Bintang Harapan di Sepanjang Jalan #CeritadanRasaIndomie

4
0
Deskripsi

Disepanjang jalan malam itu, aku kembali belajar berharap pada Gemintang yang bersinar terang di atas langit. Sudah kuputuskan, suatu hari nanti aku akan menikmati kemenangan itu bersama Indomie. 

Karena ini, #ceritadanrasaindomie

Kata ayah, kilau gemintang di atas langit hanya tampak bagi mereka yang akan punya masa depan gemilang suatu hari nanti. 

 

"Masa depan itu apa ayah?" Tanya adikku dengan lugu. Maklum, baru kelas satu.

 

Ayahku tampak kebingungan. Aku memilih diam karena malas mengajarkan anak kecil yang jelas-jelas tak akan paham. Toh, mungkin memang belum waktunya ia memahami makna "masa depan" itu. Angka-angka dan abjad saja ia belum bisa hafal dengan benar, buat apa pusing memahami frasa barusan? 

 

Sepanjang jalan, kami bungkam. Kutebak, ayah masih mencoba mencari tatanan kalimat paling pas untuk menjelaskan makna "masa depan" kepada si bungsu kesayangannya. Kalau adikku, ia mungkin sedang berpikir keras, apakah ayah tak dengar? Atau marah karena sejak tadi kerjaanya cuma bicara saja? Dua-duanya tentu saja salah, membuatku ingin meledak dalam tawa saking ekspresi sedihnya begitu kentara — adikku mungkin merasa terabaikan. 
 

"Adek.. kita beli Indomie dulu ya. Nanti ayah jelaskan apa arti masa depan." 

 

Adikku mengangguk patuh dan girang saat jemari ayah mencolek pucuk hidungnya. 

 

Kami baru saja tiba didepan mini market lengkap di kota kecil ini. Segala macam kebutuhan pangan ada di sini, tak terkecuali Indomie dengan semua varian rasa. Mau yang berkuah? Ada banyak pilihannya — soto,kah? Kari,kah? — atau suka yang goreng-goreng? Indomie goreng Aceh hingga varian rasa baru Hype abis — yang kini menjadi peringkat satu di hatiku. Semuanya.. lengkap! Itulah mengapa aku sampai berjingkrak kesenangan saat motor Supra ayah berhenti tepat di depan mini market ini. 

 

Aku segera menyusuri rak khusus mie instan, mematung beberapa detik dan akhirnya kuputuskan untuk memilih Indomie Hype abis sebayak tiga biji.

 

"Wah, kakak suka yang pedas-pedas, ya. Yakin abis, kak?" Goda ayahku. 

 

"Habis. Janji." Jawabku disertai cekikikan euforia khas bocah ingusan — begitu mungkin arti tatapan ayah barusan. bisa kumaknai sebagai di umur dua belas tahun delapan puluh hari. 

 

Oh, iya, tahu tidak? Di keluargaku tak ada yang namanya merayakan ulang tahun, kado, kue, lilin atau semacamnya. Tidak ada. Tapi setiap kali aku genap tambah usia ayah selalu memberiku kebebasan dan perlakuan spesial.  Contohnya, aku diizinkan libur kalau sedang malas bangun keesokan hari, dibiarkan menikmati porsi makan malam lebih banyak dari pada yang lain, dibelikan apa yang sedang lidahku ingin cicipi. Perlakuan spesial itu selalu mampu meninju KO rasa ingin komplenku tentang : 

Kenapa ulang tahunku tak sama seperti anak-anak lainnya?! 

Malam ini, 3 bungkus Indomie favoritku saja sudah cukup. Aku tak bisa menyembunyikan seburat senyum yang mungkin akan dipaku atau dialteko di wajahku sampai pagi. Aku bahagia sekali! Sangat! Aku bersumpah! Terima kasih ayah! 
 

"Ayah, adek juga ambil tiga, ya!" Seru adikku kegirangan, namun dengan lembut ayahku mengurangi satu bungkus Indomie dari genggamannya. Ia memberengut, tapi masih tampak lucu dan menggemaskan. 

 

Usai berbelanja Indomie ayah membawa kami jalan-jalan, memutari waduk lalu tambang udang, pemandangan kerlip lampu di tengah pekatnya malam tampak menakjubkan bagi aku dan adikku. 

"Waahhh.." serunya tak bisa memalingkan wajahnya sama sekali.
 

“Ayah, bisa kita berhenti sebentar?” 
 

Motor Supra ayah berhenti. "Tentu." Jawab ayahku.
 

Kami nongkrong bertiga memandangi tambang udang yang menyatu dengan malam. Tumpahan gemintang di langit sana, lampu-lampu yang tampak seolah melayang di atas permukaan air kolam tambang, serta kedamaian yang menentramkan pikiran, semua ini pastilah kenikmatan tersendiri bagi ayahku yang setiap hari berjuang mencari nafkah sebagai nelayan. 

 

Sebuah senyum melengkung di wajah ayah dan segera menular padaku. 

 

"Bagus ya, yah! Yang itu bintangnya dedek!" Ujar adikku kegirangan. 

 

Ayah menoleh padaku. "Kakak yang itu." 

 

"Ayah yang ditengah saja." Ucapnya kemudian sambil mengusap pucuk kepalaku dan adikku.

 

"Jadi ayah, apa artinya masa depan?" Ungkit adikku lagi, membuat ayah garuk-garuk kepala karena kebingungan. 
 

"Masa depan itu.. harapan. Iya, harapan."
 

"Harapan itu apa?" 

 

"Harapan itu.. cita-cita!" 

 

Alis adikku bertaut. "Cita-cita itu apa?" Kali ini ia menanyakannya dengan raut bersungut seolah tak puas dan kesal karena melulu mendapatkan jawaban yang tak mampu dicernanya. 
 

Ada jeda yang cukup lama sebelum ayahku memutuskan untuk menjawab pertanyaan adikku. "Dedek mau jadi apa kalau sudah besar nanti? Itu cita-cita." 

 

"Kalau jadi ayah itu cita-cita?" 
 

Ayah tergelak lalu mencubit pipi adikku karena gemas. Aku? Tersenyum kecut. Aku tak berani bermimpi, karena mimpi itu mahal — dan ayah.. tak pernah memberikanku sesuatu yang mahal. 

 

"Kalau cita-cita kakak apa?" 

Aku menggeleng. Ayah hanya tersenyum memaklumi, lalu memberi petuah bahwa hidup harus punya tujuan agar bisa hidup lebih layak di masa depan dan tak berakhir seperti dirinya. Satu hal yang seharusnya ayah tahu, kalimat itu membuat ngilu sudut hatiku. Genap 12 tahun menjadikan aku lebih peka pada kehidupan kami yang serba kekurangan. Jauh dari dalam sanubari, aku adalah remaja yang ogah memasang ekspektasi muluk-muluk — mungkin ayah menyadarinya saat ia berujar, "Sebutkan satu cita-citamu pada Gemintang di atas sana, suatu hari ia akan menjadi nyata." 

 

Pandanganku lurus menatap manik mata ayah. Tak ada keraguan di sana. Namun bagaimana bintang yang cuma sebuah beda bisa mengabulkan permintaan? Sekalipun cuma takhayul, tapi nyatanya aku turut memejamkan mata lalu menyebutkan keinginan itu. Masalah akan menjadi nyata atau tidak, siapa peduli? Karena aku merasa lebih baik saat hatiku mau percaya pada harapan. Sekalipun aku pesimis harapan itu benar-benar terselip diantara satu dua pilihan hidup yang akan kubuat. Tapi lagi-lagi, runtutan penuturan bijaksana ayah mampu menguatkan keraguanku. 

Setelah cukup puas menikmati panorama malam bertemankan nyamuk, kami mulai kembali menyusuri jalan menuju rumah. Saat makan malam selesai dihidangkan, kepalaku kembali berputar pada kenangan beberapa jam yang lalu, terutama saat ayah mengaku ia tak ingin kami tumbuh menjadi sepertinya. Aku tahu makna kalimat itu, aku pun sangat tahu bahwa gubuk ini, tikar bolong-bolong yang kami duduki, atau piring plastik yang tak kusukai, bukan hal-hal yang ingin kutemui lagi di kemudian hari — kecuali Indomie dan semua rasanya — aku ingin terus merasakan kelezatannya sampai hari tua, sambil menikmati kemenangan yang ingin kugapai suatu hari nanti. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Semangkuk Indomie dan Kerinduan #CeritadanRasaIndomie
11
11
Dari atas langit sana, jutaan butiran kristal menghujani negri asing ini. Sungai-sungai dibekukan. Pepohonan hingga jalanan ditimbun dan diselimuti salju, tak terkecuali spot ikonik negri Jerman — The Bradernburg Gate — yang pesonanya luntur untuk sementara waktu.  Genap setahun aku meninggalkan tanah air untuk menempuh pendidikan di negri ini. Musim dinginnya lebih menusuk dibandingkan tahun lalu, mungkin karena rasa rindu yang tumbuh subur dipupuk oleh waktu. Oh, lebih dari itu, kini hatiku turut menuntut temu dengan mereka yang kurindu.  Mama, papa, adikku, teman-temanku, serta si Cuite Paw kucingku : semuanya masuk dalam daftar prioritas saat aku kembali menginjak bumi pertiwi nanti. Tapi sebelum itu aku masih harus menunggu, setidaknya sampai musim salju berlalu.  PANG!  Aku berseru kaget ulah sahabatku yang hobi membuatku “terkejut”.  Apaan, sih? Nggak ada kerjaan banget! Komplenku sambil mendelik ke arah manusia jahil di depanku.   Ya, sorry.. ucapnya. Masih tergelak. Puas karena sukses membuatku jantungan.   Lagian dari tadi bengong terus di jendela. Lakik Lo kawin lagi, bos?  Aku memilih mengacuhkan candaan gadis ekstrover yang kini sibuk unpacking barang belanjaan di pantry dapur apartemen kami. Mood-ku sudah terlampau anjlok sekedar menyambut gurauan Dara yang terlalu random.   Anya Dewi, Lo kalo ada masalah cerita, dong. Kali gue bisa bantu.    Nah, kalau sudah sampai menyebut nama lengkap berarti Dara mulai serius. Jika sudah begini, aku tak bisa terus bergeming.  Gue kangen Indonesia, Dar.  Semua tentang Indonesia, orang-orangnya dan juga makanannya. Aku menyesap secangkir teh hangat di tanganku sambil berjalan mendekat ke sahabatku — sekedar menonton aktivitasnya.  Segitu banget sampe lupa makan siang?   Wow. Aku memang tak menyadari pagi telah berlalu. Tanganku refleks menepuk jidat. Sedangkan Dara mengela nafasnya sambil menggeleng tak habis pikir. Tapi kabar baiknya, lupa makan siang sekali tak langsung mengundang malaikat pencabut nyawa, kan?   Oh, iya, gue hari ini mau ngajak Lo pulang. Ucap Dara terlihat antusias.   Pulang kemana? Indonesia? Kabur dari kuliah yang masih belum selesai atau gimana ini maksudnya? Alisku bertaut.   Ta-da!    Dara sampai melompat kecil bak model iklan, tangannya memegang sebungkus Indomie rasa soto spesial, serta wajahnya dibuat ceria ala-ala bocah innocent.   We're traveling back home within next three minutes, so sit down Miss Anya Dewi.   Anjesseyo..  Pecah! Aku tergelak tak percaya menatap tingkah teman seperjuanganku ini.   “Kita di Jerman, beb. Kenapa pake bahasa Korea? Nggak singkron Lo.” cecarku.   Hai! Arigato~ Dara nyengir lagi sambil memamerkan kemampuan multibahasanya yang - sejujurnya — masih belum melampaui level pemula. Aku hengkang ke meja makan, masih geli dengan tingkahnya barusan.   Saat dua mangkuk Indomie rasa soto spesial sukses dimasak dengan sempurna, aku langsung mengabadikan tampilan menggugah seleranya untuk dibagikan di sosial media.  Travelling back home, heaven cuisine by Dara Ananda.  Tulisku di kolom caption.   Dara memang punya bakat memasak, aku mengacungkan dua jempol, empat sekalian biar dia puas dan semakin giat memasak Indomie setiap hari kalau perlu. But that's it. Makanan terenak yang bisa kurasakan dari seorang Dara, sahabatku, adalah Indomie. Yang lain? Mungkin Dara butuh ekstra kesabaran karena sahabatku itu paling malas lama-lama di dapur. Menurutnya, memasak tak membuatnya merasa produktif dan mie instan adalah alternatif terbaik supaya waktu berharganya tak terkuras banyak saat lapar. Lebih detil lagi, kalau ditanya kenapa pilih Indomie? —  Nggak ada mie instan lain yang rasanya pas di lidah gue. Indomie udah yang paling perfect deh. Gue jamin. Apalagi yang soto spesial. Gue sanggup makan tiga bungkus sekali duduk. Jelasnya suatu ketika.   Nada notifikasi mulai dikeluarkan ponselku, namun celutukan Dara sukses menahanku kembali terpaku pada benda itu. Makan dulu, Beb. Kalo nggak laper boleh transfer ke perut gue aja deh.    Enak aja Lo! Timpalku tak terima. Tahu apa yang kurasakan di suapan pertama?  Rumah — itu yang sepintas lalu terbayang dalam benakku. Tak bermaksud melakonkis atau menye-menye, tapi sesendok kuah kaldu Indomie soto spesial memang mampu mencairkan kerinduanku. Mienya yang kenyal, bumbu yang kaya rempah, serta kehangatannya membuatku bergumam bahagia.   Ini bener-bener Indonesia.   Aargghh.. ini bukan Indonesia. Ini surga. Lo mau gue bantu? Kasian banget dari tadi belum habis.    Ups. Habis. Sorry.. kataku setelah menandaskan sisa kuahnya seketika.   “so sorry my today's chef, gue pelit.” Tambahku lagi, memantik gelak tawa kami. “Piring tugas Lo ya non. Gue cabut mau bobok.  Aku mengacungkan jempol. “Oke. Sekali lagi, ponselku membunyikan nada notifikasi. Aku segera mengecek ratusan komentar yang dituliskan teman-temanku, namun mataku berhenti di satu username yang sepertinya cukup familiar dengan komentar :  Cie kangen rumah ni ye???? Rasa penasaran akhirnya membuatku membuka profil username tersebut, kemudian dibuat sedikit ternganga kalau papa  sudah ikut-ikutan main Instagram. Papa yang paling anti sosial media sekarang ikut bergaya? Aku tergelak memandangi dua lembar foto yang di-posting di halaman akunnya. Hai~~ sapaku antusias ketika wajah bocah laki-laki yang beranjak ABG muncul di layar ponselku. Kami sedang terhubung melalui video call grup.  Ngapain sih vc? Sahut laki-laki ABG itu, datar seperti biasa.  Kakak!! pekik mama antusias saat ia sudah terhubung.  Terkahir disusul wajah papa, danVideo call grup kami kini sudah lengkap.  Ma, percaya nggak? Ternyata papa udah punya Ig, loh.  Udah lama kali. Sahut adikku, sedangkan yang lain menahan diri agar tak meledak dalam tawa.  Terus kakak makan apa tuh? Tanya papa dengan nada dibuat gemulai.  Yee.. papakan udah liat. Kakak makan Indomie.  Kangen rumah nih ye? Goda papa lagi, tentu masih dengan nada humorisnya.  Ayo tebak kak, ini mama, papa, sama adek kamu lagi makan apa?? Tambah mama.  Ayam. Pasti. Jawabku percaya diri mesti ngasal. Eits.. salah.. Terus apa, dong?  Ayok ma, dek, kasih pamer isi mangkuknya. Seru papa.  Mama, papa dan adikku —meski dengan tampang kuyu — menunjukkan isi mangkuk mereka ke kamera : Indomie!  Emang kamu aja yang kangen rumah, rumah juga kangen sama kakak. Tandas papa dengan nada bercanda sambil tangannya memamerkan plastik bungkusan indomienya,  which is my favorite flavour! — rasa soto special. Papa selalu punya cara unik untuk berekspresi. Kalau sudah begini, aku tak mampu menahan perasaan terharuku lagi. Aku sampai menengadah supaya air mata bahagiaku tak meluncur ke pipi. Jadilah sisa hari itu kuhabiskan dengan mereka, sampai saat kami saling melambai untuk kembali berpisah sementara, barulah aku menyadari ternyata ada satu lagi yang kurang : Cutie Paw, kok, nggak keliatan, ya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan