Deskripsi

Malam yang terasa panjang.

Satu …

Mitha- 

Angin berhembus pelan, membawa dingin malam yang menusuk tulang. Langit masih nampak gelap, namun agak terang di ujung paling bawahnya, juga masih nampak sedikit kerlip bintang yang jumlahnya tak seberapaa

 Udaranya …

Masih bersih, belum terkontaminasi apapun, masih segar. Semua terlihat baik-baik saja, di sudut dunia ini memang terlihat baik, namun di sini, hanya aku yang sedang tak baik-baik saja. 

Hampir seminggu aku mengalami gangguan tidur, setiap malam terbangun tanpa sebab, lalu, untuk mulai terlelap kembali membutuhkan banyak sekali usaha. Memutar musik pengantar tidur nyatanya malah membuatku makin tenggelam dalam berbagai aplikasi, makin menjauhkanku dari kantuk yang kugapai setengah mati.

Pukul tiga pagi …

Aku mendengar derit pintu amat samar dari seberang jalan, suaranya amat khas dan terasa berbeda di pagi buta. Dari kaca jendela, aku mengintip. Di sana, ada pak Dandi yang sedang bersiap ke pasar, bersama sang istri yang selalu menemani.

Pukul empat pagi …

Jalanan mulai dilalui, tak banyak, hanya beberapa sepeda dan kendaraan bermotor. Bukan jalan utama, jadi tak banyak yang lewat, wajar juga jika masih nampak seperti desa mati. 

Pukul lima pagi kurang lima belas menit …

Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh, memecah keheningan yang sedari tadi menemaniku, keheningan yang memberi pencerahan hingga membuatku belajar ekstra di pagi buta.

Aku bangun, sedikit menyingkap selimut tebal yang menghangatkan. Dingin sekali, aku hampir tak merasakan telapak tanganku saat mandi. Tak lama, setelah keluar dari kamar mandi telingaku menangkap suara langkah ringan. Aku menoleh sejenak, mengenali siap yang sudah bertandang ke kamar anak gadis di jam segini.

Tok! Tok! Tok! 

"Iya, Itha udah bangun!" tukasku tanpa menunggu teguran dari ibuku. Kamarku ada di lantai dua, jadi, setelah mengenakan mukenah aku bergegas turun untuk jamaah subuh di masjid ujung jalan komplek. Di bawah, Ibu dan Adikku menatapku heran, mungkin karena kantung mataku yang agak bengkak dan hitam.

"Insomnia lagi, Mbak?" tanya Juwi sambil mendekatiku. Aku hanya mengangguk sebagai balasan. 

"Udah beli obat?" tanya Ibukku sedikit khawatir, agaknya beliau prihatin pada puteri sulungnya ini. 

"Udah, Buk. Tapi ga ngaruh," jawabku sedih. Sungguh, ini menyiksaku. Aku lelah, bagian belakang kepalaku juga terasa agak pusing. Kadang kala aku merasa kalau kakiku tak menyentuh tanah saat berjalan, dan kadang juga aku ngelantur sendiri saat ngobrol. 

Ibu dan Adikku hanya menatapku iba, lalu mengajakku untuk segera berangkat ke Masjid, sebelum terlambat jama'ah.


Hoam ... 

Aku menguap lebar, tanganku kananku refleks menutup mulut sebelumnya, dan ujung mataku kini sedikit berair karenanya. Aku sedang berjalan pulang bersama Juwi, ibuku sedang ada urusan dengan bu Rt, dan memintaku  untuk pulang duluan.

Aku dan Juwi saling diam, tak ada yang kami bahas. Bukan karena kami tak akur, aku hanya sedang tak mood untuk ngobrol, dan sepertinya Juwi tahu akan hal itu.

"Mbak, awas!!" teriak Juwi yang ada di sebelahku, mendadak. 

Belum sempat bereaksi, sebuah sepeda menabrakku dari belakang. Bukan menabrak sih, lebih tepatnya sedikit menyerempet. Aku menghindar sebisaku hingga terjatuh, jatuhnya pun tak selebay sinetron di Tv, hanya jatuh bisa tanpa luka.

Juwi membantuku berdiri, kami menoleh hampir bersamaan, setelahnya mata kami membola.

Seorang pemuda dengan jaket besar yang menyelimutinya, rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur. Ia lalu sedikit mengangkat dagu, matanya juga membola saat kami bersitatap.

Tak asing.

Aku tahu pemuda ini, kami beberapa kali bertemu di sekolah. Kalau tak salah, ia anak kelas sebelah yang jago main futsal.

Mataku turun sedikit, mengamati bagian lutut yang lecet, ada sedikit darah di sana. Walau tak terlalu jelas, aku yakin jika pemuda itu terluka. Tebakanku terbukti saat ia mendesis ngilu, tatkala mencoba berdiri.

“Kamu gak papa?” tanyaku khawatir. Mungkin aku tadi tetlihat seperti korban, namun aku sangat yakin jika pemuda di depanku ini tak sengaja.

"E-enggak papa," ujarnya terbata. Matanya terpejam, nampak kalau sedang menahan sakit. Aku jadi makin khawatir kalau ternyata dia malah terluka parah.

Aku dan Juwi saling lirik, sama-sama bingung harus melakukan apa.

Ia menggeleng pelan, sepertinya agak merasa pusing hingga keningnya berkerut. “Gak papa kok, cuma lecet sedikit,” sambungnya lagi dengan senyum yang amat dipaksakan.

Dari sini barulah ketahuan wajah, postur dan penampilanya seperti apa. Lampu jalan di atas kami baru saja menyala, memang menyalanya di jam segini, karena error sejak beberapa hari lalu. Berkat lampu error itu, aku jadi tahu bagaimana ekspresinya yang menahan sakit.

Tanpa kusadari, mata kami kembali bersitatap. Dan entah kenapa, aku seolah merasa bahwa mata itu amat kelelahan, merah dan kantung matanya hitam. Wajahnya sayu, kulitnya sepucat susu dan rambutnya tak tertata rapi. Membuatku mengambil kesimpilan jika pemuda ini juga mengalami hari yang melelahkan, terlihat jelas dari sari wajahnya yang kuyu.

Angin bersemilir, meniup pelan ujung-ujung rambutnya, juga mukenahku dan Juwi. Dalam momen itu; waktu seolah berhenti, membiarkanku menelisik lebih jauh sorot mata itu, wajah itu dan ekspresi itu. 

Chapter1|GADIS DAN PEMUDA

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Daun yang kembali ke ranting
1
0
Lembar pertama, saat kantukku pergi, saat kutemukan sosok familiar di dalam mimpi
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan