. Nih gigi nggak bisa dicopot masa, Bang. Sedih aku tuh.”

Sandi, Budi, Unang kontan melongo. Heran bin takjub. “Kalo bisa dicopot kan bisa dipake adek Eneng, Bang”

Ketiga pemuda itu hanya bisa garuk-garuk kepala bersamaan. Antara kasian dan kesal mendengarnya. Lalu...

Dateng temeannya lagi terbang rendah. Dia berjenis sama dengan Eneng. Tetapi perbedaannya jauh sekali. Eneng itu ibarat gadis kota metropolitan yang sadar diri dengan penampilan dan kecantikkannya. Sementara temannya ini ibarat gadis kampung dengan model pakaian seadanya. 

Namanya nur. Tertawanya lebih melengking dari si Eneng. Rambutnya panjang terurai berantakan. Beda sekali sama Eneng yang rambutnya di kucir ala-ala Ariana Grande. 

“I-itu siapa lagi neng?” tanya Budi. Unang dan Sandi berturut-turut berdiri di belakangnya. Memegang erat tubuh Budi. 

“Itu temanku Nur. Dia setan yang baik hati kok,” jawab Eneng si kunti cantik yang giginya di veneer.

“Hah! Emang ada setan baik hati?” sela Unang. Mulutnya terbuka lebar sekali sampai kelihatan potongan cabe di giginya. Sandi yang paling takut, kakinya gemetar. Ia terus saja mengajak Budi dan Unang untuk pergi dari tempat ini. “Bud, nang. Balik yuk, udah jam satu malem nih,” rengek Sandi, pemuda paling ganteng tapi juga paling penakut.

“Tapi kok terbangnya aneh sih. terbang rendah gitu. Biasanya kan kunti terbang tinggi di atas rumah,” ujar Unang pelan. 

“Ya gimana mau terbang tinggi, Bang. Orang si Nur obesitas. Keberatan buat melayang ke atas,” tukas Eneng sambiul tertawa cekikikan. Tertawanya bikin ketiga pemuda kesengsem, seperti terhipnotis. Dan kunti obesititas itu menghilang dari pandangan ketiga pemuda.

“Tuh! Si Nur udah berdiri di samping temen abang yang cakep,” ucap Eneng sambil menggigit-gigit kukunya.

“Hiyaa!“ Sandi teriak kencang sambil melompat. Budi dan Unang ikutan melompat tetapi berbeda-beda arahnya.

“Lo ngapa sih kenceng banget teriaknya!” bentak Nur si kunti obesitas. Sandi makin ketakutan. Kakinya makin gemetar tak karuan. 

“Nur, nih cowok teriak kenceng karna ngeliat bodi lu tuh. Segede kulkas,” ledek Eneng sambil tertawa cekikikan.

“Sialan lu, Neng, gini-gini bodi gue ini idaman papi,” sahut Nur tak mau kalah. 

“Papi? Siapa lagi tuh?” tanya Budi. 

“Papi itu genduruwo. Dia pemimpin di kampung setan ini bang. Serem perawakannya tapi kadang-kadang dia baik, suka nraktir makan, Bang.” Jelas Eneng 

“Hah! Genduruwo!” kaget bukan kepalang ketiga pemuda itu.

“Iya genduruwo. Nggak usah takut Bang. Si Papi nggak gigit ko.” Dua kunti berbeda size ngakak berirama. Tetapi yang terdengar oleh ketiga pemuda hanyalah suara tertawa menakutkan.

“Kita dimana sih ini? Di kampung mana?” tanya Budi. Wajahnya masih terlihat kebingungan. Sandi dan Unang? Sama saja.

“Abang tuh sekarang ada di kampung setan. Kayanya nih ye Abang-abang pada kesasar.”

Kampung setan? Nyasar? Ke dunia gaib dong! 

“Iye Abang ada di dunia gaib sekarang. Di kampung kita,  Bang. Namanya kampung setan,” tutur Nur cekikikan.

“Nur ngga boleh gitu ah,” serobot Eneng. “Tenang aja Bang nanti kita anterin ke dunia manusia. Iya Abang lagi di kampung kita. Tapi nggak usah takut, Bang. Setan-setan di sini mah baik semua kok. Nggak ada yang jahat, nggak ada yang suka maling, nggak ada yang suka gibahin tetangga, nggak ada kubu-kubuan dukung capres. Jadi nggak ada cebong sama kampret, Bang. Semua adem ayem aja. Eneng aja yang baru seratus tahun tinggal disini jadi betah”

“Se-seratus tahun?? Sebenernya kita ada dimana sih Bud, Nang.” Sandi makin ketakutan. Sedari tadi tangannya tidak berhenti gemetaran. Dan hantu-hantu di depannya terlihat baik, tapi siapa yang tahu kedalaman hatinya, siapa yang tahu niat jeleknya. Sama seperti manusia kan, dari luar kelihatan baik, tetapi di dalamnya berniat menjatuhkan. Hihihi.

“Ih si Abang ganteng dibilangin di kampung setan. Tenang aja nggak usah takut, nggak ada pembunuh juga Bang di sini,” celetuk Nur menggemaskan.

“Pembunuh? Lah kalian kan udah mati,” sahut Unang keheranan. 

“Yeee emang kl udah mati ngga bisa mati lagi bang. Ngaco aja lu!” Nur kesewotan sendiri.          

“Lah!” Sandi makin bingung sama keanehan di kampung ini. Sebenarnya, kampung ini beneran ada atau tidak.

“Ayo kalo Abang mo pulang Enrng kasih tau jalannya, yuk mari”

Ketiga pemuda itu saling berpandangan, mereka bingung mau percaya atau tidak. Tapi sepertinya memang tidak ada jalan lain. Kecuali mengikuti sambil waspada kalau terjadi sesuatu, tinggal lari sekencang-kencangnya. Eneng kunti yang giginya diveneer jalan di depan. Diikuti Budi yang mulutnya tidak berhenti komat kamit mmembaca doa. Sandi jalan di belakang mereka sambil memegangi pundak Unang. Sesekali dia melirik Nur si kunti obesitas yang terbang di sampingnya. Nur yang diperhatikan pemuda ganteng langsung berubah jadi genit. Sesekali mengedipi matanya ke sandi. 

“HHIIII.. amit-amit!” Sandi bergidik dan cengkeramannya semakin kuat di pundak Unang.

“Ngapain sih lu san, sakit nih pundak gue”

Nur si kunti obesitas cekikikan. Tertawanya terdengar menyeramkan membelah malam yang mencekam. Ketiga pemuda semakin kebingungan. Dan tentu ketakutan.

“Nur. Jangan gangguin si cakep. Dia punya gue! Hahahah,” ujar Eneng sambil tertawa khas kuntilanak. Nur ikutan tertawa. Dan tertawa keduanya bagaikan lolongan anjing pembawa kabar menakutkan.

Sandi makin merasa ketakutan. Tetapi Budi yang ada di depan tenang-tenang saja karena doa-doa yang dia baca tadi. Budi memang dikenal anak yang soleh. Rajin salat dan mengaji. Dia terpaksa saja ikut menonton dangdutan demi kedua temannya yang memaksa.

Mereka terus berjalan menelusuri rumah-rumah yang belum pernah mereka lihat.

Perasaan tadi melewati jalanan ini tetapi bentuk rumahnya tidak seperti ini. Memang rumah-rumah yang mereka lihat sangat indah, bangunannya sama semua, cat-catnya berwana putih tapi di pinggiran dan sudut-sudutnya memakai cat berwarna emas. Terkesan pemilik rumah di kampung ini sangat kaya. Namun tidak ada satupun kendaraan yang terparkir di halaman rumah mereka. 

Apa benar ini kampung setan seperti yang kedua hantu perempuan ini bilang. Rumah-rumah yang mereka lewati berbeda dengan rumah-rumah ketika mereka berangkat nonton dangdutan di kampung sebelah. Padahal jalan yang mereka lewati sama. 

“Bang, Eneng sama Nur nganterinnya sampe sini aja ya”

“Ko sampe sini aja neng?” Tanya Budi.

“Iya Bang. Skoalnya di depan situ udah perkampungan manusia. Jadi kita nggak bisa masukin daerah situ, Bang.” Jelas Nur.

“Emang kenapa, Nur?” Budi malah jadi penasaran.

“Ketua adat di kampung kita nggak memperbolehkan kita masukin dunia manusia. Kalo kita masuk mereka nanti takut. Trus manggil orang-orang yang jago ngaji. Kita diusir pake ayat-ayat suci. Kalo kita denger ayat-ayat suci tubuh kita bisa ancur, Bang. Nanti kita nggak bisa pulang lagi,” jelals Nur.

“Padahal kita pengen banget sahabatan sama manusia. Makanya waktu abang-abang pada lewat ya udah kita godain aja,” ucapnya lagi sambil tertawa cekikikan. Tapi kali terdengar centil dan manja.

“Oh gitu...” ketiga pemuda itu mengangguk-angguk santai padahal mukanya kelihatan pucat. Ingin segera pergi dari kampung setan ini.

“Terus kita kemana nih. Tandanya apa kalo kita udah di kampung manusia?” tanya Unang.

“Nanti Abang jalan terus, kalo ada kabut jalan terus aja jangan takut. Tapi jangan sekali-kali nengok ke belakang. Dan kalo udah ngelewatin kabut, Abang langsung ngeliat perkampungan manusia”

“Beneran ya Enang nggak boong”

“Ngga, Bang. Sumpah demi gusti Allah”

“Lah ko pake sumpah segala. Pale nyebutin nama Tuhan lagi,” jawab unang

“Dih, Abang. Kita kan masih inget siapa yang nyiptain kita!” Nur kesal memasang muka cemberut.

“Emangnya kalo ngeliat kebelakang lagi kenapa?” selidik Unang.

“Nanti Abang-abang nyasar lagi ngga bisa pulang!” jawab keduanya sambil tertawa. 

HIIIHHH.... HIHIHI... HIIIIIHHHIII. 

Lalu mereka terbang. Eneng melesat keatas cepat sekali sementara Nur terbang di bawah karena berat badannya yang tidak bisa bikin dia terbang tinggi.

“Nur cepetan ayo terbangnya, lelet banget sih!”

“Bentar napa lu kaya ngga tau gue aja”

“Lu sih nur kebanyakan makan usus manusia. HAHAHAHAH”

Budi dan Unang saling pandang. Mereka melesat berlari meninggalkan Sandi yang terbenging melohat Eneng melesat tinggi sekali. Sadar dirinya sudah ditinggal kedua temannya, ia berlari menyusul. 

“Neng, Nur kita jalan pulang dulu ya. Kapan-kapan kita ketemu lagi,” teriak unang bercanda. 

“Hush! Elu aja sono, gue mah ogah!” sahut Sandi telah berhasil menyusul kedua temannya. Eneng dan Nur tertawa kegirangan sampai terdengar di kampungnya ketiga pemuda 

itu. 

 

*

 

Di suatu kampung...

Tok tok tok.. teng teng teng.. dung dung dung.. 

Suara kentungan, suara panci dan penggorengan di pukul keras-keras. Bunyinya menggaung ke seluruh kampung. Memecah kesunyian malam. menghadirkan keriuhan warganya. Berbondong melakukan sesuatu. Memanggil-manggil nama warga kampung yang hilang. 

“Eh bujug, Ji. Udah lima hari kita begini terus tiap malem, tapi tuh tiga bocah belum ketemu juga,” kata Andi. Temen satu tongkrongan ketiga pemuda yang tiba-tiba menghilang entah kemana,

“Iya, Ndi. Kemana tuh ya bocah-bocah. Kalo mereka malam ini nggak pulang lagi gimana?”

“Hush!” bentak Pak Kades yang ikut mencari ketiga pemuda yang sudah lima hari menghilang.

“Sandi.. Budi.. Unang..”

Teng teng teng.. tok tok tok.. dung.. dung.. dung..

Para pemuda dan Bapak-bapak di kampung itu terus berteriak-teriak sambil memanggil-manggil nama mereka. Berharap pencarian membuahkan hasil malam ini. Sementara di rumah Unang, sudah berkumpul beberapa orang tetangga yang ikut sedih anaknya menghilang. 

“Unang, lu kemana sih nang, pulang napa. Ntar gue masakin rendang entog kesukaan lu nang. Hu hu hu.” Ibunya masih menangis meraung-raung memangil-manggil nama anaknya.

Hal yang sama juga terjadi di rumah Sandi dan Budi. Sandi yang berasal dari keluarga berada. Menyewa pengacara dan sudah membuat laporan ke pihak kepolisian. 

Sementara keluarga Budi menggelar pengajian untuk keselamatannya.

Semakin malam semakin tebal kabut turun menyelimuti skampung itu. Dan semakin dingin menyayat kulit. Tetapi tidak menurunkan niat para pencari untuk menemukan ketiga pemuda yang hilang. 

 

*

 

Tiba-tiba dari pekatnya kabut tebal, keluar sosok tiga pemuda yang lama menghilang. Ketiga pemuda itu berjalan linglung begitu keluar dari pekatnya kabut. Namun mereka masih mengenali kampungnya. Mereka masih mengingat dengan rumah-rumah di kampung ini. Tetapi kampung ini sepi sekali. Tidak ada satu orang pun yang tengah terjaga.

“Sepi banget nih orang-orang pada kemana?”

“Iya pada kemana ya? 

“Ini udah malem. Pasti udah pada tidur” 

Mereka terus berjalan sampai akhirnya mendapatkan sebuah pos kamling. Ada beberapa pemuda dan bapak-bapak sedang ronda. Ada juga dua orang petugas hansip kampung yang ikutan berjaga malam. Mereka tengah asik bermain kartu remi sambil menyeruput secangkir kopi.

Tiga orang pemuda ini berdiri di depan mereka tanpa permisi. 

“Astaghfirulloh al adziim.” Bedul hansip bertubuh cungkring kaget bukan kepalang. Diikuti semua petugas ronda lainnya. Terkejut. Bengong semua.

“Adi..”

“Bagas..”

“Romi..”

Satu per satu nama mereka di sebutkan oleh Pak Wijaya. “Kalian dari mana?” tanyanya menyelidik. Ketiga pemuda kebingungan. Mereka saling memandang satu sama lain. 

“Iya kalian dari mana?” tanya Pak Wijaya menegaskan.

“Kami dari kampung sebelah pak abis nonton dangdutan”

“HAH! Yang bener kalian?”

“Iya bener pak. Ini kita mau pulang ke rumah,” ujar Romi

Para petugas ronda kebingungan, giliran mereka yang saling menatap satu sama lain. 

“Pada kenapa sih? Kok pada heran gitu?” Adi merasa risih dengan tatapan seluruh petugas ronda. Seperti ada yang salah di dirinya.

“Bapak-bapak. Ini kalo saya perhatiin. Mereka ini pake baju yang sama sewaktu saya terakhir melihatnya,” Santo salah satu hansip masih mengingat jelas pakaian yang dikenakan saat mereka menghilang. 

“Ilang? Ilang gimana pak santo?” tanya Bagas

“Kita abis nonton dangdutan, Pak. Kita berangkat dari abis maghrib, trus selesai jam sebelas malem. Abis itu kita langsung pulang,” tegas Romi

“Iya pak kita nggak kemana-mana lagi langsung pulang,” Adi membenarkan jawaban Romi. Pun Bagas mengiyakan.

“Ada apa sih pak sebenernya. Kita jadi bingung,” tanya Bagas lagi.

“Iya Bapak-bapak kaya lagi ngeliat setan aja.” Romi makin heran dengan keheranan warga yang sedang meronda malam ini. Pak Wijaya kali ini langsung angkat bicara agar keadaan tidak bertambah membingungkan. “Kalian tahu, sebenernya kalian sudah menghilang selama enam bulan”

HAH!

Bagas seketika tidak sadarkan diri. Romi dan Adi tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.

“Ah, Bapak jangan becanda. Orang kita baru jalan abis maghrib kok,” ujar Adi meyakinkan Pak Wijaya dan warga lainnya.

“Iya pak kita baru aja jalan abis maghrib. Malah kita disuruh nginep sama warga sekitar, tapi kita ngga mau”

Petugas ronda kembali saling tatap. Sementara dua orang hansip mengangkat tubuh Bagas dan meletakkannya di dalam pos siskamling. Lalu Bedul salah seorang hansip itu mengambil kalender yang ada di dinding. 

“Kalian ingat nggak jalan tanggal berapa?” tanya bedul

Adi berpikir sejenak. “Ingat pak orang baru kemarin. Kita jalan tanggal 7 Januari 2023” 

Lalu bedul menunjukkan sebuah kalender. Dia menunjuk tanggal di hari ini. “Nih Adi, coba liat sekarang tanggal berapa.” Bedul memberikan sebuag kalender yang dipegangnya ke Adi.

“15 juli 2023,” ucap Adi. Tangannya gemeteran. Romi tidak percaya. Dia langsung merebutnya dari tangan Adi. Setelah memastikannya, Romi menyusul Bagas pingsan.

 

*

 

 

PART DUA

 

 

Budi, Unang dan Sandi masih berjalan di kegelapan malam. Mereka terus menembus pekatnya kabut. Berjalan beberapa puluh langkah, kabut perlahan menipis. Lalu menghilang dari pandangan. Namun ketiga pemuda ini merasa aneh karena jalan yang dilaluinya tidak berbeda jauh dengan jalan-jalan sebelumnya. Mereka merasa kembali ke tempat semula dimana mereka bersenda gurau sama dua kunti yang ramah dan tidak sombong itu.

“Ko kita disini lagi, Bud?”

“Gue juga nggak tau kenapa kita disini lagi, San”

“Berarti tuh si Eneng boongin kita dong, Bud” tembak Unang.

Budi diam tak beregeming dengan pertanyaan Unang. Mulutnya nampak komat-kamit mengucapkan doa-doa sebisanya. Ia pun tak bisa tenang. 

“Gimana nih bud kita ngga bisa pulang kalo kaya gini, kita udah kejebak disini.” Sandi benar-benear ketakutan sekarang. Budi yang dianggap pemberani terus berusaha untuk tetap tenang padahal dia sendiri juga takut seandainya tidak bisa pulang lagi.

“Kita berdoa aja mudah-mudahan ketemu jalan keluar,” ujarnya bijak

“Kita duduk dulu yuk di situ. Capek banget,” ucapnya seraya menunjuk bangku panjang di pinggir jalan. “Perasaan kita jalan udah jauh tapi ngga sampe-sampe,”

“Iya, kita juga udah ngelewatin kabut tapi perumahan yang kita lihat kaya perumahan di belakang kita.” Unang setuju dengan ucapan Sandi. Mereka duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu jati. Tempat duduk dengan ukiran khas yang biasa ditemukan di rumah-rumah Jawa kuno. Perumahan disini begitu asri, rumahya besar-besar bak istana. Tapi penghuninya tidak terlihat. Sepi sekali. Dari pinggir jalan mereka memperhatikan rumah-rumah mewah itu seperti sudah ditinggalkan oleh penghuninya. Pohon-pohon indah berjajar di pinggir jalan. Tapi penerangan lampu jalan yang redup membuat kesan mistis di kampung ini makin terasa.

Ketiga pemuda itu menarik nafas berbarengan. Mereka berpikir keras bagaimana caranya bisa keluar dari kampung ini. Letih dan penat mendera. Ingin sekali merebahkan diri. Beristirahat.

“Kita duduk disini aja sambil nunggu pagi,” saran Budi

“San jam berapa sakarang?” tanya Unang. Sepengetahuannya begitu sampai di kampung ini tepat jam satu dini hari. Sandi melihat jam di tangan kanannya. 

Dan ia tak percaya, jamanya menunjukkan pukul tujuh pagi. Pun dengan Budi yang tidak percaya. Ketiga pemuda itu saling bergantian menatap. Wajah mereka bertambah pucat. Lunglai seketika. Mereka kembali melihat sekeliling. 

“Apa karena mau ujan jadi gelap begini,” ujar Unang. 

“Tapi ngga ada tanda-tanda mau ujan, Nang. Mendung juga ngga,” kata Sandi.

“San ini kan suasannya gelap jadi kalo mendung ngga keliatan,” Budi menyanggah omongan Sandi.

“Tapi Bud kalo pun mendungnya ngga keliatan. Hawanya pasti beda kalo mau ujan. Ini hawanya sama aja dari tadi,” Sandi berkilah atas sangahan Budi padanya.

“Jam lu rusak kali san, coba cek.” Sandi mengecek jamnya dengan mendekatkan ke telinganya sendiri. “Ngga nang masih nyala kok ini. Nih coba lu dengerin.” Sandi langsung menyodorkan tangannya ke telingan Unang. “I-iya masih nyala, Bud”

“Jadi apa kita bener-bener kejebak disini?” Sandi bergidik membayangkan kalau mereka tidak bisa menemukan jalan keluar dari kampung ini.

“Jangan pesimis gitu San, Nang. Pasti ada jalan keluar dari sini,” Budi meyakinkan kedua sahabatnya. Ketiga pemuda itu duduk melamun belum tahu apa yang akan mereka kerjakan. 

Angin malas bertiup cukup kencang. Ketiganya menguap, tidak bisa lagi menahan kantuknya. Dan akhirnya mereka tertidur di bangku panjang itu.

 

*

 

Di kampung sebelah masih di jam satu pagi..

Kegaduhan terjadi di rumah bagas. Sebagian warga berdatangan setelah Santo -salah satu hansip membunyikan kentongan dengan kerasnya, membuat penduduk kampung terbangun. Setelah di beritahu tentang kepulangan tiga pemuda, mereka berduyun-duyun mendatangi rumah Bagas. Santo yang ditinggal sendiri di pos siskamling cepat-cepat meninggalkan posnya karena bulu kuduknya tiba-tiba merinding. 

“Hii, serem disini.” Lantas lari terbirit-birit setelah indera penciumannya menangkap bau tak sedap. Bau bangkai. Dan ternyata, dari balik pohon pisang muncul sesosok makhluk yang memperhatikannya sejak tadi, sejak dia membunyikan kentongan. Sosok ini terbungkus sebuah kain. Tapi kain yang digunakan berwarna-warni.  

Loh kok..

Adi dan romi juga turut beristirahat di rumahnya Bagas. Capek yang dirasa sudah tak kuat lagi berjalan sampai kaki bengkak. Mereka merasa hanya berjalan beberapa jam saja, padahal sudah lebih dari enam bulan menghilang. 

Keluarga ketiga pemuda, penduduk kampung hingga pemuka agama berkumpul di rumahnya. Semuanya masih tidak percaya dengan yang dialami ketiga pemuda tersebut. Orang tua Adi menangis  sambil memeluk anaknya. Keluarga Romi juga tidak kalah histerisnya, ibunya menangis meraung-raung menciumi anaknya yang kembali dari dunia antah berantah.      Orang tua Bagas sendiri tak henti-hentinya bersyukur anaknya sudah kembali lagi. 

Ketika mereka ditanya saat ini mau apa, mereka hanya menjawab, “LAPAR!” Warga bergegas mengeluarkan berbagai makanan yang dipunya untuk diberikan ke pemuda-pemuda yang baru kembali. semua menunggu mereka selesai mengisi perut setelah enam bulan tak terisi. Tetapi anehnya selama menghilang, tidak terasa kelaparan sedikitpun.

Selesai makan, ketiganya bercerita apa yang mereka alami. Saking serunya ketiga pemuda ini bercerita hingga tak terasa waktu mendekati salat subuh. Penduduk memutuskan untuk memberikan waktu istirahat untuk ketiga pemuda. Namun di akhir mereka bercerita. Mereka sempat bertemu dengan tiga orang pria yang akan menonton dangdutan di sebuah kampung yang sama tempat mereka menonton. Tapi mereka tidak kenal dengan ketiga pria tersebut.  

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ketiga pemuda itu masih tertidur di kamar Bagas. Pak Burhan, ayahnya Bagas sendiri masih belum bisa percaya dengan kejadian yang dialami anaknya dan kedua teman bagas. Ia sendiri merinding membayangkan hal itu bisa terjadi pada anaknya. Pak burhan akan mengadakan syukuran atas kepulangan Bagas, Adi dan Romi.. 

“Nanti Ayah rembukin Bu dengan Pak Kades dan tokoh masyarakat”

“Iya gimana baiknya aja. Ibu ikut Ayah ajah,” jawab istrinya

 

*

 

Kembali ke Kampung Gaib..

Dahan pohon beringin yang besar dan kuat itu bergoyang naik turun seperti ada yang menggoyangkan. Dari mata orang awam itu hanyalah sebuah pohon yang bergoyang ditiup angin yang berhembus cukup kencang. Begitu juga dengan yang dilihat Sandi, yang bangun lebih dulu dari Budi dan Unang. 

Ia terkejut menyaksikan pohon itu. Kalo digoyangin angin nggak mungkin kayanya. Gumam Sandi sendiri. Pohon di depannya seakan membentuk siluet makhluk tinggi besar dan berbulu. 

“Agh!” Ditepisnya pikiran jelek yang melintas di benaknya. Sandi melihat jam di tangannya. Sudah jam sembilan. Ia segera membangunkan Budi dan Unang. 

“Bud, Nang. Bangun udah jam sembilan.” Ia mengoyang-goyangkan Tubuh kedua sahabatnya itu. Tidak perlu usaha keras untuk membangunkan mereka. Budi bangun terlebih dahulu lalu melihat sekelilingnya. Ia masih saja tersentak melihat keadaan sekitar. Walaupun sudah jam sembilan pagi tetapi keadaan masih gelap seperti jam satu dini hari. Sementara Unang masih linglung, belum tahu harus melakukan apa. 

“Ini sebenenya jam sembilan pagi apa sembilan malem?” ujarnya sambil mengucek-ngucek matanya. Masih terasa kantuknya.

“Bud, Nang. Liatin deh di pohon besar depan itu. Kok pohonnya bergoyang-goyang kaya gitu. Kaya ada sosok tinggi gede” 

“Mana san?” tanya Budi

“Yang itu, Bud. Di pohon beringin”

“Ah lu, San. Jangan nakutin ah!” rengek Unang yang tidak tahu kenapa rasa takutnya berpindah dari Sandi ke dirinya. Dan Sandi menjadi berani dengan suasana di kampung aneh ini. Kampung yang seolah pernah dimasukinya.

“Iya, San. Gue liatnya kaya genderuwo. Apa jangan-jangan ini si Papi yang dibilang si Eneng,” ucap Budi.

“Jangan nyebut-nyebut Eneng! Gue kesel udah diboongin, Bud. Dasar kunti sialan. Gue jamah juga tuh,” sungut Unang. “Kalo deket aja udah gue cium tuh si Eneng”

“Hush! Cocotmu, Nang! Yakin lu Nang mau sama Eneng. Mukanya emang cantik, tapi udah mati,”

“Aje gile! Lu pikirannya, Nang. Ntar kejadian beneran baru tau rasa lu!” sahut Sandi. “Ogah! Hiiii amit-amit.” 

Tok tok tok.. 

Unang mengetuk-ngetuk bangku yang mereka duduki. Di tengah-tengah kebingungan mereka, sekonyong-konyong dari arah kiri ada sosok melompat-lompat terbungkus kain berwarna pelangi. Iya tidak salah, warna pelangi. Unang lagi-lagi mengucek-ngucek matanya memastikan sosok tersebut. 

“Bud.. bud.. I-itu, i-itu pocong bukan?” tiba-tiba gemetar seluruh tubuh.

“Iya itu pocong! Tapi kok warna kainnya bukan putih”

“Iya itu beneran pocong, Nang. Anjrit mukanya jelek baget. Ayo lari!” Sandi dan Budi lari terbirit-birit meninggalkan Unang.

“Woi! Pada mau kemana. Tungguin!” Mau tidak mau Unang ikutan berlari sekencang-kencangnya mengejar kedua temannya. Dalam pikirannya apa benar itu pocong. Tapi kok, kenapa pakai kain warna pelangi gitu. Aneh. Ah bodo ah. Unang terus berlari mengejar kedua temannya yang sudah semakin menjauh.

Ketiga pemuda itu berlari dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Malah terlihat melayang. Tak berpijak ke tanah. Tuh pocong akhirnya berhenti di tempat ketiga pemuda tadi duduk-duduk.

“Ih, gimana sih pada kabur orang mau nanya juga. Mana sepi banget lagi nih kampung. Ngga ada satupun setan yang lewat. Eike harus nanya sama siapa donk neik”

HUWAA.. HUWAA.. 

Tiba-tiba makhluk tinggi besar dan berbulu melompat dari pohon beringin ke depan si pocong. Suaranya menggema ke seluruh penjuru kampung setan. Semua penghuni kampung setan yang lagi beraktifitas kaget. Ada yang lagi masak, ada yang lagi nyusuin bayinya, ada yang lagi nonton sinetron yang pemerannya artis-artis yang udah meninggal. Semuanya terkejut. Tak terkecuali Eneng dan Nur. Suara itu juga mengagetkan ketiga pemuda yang baru saja berhenti berlari.

“Neng itu kenapa si papi?”. Ternyata yang berteriak tadi adalah pimpinan kampung setan yang biasa dipanggil papi. Si genderuwo bertubuh tinggi besar dan hitam.

