WARMINDO OPPA #CeritadanRasaIndomie

5
6
Deskripsi

#CeritadanRasaIndomie

“Assalamualaikum!”

Suara salam Mas Juned membuatku cepat-cepat meletakkan cucian piring di atas wastafel dapur. Kubuka pintu kontrakan yang sudah penuh coretan menggunakan kunci di tangan.

 

“Waalaikumsalam, Mas!” jawabku seraya mencium punggung tangannya.

“Nihil lagi, Dek,” gumamnya diikuti desahan napas berat.

Diam-diam kuteguk salivaku. Rasanya sangat pahit.

 

“Ndak apa-apa, Mas. Namanya juga usaha, kalo nggak berhasil ya gagal,” hiburku sambil mengusap bahunya. Kupaksa senyumku hadir untuk lelaki berambut lurus itu, karena tidak ingin menambah bebannya.

“Duduk dulu, Mas! Aku buatin makan, pasti belum makan tho?” tanyaku dengan wajah semringah.

Mas Juned menggeleng pelan.

 

“Memangnya di rumah ada nasi?” tanyanya dengan suara berat.

“Nggak ada. Alhamdulillah tadi dikasih Bu Haji Mae Indomie, Mas. Lima bungkus!” jawabku menyebutkan nama pemilik kontrakan tempat kami tinggal.

“Alhamdulillah,” sahut Mas Juned seraya mengusapkan kedua tangan ke wajahnya.

“Ya sudah, tolong bikinin ya,” pintanya.

Aku mengangguk, lalu buru-buru menuju ke dapur. Sesekali kuusap bulir bening yang tiba-tiba jatuh ke pipi. Air mata ini tidak boleh terlihat oleh Mas Juned.

 

Kuhela napas dalam-dalam lalu keembuskan perlahan, berusaha membuang semua sesak yang mendadak datang menyergap hati. Setelahnya, kujerang air di atas panci untuk membuat Indomie rasa soto pemberian Bu Haji.

Menunggu mie itu matang, aku terpaku diam di depan kompor. Sudah hampir tiga bulan Mas Juned berkeliling mencari pekerjaan usai di-PHK dari pabrik garmen tempat ia bekerja. Akan tetapi, hingga hari ini dia belum memperoleh pekerjaan. Banyak yang bilang, umur Mas Juned yang sudah kepala tiga membuatnya kesulitan mendapat pekerjaan. Karena, tidak dipungkiri, perusahaan memang menetapkan standar usia maksimal 25 tahun untuk lulusan SMA.

Sebenarnya, Mas Juned juga tidak melulu melamar ke perusahaan. Dia juga pernah melamar menjadi kenek tukang bangunan. Namun saat proyeknya usai, suamiku itu kembali tidak memiliki pekerjaan. Mas Juned juga sudah mencoba melamar menjadi tukang ojek online. Namun, ditolak karena motor yang kami miliki umurnya sudah sangat tua. 

Hari ini, dia juga kembali berkeliling mencari pekerjaan. Akan tetapi, takdir belum berpihak kepadanya untuk mendapatkan pekerjaan lagi. Aku juga tidak tinggal diam. Pekerjaan sebagai tukang setrika di sebuah laundry aku lakukan sejak Mas Juned terkena PHK.

Uang pesangon yang tidak seberapa, sudah hampir habis untuk makan sehari-hari. Aku harus pintar-pintar menghemat agar sisa uang yang kami miliki bisa untuk membeli seragam Putri yang akan masuk SD dua bulan lagi.

Setelah Indomie di dalam panci tanak, kupindah ke dalam mangkok yang sebelumnya sudah kutuangi bumbu, cabe bubuk, dan minyak khas Indomie. Semerbak bau harum soto yang gurih dan segar tak ayal membuat perutku ikut keroncongan juga. 

 

“Ini, Mas … Indomie soto-nya sudah jadi,” ucapku seraya menyodorkan makanan berkuah itu kepada Mas Juned.

Laki-laki berusia 30 tahun itu mengangguk. Diambilnya gelas berisi air putih. Tanpa menunggu lama, Mas Juned langsung melahap makanan yang kusodorkan.

“MasyaAllah… enak banget, Dek!” gumam suamiku sambil terus menyeruput makanan hangat itu.

“Kamu memang pintar bikin mie,” pujinya.

“Bukan aku yang pinter, Mas. Tapi dari sananya udah enak. Baunya saja sudah menggugah selera, bikin nafsu makan bangkit,” selorohku sambil tersenyum.

Laki-laki itu tertawa hingga matanya menyipit.

 

“Iya sih, Indomie emang the best. Tapi beneran, Indomie buatanmu ini enak banget,” sahutnya.

“Masa iya sih?” tanyaku tak percaya.

“Iya bener!” Laki-laki itu mengangguk tegas, membuat hatiku berbunga-bunga akan pujiannya.

“Oh ya, Putri sama Nisa mana?”

“Lagi main sama anak tetangga kontrakan sebelah,” jawabku.

Laki-laki itu kembali mengangguk. Kuamati Mas Juned yang begitu lahap memakan Indomie soto itu. Sebenarnya aku juga kepengen, tetapi aku tahan. Aku tidak mau mengganggu kenikmatan Mas Juned yang sedang lapar.

 

“Alhamdulilah, nikmat banget!’ seru Mas Juned sambil meletakkan mangkok yang sudah kosong.

Setelah itu, dia meneguk air putih yang sudah kuhidangkan sejak beberapa menit yang lalu.

“Dek, uang pesangon kita tinggal berapa?” tanyanya kemudian.

Aku sejenak terdiam, berusaha mengingat-ingat jumlah lembaran uang yang kusimpan di lemari.

“Kira-kira dua jutaan, Mas!” sahutku.

Kulihat dia mendesah berat.

 

“Semoga saja Allah mengijabah ikhtiar kita, Dek,” harapnya dengan suara parau.

“Aamiin, Mas. Tetap semangat ya,” ucapku seraya mengusap bahunya yang mulai mengendur. 

Kembali kuberikan senyum terbaik untuk menyemangati pria yang sudah kunikahi selama delapan tahun itu. Sekilas kulihat pria itu menerawang, seolah sedang mencari jalan keluar atas masalah ekonomi yang kami hadapi saat ini. Sepintas dia melirik mangkok bekas mie yang memang belum kutaruh di dapur.

“Dek, bagaimana kalau kita buka warung kecil-kecilan?” cetusnya beberapa saat kemudian.

Aku mengernyitkan dahi,” Warung apa, Mas? Warung kan banyak modalnya, Mas.”

“Warung Indomie, Dek. Indomie buatannmu kan enak banget! Itu sepertinya tidak butuh banyak modal. Lagian, kalo warmindo kan bahannya baru dimasak kalo ada orang beli. Kalo nggak ada ya gak dimasak. Jadi bisa tahan dan gak basi. Kita buka di depan kontrakan aja. Sasarannya anak-anak kos sini, gimana?” tanyanya dengan suara bersemangat.

Aku terdiam sesaat. Memikirkan dari mana modal yang akan dipakai untuk membuka warmindo seperti yang diutarakan suamiku.

 

“Modalnya gimana, Mas?”

“Warmindo-nya gak usah bagus-bagus dulu, Dek. Paling kita pakai meja di dapur, kompor, panci, sama nanti beli mangkok, sendok, garpu. InsyaAllah gak sampai tiga ratus.”

Aku manggut-manggut.

“Kalo untuk Indomienya, kita beli lima dulu setiap rasa. Jadi gak butuh uang banyak. Tambah telor, sawi, cabe, bakso, Dek,” imbuhnya bersemangat.

“Kalo nanti gak jalan gimana, Mas?” tanyaku penuh kekhawatiran, mengingat uang yang kami punya mepet sekali.

“Kita berpikiran positif dulu, Dek. Moga-moga bisa jalan warmindo kita nanti!” tegasnya dengan nada optimis.

“Ok, Mas. Siap … kapan kita mulai?”

“Besok!” sahutnya dengan wajah penuh keyakinan.

Aku mengangguk tak kalah yakin. Dalam hati berharap, semoga ini memang jalan yang diberikan Allah sebagai jawaban atas doa-doa kami.

**

Keesokan hari, kami mulai bersiap. Aku berbelanja Indomie, telur, mangkok, garpu dan bahan lainnya. Sementara, Mas Juned menyiapkan meja, kompor, dan tulisan di karton untuk memperkenalkan usaha baru kami ke warga sekitar.

‘WARMINDO OPPA’

Itu nama yang disematkan suamiku untuk warung Indomie kami. Kata Mas Juned, supaya kekinian namanya. Tak lupa, dia menuliskan daftar menu di karton, seperti Indomie goreng, Indomie rebus, teh hangat, es teh dan air putih. Dia juga menuliskan varian topping yang bisa dipesan dengan tingkat kepedasan tertentu.

Tepat pukul lima, kami resmi membuka warung Indomie kami.

Berempat dengan anak-anak dan Mas Juned, aku menunggu pembeli dengan sabar. Beberapa tetangga kontrakan mampir ke meja, sekadar menanyakan jualan kami. Kemudian, mereka berlalu tanpa membeli menu yang kami jual.

 

“Mas, kok belum ada yang beli ya,” lirihku menahan sesak di dada.

“InsyaAllah sebentar lagi, Dek. Baru juga jam berapa ini. Lagi pula, kalo hari ini belum ada laku, 'kan bahannya bisa buat besok,” ucapnya menguatkan.

Aku mengangguk perlahan.

 

“Kita doa sama-sama, biar Allah mendatangkan pembeli,” tambahnya lagi.

Kuajak anak-anak berdoa. Mas Juned tampak khusuk berkomat-kamit sambil menengadahkan tangannya ke atas.

 

Selang beberapa menit kemudian, seorang pemuda menghampiri meja kami, memesan tiga porsi Indomie kari kuah. Dengan semangat empat lima, aku membuat menu itu untuknya. Mas Juned bersemangat membantu sambil sesekali mengajak ngobrol pembeli itu.

Hari demi hari, warung Indomie kami semakin ramai. Setiap hari, kami menghabiskan sekitar empat puluh bungkus Indomie. Aku dan Mas Juned bersyukur, Indomie menjadi jalan kami untuk meraih rezeki dari Allah. Kami terus berharap, agar Warmindo Oppa bisa semakin besar dan ramai pembeli.

 



 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan