
Disepanjang jalan malam itu, aku kembali belajar berharap pada Gemintang yang bersinar terang di atas langit. Sudah kuputuskan, suatu hari nanti aku akan menikmati kemenangan itu bersama Indomie.
Karena ini, #ceritadanrasaindomie
Kata ayah, kilau gemintang di atas langit hanya tampak bagi mereka yang akan punya masa depan gemilang suatu hari nanti.
"Masa depan itu apa ayah?" Tanya adikku dengan lugu. Maklum, baru kelas satu.
Ayahku tampak kebingungan. Aku memilih diam karena malas mengajarkan anak kecil yang jelas-jelas tak akan paham. Toh, mungkin memang belum waktunya ia memahami makna "masa depan" itu. Angka-angka dan abjad saja ia belum bisa hafal dengan benar, buat apa pusing memahami frasa barusan?
Sepanjang jalan, kami bungkam. Kutebak, ayah masih mencoba mencari tatanan kalimat paling pas untuk menjelaskan makna "masa depan" kepada si bungsu kesayangannya. Kalau adikku, ia mungkin sedang berpikir keras, apakah ayah tak dengar? Atau marah karena sejak tadi kerjaanya cuma bicara saja? Dua-duanya tentu saja salah, membuatku ingin meledak dalam tawa saking ekspresi sedihnya begitu kentara — adikku mungkin merasa terabaikan.
"Adek.. kita beli Indomie dulu ya. Nanti ayah jelaskan apa arti masa depan."
Adikku mengangguk patuh dan girang saat jemari ayah mencolek pucuk hidungnya.
Kami baru saja tiba didepan mini market lengkap di kota kecil ini. Segala macam kebutuhan pangan ada di sini, tak terkecuali Indomie dengan semua varian rasa. Mau yang berkuah? Ada banyak pilihannya — soto,kah? Kari,kah? — atau suka yang goreng-goreng? Indomie goreng Aceh hingga varian rasa baru Hype abis — yang kini menjadi peringkat satu di hatiku. Semuanya.. lengkap! Itulah mengapa aku sampai berjingkrak kesenangan saat motor Supra ayah berhenti tepat di depan mini market ini.
Aku segera menyusuri rak khusus mie instan, mematung beberapa detik dan akhirnya kuputuskan untuk memilih Indomie Hype abis sebayak tiga biji.
"Wah, kakak suka yang pedas-pedas, ya. Yakin abis, kak?" Goda ayahku.
"Habis. Janji." Jawabku disertai cekikikan euforia khas bocah ingusan — begitu mungkin arti tatapan ayah barusan. bisa kumaknai sebagai di umur dua belas tahun delapan puluh hari.
Oh, iya, tahu tidak? Di keluargaku tak ada yang namanya merayakan ulang tahun, kado, kue, lilin atau semacamnya. Tidak ada. Tapi setiap kali aku genap tambah usia ayah selalu memberiku kebebasan dan perlakuan spesial. Contohnya, aku diizinkan libur kalau sedang malas bangun keesokan hari, dibiarkan menikmati porsi makan malam lebih banyak dari pada yang lain, dibelikan apa yang sedang lidahku ingin cicipi. Perlakuan spesial itu selalu mampu meninju KO rasa ingin komplenku tentang :
Kenapa ulang tahunku tak sama seperti anak-anak lainnya?!
Malam ini, 3 bungkus Indomie favoritku saja sudah cukup. Aku tak bisa menyembunyikan seburat senyum yang mungkin akan dipaku atau dialteko di wajahku sampai pagi. Aku bahagia sekali! Sangat! Aku bersumpah! Terima kasih ayah!
"Ayah, adek juga ambil tiga, ya!" Seru adikku kegirangan, namun dengan lembut ayahku mengurangi satu bungkus Indomie dari genggamannya. Ia memberengut, tapi masih tampak lucu dan menggemaskan.
Usai berbelanja Indomie ayah membawa kami jalan-jalan, memutari waduk lalu tambang udang, pemandangan kerlip lampu di tengah pekatnya malam tampak menakjubkan bagi aku dan adikku.
"Waahhh.." serunya tak bisa memalingkan wajahnya sama sekali.
“Ayah, bisa kita berhenti sebentar?”
Motor Supra ayah berhenti. "Tentu." Jawab ayahku.
Kami nongkrong bertiga memandangi tambang udang yang menyatu dengan malam. Tumpahan gemintang di langit sana, lampu-lampu yang tampak seolah melayang di atas permukaan air kolam tambang, serta kedamaian yang menentramkan pikiran, semua ini pastilah kenikmatan tersendiri bagi ayahku yang setiap hari berjuang mencari nafkah sebagai nelayan.
Sebuah senyum melengkung di wajah ayah dan segera menular padaku.
"Bagus ya, yah! Yang itu bintangnya dedek!" Ujar adikku kegirangan.
Ayah menoleh padaku. "Kakak yang itu."
"Ayah yang ditengah saja." Ucapnya kemudian sambil mengusap pucuk kepalaku dan adikku.
"Jadi ayah, apa artinya masa depan?" Ungkit adikku lagi, membuat ayah garuk-garuk kepala karena kebingungan.
"Masa depan itu.. harapan. Iya, harapan."
"Harapan itu apa?"
"Harapan itu.. cita-cita!"
Alis adikku bertaut. "Cita-cita itu apa?" Kali ini ia menanyakannya dengan raut bersungut seolah tak puas dan kesal karena melulu mendapatkan jawaban yang tak mampu dicernanya.
Ada jeda yang cukup lama sebelum ayahku memutuskan untuk menjawab pertanyaan adikku. "Dedek mau jadi apa kalau sudah besar nanti? Itu cita-cita."
"Kalau jadi ayah itu cita-cita?"
Ayah tergelak lalu mencubit pipi adikku karena gemas. Aku? Tersenyum kecut. Aku tak berani bermimpi, karena mimpi itu mahal — dan ayah.. tak pernah memberikanku sesuatu yang mahal.
"Kalau cita-cita kakak apa?"
Aku menggeleng. Ayah hanya tersenyum memaklumi, lalu memberi petuah bahwa hidup harus punya tujuan agar bisa hidup lebih layak di masa depan dan tak berakhir seperti dirinya. Satu hal yang seharusnya ayah tahu, kalimat itu membuat ngilu sudut hatiku. Genap 12 tahun menjadikan aku lebih peka pada kehidupan kami yang serba kekurangan. Jauh dari dalam sanubari, aku adalah remaja yang ogah memasang ekspektasi muluk-muluk — mungkin ayah menyadarinya saat ia berujar, "Sebutkan satu cita-citamu pada Gemintang di atas sana, suatu hari ia akan menjadi nyata."
Pandanganku lurus menatap manik mata ayah. Tak ada keraguan di sana. Namun bagaimana bintang yang cuma sebuah beda bisa mengabulkan permintaan? Sekalipun cuma takhayul, tapi nyatanya aku turut memejamkan mata lalu menyebutkan keinginan itu. Masalah akan menjadi nyata atau tidak, siapa peduli? Karena aku merasa lebih baik saat hatiku mau percaya pada harapan. Sekalipun aku pesimis harapan itu benar-benar terselip diantara satu dua pilihan hidup yang akan kubuat. Tapi lagi-lagi, runtutan penuturan bijaksana ayah mampu menguatkan keraguanku.
Setelah cukup puas menikmati panorama malam bertemankan nyamuk, kami mulai kembali menyusuri jalan menuju rumah. Saat makan malam selesai dihidangkan, kepalaku kembali berputar pada kenangan beberapa jam yang lalu, terutama saat ayah mengaku ia tak ingin kami tumbuh menjadi sepertinya. Aku tahu makna kalimat itu, aku pun sangat tahu bahwa gubuk ini, tikar bolong-bolong yang kami duduki, atau piring plastik yang tak kusukai, bukan hal-hal yang ingin kutemui lagi di kemudian hari — kecuali Indomie dan semua rasanya — aku ingin terus merasakan kelezatannya sampai hari tua, sambil menikmati kemenangan yang ingin kugapai suatu hari nanti.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