“Palingan juga ada warga baru pindah kesini, Nur. Si papi mah gitu setannya (baca orangnya). Kalo ada setan baru sok-sok galak. Padahal mah hatinya barbie”

“Hihihi. Kikikik.” Kedua kunti berbeda size itu cekikikan. 

Begitu juga dengan ketiga pemuda itu. Bergidik mendengar suara keras si genderuwo. Mereka lari lagi, tetapi tidak sekencang yang tadi.

“Bud suara apaan ya barusan,” tanya Unang yang masih ngos-ngosan karenan berhasil mengejar kedua temannya.

“Anjir tuh suara ngalahin toa masjid,” kata Sandi

“Duh. Gue juga ngga tau, Nang”

“Aduh capek banget gue lari dari tadi,” Sandi ngos-ngosan pula.

“Ngomong-ngomong soal toa masjid. Kita cari aja yuk masjid sekitar sini,” ajak Unang.

“Lu pikir ini di kampung kita. Ini kan di kampung setan mana ada masjid”, sahut Budi

“Lu yang nggak-nggak aja, Nang” timpal Sandi

Mereka akhirnya berhenti di sebuah pendopo. Duduk dan rebahan di dalam. Pendopo terbuka ini berbentuk segi empat dengan pilar-pilar terbuat dari kayu mahoni. Ukiran-ukiran jawa terdapat di pilar-pilar. Terdapat pula mimbar panjang seperti mimbar untuk dalang wayang kulit. 

Disini benar-benar tidak ada matahari. Tidak ada siang. Budi tidak habis pikir ternyata memang ada tempat seperti ini. Selama ini hanya cerita-cerita simpang siur yang didengarnya.

Sementara itu si pocong masih terkejut luar biasa melihat makhluk di depannya. Terkejut karena makhluk ini bertubuh tinggi besar dan berbulu. Tetapi bulunya lurus seperti habis di rebonding. 

“Siapa lu ngagetin aja,” tanya si pocong yang nafasnya masih belum teratur sehabis melompat-lompat dari tempat pemakaman.

“Errgghh! Justru gue yang mau tanya, lu siapa?” balas si genderuwo.

“Eh lu ya neik gue tanya malah nanya balik. Ngga sopan amat,” jawab si pocong dengan gayanya yang gemulai melehoy. 

“Errgghh!” si genderuwo melotot. Bola matanya yang berwarna merah menyala,  hampir keluar mendengar jawaban si pocong.

“Ih, sensi amat sih neik,” balas si pocong dengan gayanya yang centil. “Kenalin neik, gue Iwan baru aja metong kemaren”

“Metong??”

“Metong tuh mati neik,” jawabnya sambil badannya gerak-gerak ke kanan ke kiri kadang bahu kanannya di bungkukkan ke depan, “Kalo yey sapo seh?”

“Lu ngomong apa sih gue ngga kenal bahasa lu! Eerrgghh!”

“Maksud eike lu siape?”

“Gue, Errgghh! Gue pemimpin kampung ini. Hantu-hantu di sini manggil gue Papi. Hohoho,” ucap si genderuwo yang bisa dipanggil Papi itu tertawa dengan menggoyangkan tubuh besarnya. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya melambai-lambai mengikuti goyangannya. 

“Oh, lu pemimpin disini neik. Sembah sungkem ananda terhadap pimpinan tertinggi alam goib”

             “Errgghh! Hohoho. Kenapa lu pake baju warna begini? Yang lain pake baju putih polos?”

           “Iya neik eh Papi. Jadi gue matinya lagi party-party gitu. Nah di tempat party itu lekong semua, Papi. Trus pas gue mati ngga ada kain putih adanya bendera pelangi jadi deh gue di bungkus pake ginian. Gimana Pi keren kan. Cucookkk ya, Pi” jelasnya sambil nyengir.

          “Eerrgghh! Ya udah kalo gitu lu gue panggil  Iwan si pocong eljibiti. Eerrgghhh!”

          “Nggak enak banget ujungnya kenapa pake eljibiti sih”

          “Errgghhh!“ kembali Papi si genderuwo melotot seram.

          “Iyah oke pi.” Sambil tubuhnya bergoyang uget-uget.

          “Okeh. Sekarang kita ke pendopo. Nanti gue bikin pengumuman ada penghuni baru di kampung setan. Eerrgghh!”

         “Cuuss!”

         Papi si genderuwo langsung melesat cepat,  terbang ke arah pendopo diikuti iwan si pocong eljibiti dengan melompat-lompat.

*

 

 

             Balik lagi ke kampung sebelah..

             Setelah berita kembalinya tiga orang pemuda yang tersesat di alam gaib, warga dari beberapa kampung berduyun-duyun mendatangi rumah ketiga pemuda tersebut. Rata-rata ingin mengetahui cerita yang sesungguhnya. Merek ajuga ingin tahu. kenapa mereka bisa tersesat di kaoung gaib itu.

            Saking banyaknya warga dari kampung lain yang datang, akhirnya Santo dan Bedul selaku hansip di kampung itu mengkoordinir ketiga pemuda berkumpul di ruangan kepala desa. Nanti warga dari berbagai kampung yang penasaran dengan ceritanya bisa berkumpul di sana. Juga akan diadakan syukuran kepulangan mereka. Bapaknya bagas juga sudah berbicara dengan Pak Kades dan tokoh masyarakat serta warga kampung untuk mengadakan syukuran. Dan semuanya setuju. 

 

*

 

 

PART TIGA

 

 

Acara syukuran akan berlangsung malam ini di alun-alun desa. Tadinya acara akan berlangsung di kantor kepala desa, tetapi karena ruangannya kecil akhirnya dipindahkan ke alun-alun. Warga desa yang laki-laki menyiapkan tempat acara bahkan membangun panggung kecil, sementara yang perempuan menyiapkan makanannya. Halaman kantor kepala desa yang dijadikan dapur umum sudah ramai oleh ibu-ibu yang  akan memasak. 

             Dari balik kabut diatas pohon mangga ada dua kunti yang menyaksikan warga kampung sebelah tengah menyiapkan syukuran.

            “Neng liat tuh mereka lagi nyiapin party”

            “Iya, Nur. Tetapi kemana ya laki-laki yang kemaren udah pulang?”

            “Yang lu cari Bagas kan? Kenapa lu nggak bisa move on ya?”

            “Hihihi udah move on kok, Neng. Sekarang gue ada yang lain”

            “Siapa, Neng?”

            “Sandi,” ucapnya dengan suara mendesah dan gaya manjanya si Eneng menjawab sekaligus memutar-mutar kucirannya.

            “Sandi? lah mereka masih dikampung kita, Neng? Lu ngerjain mereka ya? Biar ngga bisa keluar dari alam kita”

            “Apa sih lu Nur, suudzon aja ma gue. Kan ada aturan tak tertulis di kampung setan. Kalo ada orang tersesat mau keluar dari kampung setan, harus ada yang tersesat lagi untuk gantiin yang mau keluar. Dan jumlah orangnya harus sama baru mereka bisa keluar”

           “Yee, berarti tiga cowok imut itu masih di kampung setan dong, asiikk”

           “Iya, Nur. Hihihi.” Wajah Eneng bersemu pucat. Bukan merah. Ya iyalah, orang udah mati. “Ya udah Nur kita ke pendopo yuk. Gue penasaran siapa setan baru yang mau dikenalin Papi”

           “Tapi kita nanti balik kesini lagi kan, Neng”

           “Ho’oh nur”

          “Lessgoo”

 

           Di pendopo..

           Ketiga pemuda yang disebut Nur cowok-cowok imut itu masih rebahan di pendopo. Lantainya yang terbuat dari marmer membuat ketiganya betah berlama-lama istirahat di pendopo. 

           “Nang, bud. Kok gue ngerasa heran ya”

           “Kenapa san?” Unang yang merespon.

           “Kita dari tadi lari-larian tapi kok gue ngga ngerasa haus. Ngga laper juga”

           “Iya gue juga ngga ngerasain, cuma cape aja,” ujar Budi

           “Guys. Itu si pocong yang tadi lagi sama siapa?”

           “Mana?” sahut Sandi 

           “Itu.” Unang menunjuk ke arah kanan.

           “Guys. Kayaknya dua hantu itu mau kesini. Ngumpet guys,” ajak Sandi dengan paniknya

           “Kita ke belakang mimbar,” Budi mengajak keduanya. Papi genderuwo dan Iwan si pocong eljibiti mendekat ke pendopo. Ketiga pemuda tersebut sembunyi di balik mimbar panjang yang dipergunakan untuk dalang wayang kulit. Kedua hantu itu sudah berada di pendopo. Pimpinan kampung setan langsung duduk di bawah melakukan meditasi. Si genderuwo ini ingin mengirim sinyal kepada semua penghuni kampung itu. Sinyal yang dikirim untuk mengundang para hantu agar datang ke pendopo. 

            Ketiga pemuda yang tengah bersembunyi di balik mimbar tampak was-was. Budi menangkap sinyal kalau akan ada sesuatu disini. Di pendopo. 

            “Nang, San. Kayaknya disini bakalan lebih banyak lagi yang dateng. Kita harus cari jalan kabur dari sini”

            “Maksudlu bud?” tanya Unang

            “Gue nggak tau apa, tapi feeling gue ada kejadian nanti disini”

            “Guys itu kan si kunti-kunti yang semalem?” Sandi berujar setelah melihat Eneng dan Nur terbang ke arah pendopo. Unang nampak kesal melihat dua hantu usil itu. 

             “Kayaknya bener Bud omongan lu kalo bakalan ada sesuatu disini”

             Eneng si kunti cantik yang giginya di veneer mendarat dengan mulusnya di pendopo. Sementara Nur si kunti obesitas yang terbangnya saja sudah menguras energi, mendarat tidak sempurna sampai menggelosor ke arah si Papi genderuwo. Untungnya si papi bisa menghindar lompat ke kiri.

              “Errrgghhh! Nur laen kali kalo mendarat yang bener. Gue pecat jadi penghuni kampung setan lu! Neng ajarin lagi si Nur. Gue liat terbangnya juga belom bener”

              “Iya Papi ntar Neng ajarin lagi,” jawab si Eneng sambil bantuin Nur dengan susah payahnya untuk berdiri.

              “Lu sih Nur gue bilang juga apa. Jangan kebanyakan makan sajen warga kampung sebelah makanya Jadi tambah tambun tuh bodi lu”

              “Lagian tuh warga bikin sajen enak-enak. Pake bebek bakar bumbu saos padang. Siapa yang nggak tergiur, Neng”

              Kemudian kedua kunti bersahabat ini melihat ke arah sosok terbungkus kain warna-warni. Mereka berdua heran, kalau biasanya ada hantu terbungkus pakai kain putih polos tapi yang ada di hadapan mereka memakai kain warna pelangi.

              “Eh siapa lu, baulu nyengat banget?” tanya Nur ke Iwan si pocong eljibiti.

            “Ihh sok cantik lu,” bales Iwan. 

            “Ye, di tanya jawabnya gitu. Gue gibeng lu!” kata si Nur sambil mengepalkan tangannya ke Iwan.

            “Nur jaga sikap di depan Papi. Lagi lu juga tuh, setan lu katain bau,” ucap Eneng setengah berbisik

             Si Nur cuma pasang senyuman kuda. Nyengir. Setelah kedua kunti ada di pendopo. Semua penduduk kampung setan berdatangan satu persatu. Ada hantu anak-anak pakai popok tapi kepalanya besar ngga proporsional sama badannya, ada hantu nenek-nenek yang pakai baju adat jawa, ada hantu nonis dari zaman belanda, ada hantu yang mukanya hanya sebelah, ada hantu yang badannya setipis papan penggilesan. Ada juga hantu kehormatan yang datang, yaitu hantu tanpa kepala penjaga kuburan di kampung sebelah. Hantu yang sangat ditakuti manusia. 

            Segala jenis hantu yang ada di kampung setan ini datang untuk menyambut anggota baru. Ketiga pemuda yang dari tadi bersembunyi di belakang mimbar bergidik ngeri, menyaksikan hantu-hantu yang belum pernah di lihat seumur hidupnya. Unang menyikut-nyikut Budi. “Kenapa nang?”

            “Pergi yuk dari sini,” ajaknya. Wajah unang sangat pucat. Ia benar-benar ketakutan. 

            “Lewat mana nang?” tanya Budi. Unang yang di tanya cuma diam tidak tahu harus menjawab apa. 

            Perkenalan antar hantu di kampung ini dimulai. Satu per satu hantu lama memperkenalkan diri. Dan kini  giliran Iwan yng bercerita mengenai dirinya. Kapan matinya. Kenapa pakai kain warna warni bukan yang putih polos. 

            Tiba-tiba Nur si kunti obesitas nyeletuk, “Ohhh lu dulunya bences. Hihihi.” Nur langsung ditoyor kepalanya sama Eneng. 

            “Emang kalo eike bences kenapa cong,” jawab Iwan.

            “Nggak kenapa-kenapa, berarti lu..”

            “Berarti gue apaan! Awas ye congor lu jangan kurang ajar”

            “Emang kenapa cong kalo congor gue begini”

            “Gue ludahin ntar mukalu gosong”

            “Coba sini kalo berani, baru jadi setan sehari aja songong lu”

“Eerrgghhh!“ Papi si genderuwo langsung naik pitam dan melototin Nur dan Iwan. Keduanya langsung menunduk. Setan-setan yang lain tertawa terbahak-bahak. Buat ketiga pemuda yang lagi bersembunyi makin dibuat merinding mendengar suara setan-setan tersebut. 

             “Satu lagi nih gue kenalin ke lu wan,” Papi si genderuwo menunjuk ke arah setan dengan mukanya yang hancur dan tubuhnya berlubang tiga.

             “Ini namanya Rina. Dia hantu senior di sini. Dia punya kekuatan setara dengan enam belas HP”

             “Rnam belas HP apa tuh Papi?”

             “Enam belals HP itu artinya enam belas horse power. Kekuatannya dia setara dengan kekuatan enam belas ekor kuda. Eerrgghh!”

             ”Aje gile udah kaya lamborgitu. Hei ceu kenalin gue Iwan. Ngomong-ngomonglu sundel bolong kenapa ada tiga ceu bolongnya?”

             “Ini ulah laki gue. Dia nggak puas udah bolongin satu di perut gue. Malah gue dibolongin dua lagi mirip opone.” Begitulah penjelasan rina si sundel bolong bolong tiga. Di balik mimbar, tanpa sengaja Sandi menjatuhkan sebuah pemukul bende yang menimbulkan suara yang kencang. Seluruh setan di pendopo itu menoleh ketempat suara pemukul bende yang jatuh.

             “Errgghh! Siapa itu!,” bentak papi. Suaranya menggelegar menakutkan.

             Makin-makin gemeteran ketiga pemuda yang bersembunyi itu. Semua sosok aneh di pendopo itu mendekat perlahan ke mimbar. Jumlahnya puluhan. Lalu berdirilah dedemit-dedemit aneh ini di depan mimbar. 

             “Bud gimana nh bud, tuh setan pada berdiri di depan mimbar?” tutur Unang yang mengintip di lubang-lubang mimbar. Budi tidak menjawab. Mulutnya hanya komat kamit baca doa. Sandi pun begitu. Tubuhnya menggigil hebat. Kemudian setan-setan itu terbang melintasi mimbar. Murka sekali mereka karena ada dua manusia yang bersembunyi di belakang mimbar. Waajah setan-setan itu berubah semakin menyeramkan.

Tunggu. Dua manusia. 

             “Neng jangan-jangan itu Sandi sama temennya,” bisik Nur si kunti obesitas

            “Iya Nur pikiran gue juga kayak gitu” 

             Dan begitu kedua kunti ikut melihat manusia di balik mimbar. Mereka juga kaget karena hanya ada dua manusia disitu, Unang dan Budi. Sandi kemana. Unang dan budi di geret paksa oleh dedemit-dedemit aneh. Kedua pemuda ini merasa heran kenapa hanya mereka berdua yang terlihat.

             “Eerrgghh! Inikah manusia-manusia yang gue lihat di depan perumahan kosong itu?” bentak si Papi. “Eneng! Nur! Kesini cepet!” kembali si Papi berteriak membentak. Kedua kunti gemetaran. Papi kalau sedag marah sangat menakutkan.

             “E-e, a-a. I-itu, Pi “

             “A-e, a-e! Jawab yang betul, Nur!”

             “Neng.” Nur menyolek pantatnya Eneng yang bahenol melehoy itu.

             “I-iya, Pi. I-ini manusia yang baru tersesat semalem. Yang ada di depan rumah-rumah kosong di deket ujung kampung”

             “Yang gue tau mereka ada tiga. Satu lagi mana?”

             “Itu Pi. Eneng juga nggak tau. Semalem mereka bertiga”

              Keringat dingin mengucur deras di kening Unang. Tapi Budi mencoba tenang dan terus komat kamit berdoa menghadapi situasi ini. Sandi kemana ya. Pikirnya.

             “Eeerrghh!” dengkuran keras Papi menggetarkan pilar-pilar penyangga atap pendopo.

             “Pimpinan yang mulia. Gimana kalo mereka kita taruh di ruangan penderitaan tanpa pakaian,” margareth si suster terbang yang terkenal suka menyiksa orang-orang yang tersesat mengusulkan. 

             Hah! Ruangan penderitaan. Sandi membatin. Kalo mereka berada di ruangan penderitaan trus gue sendirian disini. Mana tuh dua kunti ganjen banget sama gue. Ngga bisa gue harus keluar nolong mereka.

             Sandi berdiri sambil menekan lubang hidungnya dan berusaha untuk tidak bernafas. “Bud, Nang,” Budi dan Unang kaget, ternyata temennya masih ada disitu. “Buruan tutup idung jangan sampe nafas,” ujar sandi sepelan mungkin. Walaupun Unang dan Budi tidak percaya tetapi mereka buru-buru mengikuti saran Sandi. Menekan kedua lubang hidungnya.

              Dan benar saja seketika mereka menghilang dari pandangan dedemit-dedemit aneh itu. Si Papi dan kroco-kroconya terkejut setengah mati.  Begitu juga dengan Eneng dan Nur. 

              “Eerrghh! Mana mereka? Ilang kemana? Eerrgghh! Cari semuanya sampe ketemu!” perintahnya angkuh. PerintahPapi bak sabda yang harus dilakukan. Dedemit-dedemit aneh itu beterbangan kesana kemari sebelum akhirnya mereka menghilang. Tinggal si Papi, Eneng, Nur dan Iwan si pocong eljibiti.

             “Eerrghh! Neng lu ngga usah ikut-ikutan nyari manusia-manusia itu. Gue tau lu suka sama salah satunya.” Eneng terhenyak. 

             “Lu sekarang ajarin nih bocah kematian. Ajarin apa aja yang lu tau. Yang penting lu ajarin keduanya terbang. Nur belom bisa terbang tinggi. Dan Iwan sebagai hantu dia kodratnya terbang bukan loncat-loncat kaya kodok”

             “Nur, Iwan. Damai lu berdua eerrgghh!” Eneng si kunti cantik yang giginya di veneer ketawa cekikikan. “Yuk nur kita bawa si poci,” ajak eneng. Eneng di sebelah kanan dan Nur disebelah kiri. Kedua kunti itu menggandeng Iwan untuk diajak terbang ke suatu tempat. Nur mengedipkan matanya ke Eneng, dan Eneng mengangguk mengerti.

 

              Di kampung sebelah sesudah sholat isya.. 

              Warga sudah berkumpul di alun-alun untuk merayakan kepulangan ketiga pemuda yang selama enam bulan tersesat di kampung gaib. Warga desa ingin kembali mendengar cerita dari mereka langsung. Suasana meriah terlihat malam ini. Warga kampung berbagai usia bercengkerama menikmati hidangan yang sudah disediakan. Semua larut dalam suasana pesta kampung. Acara puncaknya ketika ketiga pemuda menceritakan pengalaman yang mereka rasakan di kampung gaib.

              Di tengah-tengah ketiga pemuda bercerita, menyaksikan makhuk-makhluk jahanam dari kejauhan.

             “Neik, eike geregetan deh sama mereka. Kita kok dijadiin kambing hitam, kan mereka yang tersesat,” ternyata Iwan diajak kedua kunti pergi ke kampung sebelah kampung setan. Sepertinya mereka berdua sengaja mengajak Iwan biar nih si poci lepas kendali.

            HIHIHI. Eneng dan Nur ketawa kenceng sekali membuat kegiatan syukuran berhenti seketika. Semua warga menengok ke kanan kiri mencari sumber suara. Belum ketahuan dimana sumber suara itu berasa. Mereka melanjutkan lagi acaranya. Tapi tiba-tiba, Iwan si pocong eljibiti melompat dari persembunyiannya dan mendekati warga yang terfokus ke panggung kecil di depan. Si poci berdiri di belakang bangku barisan terakhir. Lalu dia menyapa warga yang sendirian duduk berjarak sekitar lima bangku dari warga disebelahnya.

              “Sstt! Sstt!” si warga tadi menoleh ke kanan tidak ada siapa-siapa. Tapi begitu dia menoleh ke kiri langsung shock dan berteriak sekencang-kencangnya. 

“POOCCOONG..”

              Warga lain yang mendengar teriakan langsung menoleh ke kiri dan melihat sosok menyeramkan dengan wajahnya gosong. Warga berhamburan tak tentu arah. Suasana jadi kacau dengan makanan berserakan karena meja makan tertabrak beberapa orang. 

              Bangku-bangku plastik juga bergeletakan. Begitu juga yang di atas panggung kecil yaitu ketiga pemuda, kepala desa, dan dua orang tokoh masyarakat juga berlarian ke dalam ruangan alun-alun.

              Iwan si pocong eljibiti semakin semangat untuk nakut-nakuti dan terus melompat maju. Keadaan mendadak sepi di lapangan alun-alun. Semua berlari ke dalam ruangan sempit. Duo kunti Eneng dan Nur terbang keluar dari persembunyian mendarat disamping si poci.  Adi yang mengenalinya berseru kepada kedua temannya, “Bagas, Romi. Itu kan si Eneng sama Nur”

             “Iya bener. Itu Eneng sama Nur,” ujar Romi sambil mengatur nafasnya yang tersengal sesak.

             “Sialan tuh mereka. Ngapain kesini”,

             “Kangen sama lu, Gas” teriak Romi. 

“Anjir, ngeri gue”

              Kedua kunti itu mendarat di depan pintu masuk kedalam ruangan di alun-alun. Disusul Iwan. Keadaan di dalam sangat mencekam. Iwan menggedor-gedor keras pintu ruangan itu dengan kepalanya. Membuat histeris untuk kaum perempuan dan anak-anak. Eneng sendiri memanggil-manggil Bagas disusul tertawanya Nur yang melengking.

             “Adi, setel murottal –lantunan ayat suci, buruan dari hp lu!” desak Bagas. Adi secepatnya langsung memutar murottal dengan volume yang maksimal. 

             Kontan saja ketiga dedemit jahil tersebut langsung berhenti beraktivitas. Iwan merasa tubuhnya seperti di bakar, begitu juga dengan kedua kunti. Panas menyerang keduanya. Ketiganya kelojotan bergerak ke sana ke mari tak tentu arah. Ketiga dedemit jahil itu kabur. Eneng dan Nur menggandeng Iwan terbang rendah menembus kabut yang menjadi perbatasan gaib bagi kedua kampung. Warga yang bersembunyi di dalam satu persatu keluar. Pak Kades memerintahkan untuk warga segera kembali ke rumah. Dan setengah penduduk kampung berjaga-jaga di alun-alun. Bersiap akan serangan kembali dari dedemit-dedemit jahil itu. 

 

*

 

 

PART 4

 

 

Di kampung gaib..

Budi, Sandi, dan Unang berhasil meloloskan diri dengan menutup hidungnya. Setelah berlari meninggalkan pendopo sampailah mereka di sebuah rumah tak berpenghuni. Rumah yang benar-benar kosong karena tidak satupun perabotan yang tersisa. Ketiga pemuda beristirahat melepas lelah.

             “San lu kok tau kita tutup idung bisa nggak keliatan?” tanya Unang

             “Iya san lu tau dari mana?”

             “Gue inget film vampire cina,” sahut Sandi. Budi dan Unang saling memamndang.

             “Sekarang nasib kita gimana nih. Kita belum nemuin jalan keluar”

             “Sabar, Nang. Kita sekaligus cari-cari jalan keluar. Yang penting kita selamat dulu dari dedemit-dedemit bangke itu.” Budi mencoba menenangkan Unang yang mulai panik dengan situasainya saat ini. “Guys sekarang jam sepuluh malam, berarti kita hampir dua puluh empat jam disini,” Sandi mengingatkan kedua temannya kalau mereka sudah sehari semalam di kampung setan ini.

Mereka bertiga mendengus kesal, kenapa kajadian seperti ini menimpa mereka.                            

 “Kalian inget nggak sama tiga cowok yang kita temui pas kita mau nonton dangdutan?”

            “Iya gue inget, Bud” jawab Unang dan Sandi berbarengan.

            “Gue rasa mereka juga korban kayak kita. Cuma masalahnya gimana caranya mereka bisa keluar. Itu yang harus kita pikirkan”

            “Bener bud, kita udah tau cara menghilang dari mereka. Sekarang kita cari cara keluar dari sini”

            Di lain tempat di kampung itu, para dedemit yang dipimpin oleh Rina si sundel bolong boba masih terus beterbangan mencari keberadaan ketiga pemuda. Sementra ketiga pemuda itu sedang mencari-cari kamar mandi di rumah tersebut sebelum akhirnya mereka menemukan sebuah cermin besar yang dibingkai dengan dengan bingkai kayu terbuat dari kayu mahoni berukiran khas ukiran jawa. 

             “Kok ada cermin disini? Kalo penghuninya pindahan kenapa nggak dibawa?” ucap Budi. Unang dan Budi memeriksa cermin tersebut.

              “Nggak ada yang aneh, Bud”

              “Iya, Nang. Tapi gue heran kenapa cuma ada cermin di sini tapi barang lain nggak ada”

              “Itu dia, Bud. Jangan-jangan ini cermin ada gunanya”

              Sandi memerhatikan kedua temannya yang dari tadi memerhatikan sebuah cermin. 

              “Guys, liat siapa tuh yang dateng.” Sandi setengah berteriak sambil mundur beberapa langkah. Sudah berdiri lima sosok menyeramkan di depan pintu masuk rumah tersebut. Tetapi dari lima sosok itu terselip sosok anak kecil berkepala botak dengan senyum menyeringai menunjukkan taring-taring gigi yang tajam. Sosok anak kecil berkepala botak ini langsung berlari secepat kilat kedepan. Diikuti sosok Rina sundel bolong boba dengan mukanya yang hancur tapi jari-jarinya dipenuhi kuku-kuku panjang yang tajam. Sundel bolong boba ini terbang dan langsung menerjang ke arah ketiga pemuda tersebut. 

               Untungnya ketiga pemuda itu bisa mengelak dari serangan setan-setan jahanam. Tapi si anak kecil berkepala botak kembali menyerang. Kali ini yang dituju adalah Sandi yang berdiri cukup jauh dari kedua temannya. Sandi berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Teriakan Budi mengingatkannya untuk tidak memisahkan diri dari mereka berdua. 

              Sebelum sampai lantai atas, Sandi langsung melompat ke bawah melalui pagar pembatas tangga tersebut. Si Rina sundel bolong boba itu juga kembali menyerang dengan kuku-kukunya yang tajam. Budi dan Unang terus-terusan menghindar. 

              Akhirnya ketiga pemuda terpojok di sudut ruangan dekat cermin besar yang tadi mereka periksa. Dan lima sosok hantu itu kini mengepung mereka. Budi, Sandi, dan unang bergerak mundur perlahan sampai mereka tidak bisa bergerak mundur lagi. Terpojok di sudut ruangan.

              Dedemit-dedemit itu tertawa keras melihat ketiga pemuda ketakutan. Sosok-sosok ini terus bergerak maju, dan tiba-tiba Rina si sundel bolong boba melesat terbang menuju mereka. Siap mencekik Sandi yang memiliki tinggi badan menjulang. Sandi reflek mengambil cermin di sampingnya bermaksud menghantamkan benda tersebut ke setan jahanam itu. Cermin bagian depan dihantamkan dengan keras ke Rina si sundel bolong boba. 

             BLLUUPP!

             Bunyi  yang terdengar bukan dentaman keras pecahan kaca. Melainkan bunyi benturan dengan benda lunak. Dan cermin itu bergelombang seperti puding yang ditepuk-tepuk  memakai sebuah sendok makan. Ketika Sandi dan dua temannya membuka matanya, sosok Rina si sundel bolong sudah tidak ada. Ketiga pemuda dan keempat dedemit itu mencari-cari dimana keberadaan Rina. Kebingungan semuanya.

            Tiba-tiba dari dalam cermin.

            “Keluarin gue! keluarin gue!” suara Rina si sundel bolong boba mengetuk-ngetuk dengan kerasnya. Rupanya dedemit yang dicari-cari terjebak di dalam cermin. 

           “Gile San sakti banger nih cermin,” tutur Unang. Kalau Rina yang dibilang Papi sebagai hantu terkuat dengan kekuatan setara enam belas tenaga kuda, berarti dengan mudahnya Sandi bisa melawan hantu yang lain di rumah ini. Sandi yang memegang cermin merasa di atas angin sekarang. Dengan cekatan dia berlari kearah tiga hantu yang berdiri cukup dekat karena tadi sudah mengepung dia dan kedua temannya.

             Diayunkannya cermin itu ke arah hantu-hantu jahanam dan BLLUUPP! BLUUPP!! BLUUPP! Ketiga hantu itu masuk ke dalam dan terjebak didalam cermin. Tinggal hantu anak kecil botak yang ketakutan dan akhirnya berlari keluar.

             “Gue yakin tuh tuyul lari dan ngadu ke genderuwo sialan,” ucap Sandi dengan kesalnya

             “Gile lu San, dari tadi lu udah nyelamatin kita berdua”

             “Iya, San. Tapi kok lu tau sih kalo cermin itu bisa nangkep hantu. Lu juga tau cara nggak keliatan dari mereka,” Budi keheranan karena Sandi tahu banyak mengenai dunia perhantuan.

             “Cuma kebetulan aja kok, Bud” Ia diam-diam memerhatikan Sandi. Sedikit menaruh curiga. Jangan-jangan ini ulah Sandi kalau mereka terjebak di kampung setan. Apa karena Sandi memang bertujuan mencari cermin ini. 

             Kejadian di rumah mewah tersebut membuat mereka serasa memiliki angin segar untuk bisa keluar dari kampung gaib ini. Mereka duduk kembali di bangku pinggir jalan. Bangku yang sama yang mereka duduki dimalam sebelumnya. 

            “Kita ngapain disini, San” tanya Budi

             “Gue yakin Bud dedemit-dedemit itu akan balik ke sini bawa pimpinan dan pasukannya. Begitu juga sama dua kunti centil itu”

            “Trus..?” Unang yang bertanya untuk mengetahui rencana Sandi selanjutnya. “Dengan cermin ini kita ancam mereka untuk kasih tau jalan keluar. Gue ngga mau lama-lama disini”

            “Pinter juga rencana lu, San” puji Unang.

            “Trus cermin itu mau lu apain kalo rencana kita berhasil? Pasti lu pecahin kan?” Sandi tidak menjawab. “Gue berharap lu pecahin tuh cerminnya. Kalo dipecahin mereka akan kejebak di cermin selamanya kan san”

             “Gue takut Bud kalo seandainya dipecahin, trus suatu saat bisa keluar mereka akan balas dendam ke kampung kita,” jawab temannya itu. Bener juga yang dibilang Sandi. Batin Budi. Makhluk-makhluk seperti itu selalu punya dendam kesumat sama manusia. 

             “Oke San, terserah lu aja itu cermin mau diapain nantinya,” tegas Budi pasrah. Sandi tersenyum tipis menanggapi ucapan Budi. 

              Apa benar Sandi punya rencana terselubung dengan cermin itu. Apa benar Budi dan Unang dijadikan alat olehnya untuk mendapatkan cermin itu.

              Dugaan Sandi benar, semua dedemit berdatangan ke tempat mereka. Semuanya. Dipimpin oleh si Papi genderuwo. Dari puluhan dedemit itu tampak berdiri dua kunti yang membuat mereka tersesat di kampung ini. Eneng dan Nur. Ada juga Iwan si pocong eljibiti. Dan tentunya Joni hantu anak kecil berkepala plontos alias tuyul. 

              Ketiga sahabat itu sudah bersiap dengan serangan para dedemit, mereka bertiga memegang cermin besar itu. Sudah siap memasukan para dedemit ke dalam cermin.

              “Eerrgghh!” suara si Papi genderuwo menggelegar membuat nyali ketiganya ciut. Tapi Budi selaku orang yang memiliki keberanian lebih dari keduanya meyakinkan kedua temannya untuk tidak takut menghadapi para dedemit itu. “Guys ngga usah takut, kita yakin bisa masukin semua dedemit jahanam itu kedalam cermin ini”

               “Iya bud,” sahut Unang dan Sandi berbarengan.

               “Eerrgghh! Mana Rina, mana tiga setan itu. Eerrgghh!”

               “He! Genderuwo jelek, temen-temenlu udah kita masukin ke dalam cermin ini,” ejek Budi dengan lantangnya.

              “Sialan kau anak manusia. Beraninya kau menahan anak buahku”

              “Itu akibat bangsa kau menyesatkan kami”

            “Kau saja yang masuk ke daerah kami sembarangan”

            “Kami mana tahu ini daerah kau! Itu anak buah kau si kunti yang menjebak kami”

            “Eerrgghh! Kau akan mati anak manusia. Serang!!” Sebagian dedemit langsung terbang menerjang dari berbagai arah. Suara mereka keras membahana ke kampung-kampung yang tidak jauh dari kampung setan. Warga yang masih berada di alun-alun kampung sebelah merinding bulu kuduknya mendengar teriakan-teriakan para dedemit jahanam ini.

             Budi memimpin kedua temannya menggerakkan cermin ketika ada dedemit yang mendekat. Cermin mereka arahkan untuk menghisap dedemit masuk ke dalam cermin. Begitu seterusnya hingga para dedemit yang menyerang terjebak di dalam. 

             Si genderuwo geram bukan kepalang. Dedemit jelek ini memerintahkan separuh dedemit tersisa di belakangnya untuk menyerang. Hanya sedikit yang maju menyerang sisanya dedemit-dedemit itu terbang menjauh dan menghilang. Makin marahlah pimpinan kampung setan ini. Lalu dia mengeluarkan suara menakutkannya bak auman raja hutan. Seketika terpentalah itu cermin ke samping kiri cowo-cowo pintar ini.

             Ketiga pemuda kebingungan apa yang harus dilakukan. Si Papih genderuwo melangkah maju. Matanya memerah, mulutnya dibuka lebar-lebar seperti hendak memakan hidup-hidup ketiga manusia tersesat. Hantu bocah kematian berkepala botak mengikuti sang raja kampung gaib berjalan menuju mangsanya. Tinggal beberapa langkah lagi lalu Sandi melepas celananya dan melemparnya ke arah hantu bocah sampai gelagapan. Kemudian Sandi berlari ke arah cermin yang terpental, mengambilnya dan mengarahkan ke genderuwo tersebut.

Si genderuwo membalas serangan sandi dengan berteriak sekencang-kencangnya. Sandi yang memegang erat cermin terhisap ke depan. 

             “Eerrgghh!” Teriakan Sandi tidak kalah kerasnya. “Aaaarrghh..” Demi melihat temannya yang sedang berjuang hanya menggunakan kolor saja. Budi dan Unang bergabung dengan Sandi. Tarik menarik terjadi seperti lomba tarik tambang. Bukan saja genderuwo dan bocah tengil berkepala plontos itu yang terhisap, tapi kedua kunti centil dan sesosok pocong ikutan tertarik. Namun Nur si kunti obesitas mengambil jurus kuda-kuda bertahan, sambil memegangi Eneng dan Iwan. Nur melengkingkan suaranya untuk terus bertahan dari hisapan cermin keramat.

              Tidak kuat bertahan akhirnya si Papi genderuwo dan bocah tengil terhisap ke dalam cermin bergabung dengan dedemit-dedemit lainnya. Budi menghela nafas lega. Unang langsung menggelosor duduk di lantai. Sandi sendiri tetap memegang cermin keramat dengan kuatnya.

              Tertinggal dua kunti dan satu pocong berdiri mematung setelah menyaksikan apa yang terjadi barusan. Semuanya berdiri saling menatap. Tiga lawan tiga. Tapi Nur dan Iwan sepertinya sudah gentar duluan melihat Sandi menatap nanar ke arahnya. 

              “Eneng, kita ngga mau lama-lama disini. Kita mau pulang. Tunjukkin kemana arah yang bener untuk pulang,” Budi berkata keras pada kunti yang menipunya.

              “Kalo lu ngga mau nunjukkin, gue masukin ke cermin semuanya,” ancam Sandi. Nur dan Iwan mundur selangkah sementara Eneng tak bergeming. Sandi bersiap mengarahkan cerminnya ke arah dedemit tersisa. “Neng gimana nih,” Nur ketakutan.

              “Iya Neng, eike baru mati kemaren masa mau dimasukin ke cermin,” kata Iwan si pocong eljibiti makin ketakutan.

              “Ok! Gue tunjukin jalannya. Tapi lu harus mecahin tuh cermin”

              “Sori nggak bisa. Cermin ini harus tetep utuh sampe di kampung kita,” jawab Sandi

“San udah ngga pa-pa pecahin aja,” ucap Budi berbisik pada Sandi.

             “Bud kita jangan percaya sama dedemit. Mereka itu licik. Tipu muslihat itu nyata, Bud. Dan kalo kita pecahin cerminnya. Pecahan kaca itu bakalan jadi media untuk dedemit itu bisa keluar dari cermin ini. Karna kita ngga bisa ngambil semua pecahannya kan”

             “Oke San. Terserah lu aja!” jawab Budi mendengus kesal. Dia masih menyimpan curiga pada temannya itu yang memang mengicar cermin tersebut.

             “Iya makanya lu jangan suudzon terus sama gue.” Budi akhirnya hanya mengikuti kemauan Sandi. Tapi yang Budi tidak habis fikir, kenapa Sandi bisa tau semuanya termasuk tentang cermin ini.

             “Nggak bisa! Lu harus pecahin itu cermin. Kalo nggak lu pecahin, lu bertiga nggak bakalan bisa pulang,” giliran Eneng yang mengancam.

             “Ok! Gue yang nggak bisa pulang atau lu semua yang terjebak di cermin. Jadi kita sama-sama terjebak.” Sandi mengancam balik. Dia berkata keras sekali. Eneng masih belum bergeming. 

             Sandi akhirnya mengarahkan cerminnya ke tubuh dedemit-dedemit itu. Ketiga hantu itu terseret sedikit demi sedikit. Nur dan Iwan berteriak-teriak. Di belakang Sandi. Budi dan Unang khawatir eneng si kunti tetap memilih bergabung dengan dedemit-dedemit lain di dalam cermin. Ketiga hantu itu terus terseret hingga makin mendekat ke cermin.

           “Okkeee!” Eneng akhirnya menyerah. Kunti cantik itu tidak tega melihat kedua temannya kesakitan terhisap ke dalam cermin. Sandi pun mengarahkan cermin tersebut ke tempat lain.

           “Ikutin gue!” bentaknya. Eneng terbang di ikutin Nur dan Iwan yang sudah mulai bisa mengambang. Ketiga pemuda itu mengikuti Eneng dengan setengah berlari. Sampailah semuanya di ujung jalan berkabut. Tidak asing bagi ketiganya karena kemarin mereka melewatinya tapi tidak melintasi alam. Takut dibohongi lagi mereka meminta ketiga dedemit itu untuk ikut melewati kabut. Sambil Sandi tetap berjaga-jaga di belakang dan siap dengan cerminnya. 

           Melewati kabut perbatasan dua alam yang suhunya sangat dingin. Tapi karena keinginan untuk pulang sangat kuat mereka bertiga tidak menghiraukannya. Dan setelah kabut terlewati, tampaklah beberapa rumah yang mereka kenali. Kali ini si kunti tidak membohongi mereka. 

           “Sudah sampai sekarang pecahkan cermin itu,” pinta Eneng.

           “Sori, Neng. Cermin ini nggak bakalan dipecahin,” jawab Sandi.

           “Lu udah bohongin perjanjian kita,” bentak Nur. 

           Dengan senyum liciknya, Sandi siap mengarahkan cermin itu ke dedemit-dedemit jahil itu. “Perjanjian apa, perjanjian yang mana?”

           “Bangsat kau, Sandi. Tunggu gue balik kesini dan akan gue rebut itu cermin! Ayo Nur, wan.” Dedemit-dedemit itu terbang dan menghilang ditelan kabut pekat. Sandi langsung memakai celana panjangnya yang dia pakai melempar si hantu kecil berkepala botak. Sedari tadi dia tidak mengenak celana sampai melintasi dua alam. Budi dan Unang bernafas lega. Mereka bisa berpikiran tenang sekarang.

           “San, trus mau lu apain cermin keramat itu?” tanya Budi

           “Tenang aja Bud ini gue serahin ke Om Hanan. Om gue, Bud”

           “Ngga pa-pa, Bud. Biar Sandi nyerahin ke Omnya. Itung-itung kita bantu orang biar nggak ada yang terjebak lagi di kampung setan,” sela Unang.

           “Itu dia, Nang. Gue yakin udah banyak yang kejebak di kampung setan karena ulah dedemitnya yang jail”

            “Ya okelah, kita pulang yuk. Gue baru ngerasain capenya sekarang. Kemaren di kampung setan ngga ngerasain apa-apa,” ujar Budi

            “Yang deket dari sini rumah gue, kita istirahat di rumah gue aja. Besok pagi lu berdua bisa pulang,” ajak Unang

             “Iya lebih baik kayak gitu. Gue telpon Om gue dulu. Biar dia ambil cermin ini pagi-pagi. Bentar lagi subuh guys udah jam 4 pagi nih. Yuk jalan ke rumah Unang. Gue laper banget”

            “Sama!” sahut Unang dan Budi.

 

*

          

              Esok paginya, gegerlah seisi kampung. Ketiga pemuda baru saja kembali dan sekarang sedang beristirahat di rumah Unang. Ibunya Unang langsung histeris begitu melihat anaknya sudah ada di kamar bersama kedua temannya. 

              Adiknya Unang segera mengabarkan ke rumah Pak Kades dan memberitahu warga sekitar. Beritanya langsung menyebar ke kampung-kampung lainnya. Di kampung sebelah juga kembali gempar karena kampung ini baru mengalami kejadian mistis yang di alami warganya.     Ketiga pemuda juga baru saja kembali setelah hilang selama enam bulan. 

              Om Hanan datang pagi-pagi hendak mengambil cermin keramat yang sudah di bungkus kain hitam seluruhnya. “San, hebat kamu bisa nemuin dan ambil cermin ini. Warga kampung sebelah si Bagas, gagal San. Enam bulan baru kembali ke rumah”

              “Bagas om?” Siapa dia? Apa yang dimaksud Om Hanan salah satu dari ketiga pemuda itu yang aku temui kemaren.

               Om-nya mengangguk. “Kamu kenal Bagas, San?”

               “Iya Om tau aja, jebal sih nggak. Ketemu pas di perbatasan kampung. Om Hanan kenal dimana sama si Bagas?”

               “Bagas itu yang tau kalo om koleksi benda-benda keramat. Dia dan dua temennya yang menawari diri untuk mencari cermin keramat ini. Dan minta imbalan tinggi, San. Setelah beberapa bulan nggak ada kabar dari Bagas dan temannya. Om akhirnya nawarin kamu dan kamu bersedia. Hebatnya lagi kamu bisa memperdaya dua temen kamu untuk ikut,” jelas Om Hanan sambil menepuk-nepuk pundak Sandi.

              “Dan kamu nggak usah khawatir. Om udah siapkan imbalannya”

              Om Hanan mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya ke Sandi. Sebuah bungkusan dari amplop cokelat. “Ini San. 50 juta cukupkan. Kamu kan cuma enam hari menghilang. Heheheh”

              “Heheh, iya Om makasih ya,” jawab Sandi sumringah setelah menerima lima gepok uang di dalam amplop. 

               Tapi, “San apa-apan lu!. Bener kan kecurigaan gue. Lu sengaja nyari cermin itu. Dan lu ngejebak kita berdua untuk ikut,” Budi mendengar, lalu berkata dengan marahnya setelah melihat dan mendengar percakapan Sandi dan Om-nya.

                Unang meninju muka Sandi dengan kencangnya sampai terjatuh ke belakang.                                  “Sialan lu san, lu udah jebak kita berdua. Lu sama aja mau ngorbanin nyawa kita,” teriaknya.

                “Bud. San. Nrgga gitu. Ngga ada maksud gue ngobanin lu berdua”

                “Bodo amat! Sekarang lu pergi dari sini san,” usir Unang. “Pergi lu!” Unang berteriak sambil memegang batu yang diarahkan ke sandi. 

                “Sabar, Nang. San mending lu pergi dari sini”

              Warga kampung yang juga mendengar ikutan mengusir Sandi dan Om Hanan serta para pembantunya untuk pergi dari kampung ini. Sandi mengalah. Mereka pergi dan masuk mobil SUV berwarna hitam dan berjalan menjauh meninggalkan kampung.

              Para warga memanggil pemuka agama untuk melindungi kampung ini dari ancaman dedemit-dedemit kampung setan. Sementara dari kampung sebelah, Bagas yang di incar oleh eneng si kunti cantik menjadi gila setelah terus menerus di teror. Bukan hanya oleh Eneng. Nur dan Iwan pun ikut menerornya dan juga meneror Adi dan Romi. Bagas saat ini sudah di bawa ke rumah sakit jiwa terdekat setelah beberapa kali dibawa ke orang pintar namun tidak menampakkan hasilnya.

 

*

 

              Di dalam mobil SUV hitam..

              Cermin keramat tiba-tiba bergetar hebat. Sepertinya para penghuninya memberontak ingin keluar. Salah seorang pembantu Om Hanan yang duduk di belakang sendirian tergoda untuk melihat benda itu. Dibukanya sedikit kain hitam penutup cermin keramat. Lalu seketika ada tangan berbulu menarik tangannya. Pembantu Om Hanan itu berteriak-teriak kencang          menimbulkan kegaduhan di dalam mobil. 

             Tangan yang satunya dari makhluk berbulu di dalam cermin ikut menyembul keluar dan mencekik leher pembantu Om Hanan. Pembantu tersebut memberontak sambil melompat ke kursi tengah. Yang lain ikut-ikutan panik. Karena kegaduhannya pak supir tidak bisa mengendalikan mobilnya. Semua penumpang menjadi panik, apalagi ketika di lihat dari dalam cermin menyembul sebuah kepala menyeramkan dengan matanya yang besar dan berwarna merah. 

             Si pak supir sudah tidak bisa lagi mengendalikan mobilnya. Dan akhirnya mobil tersebut menabrak pembatas jalan dan terjun ke jurang sedalam tiga puluh meter. Meledak dan terbakar. Untungnya pak supir sempat melompat dan menyelamatkan diri. Orang-orang di dalam mobil tersebut sudah tidak bisa diselamatkan karena seluruh bagian mobil hangus terbakar. Termasuk Sandi.

            Begitulah kalo orang serakah. Apalagi dengan cara yang kotor, batin pak supir yang menyaksikannya dari bibir jurang. 

            Cermin keramat akhirnya terpecah belah menjadi bagian-bagian kecil. Dan dedemit-dedemit yang yang terjebak di dalamnya keluar satu per satu. Seperti yang Sandi bilang pada Budi kalo pecahan-pecahan kecil kaca bisa menjadi media untuk dedemit keluar dari dalam cermin.

            Para dedemit beterbangan seperti kain yang tertiup angin. Dan para dedemit bersiap membalas dendamnya pada dua pemuda tersisa. Dan juga akan meneror warga kampung yang bersebelahan dengan kampung setan.

 

SEKIAN

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ISTRI ISTRI (Prolog - Bab 5)
2
0
GRATIS________________Berkisah tentang tiga orang istri yang berjuang menghadapi masalahnya sendiri. Mereka tidak saling mengenal, namun suami-suami mereka bekerja dalam satu perusahaan yang sama. Ikuti ceritanya, karya ini akan gratis sampai bab terakhir.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan