
Karya ini berisi bab 11-20 cerita dari novel Dinikahi Profesor Galak.
Selamat membaca.
See u,
JM.
Bab 11
Selalu tak Terduga
Uhuk! Uhuk!
Intan langsung tersedak setelah mendengar ucapan Zein. Mereka memang sudah dijodohkan. Namun, jangankan pernikahan, pertunangan saja belum dibahas.
"Lho, kenapa, Tan? Hati-hati makannya!" ucap Dimas, tanpa dosa. Ia belum tahu bahwa Intan adalah calon istri Zein.
Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya saat melihat reaksi Intan setelah mendengar ucapannya barusan. Ia senang menggoda Intan seperti itu. ‘Pasti kamu senang karena pernikahan kita akan segera terlaksana, kan?’ batin Zein. Ia selalu over percaya diri.
Intan pun segera mengambil air mineral dan meneguknya. "Gak apa-apa, Dok," jawab Intan setelah tenggorokkannya kembali netral. Namun wajahnya terlihat merah padam.
"Makannya pelan-pelan, Tan! Tenang aja, kalau gak lagi kerja, Zein gak galak, kok," canda Dimas. Ia dapat menebak bahwa Intan gugup karena ada Zein di hadapannya.
Zein tersenyum setelah mendengar ucapan Dimas barusan. Ia merasa lucu karena Dimas tidak tahu justru ucapan Zein yang membuat Intan tersedak.
"Oh iya, lo kok gak bilang-bilang kalau mau nikah, sih?" tanya Dimas lagi. Ia kembali fokus dengan pembicaraan mereka. Sebab Dimas sangat penasaran mengapa Zein tiba-tiba akan menikah.
"Rencananya cukup mendadak, Dim. Gue juga belum ada persiapan. Lagi pula belum tau nanti pernikahannya mau kayak gimana. Siapa tau calon istri gue gak mau ada resepsi. Atau justru pingin resepsi besar-besaran. Jadi gue belum bisa bilang-bilang dulu," jelas Zein. Padahal secara tidak langsung ia sudah memberi tahu Dimas.
Ucapan Zein barusan pun merupakan kode untuk Intan.
"Hahaha, gak bilang-bilang. Terus ini apa? Bikin penasaran aja, deh. Kira-kira cewek mana yang khilaf sampai mau jadi istri lo, ya?" ledek Dimas. Ia meledek seperti itu karena Zein selalu galak dan dingin pada wanita.
Sontak saja Intan terkekeh. 'Hihihi, bener banget. Kalau bukan terpaksa, mungkin cuma karena khilaf aku mau nikah sama dia,' batin Intan.
"Kamu kenapa? Kayaknya seneng banget lihat saya diledek seperti itu?" tanya Zein pada Intan. Ia kesal karena Intan seolah mendukung Dimas.
Intan berusaha menahan tawanya. Kemudian ia pun menggelengkan kepala. "Enggak, Prof. Maaf," jawabnya. Lalu Intan kembali melanjutkan makannya.
"Lo jangan galak-galak napa, sih? Gimana gak dapet julukan Profesor Galak, coba? Kasihan itu Intan lagi makan jadi gak nyaman," tegur Dimas. Ia selalu kesal jika Zein galak pada juniornya.
"Gue kan cuma nanya," sahut Zein, santai.
"Tapi pertanyaan lo bikin dia takut. Heran gue, untung aja lo udah laku. Kalau enggak, pasti gue bilang 'gimana lo mau laku'," ucap Dimas, kesal.
Zein tersenyum sambil memutar-mutar ponsel yang ada di tangannya dan matanya tak beralih dari Intan.
'Gak kebayang gimana reaksi dokter Dimas kalau tau aku yang jadi ... ah, nyebutnya aja males,' batin Intan.
Intan bergegas menyelesaikan makannya. Kemudian ia pun pamit pada mereka. "Dok-Prof, saya duluan. Permisi," ucap Intan sambil beranjak.
"Oke, silakan," sahut Dimas. Sementara Zein tidak menjawabnya.
"Lo tuh, baik dikit kek sama anak didik. Orang pamit, dijawab juga enggak," ucap Dimas.
"Nanti juga ketemu lagi di ruangan operasi," sahut Zein. Kemudian ia melihat jam tangannya. "Ya udah, gue mau operasi dulu," ucapnya, sambil menepuk bahu Dimas. Lalu ia pergi begitu saja.
"Dih! Dasar, ya. Udah bikin Intan pergi, terus sekarang dia juga pergi. Gak sopan banget. Gue sendirian lagi, dong," keluh Dimas.
Dia tidak tahu bahwa tadi Zein duduk di sebelahnya hanya karena ada Intan.
Beberapa saat kemudian, mereka pun sudah berada di ruang operasi.
"Duh, penyakit banget, nih. Kalau abis makan suka ngantuk. Tapi kalau gak makan, takut kelaparan," gumam Intan saat sedang mencuci tangan sebelum masuk ke ruangan operasi.
"Kalau ngantuk tidur aja!" sahut Zein yang tiba-tiba ada di samping Intan dan mencuci tangan.
Lagi-lagi Intan dibuat terkejut olehnya.
"Euh, enggak, Prof," sahut Intan, gugup. Kemudian ia pura-pura menggosokkan tangannya lagi.
"Tolong fokus saat di dalam," ucap Zein. Kemudian ia mematikan kran dengan kakinya. Lalu ia meninggalkan Intan begitu saja.
"Baik, Prof," sahut Intan, pelan.
Kebetulan hari ini adalah operasi ringan. Sehingga Intan bisa turun tangan dan mendapat tugas dalam operasi tersebut.
Awalnya Zein tidak ingin memberi tugas pada Intan. Namun, mengingat minggu ini adalah minggu terakhir Intan. Akhirnya Zein memberi andil untuk Intan.
Saat operasi berjalan, Intan ditugaskan untuk menjadi asisten Zein dan berdiri di sampingnya.
Meski sudah cukup sering ikut operasi. Namun Intan sangat gugup ketika harus menjadi asisten. Apalagi saat ini yang memimpin operasi adalah Zein.
Bagi para dokter muda. Bisa ikut operasi merupakan sebuah kebahagiaan. Sebab, tidak semua dokter muda sering mendapatkan kesempatan diajak untuk ikut operasi. Apalagi sesering Intan.
Ditambah adanya dokter residen yang juga ingin praktek langsung di ruangan operasi. Mereka kesal sekaligus iri saat melihat Intan mendapat kesempatan seperti itu.
Sebelum dimulai, Zein memimpin doa lebih dulu. Kemudian saat ia mengatakan mulai pun dokter anastesi mulai melakukan tugasnya untuk membius pasien.
Zein pun menadahkan tangannya pada Intan. "Mess!" ucapnya.
Dengan gugup, Intan memberikan pisau bedah pada Zein.
Zein pun menerimanya, kemudian mulai membedah pasien tersebut.
Intan memerhatikan Zein yang sedang fokus melakukan pembedahan. Ia bahkan mengelap keringatnya sesekali.
Dalam kondisi seperti itu, Zein terlihat begitu mempesona bagi Intan. Ia sangat cekatan dan jenius. Seolah bisa melakukannya meski dalam kondisi mata tertutup.
'Fokus, Intan! Jangan sampai tergoda hanya karena hal ini. Ingat, dia itu killer,' batin Intan. Ia berusaha menyadarkan dirinya agar tidak terbawa suasana.
Beberapa jam kemudian, Zein pun sudah menyelesaikan operasinya. "Kamu yang jahit!" ucap Zein.
Intan terperanjat. Selama ini Zein sangat jarang membiarkan dokter muda untuk menjahit luka pasien dalam operasi. Sehingga ia merasa sedang diuji oleh Zein.
"Saya, Prof?" tanyanya, ragu.
"Iya kamu. Memang kamu pikir saya sedang bicara dengan siapa?" sahut Zein. Seperti biasa, ucapannya sedikit ketus.
"B-baik, Prof," sahut Intan, gugup.
"Kalau dokter Intan belum siap. Biar saya saja, Prof," ucap dokter residen yang juga ikut operasi. Ia memanfaatkan momen itu agar bisa mengambil alih tugas Intan.
"Saya minta Intan yang jahit. Bukan kamu!" skak Zein.
Akhirnya dokter itu pun terdiam. 'Sialan si Intan. Apa sih hebatnya dia sampai bisa ngalahin aku?' batin dokter wanita yang cantik tersebut.
Akhirnya Intan pun mulai mengambil peralatan dan menjahit.
Jika biasanya Zein langsung pergi. Kali ini ia masih stand by di ruangan tersebut. Sebab, Zein harus memantau Intan agar tidak ada kesalahan.
"Jangan tegang! Santai saja," ucap Zein.
Bagaimana Intan tidak tegang. Keberadaannya saja sudah sangat mengintimidasinya.
Tangan Intan terlihat gemetar saat menarik benang. Zein yang gemas melihatnya pun turun tangan.
"Bukan begitu!" ucapnya. Kemudian ia berdiri di belakang Intan dan mengukungnya. Kemudian ia memegangi kedua tangan Intan dari belakang. Sehingga posisi Zein saat ini seolah sedang memeluk Intan dari belakang. Terlebih kala Zein mendekatkan wajahnya ke telinga Intan.
***
Bab 12
Selalu ada Kejutan
Deg!
Tubuh Intan membeku kala Zein mengukungnya dari belakang. Apalagi saat ini tangannya sedang digenggam oleh Zein.
Bukan hanya Intan. Seluruh orang yang ada di ruangan tersebut pun sangat terkejut. Ini kali pertama mereka melihat Zein seperti itu. Bahkan selama ini Zein seolah tak pernah ingin disentuh oleh orang lain.
"Lemaskan tangannya! Jangan kaku," ucap Zein di telinga Intan. Intan bahkan dapat merasakan embusan napas hangat profesor itu.
Napas Intan pun tercekat dibuatnya. Aroma tubuh Zein menguar hingga ke hidungnya. Membuat Intan semakin tidak fokus. Ia pun hanya menjawab ucapan Zein dengan anggukkan.
Akhirnya Intan berusaha melemaskan tangannya. Meskipun sebenarnya saat ini yang lemas adalah lututnya.
"Ini ke sini, lalu tarik ke sini," ucap Zein. Kemudian ia menarik benang setelah mengaitkannya. Tangan Intan pun ikut terangkat kala Zein menarik benangnya.
"Tolong ingat ini baik-baik! Minggu depan kamu sudah tidak di sini lagi," ucap Zein sambil sedikit menoleh ke arah Intan. Sehingga bibirnya hampir menyentuh pipi Intan.
"I-iya, Prof," sahut Intan. Tubuhnya kaku dan tidak berani menoleh. Sebab, menoleh sedikit saja, ia yakin bibir Zein akan mendarat di pipi atau bahkan bibirnya.
"Oke, coba kamu lanjut," ucap Zein. Kemudian ia melepas tangan Intan. Namun Zein masih berdiri di belakangnya. Seolah tidak ingin beralih dari tempat itu.
Intan pun melakukan apa yang telah Zein perintahkan.
"Ya, betul ... oke. Lanjutkan!" ucap Zein. Seolah di ruangan itu hanya ada mereka berdua.
Zein sengaja tidak beralih karena ia siap 'membantu' Intan lagi jika ada kesalahan.
Namun sayangnya Intan cukup lancar. Sehingga Zein tidak ada alasan untuk membantunya lagi.
"Apa kamu bisa membuat simpul?" tanya Zein saat Intan telah menyelesaikan jahitan terakhir.
"InsyaaAllah bisa, prof," sahut Intan.
Ia pun berusaha membuat simpul sekecil mungkin. Zein memerhatikannya dengan seksama, dan sayangnya Intan berhasil. Akhirnya Zein pun terpaksa beralih dari tempat itu.
"Saya tunggu di ruangan," ucap Zein sambil meninggalkan ruangan operasi.
"Huuh! Akhirnya ...," ucap Intan, bernapas lega.
Namun, saat ia menoleh, Intan mendapat tatapan sinis dari dokter residen yang sejak tadi kesal padanya.
"Hebat ya, masih koas udah bisa jahit," sindir dokter tersebut.
"Tapi lebih hebat lagi diajari langsung sama Prof Zein," timpal seorang perawat.
Intan tersenyum getir. Ia tidak pernah meminta hal itu. Namun dirinya yang justru disudutkan oleh mereka.
Ia pun tidak mengatakan apa-apa. Akhirnya Intan keluar dari ruangan tersebut karena merasa tugasnya sudah selesai.
"Alhamdulillah di hari-hari terakhir aku masih bisa dapat ilmu yang bermanfaat," gumam Intan.
"Plus dapat perhatian khsusu dari Prof," ucap dokter residen. Kemudian ia mendahului Intan.
Intan hanya memicingkan matanya. "Duh, susah emang kalau orang iri. Padahal aku gak ngapa-ngapain. Tetep aja disalahin," gumam Intan, pelan.
"Hehehe, maklum aja, Dok. Dia juga kan pingin praktek. Tapi malah dokter Intan yang dapet kesempatan," ucap salah satu perawat.
Intan terperanjat. "Eh, Suster ngagetin aja, deh," keluh Intan sambil mengelus dadanya. Ia khawatir ada orang yang tidak suka padanya, mendengar ucapannya.
"Udah, mendingan ke ruangan Prof, gih. Nanti dimarahin lho kalau kelamaan," ucap suster itu.
"Oh iya, aku lupa. Ya udah aku duluan," ucap Intan. Ia pun bergegas menuju ruangan Zein.
Suster itu senyum sendiri melihat kelakuan Intan. Ia tahu betul selama ini Intan dan Zein kurang akur. Sehingga ia senang ketika sikap Zein lebih melunak kepada Intan.
"Ya ampun, dia mau bikin aku kerja rodi apa gimana, sih?" gumam Intan sambil berlari ke ruangan Zein.
Saat itu kebetulan hari sudah sore.
Tuk! Tuk! Tuk!
Intan mengetuk pintu Zein.
"Masuk!" ucap Zein.
Intan pun membuka pintunya. "Sore, Prof," sapanya. Seolah mereka baru saja bertemu.
"Kamu bawa motor?" tanya Zein saat Intan sudah berada di ruangannya.
"Bawa, Prof," jawabnya, kikuk. Ia heran karena tidak biasanya Zein menanyakan hal seperti itu.
"Oke, kalau begitu motornya ditinggal saja! Kamu pulang ikut saya," ucap Zein sambil merapihkan mejanya. Ia tidak ingin dianggap mengantar Intan. Sehingga mengatakan Intan ikut dirinya pulang.
Intan terperanjat. "Gak usah, Prof. Saya bisa pulang sendiri," ucap Intan, gugup.
Zein yang sedang sibuk pun melirik ke arahnya. "Ada yang ingin saya bicarakan," ucapnya sambil menatap Intan.
Intan pun salah tingkah. "Oh ... maaf. Tapi gimana dengan motor saya?" tanya Intan.
"Tinggal saja! Besok kamu saya jemput," jawab Zein, santai.
"Bukan, Prof. Maksudnya bukan begitu. Saya bisa berangkat sendiri naik ojek. Tapi, apa aman jika motor saya ditinggal di sini?" Intan sangat bingung menghadapi pria yang sikapnya berubah-ubah tidak jelas itu.
"Tentu saja aman. Bukankan banyak keluarga pasien yang bermalam di sini?"
Akhirnya Intan pun tidak bisa mengelak lagi. "Baiklah kalau begitu. Saya ambil tas dulu," ucap Intan.
"Oke, saya tunggu di parkiran," jawab Zein.
Intan pun pamit dan meninggalkan ruangan Zein dengan penuh kebingungan.
'Duh, gimana ini? Pasti bakalan canggung banget satu mobil sama dia,' batin Intan sambil berjalan menuju ke ruangannya. Belum apa-apa, Intan sudah nervous. Ia bingung apa yang harus ia lakukan ketika sedang berada di mobil Zein nanti.
Intan pun bergegas agar Zein tidak menunggu dan memarahinya lagi.
Beberapa saat kemudian, Intan sudah tiba di parkiran. Ia pun menuju mobil Zein yang sudah terlihat menyala itu.
"Huuh! Ada di satu ruangan yang lumayan besar aja aku grogi dan takut. Apalagi ini cuma di mobil, berdua pula," gumam Intan. Kemudian ia mengatur napas sebelum masuk ke mobil Zein dan mengetuk pintunya.
Setelah Intan mengetuk pintu, Zein membuka kunci pintu mobilnya.
Klek!
Intan yang mendengar pun menarik handle pintu dan masuk ke mobil tersebut.
"Sore, Prof," sapa Intan.
Zein menyeringai. "Sore ini kamu sudah berapa kali menyapa saya?" tanyanya. Ia merasa Intan sangat lucu karena selalu menyapanya setiap kali bertemu. Padahal baru beberapa menit yang lalu Intan menyapanya di ruangan Zein.
"Maaf, Prof," sahut Intan. Ia sangat gugup.
Zein tidak langsung melajukan kendaraannya. Ia malah menatap Intan.
Intan pun semakin salah tingkah. 'Duh, dia kenapa pake natap kayak gitu, sih? Apa ada yang salah, ya?' batin Intan.
"Mau pasang sendiri sapa saya pasangkan?" tanya Zein.
"Heuh?" Intan tidak paham.
"Seatbelt," sahut Zein.
"Oooh, pasang sendiri, Prof," jawab Intan.
Ia langsung memalingkan wajah dan menarik seat belt-nya. 'Ahhh, aku malu banget ya ampun ... kirain kenapa dia natap aku,' batin Intan. Rasanya ia ingin menghilang dari pandangan Zein.
Saking gugupnya, Intan sampai tidak bisa menyantukan kunci seat belt tersebut. Hingga melesat beberapa kali.
"Gimana sih. Masang seat belt aja gak bisa. Kalau mau dipakaikan, bilang aja!" ucap Zein sambil mengambil kepala seat belt yang ada di tangan Intan dan memasangkannya.
Klek!
Intan memundurkan tubuhnya sebisa mungkin agar tidak tersentuh oleh Zein.
"Oke, kita makan malam dulu. Saya mau bahas pernikahan," ucap Zein setelah memasang seat belt. kemudian ia langsung melajukan mobilnya tanpa dosa.
***
Bab 13
Calon Suami Sialan
Intan terkesiap saat mendengar Zein mengatakan bahwa pria itu akan membahas pernikahan dengannya. Ia sangat ingin protes. Namun Intan tidak berani melakukan hal itu.
Sebab, tinggal beberapa hari lagi ia selesai koas. Intan khawatir jika dirinya terlalu menentang Zein, maka pria itu akan mempersulitnya atau mungkin memberikan nilai buruk padanya.
Akan tetapi, ia tidak tenang jika hanya diam. Sebab, menurutnya ada yang salah jika mereka benar-benar menikah dalam waktu dekat.
‘Pernikahan apaan, sih? Lamaran aja belum. Tiba-tiba bahas pernikahan. Helo … emang siapa yang mau nikah sama situ?’ batin Intan, kesal.
"M-maaf, Prof. Maksudnya mau bahas pernikahan siapa, ya?" tanya Intan. Sebenarnya pertanyaan itu merupakan sindiran untuk Zein.
"Menurut kamu? Apa saya punya waktu untuk membahas pernikahan orang lain?" skak Zein. Ia kesal karena Intan pura-pura tidak paham.
'Hah? Ni orang waras gak, sih? Masa mau bahas pernikahan kayak orang mau ngajak berantem? Ya Tuhan, seandainya dia bukan konsulen aku, udah pasti aku tolak mentah-mentah,' batin Intan sambil mengepalkan tangannya, kesal.
"Maaf, Prof. Maksud saya, sebelumnya kan kita belum pernah membahas mengenai hal ini. Bahkan Prof pun belum pernah melamar saya. Apa tidak aneh jika tiba-tiba membahas pernikahan?" tanya Intan lagi. Ia memberanikan diri karena sudah terlalu kesal pada pria itu.
Zein menoleh ke arah Intan. "Kamu mau dilamar secara romantis dengan candle light dinner dan sebagainya?" tanyanya. Namun pertanyaan itu terdengar seperti ancaman bagi Intan.
Intan langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, bukan begitu, Prof. M-maksud saya ...." Intan jadi bingung bagaimana cara menjelaskan pada Zein. Sebab, apa pun yang ia katakan seolah selalu salah di mata Zein.
'Duh, gini amat, sih? Kenapa dia kayak orang gak punya hati begitu. Tapi kenapa juga dia mau nikah sama aku,' batin Intan, kesal.
"Apa?" tanya Zein, menunggu kelanjutan ucapan Intan.
"Maksudnya ... apa harus sampai menikah? Kalau saya gak salah, kemarin itu kan hanya wacana perjodohan dan setelah itu belum ada pembahasan lagi. Saya pikir akan dibatalkan," ucap Intan, ragu.
‘Bodo ah ngamuk juga. Udah kepalang basah,’ batin Intan. Ia sudah pasrah jika Zein marah padanya lagi.
Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. "Kalau kamu mau menolak, to the point saja! Tidak usah basa basi," ucap Zein. Ia cukup cerdas untuk memahami maksud Intan.
Intan menelan saliva. Mana mungkin dia berani menolak. Taruhannya adalah pendidikan serta karirnya.
"Bukan begitu, Prof. Selama ini saya sangat menghargai dan menghormati Prof sebagai konsulen saya. Rasanya saya tidak pantas jika harus mendampingi Prof. Masih banyak wanita lain yang lebih pantas dari saya," ucap Intan sambil menunduk.
Ia menjadikan alasan itu agar Zein tidak menyudutkannya lagi. 'Semoga kali ini aku gak salah ngomong ... duh, ini lebih menakutkan dari pada operasi tadi,' batin Intan.
"Kalau begitu silakan kamu bilang ke orang tua kita! Kan mereka yang ingin kita menikah," jawab Zein. Seolah ia tidak menginginkan pernikahan itu.
Intan menarik napas dalam. Ucapan Zein membuatnya sesak. Secara tidak langsung Zein mengatakan bahwa dirinya mau menikahi Intan hanya karena permintaan orang tua mereka.
"Kenapa harus saya, Prof? Bukankah Prof lebih memiliki power? Saya kan bukan siapa-siapa. Mana berani saya mengatakan hal itu pada mereka?" tanya Intan. Saat ini pikirannya sedang kalut. Sehingga Intan mengatakan apa pun yang ada di pikirannya.
"Kamu bilang kamu menghargai dan menghormati saya. Tapi kamu berani mengatakan hal itu pada saya. Jadi apa salahnya kamu mengatakan hal yang sama pada mereka?" skak Zein lagi.
Ia tahu Intan tidak mungkin berani mengatakan hal itu pada orang tuanya. Sehingga Zein menantang Intan seperti itu.
Intan berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. Ia sangat emosi karena Zein seolah sangat tidak peduli dengan perasaannya.
“Saya cukup sadar diri untuk tidak menentang perjodohan ini, Prof,” lirih Intan.
"Saya banyak urusan, jadi tidak ada waktu untuk berdebat mengenai masalah ini. Jika kamu ingin lanjut, kita bahas sekarang. Jika tidak, silakan kamu bicara pada mereka!" tantang Zein. Ia semakin berani karena melihat Intan ketakutan.
Intan menggigit bibir bawahnya. 'Dasar Profesor gila sialan! Sengaja banget dia neken aku kayak gini. Aku yakin dia mau nikah sama aku karena dia gak sempet nyari istri dan aku hanya akan dijadikan patung pelengkap di rumahnya nanti,' batin Intan, kesal.
Ia merasa dirinya hanya dijadikan pelengkap oleh Zein. Sebab Zein malas mencari wanita yang bisa dijadikan istri sungguhan.
Dilihat dari sisi mana pun, Intan yakin Zein tidak mungkin mencintainya. Sebab, sejak awal koas pun hubungan mereka tidak pernah baik.
Bukan tanpa sebab Intan berpikiran seperti itu. Ia sering membaca novel atau menonton film, di mana seorang pria menikahi wanita yang tidak dicintai hanya karena untuk melengkapi kehidupannya. Agar tidak ada yang bertanya kapan nikah lagi. Serta mudah diatur karena posisi Intan adalah bawahannya.
Akhirnya sepanjang jalan mereka bergeming.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di depan restoran. "Gimana, mau dilanjut atau batal?" tanya Zein. Ia seolah tak peduli meski Intan membatalkan rencana pernikahan mereka. Padahal Zein berharap Intan mau melanjutkannya.
"Lanjut," jawab Intan, lemas.
"Oke, ayo turun!" ajak Zein. Hatinya senang karena jawaban Intan sesuai harapannya. Namun sikapnya masih tetap cool.
Huuh!
Intan pun menghela napas sebelum turun dari mobil. Kemudian ia membuka pintu, turun dan menutup pintunya kembali. Setelah itu ia menyusul Zein yang sudah lebih dulu masuk ke resto tersebut.
"Calon suami macam apa yang kayak gitu? Boro-boro bukain pintu, masuk aja aku gak ditungguin." Intan menggerutu sambil berjalan masuk ke restoran tersebut.
Saat Intan baru tiba di samping Zein, pria itu langsung jalan masuk tanpa mengajaknya. Ia yakin Intan akan membuntutinya.
Intan memang membuntutinya. Namun hatinya dongkol karena merasa tidak dianggap.
Setelah tiba di meja yang ditunjukkan oleh pelayan, mereka pun duduk berhadapan. Kemudian pelayan memberikan buku menu pada Intan dan Zein.
Zein melihat-lihat menu yang ada di buku tersebut. Kemudian ia memesan beberapa makanan serta minuman yang ia inginkan.
Setelah itu, ia bertanya pada Intan. "Kamu mau makan apa?" tanya Zein.
'Duh, aku mana bisa makan di hadapan dia? Nanti yang ada makanan baru datang, aku udah disuruh udahan pula,' batin Intan.
"Saya minum aja," jawab Intan.
"Mau minum apa?" tanya Zein lagi. Ia tidak ingin berdebat untuk masalah itu. Toh tujuannya mengajak Intan ke sana memang untuk membahas pernikahan. Bukan hanya untuk makan.
Intan pun menunjuk gambar minuman yang ingin ia pesan.
"Istri saya pesan iced pure cocoa," ucap Zein pada pelayan.
***
Bab 14
Karena Orang Tua
Jantung Intan terasa seperti hampir meledak saat Zein mengatakan bahwa ia adalah istrinya. Meski Zein menyebalkan. Namun sebagai seorang gadis, disebut istri oleh pria, membuat Intan sangat nervous.
Intan memalingkan wajah karena khawatir Zein melihat wajahnya merona dan hidungnya kembang kempis karena hampir kehabisan oksigen. ‘Kenapa dia harus ngomong begitu, sih? Kan aku jadi malu,’ batin Intan.
Zein tersenyum kala melirik ke arah Intan. Ia sangat puas telah mengusili Intan seperti itu. Zein memang sengaja mengatakan bahwa Intan adalah istrinya. Ia hanya ingin tahu bagaimana reaksi gadis itu. Ternyata sangat menyenangkan melihat Intan malu.
"Sudah cukup. Itu saja," ucap Zein pada pelayan.
Akhirnya pelayan pun pergi dan menyiapkan pesanan mereka.
Ehem!
Zein berdehem. "Apa kamu punya permintaan khusus untuk pernikahan nanti?" tembak Zein. Ia seperti bom yang siap meledak kapan saja. Ucapannya selalu membuat Intan terkejut.
Intan terkesiap. "Maaf, memangnya Om dan Tante (orang tua Zein) setuju jika menikah dalam waktu dekat?" tanya Intan. Sampai saat ini, napas Intan masih terasa sesak.
"Mereka justru senang jika pernikahannya dipercepat," sahut Zein sambil menatap Intan. Padahal ia sendiri belum mengatakan keinginannya itu pada orang tuanya.
Ditatap seperti itu, Intan pun langsung mengalihkan pandangannya. "Tapi kan kuliah saya belum selesai, Prof," ucap Intan.
"Kamu hampir selesai koas. Setelah itu ujian dan magang. Apa susahnya?" tanya Zein, santai.
'Apa susahnya dia bilang? Oh iya aku lupa, dia kan profesor, ya iyalah gak susah. Sementara aku? Kuliah S1 aja rasanya hampir semaput,' batin Intan sambil meremas celananya karena terlalu kesal pada Zein.
"Memangnya Prof tidak keberatan jika setelah menikah saya harus magang ke luar kota? Kan kita sama-sama tahu, magang kedokteran itu bisa dikirim ke mana saja," tanya Intan.
Ia tidak tahu, justru karena hal itu Zein ingin segera mengikatnya sebelum Intan pergi magang. Sebab, sebelumnya ia sudah terlanjur meminta pihak terkait untuk mengirim Intan ke perbatasan yang cukup jauh.
Zein sendiri tidak mungkin membatalkannya karena terlalu gengsi. Sementara permintaannya disetujui karena ia cukup mempunyai power.
"Tidak masalah. Saya sudah biasa hidup mandiri. Ada atau tanpa ada kamu, sama saja," jawab Zein, santai. Sambil bersandar pada kursi. Ia bahkan memutar-mutar ponsel yang sedang ia pegang.
Intan menelan saliva. "Kalau begitu untuk apa Anda menikah? Kan sudah biasa mandiri? Sepertinya Anda sudah tidak butuh pendamping lagi," tanya Intan, nekat. Ia kesal atas jawaban Zein barusan.
‘Sialan! Ngapain mau buru-buru nikah kalau emang biasa mandiri. Dasar bajingan!’ Intan mengumpat dalam hatinya.
"Kan kamu tau, saya menikahi kamu karena permintaan orang tua," sahut Zein lagi. Ia tidak pernah kehabisan jawaban. Meski sebenarnya itu hanya omong kosong.
Intan sulit berkata-kata menghadapi pria egois seperti Zein. Rasanya ia ingin menyiram air ke wajah pria itu. Namun Intan tetap berusaha menahan diri agar tidak semakin terpancing emosinya.
"Oke, kalau begitu saya cuma mau minta satu hal," ucapnya, yakin.
"Apa?" Zein bertanya lagi..
"Saya hanya ingin pernikahan sederhana tanpa resepsi dan tidak perlu mengundang orang banyak. Bila perlu pernikahan ini dirahasiakan." Intan mengatakan hal itu sambil menahan napas. Sebab ia merasa sangat tertekan dengan tatapan Zein.
Ehem!
Zein tercekat kala Intan meminta bahwa pernikahan mereka harus dirahasiakan. Ia bahkan melepaskan kancing kerah kemejanya karena merasa sesak. Namun Zein berusaha agar tetap terlihat tenang. Sebab, ia sangat ingin mengumumkan pernikahan mereka agar tidak ada yang mengganggu Intan lagi seperti Bian.
"Kenapa? Apa kamu malu menikah dengan saya?" tanyanya sambil memalingkan wajah. Sebenarnya ia sedang menahan kesal.
"Bukan begitu, Prof. Tapi perjalanan karier saya masih sangat panjang. Apalagi jika saya nanti harus bekerja di rumah sakit milik keluarga Prof, saya tidak ingin orang lain sungkan hanya karena saya menikah dengan Prof Zein," ucap Intan.
Ia tidak ingin menyebut dirinya sebagai istri Zein. Sebab, mendengar hal itu saja sudah membuat hatinya berdesir.
Zein bergeming. Tentu hal ini sangat berat baginya. Sebab, ia sudah merencanakan pernikahan dengan pesta yang megah dan akan mengundang seluruh rekan sesama dokter dan kerabat pentingnya.
"Kamu tahu kan saya anak pertama? Apa kamu yakin orang tua saya setuju dengan persyaratan kamu ini? Saya rasa mereka pasti menginginkan pesta pernikahan yang mewah," ucap Zein.
"Mengenai resepsi bisa dilakukan kapan saja, kan? Mungkin nanti jika saya sudah siap. Itu pun kalau pernikahannya masih berlanjut," ucap Intan, pelan.
Zein mengerutkan keningnya. "Maksud kamu apa? Apa kamu pikir pernikahan adalah sebuah permainan yang bisa dimulai dan diakhiri kapan saja?" tanya Zein. Ia kesal mendengar ucapan Intan barusan.
"Tentu tidak, Prof. Tapi saya tidak yakin jika pernikahan pasangan yang tidak pernah saling mencintai bahkan bisa dikatakan membenci, akan berlangsung lama. Bukan begitu?" sahut Intan dengan begitu berani.
'Sialan, dia sudah berani menjawabku,' batin Zein. Ia kesal karena Intan bisa membuatnya kehabisan kata-kata.
Namun akhirnya Zein tidak menjelaskan pada Intan bahwa dirinya tidak berniat untuk pisah. Sebab, ia khawatir jika mengatakan hal itu, maka Intan akan mundur.
“Jadi kamu membenci saya?” tanya Zein. Ia fokus dengan kata-kata itu.
Intan menggelengkan kepalanya. “Bukankah sebaliknya? Selama ini setahu saya justru Prof yang membenci saya,” sahut Intan.
Zein mengangkat dagunya. Ia sedikit lega karena ternyata bukan Intan yang membencinya. Masalah Intan menganggap bahwa dirinya membenci Intan, ia tidak peduli.
"Baiklah jika itu yang kamu mau. Nanti kita bicarakan pada orang tua kita. Tapi kamu harus mengatur jadwal karena pernikahan kita akan dilangsungkan awal bulan depan," pinta Zein.
Uhuk! Uhuk!
Intan tersedak air liurnya sendiri. Sebelumnya ia memang sudah mendengar bahwa Zein mengatakan hal itu pada Dimas di kantin tadi. Namun ia tidak menyangka bahwa apa yang ia katakan memang serius.
"Apa itu tidak terlalu cepat, Prof?" tanya Intan. Wajahnya sampai merah padam karena tidak ada air untuk menetralkan tenggorokkannya.
Zein mengangkat kedua bahunya. "Atau kamu mau minggu depan sebelum kamu ujian?" tanya Zein. Namun pertanyaan itu terdengar seperti ancaman.
Intan menggelengkan kepalanya cepat. "J-jangan, Prof," ucapnya, gugup. Satu bulan saja sudah terlalu cepat baginya. Apalagi satu minggu. Rasanya ia hampir pingsan mendengarnya.
Jantungnya berdebar cepat membayangkan Zein akan menikahinya sebentar lagi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah menikah nanti. Yang pasti dalam bayangan Intan hanya ada Zein yang dingin dan galak.
"Oke, kalau begitu minggu depan saya dan keluarga akan datang ke rumah kamu untuk melamar," ucap Zein, tegas.
***
Bab 15
Kegigit
Napas intan seketika terhenti untuk beberapa saat. Ia sangat terkejut mendengar ucapan Zein yang mengatakan bahwa dia ingin melamar Intan satu minggu lagi.
"Maaf, Prof. Tapi apa itu tidak terlalu cepat?" tanya Intan, memberanikan diri. Padahal sebelumnya ia sudah mendengar bahwa Zein ingin menikahinya bulan depan. Namun jika lamaran minggu depan, ia merasa itu terlalu cepat.
"Kamu punya waktu 7 hari dan sebentar lagi kamu sudah selesai koas. Lagi pula persiapan untuk lamaran tidak terlalu repot. Saya rasa 1 hari cukup untuk mempersiapkan semuanya," jawab Zein, santai.
Intan menelan saliva setelah mendengar ucapan Zein. Sebab, bukan itu masalah utamanya. Namun persiapan mental yang lebih berat dari sekadar persiapan materi. Apalagi sampai saat ini sikap Zein masih seperti iblis.
"Tadi saya sudah bicara dengan orang tua saya dan mereka setuju. Maaf, kamu tahu kan saya sibuk dan saya hanya memiliki waktu minggu depan," ucap Zein lagi. Ia berbohong pada Intan agar gadis itu tidak dapat mengelak lagi.
'Kalau sibuk, terus ngapain mau nikah? Kan dia yang ngajak nikah. Tapi kenapa kesannya aku yang butuh dia?' batin Intan, kesal.
Dia tidak habis pikir mengapa Zein bisa sangat arogan seperti itu. Baginya pria itu sangat tidak masuk akal karena dia yang ingin menikah, tetapi dia bersikap seolah tidak menginginkan hal itu.
Belum sempat intan menjawab, pelayan sudah datang mengantar pesanan mereka. Setelah itu ia menaruh makanan dan minuman di hadapan mereka.
Intan bingung mengapa begitu banyak makanan yang terhidang di hadapannya. Padahal ia ingat betul tadi dirinya hanya memesan minuman.
Saat pelayan pergi, Zein buka suara. "Mari makan!" ajaknya, datar. Sambil mengambil pisau dan garpu.
Intan tercenung. Ia bingung mengapa Zein mengajaknya makan. Padahal tadi dirinya sudah mengatakan bahwa ia tidak ingin makan.
Saat hendak menyuap makanan ke mulutnya, Zein melihat intan masih mematung. "Kenapa diam saja?" tanya Zein, tanpa dosa.
"Tadi saya enggak pesan makanan, Prof," sahut Intan. Secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa dirinya tidak ingin makan makanan yang terhidang di hadapannya.
"Kamu mau saya dianggap egois oleh orang lain karena makan sendiri dihadapan wanita seperti ini?" tanya Zein. Ternyata dia sengaja memesan makanan untuk Intan.
Entah karena Zein tidak mau makan sendiri, atau memang sebenarnya dia perhatian pada Intan.
"Tapi saya tidak lapar, Prof." Intan masih berusaha menolaknya secara harus. Sebab ia ingin segera menghilang dari pandangan pria itu.
Zein menyuap makanan ke mulutnya. "Makan atau nanti saya kasih nilai jelek," ucap Zein tanpa menoleh ke arah Intan. Ia sengaja mengancam Intan agar mau makan.
Intan ternganga. Ia tidak menyangka Zein akan mengancamnya seperti itu hanya karena makanan. Ia pun mengambil garpu dan menggenggamnya dengan sangat erat.
'Dasar profesor iblis. Apa hubungannya makanan sama nilai aku? Aku kan dokter, bukannya koki yang harus mencicipi makanan,' batin Intan, kesal.
Kebetulan saat itu Zein memesan steak. Sehingga Instan langsung menancapkan garpu di daging yang ada di hadapannya sambil membayangkan bahwa itu adalah tubuh Zein.
'Hemh! Rasakan ini. Kamu pantas diperlakukan seperti ini. Aku rasanya pingin cincang, lalu dicabik-cabik, terus dilemparin ke buaya,' batin intan sambil menatap kesal daging itu. Kemudian ia terus menggesek pisaunya. Padahal dagingnya sudah terpotong.
Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. Ia senang melihat Intan kesal seperti itu. "Kamu memotong daging atau memotong piringnya?" sindir Zein. Lalu ia menyuap makanannya kembali. Seolah mengejek Intan.
Mendengar ucapan Zein Intan pun tersadar dan ia langsung salah tingkah. Kemudian menyuap daging miliknya itu.
'Heran deh. Kenapa sih aku selalu kegap sama dia? Jangan-jangan dia punya mata batin kali, ya? Horor banget,' batin intan sambil mengunyah daging itu dengan cepat dan penuh tenaga. Seolah-olah ia sedang mengunyah Zein. Sebab saat ini emosinya sedang mendidih.
"Awww!" keluhnya, saat Intan tak sengaja menggigit bibirnya sendiri. Zein pun langsung menoleh ke arah Intan.
"Kenapa?" tanyanya. Wajah Zein terlihat khawatir.
"Enggak apa-apa, Prof," sahut Intan. Kemudian ia mengambil tisu dan ternyata bibirnya berdarah karena dia terlalu kuat mengunyahnya. Luka itu pun terasa perih.
Zein menaruh pisau serta garpunya, kemudian ia berdiri dan mendekat ke arah Intan. Lalu ia menunduk ke arahnya dan menarik dagu Intan untuk mengecek bibirnya.
Seketika jantung Intan berdebar sangat cepat. Baru kali ini ia disentuh oleh pria seperti itu. Ditambah wajah Zein mendekat. Seolah hendak menciumnya.
"Kamu gimana sih makannya? Masa bisa sampai berdarah begini?" tanya Zein. Sebenarnya ia tidak tega melihat Intan terluka. Namun ia malah memarahi gadis itu.
Saking dekatnya wajah mereka, Intan bahkan dapat menghirup aroma tubuh dan napas pria itu. Hingga akhirnya Intan menahan napas karena tidak tahan dengan aroma tubuh Zein yang begitu menggoda.
Wajah intan memanas dan ia hawatir Zein dapat melihat wajahnya merona karena malu. Akhirnya Intan langsung memalingkan wajahnya.
"Enggak apa-apa, Prof. Ini cuma luka biasa," ucapnya, gugup. Ia sendiri bingung dengan perasaannya. Mengapa dia yang membenci Zein bisa salah tingkah saat diperlakukan seperti itu.
"Kamu ini kan dokter. Bisa-bisanya kamu bilang itu hanya luka biasa," ucap Zeni kemudian ia berdiri tegak.
"Tunggu sebentar!" ucapnya lagi. Lalu ia berjalan meninggalkan restoran itu.
"Eh, dia mau ke mana? Kok aku ditinggalin sendirian?" batin Intan, bingung.
Intan masih menahan darah yang mengalir dari bibirnya dengan tisu. Sesekali ia menoleh ke arah luar dan ternyata Zein kembali dengan membawa kotak P3K yang baru saja diambil dari mobilnya.
Zein langsung menaruh kotak tersebut lalu membukanya dan mengambil kain kasa. Kemudian Zein membersihkan luka Intan dengan kasa yang sudah dibasahi oleh alkohol.
Tanpa ragu ia menyentuh dagu Intan dan menarik sedikit bibirnya agar luka itu terlihat. "Tahan sebentar!" ucap Zein. Lalu ia menotolkan kain kasa tersebut di bibir Intan.
Melihat bibir intan begitu seksi, Zein refleks menelan salivanya. Ia pun mulai gelisah karena melakukan kontak fisik dengan intan dan saat ini wajah mereka begitu dekat.
"Biar saya sendiri aja, Prof!" ucap intan sambil memundurkan wajahnya. Ia tidak tahan berada di posisi seperti itu. Rasanya sangat sesak.
"Sudah! Jangan banyak protes! Emangnya kamu bisa melihat bagaimana lukamu?" ucap Zein, kesal.
Setelah itu, ia mengambil sebuah plester berbentuk bulat kecil anti air. Lalu menempelkannya di bibir Intan untuk menutupi luka tersebut. Sebab ia yakin Intan akan kesulitan makan jika lukanya tidak ditutup.
"Selesai! Lain kali tolong lebih hati-hati! Merepotkan saja," ucap Zein. Lalu ia kembali duduk.
***
Bab 16
Sangat Aneh
'Hah? Merepotkan dia bilang? Apa aku gak salah denger? Perasaan tadi aku udah nolak dan dia yang maksa. Tapi kenapa dia bisa bilang aku merepotkan?' batin Intan.
Zein pun duduk dan melanjutkan makannya tanpa dosa. Hal itu membuat Intan semakin kesal. Sudah bibirnya sakit, ditambah harus mendengar ucapan Zein yang sangat pedas itu. Rasanya ia ingin melemparkan saus ke wajah Zein.
Hidungnya bahkan sampai kembang kempis saking kesalnya. Jika tidak ingat bahwa Zein adalah konsulennya, mungkin Intan sudah meninggalkan resto tersebut saat itu juga.
Beberapa saat kemudian Zein sudah selesai makan. Ia berdiam sejenak, kemudian mengajak Intan pulang.
"Saya sudah selesai, mari pulang!" ajak Zein. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu.
Intan mengangguk. Kebetulan ia pun sudah selesai makan.
Setelah itu, mereka pun meninggalkan restoran tersebut. Sebelumnya Zein telah membayar makanan mereka tentunya.
"Terima kasih, Prof," ucap Intan.
Zein mengerutkan keningnya. "Untuk?" tanyanya.
"Terima kasih karena hari ini saya sudah ditraktir makan," ucap Intan lagi.
Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. "Tidak perlu berterima kasih! Anggap saja latihan jadi istri," jawab Zein, kemudian ia berjalan menuju pintu mobil bagian sopir.
Seketika lutut Intan terasa lemas. 'Kenapa sih dia tuh kalau ngomong kayak kompor meledug? Bisa banget bikin aku jantungan,' batin Intan. Lalu ia pun bergegas menyusul Zein masuk ke mobil.
Saat tiba di dalam mobil, Intan yang sedang tidak fokus karena ucapan Zein barusan pun lupa memasang seat beltnya lagi. Ia hanya duduk sambil menatap ke depan.
Namun, tiba-tiba Intan melihat kepala Zein ada di hadapannya. Ia pun sontak memundurkan wajahnya karena sangat terkejut. Apalagi ketika Zein menoleh.
"Apa kamu tidak biasa naik mobil, sampai memasang seatbelt saja harus diingatkan?" tanya Zein.
Intan terbelalak sambil menahan napas. "M-maaf, Prof," sahutnya tanpa membuka mulut. Kemudian Zein menarik seatbelt itu dan memasangnya.
Klek!
Sebenarnya ia sengaja melakukan hal tersebut karena Zein senang melihat wajah Intan yang panik seperti itu.
Setelah memasang seatbelt, Zein pun melajukan kendaraannya.
Sepanjang perjalanan, Intan gelisah. Ia bingung sebenarnya apa yang ada di pikiran dan hati Zein. Selama ini pria itu selalu membuatnya kesal. Namun, tak jarang Zein pun sering membuat hati Intan berdesir. Sehingga Intan mulai terusik.
Sesekali ia melirik ke arah Zein. Hatinya bertanya-tanya. 'Dia tuh ganteng. Tapi kenapa galak banget, sih? Tiap ngomong selalu nyelekit. Cuma kenapa juga dia suka ngucapin kalimat yang bikin hati aku deg-degan. Bahkan terkadang tindakkannya pun terkesan perhatian … Ah, udahlah, ngapain amat aku mikirin dia.'
Zein yang sedang serius menatap ke depan pun berbicara tanpa menoleh. "Kenapa? Apa wajah saya setampan itu sampai kamu terkesima melihatnya?" tanya Zein.
Intan pun terkesiap. "Enggak, Prof. Saya lagi lihat jalanan," kilah Intan. Ia tidak mau disebut sedang menatap Zein.
Zein menyeringai. "Oh ... jalanannya tampan?" goda Zein.
"Iya," sahut Intan. Namun seketika ia sadar. "Enggak, Prof!" Ia langsung meralat ucapannya. Namun Zein sudah terlanjur senang dengan jawaban pertama Intan. Ia hanya tersenyum dalam hati.
'Intaaannn ... kenapa kamu jadi bodoh banget, sih? Come on! Fokus, Tan, Fokus!' batin Intan, meruntuki dirinya sendiri.
Saat Intan sedang menyesali perbuatannya, Zein malah bersikap cool dan hal itu membuat Intan semakin menyesal.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di depan rumah Intan. Ia pun turun dan pamit pada Zein.
"Terima kasih banyak, Prof. Besok biar saya naik ojek saja," ucap Intan.
"Oke," sahut Zein. Ia tidak ingin banyak berdebat dengan Intan.
Intan pun meninggalkan mobil Zein dan hendak masuk ke rumahnya. Zein menutup kaca jendela pintu mobil itu.
Namun, Intan pikir ia akan pergi, tetapi Intan malah mendengar suara pintu mobil ditutup. Intan pun bingung saat melihat Zein turun dari mobil.
"Lho, Prof, kok turun? Mau apa?" tanya Intan.
Zein tidak menjawabnya. Ia langsung mengetuk pintu rumah Intan.
Tuk, tuk, tuk!
Intan sendiri tidak berani mengulangi pertanyaannya. Akhirnya ia berdiri di samping Zein.
Tak lama kemudian pintu rumah Intan terbuka dari dalam.
"Assalamu alaikum, Bu," ucap Zein.
"Waalaikum salam ... wah, ada Nak Zein. Mari masuk!" tawar Ibu.
"Tidak, Bu. Saya ada pekerjaan lain. Saya hanya ingin mengantar Intan dan menginformasikan bahwa minggu depan saya dan keluarga akan datang untuk melamar Intan," jawab Zein.
Fatma ternganga. "Hah, minggu depan?" tanyanya. Ia tidak menyangka akan secepat itu.
"Iya. Kalau begitu saya pamit dulu. Besok pagi saya akan datang lagi untuk menjemput Intan. Assalamu alaikum," ucap Zein, pamit pada Fatma.
"Waalaikum salam," sahut Fatma.
Zein pun langsung meninggalkan rumah itu tanpa menoleh ke arah Intan.
"Hah? Kan tadi dia udah oke waktu aku bilang mau naik ojek?" gumam Intan, pelan. Ia heran Zein selalu bersikap sesuka hati.
"Kamu kok gak bilang kalau mau lamaran minggu depan?" tanya Fatma.
"Aku aja baru tau tadi, Bu. Ya udah, masuk, yuk!" ajak Intan.
Mereka pun masuk ke rumah.
“Ibu gak nyangka ternyata pendekatan kalian secepat ini. Padahal awalnya kamu sempat menolak ya, Tan? Tapi Ibu senang karena kamu mau menikah dengan Nak Zein,” ucap Fatma sambil tersenyum.
Melihat kebahagiaan di wajah Fatma, Intan pun tidak tega untuk menentangnya. Sehingga ia sudah pasrah atas apa yang akan terjadi dengan masa depannya. Meski harus menikah dengan Zein.
Keesokan harinya.
"Duh, semoga dia gak beneran dateng, deh," gumam Intan saat hendak sarapan. Ia risih jika sampai dijemput oleh Zein. Apalagi mobil Zein yang mewah itu menjadi pusat perhatian tetangga Intan karena dirinya tinggal di kampung.
"Kamu kenapa, Tan?" tanya Fatma.
"Gak apa-apa, Bu," sahut Intan. Saat ia hendak menyendok makanan, terdengar suara Zein mengucapkan salam di depan pintu.
"Assalamu alaikum," ucapnya.
'Yaelah, baru juga mau makan. Kenapa udah dateng aja, sih? Jadi ilang kan selera makan aku,' batin Intan.
"Siapa itu?" tanya Fatma.
"Palingan Prof, Bu. Kan kemarin dia bilang mau jemput aku," jawab Intan.
"Oh iya." Fatma hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Jangan, Bu! Biar aku aja," ucap Intan. Ia tidak ingin ibunya banyak bergerak. Intan pun berdiri dari tempat duduknya. Kemudian ia berjalan ke arah pintu.
Huuh!
Intan mengatur napas sebelum membuka pintu.
"Waalaikum salam," ucap Intan sambil membuka pintu. "Eh, Prof." Intan pura-pura baru tahu bahwa yang datang adalah Zein.
"Sudah siap?" tanya Zein.
"Tan, ajak Nak Zein sarapan! Kamu juga kan belum sarapan," ucap Fatma dari dalam.
Intan menoleh ke arah dalam rumahnya, kemudian ia menoleh ke arah Zein. "Maaf ya, Prof. Sebentar, saya ambil tas dulu," ucap Intan. Ia tidak ingin Zein menunggu.
Namun, ketika Intan masuk ke kamarnya, Zein malah menghampiri Fatma.
"Assalamu alaikum, Bu," ucap Zein.
"Waalaikum salam. Mari kita sarapan! Nak Zein sudah sarapan belum?" tanyanya.
"Kebetulan belum," sahut Zein, jujur. Ia sengaja berangkat lebih pagi karena ingin menjemput Intan.
"Nah, kebetulan kalau begitu. Ayo duduk! Biar Ibu ambilkan makanan." Fatma pun antusias mengambilkan makanan untuk Zein dan menaruh makanan itu di hadapan calon menantunya tersebut.
"Silakan, jangan sungkan-sungkan! Anggap saja rumah sendiri," ucap Fatma.
"Terima kasih banyak, Bu," sahut Zein. Ia pun mulai makan bersama Fatma.
Intan yang baru keluar dari kamarnya itu pamit pada Fatma.
"Bu, aku pergi du-" Ucapannya terjeda ketika melihat Zein sedang makan bersama ibunya.
***
Bab 17
Profesor Iblis
Intan tercengang saat melihat Zein sedang asik makan bersama ibunya.
"Mau ke mana, Tan? Kamu kan belum sarapan. Sini sarapan dulu! Nak Zein aja baru sarapan lho, ini," ucap ibu Intan.
Sementara itu Zein pura-pura sibuk makan dan tak menghiraukan Intan.
Akhirnya Intan pun menghampiri mereka dan duduk di hadapan Zein.
"Pantas saja kamu suka sakit. Ternyata kamu sering melewatkan sarapan?" gumam Zein. Ia begitu menikmati makanan yang dimasak oleh Intan dan ibunya. Namun sebagian besar makanan itu diolah oleh Intan.
Intan tidak menjawab ucapan Zein, ia langsung melahap makanan miliknya karena tidak mungkin berdebat dengan profesornya itu.
"Masakan Ibu enak sekali," puji Zein.
"Ini Intan yang masak," sahut Fatma, santai.
Deg!
Zein hampir saja tersedak. Ia tak menyangka wanita yang selama ini selalu ia marahi ternyata pandai memasak. 'Serius ini dia yang masak? Ternyata enak juga makanannya,' batin Zein.
Intan menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. Ia bangga karena telah dipuji oleh Zein meski secara tidak langsung.
"Masakan kamu enak," ucap Zein. Ia malu karena sudah terlanjur mengatakannya.
"Terima kasih, Prof," sahut Intan. Ia tidak mau terlalu ge’er.
"Gimana, cocok gak sama masakan Intan?" tanya Fatma.
Zein hanya membalasnya dengan anggukkan.
"Alhamdulillah ... Ibu jadi tenang. Kalau kalian udah nikah nanti kan Zein gak akan kelaparan, hehe," ucap Fatma.
Uhuk! Uhuk!
Intan dan Zein tersedak mendengarnya. Meski sudah berencana akan menikah dalam waktu dekat. Namun jika mendengarnya dari orang lain, rasanya mereka masih sangat canggung.
"Kalian ini kompak sekali? Belum menikah tapi sudah sehati," puji Fatma.
Mereka yang sedang minum pun semakin salah tingkah.
'Ibu apa-apaan, sih? Siapa juga yang sehati sama dia? Males banget,' batin Intan, kesal.
'Kenapa aku jadi gerah gini, ya?' batin Zein.
Akhirnya mereka makan dalam kondisi salah tingkah.
Beberapa saat kemudian mereka sudah selsai makan dan mereka pun pamit pada Fatma.
"Bu, aku berangkat dulu, ya. Ibu hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari aku!" ucap Intan, kemudian ia bersalaman dengan Fatma.
"Iya, Tan. Kamu juga hati-hati di jalan, ya!" sahut Fatma.
"Saya juga pamit, Bu. Terima kasih atas sarapannya. Assalamu alaikum," ucap Zein.
"Waalaikum salam ...."
Zein dan Intan menuju ke mobil tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Saat tiba di dalam mobil, kali ini Intan tidak melupakan seatbelt-nya. Ia sudah trauma dengan kejadian kemarin. Rasanya jantung Intan hampir meledak saat wajah mereka berhadapan. Apalagi parfum Zein sangat harum. Membuat Intan selalu terbayang-bayang oleh aromanya.
Setelah Intan memasang seatbelt, Zein melajukan kendaraannya. "Hari ini kita operasi lagi, ya!" ajak Zein. Sepertinya ia hendak mengulangi modus kemarin.
"Baik, Prof," sahut Intan, singkat. Ia bingung bagaimana cara berkomunikasi dengan Zein. Sehingga Intan hanya bisa menjawabnya secara singkat.
Zein mengetuk-ngetuk jarinya ke stir. Ia ingin berbincang dengan Intan. Namun Zein bingung hendak membahas apa. 'Kenapa dia hanya jawab seperti itu? Ini kan bukan rumah sakit. Memangnya aku atasannya?' batin Zein.
Ia malah kesal sendiri. Padahal jika memang tidak nyaman dengan kondisi seperti itu, seharusnya ia bisa menyampaikannya pada Intan.
Beberapa menit kemudian mereka sudah tiba di rumah sakit.
"Terima kasih, Prof," ucap Intan. Ia buru-buru hendak turun saat Zein baru menginjak rem mobilnya. Namun sayang, ternyata kunci pintu mobil itu belum terbuka.
"Mau ke mana?" tanya Zein, santai. Ia tidak langsung membukanya. Namun Zein seolah sengaja ingin berlama-lama di dalam mobil.
"Euh ... kan katanya mau ada operasi, Prof. Saya mau siap-siap," jawab Intan, gugup.
"Yang memimpin operasi itu kan saya. Lalu kenapa kamu yang repot? Tugasmu kan hanya mendampingi saya," ucap Zein tanpa menoleh ke arah Intan. Ia malah mengecek ponselnya dengan santai.
"Tapi, Prof ...." Belum sempat Intan melanjutkan ucapannya, Zein langsung mengulurkan tangannya, seraya meminta Intan untuk tutup mulut karena ia ingin menelepon.
"Ya, Halo!" ucap Zein pada seseorang di seberang telepon.
'Hah? Ngapain aku dikunciin di sini kalau dia mau teleponan? Beneran sakit jiwa kali, ya?' batin Intan, kesal.
Ia tidak habis pikir mengapa Zein tak langsung membukakan kuci pintu mobil agar Intan bisa turun.
Belum sempat Intan mengendalikan kekesalannya, Zein langsunng meraih tangan Intan dan membuat gadis itu semakin ketar-ketir tak karuan.
'Eh, mau ngapain?' batin Intan. Jantungnya bertalun-talun kala tangan Intan dipegang oleh tangan Zein yang dingin itu.
Intan pikir tangan Sang Profesor dingin karena kena AC.
Zein memerhatikan jari Intan dan ternyata ia tidak dapat menebak ukurannya. Kemudian ia melepaskan tangan itu begitu saja.
Intan pun semakin kesal dibuatnya.
"Nanti sore kamu ikut saya lagi!" ucap Zein setelah menutup sambungan teleponnya. Kemudian ia membuka kunci pintu mobil.
"Heuh? Ke mana, Prof?" tanya Intan.
Zein tidak menjawabnya, ia langsung turun dari mobil itu dan menutup kembali pintunya.
Brug!
Intan yang terperanjat pun buru-buru turun. "Ya Allah ... mimpi apa aku bakalan nikah sama orang kayak gitu?" gumam Intan, pelan.
Intan pun mengejar Zein. "Prof, tapi bagaimana dengan motor saya? Kan sudah dua hari ditinggal di sini," tanya Intan.
"Nanti biar sopir rumah sakit yang antar," jawab Zein, santai tanpa menghentikan langkahnya. Ia bahkan tak menoleh ke arah Intan.
"Tapi memangnya untuk apa saya harus ikut Prof?" tanya Intan lagi sambil berlari kecil demi mengimbangi langkah Zein.
"Beli cincin nikah!" jawab Zein, singkat.
Deg!
Intan langsung menghentikan langkahnya. Kemudian ia menoleh ke sekeliling. Khawatir ada orang lain yang mendengar ucapan Zein.
Sadar Intan sudah tidak membuntutinya, Zein pun menoleh dan tersenyum. "Baru gitu aja udah shock," gumam Zein, pelan. Kemudian ia melanjutkan langkahnya.
"Ya Tuhan ... gak bisa apa dia tuh gak bikin aku jantungan?" gumam Intan, kesal. Akhirnya ia pun melanjutkan langkahnya menuju ruangannya.
Intan pun terburu-buru karena jika terlambat ia akan dimarahi oleh Zein lagi.
"Nanti dia bilang, kenapa jadi saya yang nunggu kamu? Memangnya kamu siapa? Gitu, deh," gumam Intan sambil menjebik.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berkumpul di ruang operasi. Beruntung kali ini Intan tidak terlambat.
Setelah membaca doa, Zein pun memulai operasinya. Intan masih berada di posisinya yang kemarin. Sebab Zein beralasan karena Intan beberapa hari lagi akan selesai koas. Sehingga yang lain memakluminya.
Huuh!
Zein menghela napas panjang saat hendak memulainya. Namun, keberadaan Intan di sampingnya itu membuat Zein tidak konsen. Ia bahkan sampai menggeleng-gelengkan kepala. Ia merasa bodoh karena tidak bisa profesional.
Tubuhnya terasa panas dan meremang saat berada di dekat Intan. Jantungnya pun berdebar. Sehingga ia yakin tidak akan bisa melanjutkan operasi jika Intan masih berada di sampingnya.
Akhirnya Zein yang hendak membedah pasien pun mengurungkan niatnya dan menoleh ke arah Intan.
"Lebih baik kamu keluar sekarang!" ucap Zein, datar.
Intan ternganga. Ia tidak menyangka Zein mengatakan hal seperti itu. "Apa?" tanyanya, tidak percaya.
"KELUAR SEKARANG JUGA!" bentak Zein.
***
Bab 18
Tertatih
Diusir seperti itu di hadapan orang banyak, antara malu dan kesal Intan bingung harus melakukan apa. Sehingga ia tercenung karena terlalu shock.
Namun, mendengar Zein membentak Intan seperti itu, salah seorang dokter residen menghampiri Intan. Lalu menariknya perlahan.
"Lebih baik kamu keluar sekarang! Daripada nanti Prof semakin murka," ucap dokter tersebut. Ia tidak ingin kegiatan operasi mereka gagal hanya karena Zein marah..
"Tapi, Dok. Salah aku apa?" tanya Intan. Ia berusha memertahankan harga dirinya.
Intan tidak merasa melakukan kesalahan. Sehingga ia tidak terima diusir begitu saja oleh Zein.
"Kamu enggak salah, tapi mungkin Prof sedang punya masalah lain. Jadi lebih baik kamu yang mengalah. Kamu kan tahu sendiri Prof seperti apa," jelas dokter residen tersebut saat mengantar Intan keluar dari ruangan operasi.
Ia merupakan salah satu dokter yang baik pada Intan. Sehingga bisa menenangkan gadis itu.
"Ya udah, terima kasih ya, Dok," sahut Intan, lemas. Akhirnya ia pun melenggang pergi.
Dengan kesal, Intan melepaskan sarung tangan karetnya, lalu melempar sarung tangan tersebut ke tempat sampah. Tak lupa ia pun bergegas mengganti pakaian operasi, lalu keluar dari ruangan itu menuju ke rooftop.
"Dasar Profesor sialan! Apa sih maunya dia? Dia minta aku nikah buru-buru bahkan minggu depan dia mau ngelamar aku. Tapi kenapa bisa-bisanya dia bentak aku di depan umum? Emang dia pikir aku enggak malu?" gumam Intan, menggerutu. Kali ini ia benar-benar emosi.
Intan merasa harga dirinya telah diinjak-injak oleh Zein. Padahal seharusnya Zein yang sudah akan menikahinya itu bisa lebih menghargai Intan. Apalagi di depan umum.
"Oke. Aku tahu dia itu konsulen aku. Dia memang pintar dan berbakat. Tapi bukan berarti dia bisa merendahkanku seperti itu, kan?" ucap Intan dengan napas yang menggebu.
Saat itu Intan marah-marah seolah ia benar-benar berani melawan Zein. Padahal jika berhadapan dengan Zein pun nyalinya langsung ciut.
"Aaarggghhh! Dasar Profesor Berengsek!" teriak Intan saat sudah berada di tepi rooftop. Dadanya sampai naik turun karena napasnya tersenggal.
"Gila kali tu orang? Ngapain coba tadi pagi dia nyuruh aku buru-buru ke ruangan operasi? Terus tiba-tiba aku diusir kayak gitu. Ya ampunnnnnn ... rasanya aku emosi banget. Baru kali ini aku emosi sampai ke tulang," gumam Intan, kesal.
Saking kesalnya intan sampai menendang dinding pembatas rooftop tersebut.
Bug!
"Aaaww!" keluh Intan. Ia kesakitan setelah menendang dinding tersebut.
Akhirnya ia pun berjongkok sambil menangis karena sudah terlalu kesal pada Zein.
"Parahnya lagi cowok brengsek itu bakal jadi suami aku. Aku enggak rela nikah sama dia, huhuhu." Tangisan Intan semakin menjadi saat ia mengingat bahwa Zein adalah calon suaminya. Ia seolah kembali masuk ke dalam mimpi buruk.
Siang itu Intan puas menangis, meluapkan emosinya di rooftop. Sampai tidak terasa ia sudah setengah jam menangis di sana.
"Kirain anak kecil aja yang bisa nangis karena takut dokter. Ternyata dokter juga bisa nangis," ucap seorang pria.
Mendengar suara pria, Intan menoleh ke arah sumber suara. 'Dia ngapain di sini, sih?' batinnya. Kemudian ia berusaha menghentikan tangisan dan menghapus air matanya. Saat ini ia sedang tidak ingin diganggu. Sehingga Intan kesal saat ada yang mengganggunya.
"Kalau mau nangis mah nangis aja! Gak usah malu. Aku cuma bercanda, kok," ucap pria itu lagi.
Intan beranjak dan hendak meninggalkan tempat itu. "Annoying!" ucap Intan. Lalu ia pun pergi.
"Yakin mau pergi? Aku ada coklat, nih. Katanya sih cokelat bisa nenangin hati yang lagi galau," ucap pria itu.
Intan menoleh ke arah pria tersebut dan ia kenal betul siapa dia. "Buat kamu aja. Kayaknya kamu lebih butuh, tuh!" sahutnya, kemudian ia meninggalkan tempat itu.
Pria itu pun tersenyum. "Dia emang lain dari yang lain," gumamnya. Dia adalah Bian. Ia ke rumah sakit untuk mengambil obat ayahnya. Tadi Bian melihat Intan sedang kesal dan menuju rooftop. Sehingga ia sengaja membeli cokelat dan menyusulnya.
“Yakin gak butuh? Lumayan, lho. Anggap aja cokelat ini masalah kamu. Jadi kamu bisa gigit dan kunyah sampai dia habis,” ucap Bian dengan suara cukup tinggi.
Intan menghentikan langkahnya. Kemudian ia langsung berbalik dan merebut cokelat yang ada di tangan Bian. “Thanks!” ucapnya sambil membuka kemasan cokelat tersebut.
Bian pun tersenyum. Meski Intan ketus seperti itu, ia tetap senang melihatnya.
“Pelan-pelan makannya!” ledek Bian saat melihat Intan terburu-buru.
“Kamu kenapa sih selalu muncul di sekitar aku?” tanya Intan. Ia bisa ketus pada orang yang tidak ia suka. Kecuali Zein.
“Entahlah. Jodoh mungkin,” sahut Bian, santai.
Intan yang sedang kesal pun langsung tersenyum. “Cih! Ngarang,” ucapnya, sebal.
“Lho, siapa tahu, kan? Namanya juga masih sama-sama single.
“Siapa bilang single? Aku udah punya suami, kok,” sahut Intan, yakin.
Bian terkekeh. “Duh, kalau mau bohong jangan sama aku, deh. Kamu gak lihat seragamku? Hanya untuk menganalisa atau mengatur strategi, bukan hal sulit bagiku,” ucap Bian, bangga.
Bukan bermaksud pamer dengan pekerjaannya. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak mudah dibohongi. Bian tahu betul Intan masih single. Sebab, ia pernah menanyakan hal itu pada salah seorang perawat yang mengenal Intan.
“Whatever,” sahut Intan. Ia tidak ingin berdebat.
“Kamu kenapa jutek banget, sih?” tanya Bian.
“Oya? Perasaan biasa aja, tuh,” sahut Intan, santai.
“Masa? Coba senyum!” pinta Bian.
Intan memicingkan matanya ke arah Bian. “Ternyata kamu bukan cuma pinter menganalisa, ya? Tapi pinter gombal juga!” ucap Intan. Namun akhirnya ia tersenyum.
“Hehehe, nah gitu dong. Kalau senyum kan jauh lebih cantik. Jangan marah-marah terus, nanti cepet tua, lho,” ledek Bian.
“Biarin! Aku tua juga bukan urusan kamu,” sahut Intan. Kemudian ia memakan cokelatnya lagi.
“Ya jelas urusanku, dong. Nanti kan kita akan menua bersama. Jadi kamu jangan duluin aku tuanya,” canda Bian.
“Cih! Garing, deh. Salah orang kamu kalau mau gombal. Aku gak mempan digombalin,” sahut Intan.
“Gak masalah, yang panting aku udah berhasil buat kamu tersenyum,” jawab Bian.
Akhirnya mereka pun berbincang santai sambil tertawa.
Intan tidak sadar, dari kejauhan ada yang memperhatikannya dengan hati terbakar. Sebenarnya setelah membentak Intan, Zein merasa bersalah. Ia bahkan buru-buru menyelesaikan operasinya untuk minta maaf pada Intan.
Beruntung ia hanya melakukan operasi kecil yang bisa diselesaikan dalam waktu 30 menit. Sehingga Zein bergegas membeli iced pure cocoa kesukaan Intan dan mencari gadis itu.
Namun Zein kecewa kala menemukan Intan tengah berbincang sambil tertawa dengan Bian. Ia merasa dikhianati dan sangat ingin menghajar pria itu.
“Untuk apa juga aku harus merasa bersalah?” gumam Zein sambil mengepalkan tangannya. Kemudian ia melempar es tersebut ke sembarang arah hingga tumpah, karena terlalu kesal. Setelah itu Zein langsung kembali ke ruangannya. Ia tidak sanggup melihat Intan tersenyum bersama pria lain.
Puas berbincang, Intan pun pamit pada Bian. Setelah itu, Intan bergegas menuju toilet untuk membasuh wajahnya. Ia tak ingin ada orang lain melihat dirinya dalam kondisi sembab. Sebab, ia akan sangat malu jika mereka tahu bahwa dirinya baru saja selesai menangis.
Huuh!
Intan menghela napas saat selesai membasuh wajahnya.
"Gak sembab lagi, kan?" gumamnya sambil menatap wajahnya itu di cermin.
"Oke, mari kita lupakan sejenak Profesor gila itu. Sebagai dokter yang lebih waras, aku harus ngalah. Dan sekarang aku pun harus standby supaya si gila itu gak marahin aku lagi," gumam Intan. Setelah itu ia pun meninggalkan toilet tersebut.
Saat hendak meninggalkan toilet, Intan baru merasakan kakinya sakit. "Aduh!" keluhnya.
Ia lupa bahwa tadi dirinya menendang dinding dengan sangat kencang. "Ada-ada aja, sih!" Ia kesal pada dirinya sendiri. Namun Intan tetap melanjutkan jalannya. Dan hendak menuju ke ruang poli untuk standby di sana.
"Permisi ...," ucap Intan saat memasuki ruangan praktek Zein. Ia memang sudah diizinkan masuk ke ruangan itu untuk mengerjakan yang bisa ia kerjakan jika Zein sedang tidak ada.
Sambil menunggu Zein, Intan mempelajari buku status milik pasien yang sudah mengantree di luar agar ia bisa menganalisa penyakit mereka. Intan tidak tahu Zein masih menenangkan dirinya di ruangan pribadinya. Ia pikir Zein masih melakukan operasi.
Beberapa menit kemudian, Zein datang ke ruangan tersebut. Intan pun langsung berdiri.
"Siang, Prof," sapanya.
"Siang," sahut Zein, ketus. Sikapnya semakin dingin. Saat ini ia sedang marah pada Intan karena merasa dikhianati.
Intan yang duduk di salah satu kursi pun mendekat ke arah Zein. Kakinya yang sakit itu membuat jalan Intan sedikit tertatih. Hingga mengalihkan perhatian Zein.
"Kaki kamu kenapa?" tanya Zein, serius. Ia sangat yakin tadi Intan baik-baik saja. Sehingga Zein heran mengapa Intan tiba-tiba pincang seperti itu.
"Gak apa-apa, Prof," sahut Intan. Ia berusaha berdiri tegak agar Zein tak curiga.
"Tolong tutup pintu dan tunda poli!" pinta Zein pada suster. Lalu ia beranjak dan mendekat ke arah Intan.
Deg!
Intan menelan saliva. Ia panik karena khawatir Zein akan mencecarnya. Ia tahu betul calon suaminya itu selalu bertindak di luar dugaan.
"Duduk!" ucap Zein, ketus. Saat itu pintu sudah ditutup oleh suster dari luar.
"Mau apa, Prof?" tanya Intan, gugup.
"Apa kamu tuli? Saya bilang duduk!" pinta Zein lagi. Ia kesal karena Intan ngeyel. Apalagi ia masih ingat bagaimana tadi Intan tersenyum pada Bian.
"Iya, Prof." Akhirnya Intan pun duduk dan menyembunyikan kakinya di kolong meja.
Namun, feeling Intan benar. Zein melakukan hal yang tak terduga. Ia tiba-tiba berjongkok di samping Intan dan berkata. "Mana kaki kamu? Saya mau lihat!" pinta Zein.
***
Bab 19
Digendong
"Jangan, Prof!" ucap Intan. Ia tidak enak hati jika kakinya dilihat oleh Zein.
"Ck! Ini perintah!" ucap Zein, kesal.
Akhirnya Intan pun menuruti permintaan Zein. Ia menyerahkan sebelah kakinya itu pada Zein.
"Sini!" ucap Zein. Ia mengambil kaki Intan dan menaruh kaki itu di salah satu lututnya. Kemudian Zein melepaskan sepatu yang Intan kenakan.
"Ya ampun, sampai memar begini? Kamu jatuh di mana?" tanya Zein sambil menatap Intan. Ia tak tega melihat calon istrinya terluka seperti itu.
Intan pun gelagapan. Ia bingung hendak menjawab apa. "Euh, di tangga," sahutnya. Intan tak mungkin jujur bahwa dirinya baru saja menendang dinding. Akan terdengar konyol sekali, bukan?
"Tahan sedikit!" ucap Zein. Lalu ia menyentuh memar tersebut untuk mengecek seberapa parah lukanya.
Belum sempat Zein bertanya, Intan sudah memekik kesakitan.
"Aww!" Kakinya refleks menendang ke bagian tengah selangkangan Zein, hingga Sang profesor terbelalak.
"Arghh! Masa depanku." Zein mengerang kala senjatanya tak sengaja ditendang oleh Intan. Ia berdiri sambil meringis.
Intan yang merasa bersalah pun refleks mengelus bagian yang ia tendang. "Maaf, Prof!" ucap Intan gugup. Otaknya sedang tidak berjalan sehingga ia sangat berani mengelus dan meniupinya.
"HEI! KAMU ...?" Bola mata Zein hampir melompat kala benda pusakanya dielus oleh Intan. Tubuhnya langsung meremang, wajah dan telinganya pun merah padam. Bahkan dalam sekejap sakitnya langsung hilang, berubah menjadi tegang.
Intan terperanjat mendengar bentakan Zein. "Astaga! Maaf, Prof. Kalau begitu a-aku pamit dulu," ucap Intan, gugup. Ia salah tingkah karena sangat malu atas perbuatannya sendiri.
Intan berdiri dan kini mereka berhadapan. Hal itu membuat kondisi menjadi tidak nyaman.
Zein pun menjadi canggung berhadapan dengan Intan. Sebab, pikirannya sudah berkelana.
"Lebih baik kamu ke ortopedi! Nanti saya hubungi dokternya," ucap Zein sambil memalingkan wajah. Lalu ia berjalan ke arah kursinya.
"I-iya, Prof," sahut Intan. Ia bergegas mengenakan sepatunya dan meninggalkan ruangan itu dalam kondisi terpincang-pincang.
'Bodoh, bodoh, bodoh! Intan Bodoh. Bisa-bisanya aku ngelus bagian itu? Astaga ... kenapa aku ... arghhh!" Intan meruntukki dirinya sendiri.
"Kenapa, Dok?" tanya suster saat melihat Intan keluar dari ruangan Zein. Tadi ia mendengar teriakan mereka berdua.
"Gak apa-apa. Saya hari ini gak ikut praktek dulu. Mau periksa kaki," jawab Intan. Kemudian ia berjalan menuju poli ortopedi.
Suster pun percaya karena jalan Intan tidak biasa.
Sementara itu, Zein masih tercenung di kursinya. Ia ingat betul bagaimana ketika Intan mengelus dan meniupinya tadi. Sehingga Zein membayangkan Intan melakukan hal lain yang lebih extreame dari itu.
Ia bahkan tidak sadar bahwa suster sudah berdiri di hadapannya sejak tadi.
"Permisi, Prof!" ucap suster untuk yang kesekian kalinya.
Masih belum mendapat jawaban dari Zein, suster pun akhirnya memberanikan diri untuk menggunakan nada tinggi.
"PERMISI, PROF!" ucap suster lagi.
Zein pun terkesiap. "Iya, Sayang?" tanyanya.
Deg!
Rasanya suster hampir pingsan saat dipanggil sayang oleh Zein.
Namun, sedetik kemudian Zein tersadar. "Iya, Sus? Ada apa?" tanyanya, salah tingkah.
Akhirnya Suster pun paham bahwa Zein hanya sedang melamun. "Apa polinya sudah dapat dimulai, Prof?" tanya suster lagi.
Zein tidak langsung menjawabnya. Ia melirik ke arah bawah dan ternyata masih ada yang tegang di sana.
"Sepuluh menit lagi. Saya sedang kurang fit. Tolong beri waktu saya untuk istirahat sebentar!" pinta Zein.
"Baik, Prof," sahut suster. Ia bingung mengapa Zein tidak seperti biasanya.
Suster pun meninggalkan ruangan itu.
"Argh! Intan ... kamu gak tanggung jawab!" gumam Zein sambil menggeretakkan giginya. Ia kesal karena Intan sudah membangunkan naga lapar yang sedang tidur.
Zein menyenderkan tubuhnya agar rileks. Mengendurkan kancing-kancing bajunya. Kemudian ia memejamkan mata.
"Calm down, Zein ... kamu pasti bisa. Satu bulan lagi kamu bisa meminta pertanggung jawaban dari gadis itu," gumam Zein sambil mengatur napas.
Namun, membayangkan hal itu, bukannya tenang, tubuhnya malah semakin tegang. Ia jadi tidak sabar ingin segera menikahi Intan.
"Sial! Ini pasti efek alami. Oke, setidaknya aku masih normal," gumam Zein. Ia tidak mau mengakui dan yakin bahwa dirinya tidak mencintai Intan.
Sambil menenangkan dirinya, Zein menghubungi dokter ortopedi agar bisa memeriksa Intan.
Telepon terhubung.
"Selamat siang, Prof," sapa dokter ortopedi.
"Siang. Apa dokter ada di ruangan?" tanya Zein.
"Ada, kebetulan saat ini saya sedang praktek. Ada yang bisa dibantu, Prof?"
"Tolong periksa kaki dokter Intan. Tadi saya cek kakinya memar. Tolong lakukan yang terbaik untuknya, ya," pinta Zein.
"Oh, baik, Prof," sahut dokter ortopedi. Ia bingung mengapa Zein begitu perhatian pada Intan.
Telepon terputus.
Setelah itu Zein pun melanjutkan aktifitasnya kembali.
Tak lama kemudian, pintu ruangan dokter tersebut diketuk oleh Intan. Lalu ia pun dipersilakan masuk oleh dokter wanita tersebut.
“Selamat siang, Dok,” sapa Intan.
“Siang dokter, Intan. Tadi Prof Zein sudah meminta saya untuk memeriksa dokter Intan. Silakan langsung baring aja, ya,” ujar dokter tersebut.
“Oh, baik, Dok,” sahut Intan. Ia sedikit terkesima karena Zein begitu perhatian.
Intan pun naik ke tempat pemeriksaan, lalu berbaring di sana. Setelah itu Sang dokter pun mulai memeriksa Intan.
“Wah, ternyata memar,” ucapnya.
“Iya, Dok,” sahut Intan. Ia masih canggung dengan dokter itu.
“Dokter Intan, saya gak nyangka ternyata Prof perhatian sekali, ya. Baru kali ini beliau sampai seperti itu, lho,” ucap dokter.
“Maksudnya?” tanya Intan.
“Iya, tadi beliau minta penanganan terbaik untuk dokter Intan. Atau kalian memang sudah punya hubungan, ya?” ledek dokter itu.
Ditanya seperti itu, Intan pun gelagapan. “Euh, enggak kok, Dok. Mungkin karena saya asistennya, jadi beliau repot kalau saya sakit,” jawab Intan, gugup.
“Oh, bener juga, ya. Kirain ada hubungan, hehe,” sahut dokter itu. Padahal tuduhannya memang benar.
Intan pun hanya tersenyum getir. ‘Yah, bohong, deh,’ batinnya.
Sore hari, seperti janjinya, Zein ingin mengajak Intan pergi untuk mencari cincin. Namun, mengingat kaki Intan sedang sakit, sehingga Zein memilih untuk mencari cincin di toko perhiasan yang ada di ruko, agar tidak perlu repot berjalan jauh di mall.
Padahal sebelumnya ia sudah menghubungi temannya yang memiliki toko perhiasan di mall.
Saat sedang menunggu Intan di mobil, Zein melihat Intan sedang jalan dari kejauhan menuju ke mobilnya.
"Sepertinya kakinya masih belum bisa berjalan normal," gumam Zein saat melihat Intan masih tertatih.
Akhirnya Zein turun dari mobil dan menghampiri Intan. "Kamu lama sekali!" ucapnya.
"Euh, maaf, Prof. Ini ...." Belum sempat Intan menyelesaikan ucapannya, Zein langsung menggendong Intan dan membawanya ke mobil.
"Lho, Prof. Biar saya jalan sendiri. Gak enak dilihat orang," ucap Intan. Padahal saat itu parkiran sedang sepi. Zein memang tidak selalu parkir di parkiran VIP. Sebab ia lebih senang parkir di basement agar mobilnya tidak terkena debu jalanan.
"Lama!" ucap Zein, ketus tanpa menoleh ke arah Intan. Padahal ia memang mengambil kesempatan itu untuk menggendong Intan. Ia pun tetap menggendong Intan dan membawanya ke mobil.
Jantung Intan berdebar cepat kala digendong seperti itu oleh Zein. Ia sangat gugup karena tubuhnya bersentuhan dengan tubuh kekar pria itu.
'Ya Tuhan ... kenapa harus digendong, sih? Ini kalau aku pingsan gimana?' batin Intan. Wajahnya terasa panas dan ia tidak konsen karena menghirup aroma tubuh Zein lagi.
"Buka pintunya!" ucap Zein saat tiba di depan pintu mobil.
Intan pun membuka pintu tersebut dan Zein menurunkannya secara perlahan.
"Bisa pasang seatbelt?" tanya Zein.
"Bisa!" sahut Intan, cepat. Ia pun langsung menarik seatbelt lalu memasangnya.
Setelah itu Zein berjalan menuju kursinya. Lalu ia masuk dan melajukan kendaraannya itu.
"Kamu suka emas putih, kuning, atau berlian?" tanya Zein sambil menatap lurus ke depan, saat sedang mengemudikan mobilnya.
Ia menikahi Intan seolah terpaksa. Namun Zein masih peduli dengan kesukaan calon istrinya itu.
"Apa aja, Prof," sahut Intan.
"Kalau saya kasih cincin kawat, mau?" tanyanya.
Intan terkesiap. "Saya kan manusia, bukannya tiang rumah, Prof," sahutnya, memelas.
'Sialan!' maki Intan dalam hati.
"Katanya apa saja? Makanya kalau ditanya itu jawab yang jelas!" skak Zein.
***
Bab 20
Cash Back
"Iya maaf, Prof. Saya gak biasa pakai perhiasan, jadi bingung mau jawab apa," sahut Intan, memelas.
"Ya sudah, nanti kamu bisa pilih sendiri mana yang kamu suka," ucap Zein.
Ia terkesan otoriter dan menyebalkan. Namun Zein tetap memberikan kesempatan pada Intan untuk memilih. Secara tidak langsung ia menghargai pilihan calon istrinya itu.
"Baik, Prof," sahut Intan. Ia tidak menyangka Zein akan memperlakukannya seperti itu. Sehingga Intan pun merasa dihargai.
Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di parkiran sebuah ruko. Beruntung Zein bisa memarkirkan mobilnya tepat di depan toko perhiasan yang ia tuju.
Setelah memarkir mobilnya, Zein turun dan berjalan ke arah pintu Intan. Sebelum Zein sampai, Intan sudah membuka pintunya. Namun, belum sempat Intan menurunkan kakinya dari mobil, Zein langsung menggendongnya kembali.
"Prof, saya bisa jalan sendiri," ucap Intan. Ia sangat risih jika digendong oleh Zein terus.
"Saya tidak ada waktu untuk menunggu kamu," skak Zein. Lalu ia menutup pintu mobil dengan kakinya, dan membawa Intan masuk ke toko tersebut. Padahal Zein memang memanfaatkan kesempatan itu untuk menggendong Intan.
Intan pun hanya bisa pasrah. Sebab memang dirinya tidak bisa berjalan cepat karena kakinya itu masih sakit.
"Selamat sore," sapa staf toko yang menyambut mereka di depan pintu.
"Sore ... kami mau lihat cincin pernikahan. Tolong berikan yang terbaik!" pinta Zein sambil berjalan ke arah sofa, lalu menurunkan Intan di sana. Ia tak ingin banyak basa basi.
"Baik," sahut staf. Kemudian ia mengambil beberapa sample cincin untuk ditunjukkan pada mereka.
"Silakan, ini beberapa koleksi terbaru kami," ucap staf tersebut sambil menyodorkan samplenya.
"Apa ada yang kamu suka?" tanya Zein pada Intan.
"Wah ... semuanya bagus," gumam Intan sambil memandangi satu per satu cincin tersebut. Ia tak menyangka Zein akan memberikan yang terbaik untuknya.
Sesekali Intan melirik ke arah Zein. Ia khawatir konsulennya itu kesal karena menunggu terlalu lama. Akhirnya Intan memilih random dengan menunjuk cincin yang menurutnya paling sederhana. Hanya cincin dengan satu mata kecil di tengahnya.
"Yang itu aja, Prof," ucapnya.
Staf toko pun langsung tersenyum. "Jadi mau yang ini?" tanyanya. "Ini cincin berlian dan kebetulan toko kami sedang mengadakan promo. Setiap pasangan yang membeli cincin berlian couple di toko kami akan mendapat cash back berupa voucher hotel untuk bulan madu," ucap staf tersebut.
Intan terkesiap setelah mendengar akan mendapat hadiah voucher bulan madu dari toko tersebut. Ia tidak pernah membayangkan akan melakukan bulan madu bersama Zein. Ia pun tak menyangka ternyata yang dipilih adalah berlian. Padahal Intan pikir itu yang sederhana.
Seketika sebelah ujung bibir Zein menyungging. "Selera kamu bagus juga," ucapnya pada Intan. Ia tidak peduli dengan cincinnya. Zein hanya fokus pada hadiahnya.
"Oke, saya ambil yang itu satu pasang," jawab Zein.
Intan jadi tidak enak hati pada Zein. "Maaf, Prof. Saya tidak tahu kalau itu berlian," ucapnya.
"It's oke. No problem," sahut Zein, santai.
Baginya itu bukan masalah besar. Toh uangnya lebih dari cukup untuk sekadar membeli cincin berlian. Saat ini ia sedang senang karena mendapat hadiah bulan madu. Dengan begitu Zein tidak perlu pusing memikirkan bagaimana cara mengajak Intan bulan madu.
Namun, hal itu membuat Zein jadi teringat akan kejadian tadi siang. 'Sial! Kenapa aku harus ingat itu lagi, sih?' batin Zein. Ia kesal pada Intan karena telah membangunkan jiwa maskulinnya.
"Baiklah, kalau begitu kita ukur dulu, ya," ucap staf toko. Kemudian ia mengukur jari mereka.
"Wah ... ternyata ukurannya sudah pas. Jangan-jangan ini yang dinamakan jodoh. Bahkan cincin pun merestui," ucap staf toko.
Zein berusaha menahan senyumannya. Ia senang mendengar ucapan staf tersebut. Sementara Intan malah gugup mendengar hal itu.
"Ini mau diberi nama atau tidak?" tanya staf.
"Boleh," sahut Zein, santai.
Intan terkesiap. Ia pikir pernikahannya tidak penting bagi Zein. 'Kenapa harus dikasih nama? Toh nikahnya juga cuma karena perjodohan,' batin Intan.
"Oke, silakan ditulis nama yang akan dicetak!" staf memberikan sebuah kertas dan pulpen agar Zein bisa menuliskan nama mereka.
Zein pun menulis namanya dan nama Intan. Setelah itu memberikan kertas tersebut pada staf.
"Sipp, kalau begitu mohon tunggu 30 menit untuk cetak namanya. Sambil menunggu, Mas bisa selesaikan pembayaran di kasir!" ucap staf itu.
"Oke, terima kasih," sahut Zein. Lalu ia langsung berdiri dan menuju ke kasir.
Saat ini Intan sedang melamun. Ia menatap Zein dengan tatapan kosong.
'Sebenarnya dia itu maunya apa, sih? Dia sering banget bikin aku kesel, nyakitin hati aku. Tapi dia sering juga bikin hati aku meleleh. Kenapa dia bikin aku bimbang kayak gini?' batin Intan.
'Dia nikah bukan karena cinta. Tapi kenapa sikapnya seolah dia adalah pria yang menginginkan aku? Kenapa dia harus bikin aku merasa dicintai?' gumam Intan dalam hati. Ia kesal pada Zein karena sikapnya yang tidak jelas itu.
Selesai membayar cincin mereka, Zein kembali duduk di sofa dan menunggu cincin mereka dengan tenang. Namun, pikirannya berkelana membayangkan apa yang akan mereka lakukan saat bulan madu nanti.
Intan pun canggung berada dalam posisi seperti itu. Ia bingung harus bicara apa. Sementara jika hanya diam seperti itu rasanya kurang nyaman.
Kring-kring!
Ponsel Zein berdering. Ia pun langsung menjawab panggilan itu.
"Iya, Mah?" ucap Zein saat menerima panggilan dari mamahnya.
"Kamu di mana, Zein?" tanya Rani.
"Lagi di toko perhiasan nyari cincin nikah. Kenapa?" Zein balik bertanya.
"Oh, udah dapet? Kalau begitu dari sana kalian mampir ke rumah dulu, ya? Ada yang Mamah dan Papah mau bicarakan," ucap Rani.
"Tapi Intan kakinya sedang sakit, Mah. Nanti aku tanya dia dulu, ya. Kalau gak memungkinkan, aku tidak bisa memaksa," jawab Zein.
"Ya sudah, tapi tolong usahakan, ya. Karena ini sangat penting!"
"Siap, Mah."
"Ya sudah, hati-hati!"
Telepon terputus.
"Mamah saya minta kamu ikut ke rumah. Katanya ada yang ingin dibicarakan. Apa kamu bersedia?" tanya Zein.
Intan terdiam. Ia tak berani untuk menolaknya. Akhirnya ia pun mengangguk. "Boleh, Prof," jawabnya.
"Oke."
Tak lama kemudian cincin mereka pun sudah selesai.
"Mohon maaf sudah menunggu lama," ucap staf toko. Lalu ia menunjukkan kedua cincin itu pada mereka.
Zein pun melihat nama mereka sudah terukir di masing-masing cincin pasangan mereka. Ia senang karena dengan begitu pernikahan mereka sudah di depan mata.
"Ini untuk voucher hotelnya. Sudah termasuk seluruh akomodasi selama tiga hari dua malam," ucap staf.
"Oke, terima kasih," sahut Zein sambil menerima voucher itu. Lalu ia pun langsung mengamankannya agar tidak hilang.
"Sama-sama. Semoga pernikahan dan bulan madunya lancar serta segera diberikan momongan, ya," ucap staf toko.
Intan menelan saliva saat mendengar doa terakhir dari staf tersebut. Namun ia terperanjat kala mendengar Zein mengatakan aamiin.
"Aamiin," jawab Zein.
Lalu ia bangkit dan kembali menggendong Intan, meninggalkan toko tersebut.
"Maaf, Prof. Kenapa Prof mengamini ucapan staf tadi?" tanya Intan. Ia merasa dirinya tidak perlu memberikan momongan karena mereka memang menikah bukan karena cinta.
"Lantas kamu ingin saya jawab apa? Protes? Buang waktu saja," sahut Zein tanpa beban. Padahal ia memang serius mengamininya.
Intan menghela napas. 'Huuh! Bener juga sih apa yang dia bilang. Mungkin cuma aku yang over thinking,' batinnya.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di rumah Zein.
"Waah ... akhirnya calon menantu Mamah datang juga. Kaki kamu kenapa, Sayang?" tanya Rani.
Ia begitu senang Intan bisa datang ke rumahnya.
"Ini cuma terkilir biasa kok, Tante," sahut Intan. Ia berusaha untuk tetap berjalan. Di hadapan orang tuanya, Zein pun tidak berani menyentuh Intan begitu saja. Sehingga ia tidak menggendong Intan.
Saat ini mereka sudah duduk di sofa ruang tamu rumah itu.
"Jangan panggil Tante, dong! Kan sebentar lagi kamu akan jadi bagian dari rumah ini. Panggil Mamah aja, ya?" pinta Rani.
Intan tersenyum sambil mengangguk. Ia senang, setidaknya orang tua Zein ramah padanya.
"Silakan diminum, Tan!" ucap Rani lagi saat ART menyuguhkan minuman untuk Intan.
"Terima kasih, M-mah," sahut Intan, kikuk.
Intan pun mengambil cangkir dan meminumnya.
"Jadi begini. Mamah itu manggil kalian ke sini karena ada usul. Gimana kalau pernikahan kalian dimajukan saja. Minggu depan sekalian lamaran," ucap Rani.
***
Wakwaww ... hayoloh, Tan. Dimajuin lagi, wkwkwk,
See u,
JM.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
