
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi.
Revi tidak pernah menyangka kehadiran Rain menumbuhkan kembali sesuatu dalam dirinya yang telah terkubur sejak lama. Rain...
BAB 4 | Gengsi
Nathan melihat Rain berjalan memasuki kantin dan menghampiri para sahabatnya dengan sebelah alis terangkat. "Tumben lo ke sini. Nggak bawa novel?"
Cuma ada dua alasan jika Rain bergabung dengan teman-temannya. Pertama, karena novel yang dibacanya telah selesai dibaca. Kedua, karena belum beli novel baru lagi.
"Bawa kok," jawabnya seraya mengangkat novel di tangannya. "Tapi gue mau makan dulu."
"Makan?" tanya Ben, heran.
Meski tidak tahu apa penyebab Rain jarang sekali makan di sekolah, mereka tahu betul jika Rain sangat menjaga pola makannya. Dan makanan yang tersedia di kantin sekolah kebanyakan adalah makanan cepat saji dan minim nutrisi! Kalau benar-benar kelaparan, paling Rain akan mengganjalnya dengan jus buah atau susu beruang yang lebih meyakinkan kesehatannya.
Rain meletakkan novelnya di atas meja sebelum akhirnya berjalan menghampiri ibu penjual siomay yang diceritakan Revi kemarin.
Di tempatnya, Nathan dan yang lain hanya bisa melongo melihat Rain memesan siomay tanpa ampun. Alias, banyak banget!
"Astaga! Lo mesan berapa?" tanya Affan, sekembalinya Rain dengan sepiring siomay di tangan cowok itu.
"Sepuluh ribu."
Dan rahang para sahabatnya pun terjatuh. Tercengang tak percaya.
Pasalnya, siomay punyanya ibu kantin itu termasuk siomay yang murah. Harganya hanya lima ratus rupiah per siomay. Meskipun ukurannya agak mungil-mungil, tapi coba bayangkan, Rain yang selama ini jarang makan, mampu menampung dua puluh biji siomay?!
"Mantulll!" seru Dean, kagum. Ia bahkan bertepuk tangan menyaksikan Rain yang mulai menyantap siomaynya tanpa ragu.
"Apaan mantul?" tanya Farhan, bingung.
"Mantap betul," jawabnya.
"Norak!"
Rain tidak menanggapi perdebatan itu. Ia hanya terfokus menghabiskan siomaynya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Rain melahap habis makanannya itu. Para sahabatnya tidak tahu saja jika perut Rain bahkan bisa menampung sebanyak dua porsi lagi kalau ia mau.
Tapi sayangnya, Rain masih mencintai tubuh idealnya yang sekarang. Ia terlalu takut "kekhilafannya" dapat menjadi perkara bagi dirinya sendiri.
***
Revi tidak menemukan Rain di halaman belakang sekolah. Kening cewek itu mengernyit. Di mana cowok itu berada?
Revi berdecak. Ia tidak tahu kelas Rain dan ia tidak mungkin bertanya pada Anya! Sahabatnya itu bisa menggodanya habis-habisan nanti!
Akhirnya, Revi hanya terduduk lesu di bangku halaman belakang sekolah. Kemudian ia menyisir pandangan dan bergidik ngeri. Meskipun hari masih siang, tapi langit cukup mendung. Ditambah dengan kehadiran gudang di dekat halaman belakang sekolah yang tampak mengerikan dari luar. Revi jadi berpikir, kok bisa sih Rain setenang itu baca novel sendirian di sini?!
Hari ini Revi tidak dihukum. Jadi, ia sengaja berkunjung ke sini untuk bertemu dengan Rain tanpa perlu takut akan kemunculan bu Yeni yang tiba-tiba dan menambah hukuman baru untuknya.
Perlu diketahui, Revi bukanlah murid yang suka mencari masalah. Hanya saja berkat ketidaksengajaan takdir yang mempertemukannya dengan Rain, cewek itu kembali tenggelam dalam kegiatan yang dulu pernah menjadi bagian hidupnya. Hal itu menyebabkan Revi tanpa sadar kerap kali lebih mengutamakan tugas sampingan dibanding tugas utamanya sebagai seorang pelajar.
Berkat Rain, Revi termotivasi kembali. Cowok itu tanpa sadar telah menciptakan semangat baru untuk Revi. Membangkitkan Revi dari keterpurukan yang telah lama memasungnya. Membuat cewek itu bisa dengan mudahnya jatuh pada Rain.
Kencangnya angin, membuat kedua mata Revi lambat laun terasa berat. Tidak lama kemudian, cewek itu pun tertidur dengan posisi terduduk dan kepala yang mengadah ke atas.
***
Rain membaca novel di pangkuannya. Beberapa kali ia merasa kesulitan karena harus membalik lembar selanjutnya hanya dengan sebelah tangannya yang terbebas dari payung.
Rain melirik sekilas wajah Revi yang tertidur pulas di sampingnya. Kepala cewek itu—yang sebelumnya mengadah ke atas—kini telah bersandar nyaman di bahu kanan Rain.
Gerimis tengah membasahi bumi saat ini. Tapi tidak dengan keduanya. Tangan kanan Rain seolah menjadi pelindung bagi tidur nyenyak Revi. Payung besar yang memang didesain untuk dua orang itu, sanggup melindungi Revi dan juga novelnya agar tidak basah.
Rain bisa merasakan kepala Revi yang tiba-tiba saja merosot dari bahunya dan terantuk ke depan, membuat cewek itu langsung tersadar dan selama beberapa saat tampak kebingungan di tempat.
Rain sama sekali tidak menoleh pada Revi yang telah terbangun. Cowok itu bahkan tidak menyadari senyum terima kasih Revi yang dilemparkan untuknya.
"Kok baru muncul?" tanya Revi.
"Dari tadi kok," balas Rain, sekenanya.
Revi mengernyit. "Gue ke sini tadi lo belum ada."
Ucapan Revi berhasil membuat Rain mengalihkan perhatian padanya. "Lo nyari gue?"
"Yaaah, nggak sih. Cuma biasanya lo, kan, selalu nongol di sini," kilah Revi, cepat. Menyembunyikan kegugupannya.
Rain mengangkat bahu. "Gue abis dari kantin."
"Ngapain?"
"Makan. Siomay rekomendasi dari lo kemarin."
Kedua mata Revi lantas membulat mendengarnya. Ucapan sederhana Rain barusan pun sanggup menciptakan senyum di wajah Revi. "Serius? Enak nggak?" tanya Revi, antusias.
Rain mengangguk. "Enak, kok. Sama yang kayak yang kemarin kita beli. Ikannya kerasa."
Revi terkekeh. "Menurut gue, yang kemarin sih lebih enak." Apalagi makannya sama Rain. Lanjut batinnya, geli.
Rain kembali sibuk dengan novel di pangkuannya. Saat itu juga, Revi baru menyadari jika Rain hanya menggunakan sebelah tangannya untuk membolak-balik lembaran novel dan sebelah tangannya yang lain tak pernah lepas dari payung besar yang memayungi keduanya. Pasti pegal, batin Revi, iba.
Merasa tahu diri, Revi mengambil alih payung Rain dan memayungi keduanya. Cewek itu tidak menanggapi tatapan protes dari Rain. Revi hanya tidak ingin tangan Rain jadi pegal-pegal karena ulahnya.
Seharusnya, Rain senang jika Revi memayunginya. Ia jadi bisa leluasa membaca novel tanpa perlu mengalami kesulitan. Tapi sebaliknya. Ia malah kepikiran! Payung yang disediakan sekolah itu memang berukuran besar dan cukup berat. Bagaimana kalau Revi tiba-tiba goyah dan menyebabkan keduanya juga novel Rain basah?
Baru ingin merebut payung tersebut, bel tanda istirahat telah habis pun berbunyi. Membuat Revi menyerahkan payung itu kembali pada Rain. "Nih, pegang. Lo, kan, lebih tinggi. Kapan lagi dipayungin cowok," gurau Revi dengan sepasang alis naik turun.
Cewek itu tidak tahu jika ucapan barusan sanggup membuat darah Rain berdesir.
***
Revi terjebak. Cewek itu berdiri dengan bosan, memandang iri beberapa murid yang berlalu lalang dengan payungnya. Sementara dirinya—ditemani para murid yang tidak pernah sedia payung dalam tasnya—hanya bisa menunggu hujan yang tidak kunjung reda.
Revi berdecak. Kalau tahu bakal hujan deras seperti ini sih, harusnya tadi Revi terima saja tawaran Anya untuk pulang bareng naik mobilnya. Ugh! Pasti Anya sudah sampai di rumah tanpa kebasahan sedikit pun!
Cewek itu menatap genangan air di depannya dengan tajam. Ia membenci hujan!
Tidak jauh dari sana, Rain terburu-buru masuk ke dalam mobil hitam milik Affan sebelum derasnya hujan membasahi sekujur tubuhnya. Ia mengembuskan napas begitu pantatnya telah menempel di jok samping kemudi.
"Untung lo belum pulang. Kalau nggak, bisa kesorean gue pulangnya."
Affan terkekeh. "Emang lo nggak bawa payung?"
Rain mengangkat bahu. "Mana pernah gue bawa payung."
"Lho? Payung yang lo pakai sama Revi itu payung siapa?"
Rain langsung menoleh. "Lo tau dari mana?" tanyanya dengan suara tersekat. Batinnya berharap-harap cemas. Semoga Affan tidak menyadari kegugupannya!
Affan sebenarnya tahu jika payung yang digunakan Rain adalah payung milik sekolah karena terdapat logo SMA Paradipta di sana. Ia bertanya, semata-mata hanya untuk menggoda Rain.
"Taulah. Lo berdua keasyikan ngobrol di bawah payung sih, jadi nggak sadar diperhatiin, kan," goda Affan, membuat wajah Rain memanas. "Kalian kayak orang pacaran tau nggak," lanjutnya lantas tertawa geli.
Rain tidak menanggapi. Ia berpura-pura sibuk mengamati pemandangan di luar jendela mobil. Sekaligus menyembunyikan semburat merah muda di kedua pipinya dari Affan.
"Eh, itu si Revi bukan sih?"
Pertanyaan Affan tiba-tiba membuat Rain kontan menoleh. Tapi sedetik kemudian, ia menyikapinya dengan berpura-pura tidak peduli.
"Terus?"
"Itu dia kayaknya lagi nungguin hujan reda."
"Yaudah biarin aja."
Affan langsung sewot mendengarnya. "Lah? Lo nggak mau ngajakin dia balik bareng? Kan, lo temannya. Kasihan tau. Hujan deras begini mah awet."
Rain hanya menggeleng kecil membalasnya.
"Astaga. Tega banget lo." Cowok itu kemudian berdecak. "Yaudah kalau lo nggak mau ngajak, biar gue yang ngajak."
Rain bukannya tega! Rain bukannya tidak mau mengajak Revi untuk pulang bersama mereka. Hanya saja, Rain takut jika Affan semakin menggodanya. Apalagi, di depan Revinya langsung!
Rain tidak bisa melarang Affan untuk meminggirkan mobilnya dan menawarkan tumpangan pada Revi—yang mengataskan nama Rain. Rain hanya berharap Revi menolaknya. Tapi tidak. Cewek itu justru tersenyum lebar menanggapi dan langsung bergegas masuk ke dalam mobil.
Bagaimana Revi mau menolak? Selain karena hujan yang tidak kunjung dan tidak tahu kapan akan berhentinya itu, Revi juga terlalu senang untuk menolak ajakan Affan yang mengatasnamakan Rain.
Ya, Affan mengatakan bahwa Rainlah yang mengajak Revi untuk pulang bareng bersama mereka. Revi pun tidak keberatan. Bahkan teramat sangat ringan untuk mengangguk! Lagipula, Affan adalah sahabat Nathan dan Rain, kan? Cowok itu pun mengenal Anya. Jadi, meski tidak mengenalnya, setidaknya Affan terhitung temannya juga sekarang.
"Makasih banget ya..." ucap Revi menggantung, begitu ia telah duduk di belakang jok kemudi. "Ng... siapa nama lo?"
"Affan, Rev."
Revi manggut-manggut. "Affan, ya. Thanks, Fan!"
"You're welcome," balas Affan. "Kasih tau aja alamat rumah lo di mana, Rev."
Rain sama sekali tidak menoleh ke belakang, di mana Revi tengah menatapnya dalam diam. Bahkan saat Revi mengucapkan alamat rumahnya, cowok itu sama sekali tidak bereaksi. Hmm, misalnya senang gitu bisa tahu di mana tempat tinggal Revi? Cewek itu hanya bisa mengernyit dan bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Rain?
Sepanjang perjalanan, tidak satu pun orang yang berniat mencairkan suasana. Baik Revi maupun Rain sama-sama terdiam. Begitu juga dengan Affan yang sibuk menyetir. Meski begitu, Rain bersyukur karenanya. Kekhawatirannya beberapa saat lalu, ternyata tidak terbukti! Affan sama sekali tidak berniat menggodanya.
Namun, belum ada semenit ia senang, suara Affan membuat Rain membeku di tempat.
"Duh!" Affan menepuk keningnya. "Sori nih, Rev. Gue baru ingat kalau mesti jemput nyokap di kantornya. Gue turunin lo di rumah Rain aja, gimana? Biar Rain yang ngantar lo pulang nanti."
Rain kontan menoleh. Menunjukkan ekspresi protes keras.
Kalau saja Revi tidak menyadari hal itu, mungkin Revi akan senang mendengarnya. Tapi respon cepat dari Rain membuat hati Revi sedikit tersentil. Cowok itu sepertinya tidak ingin direpotkan. Revi pun jadi enggan menyetujuinya.
"Hmm, nggak usah. Gue turun di depan aja. Biar nanti nyambung angkot."
Jawaban Revi membuat kepala Affan lantas menoleh dengan cepat. "Lho? Masih hujan Rev. Nanti lo basah. Percuma dong gue ngantarin lo sampai sini?"
Revi tersenyum meskipun Affan tidak dapat melihatnya karena telah kembali fokus menyetir. "Nggak apa-apa. Paling basah dikit. Kan, kalau udah di angkot, udah aman."
"Iya. Kalau angkotnya lewat. Kalau mesti nunggu, lo nunggu di mana?" Affan berdecak. Diam-diam ia melirik Rain. Melempar tatapan menyindir dan mengisyaratkan cowok itu agar membantunya. "Lagian, hujannya belum tentu reda pas lo turun dari angkot."
Rain yang menyadari tatapan Affan pun lantas berdeham kecil. "I-iya. Tunggu di rumah gue dulu aja, daripada kehujanan."
Dan Affan tersenyum puas mendengarnya.
BAB 5 | Hanggara
Affan tidak bodoh. Ia tidak mungkin menyuruh Revi turun di rumah Rain dan meminta Rain untuk mengantar cewek itu kalau jarak rumah keduanya cukup jauh. Cowok itu sudah hafal akan daerah rumah para sahabatnya, termasuk perumahan tempat Rain tinggal. Oleh karena itu, saat Revi menyebutkan alamat rumahnya, sebuah ide pun terlintas di benak Affan.
Mobil Affan berhenti tepat di depan pagar rumah Rain. Mempersempit risiko keduanya akan kebasahan.
"Taruh sepatunya di situ aja."
Revi langsung terburu-buru melepas sepatunya dan meletakkannya di rak berukuran rendah, seperti yang Rain lakukan sebelumnya.
Usai melakukannya, Revi bergegas mengekori Rain. Cewek itu mengernyit saat Rain justru membawanya ke kamar. Sialan! Mendadak pikirannya jadi macam-macam!
"Duduk aja dulu. Gue mau ambil minum. Lo mau minum apa?" tanya Rain seraya meletakkan ranselnya di bawah meja belajarnya.
Rain tidak memiliki "niat" buruk apa pun dengan membawa Revi ke kamarnya. Ia tidak punya pikiran lain selain memperlakukan Revi sama seperti para sahabatnya—yang telah menganggap kamar Rain sebagai kamar mereka sendiri. Ia tidak berpikir untuk menjadikan cewek itu sebagai pengecualian.
"Ng... apa aja deh. Yang berwarna juga boleh," jawab Revi.
"Warna bening nggak apa-apa?"
Sebelah alis Revi terangkat sejenak sebelum akhirnya tersenyum masam. "Gue udah yakin sih. Pasti lo cuma punya air putih."
Rain tersenyum kecil. "Nyokap lagi dinas ke Medan selama seminggu. Jadi, nggak ada yang baru di kulkas."
Ucapan Rain justru memancing rasa penasaran Revi. "Terus, lo tinggal sendirian?"
Rain menggeleng. "Sama adik gue."
"Berdua doang?"
Rain mengangguk, sebelum akhirnya pamit ke belakang untuk mengambil minum.
Revi menatap pintu kamar Rain yang tertutup dengan kepala meneleng. Sejujurnya, ia masih ingin bertanya-tanya. Tapi mengingat bagaimana respons Rain yang selalu menjawabnya dengan kedua mata menghindari Revi, membuat cewek itu enggan kembali membuka mulut. Ia takut jika Rain merasa tidak nyaman dan justru terusik dengan kehadirannya.
Revi mendudukkan dirinya di pinggir ranjang Rain. Pandangannya beralih pada jendela kamar Rain yang berembun. Affan benar. Sampai sekarang, hujan masih setia membasahi bumi dengan derasnya.
Cewek itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Sebenarnya, Revi sendiri sih tidak masalah berlama-lama di rumah Rain. Tapi, bagaimana kalau Rain berpikir sebaliknya? Revi benar-benar tidak ingin Rain bermasalah dengan kehadirannya.
"Tegang banget. Santai aja. Anggap rumah sendiri."
Suara Rain yang tiba-tiba, membuat Revi nyaris terjungkal dari tempatnya. Cewek itu langsung mengelus dadanya yang rata. "Ngagetin aja!"
Rain menjulurkan segelas air berembun untuk Revi. "Nih. Minum."
"Hujan-hujan kok minum air dingin," protes Revi seraya menerima gelas tersebut.
"Emang kenapa?" tanya Rain dengan sebelah alis terangkat. "Mau gimana pun cuacanya, gue tetap minum air dingin."
"Pasti lo suka ice cream, ya?"
Rain menggeleng. "Lebih suka susu beku."
Revi tersenyum mendengar kembali fakta yang unik dari Rain. Cowok di depannya ini benar-benar spesial.
Revi tertegun sejenak ketika Rain tiba-tiba tengkurap di sampingnya dan mulai sibuk membaca novel. Apalagi kalau bukan karyanya Pelangi Putih?
"Novel dia lagi?"
Rain mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.
"Lo baca satu novel tuh bisa berapa hari deh? Kok, nggak habis-habis?" tanya Revi, penasaran.
"Tergantung. Paling cepat, gue bisa baca novel cuma dua hari." Pandangan Rain lantas beralih pada Revi. "Tapi kalau gue suka banget, gue bisa irit-irit bacanya. Takut keburu habis."
Revi mengulum senyum. Menahan tawa yang siap menyembur dari mulutnya. "Paling cepat dua hari ya."
Rain lantas mengernyit. "Emang lo berapa? Sehari?"
"Empat jam."
"Ha?!" Rain langsung terduduk di tempatnya. "Empat jam? Apa yang bisa dinikamatin kalau begitu?!"
Revi mengangkat bahu. "Ceritanyalah."
Rain menggeleng kuat. "Nggak mungkin! Kesannya buru-buru gitu. Gimana bisa nikmatin cerita?"
"Ya terserah lo kalau nggak percaya mah."
Jawaban tak acuh Revi justru membuat Rain mencondongkan badannya dan menatap cewek itu dengan sebelah mata menyipit. "Atau mungkin, lo bacanya di-skip-skip?"
Revi terkekeh mendengar dugaan yang tepat sasaran itu. "Iya. Tapi kalau ada bagian yang aneh doang kok."
Rain menelengkan kepalanya. "Aneh gimana?"
"Yaaah. Yang terlalu cheesy atau nggak penting, dan lain hal sebagainya." Kemudian Revi mengernyit, mendapati wajah Rain yang memerah. "Lah, lo kenapa?" Dan cewek itu tertawa geli. "Pasti mikir yang nggak-nggak, ya?"
"Nggak, kok. Apa sih!" kilah Rain, berbohong. Pasalnya, ia sangat menyukai hal-hal yang cheesy sekalipun dibuat terkesan berlebihan oleh sang penulis. Namun, Rain malu untuk mengakuinya. "Udah ah. Gue mau lanjut baca."
Cowok itu kembali tengkurap dan larut dalam bacaannya. Diam-diam Revi menghela napas. Dikacangin lagi deh.
Selagi Rain asyik membaca, Revi bangkit dari tempatnya dan berjalan mengelilingi kamar Rain yang luasnya tidak jauh dari kamarnya.
Rain memiliki kamar yang cukup rapi untuk ukuran cowok. Bahkan lebih rapi darinya. Buku-buku pelajaran tertata rapi di meja belajar. Di belakang pintu kamarnya tidak terdapat satu pun pakaian yang menggantung asal, seperti halnya di kamar Revi. Selain itu, kamar Rain yang bernuansa biru muda tersebut tidak terpajang satu pun poster aneh-aneh di dindingnya, seperti kamar remaja laki-laki pada umumnya. Hanya ada foto keluarga berukuran sedang yang terpajang di atas rak khusus novel.
Di dalam foto itu terdapat Rain dan dua perempuan yang diduga adalah ibunda dan adik cowok itu sendiri. Revi tersenyum memandangi Rain yang terlihat gagah dengan pakaian formal, duduk di antara ibu dan adiknya.
Revi menghampiri rak khusus novel tersebut dan melihat-lihat koleksi Rain. Meskipun rendah, rak itu cukup panjang. Memberikan kesan jika novel-novel milik Rain sangat banyak jumlahnya.
Revi tersenyum mengamati novel-novel itu telah tersampul. telunjuknya menelusuri setiap novel, sampai akhirnya berhenti pada novel pertama milik Pelangi Putih.
"Kok nggak ada namanya?"
Pertanyaan Revi membuat Rain menoleh. "Nama apa?"
"Nama lo." Revi mengalihkan pandangannya dari novel dan menatap Rain dengan kening mengernyit. "Lo nggak pernah namain novel lo, ya? Kan, gue bilang waktu itu. Namain novel-novel lo, biar kalau hilang, orang gampang ngembaliinnya."
"Tulisan gue jelek."
"Terus?"
"Ya nanti jadi nggak rapi. Kesannya, jadi kayak kotor," elak Rain.
Revi mendengus sebelum akhirnya meraih pulpen Rain di atas meja belajar. "Gue tulisin, ya," ucap Revi, dengan nada yang tidak membutuhkan persetujuan. "Nama lengkap lo siapa?"
Mendengarnya, Rain langsung melempar pandangan skeptis. Meski begitu, ia tidak melarang tindakan Revi dengan menyebutkan nama lengkapnya. Ia tahu. Sejelek-jeleknya tulisan cewek adalah sebagus-bagusnya tulisan cowok. Biasanya sih begitu. Awas saja kalau tulisan Revi justru lebih parah darinya! Rain bakal minta ganti rugi. Titik!
Rain Hanggara.
Revi tersenyum. Ia mulai menorehkan tinta hitam pada kertas berjenis bookpaper itu dengan perlahan. Jemari lentiknya tampak piawai mengukir nama lengkap Rain, seolah ia tengah melukis sebuah kaligrafi.
Diam-diam Rain mengintip kegiatan Revi dari balik novelnya. Cowok itu mengangkat alisnya, mendapati Revi yang tidak kunjung selesai menamakan satu buah novelnya.
Seakan mengetahui pikiran Rain, Revi mendongak dan memperlihatkan hasil tulisannya. Cewek itu tersenyum manis. "Nih, bagus nggak?"
Melihatnya, Rain ikut tersenyum. "Bagus," pujinya, bersungguh-sungguh.
Tulisan yang dibuat Revi tidak asal. Entah memang tipe tulisannya seperti itu atau Revi sengaja memperindahnya, membuat tulisannya tampak seperti font Vladimir Script dalam Microsoft Word. Yang penting, Rain senang karena Revi tidak "mengotori" novelnya.
***
"Gue mau tau dong, siapa aja penulis favorit lo?"
"Banyak."
Jawaban Rain membuat Revi cemberut, tak puas. "Yang paling lo suka deh."
"Hmm..." Rain menerawang dengan sepasang alis bertaut. Tampak berpikir keras. "Siapa ya?"
"Yang lagi benar-benar lo sukain banget sekarang," ucap Revi, gemas.
"Sekarang?"
"Iya."
Rain tersenyum manis seraya menerawang. "Pelangi Putih."
Itu. Itulah jawaban yang ingin Revi dengar dari pertanyaannya. "Yang bukunya nggak habis-habis lo baca itu?"
Kali ini Rain yang cemberut. "Bukunya terlalu bagus buat dihabisin langsung. Gue sengaja baca irit-irit. Bahkan suka gue ulang-ulang bacanya kalau ada bagian yang bagus."
Revi hanya ber-"oh" ria sambil manggut-manggut. Berusaha keras menahan senyum.
"Kenapa lo nanya begitu?" tanya Rain.
"Nggak apa-apa. Mau tau aja," jawab Revi, sekenanya. "Kalau lo sesuka itu sama Pelangi Putih, kenapa nggak mau ketemu orangnya langsung?"
Rain berdecak. "Kayaknya gue pernah bilang deh kalau gue malas ikut-ikut begituan. Ribet. Lagian, pasti banyak juga yang ikut. Gue nggak begitu suka tempat ramai. Bakalan canggung nanti."
"Hmm..." Revi tersenyum simpul. "Lo tau nggak? Kadang, yang kayak begitu tuh ngaruh lho."
Dahi Rain berkerut samar. "Maksudnya?"
"Kehadiran satu penggemar aja udah berarti banget buat si penulis sendiri. Mereka merasa karyanya disukai dan nggak sia-sia untuk membuat sebuah karya. Mereka merasa ada yang antusias dan selalu menunggu karyanya terbit. Kemunculan penggemar di hadapan penulis langsung, bisa banget lho memberi motivasi dan energi buat menulis."
Rain tidak berkomentar. Bahkan setelah Revi selesai berucap, cowok itu masih terpaku menatap Revi dengan tanpa berkedip.
Jemari Revi yang menjentik, menyadarkan Rain dari lamunannya. Perlahan, senyum manis pun terulas di wajahnya. "Kalau buku ketiganya terbit, gue bakal ikut pre order dan meet and greetnya deh!" ucapnya, antusias.
***
Revi melirik jam dinding di kamarnya. Sudah lewat tengah malam, tapi kedua mata Revi masih enggan menutup. Otaknya masih sibuk memikirkan Rain! Sedang apa ya cowok itu sekarang? Tanya batinnya, seperti orang bodoh.
Rain benar-benar membuatnya beralih dari kisah lama. Cowok itu membuat Revi berhasil menginjak halaman pertama pada kisah yang baru.
Tak kunjung bisa memejamkan kedua matanya, Revi pun bangkit dan melangkah ke arah meja belajar. Tanpa ada lagi keraguan, ia menyalakan laptopnya dan membuka salah satu folder yang telah lama tidak tersentuh. Jika diibaratkan makanan, mungkin seluruh file di dalamnya itu telah dipenuhi oleh jamur.
Sekali lagi Revi meyakinkan dirinya. Ya, keputusannya sudah bulat. Ia akan mengakhiri semuanya.
Klik.
Membutuhkan waktu beberapa menit agar semua data di dalamnya terhapus tuntas. The folder has been deleted. Beban dalam dadanya seolah turut menguap bersamaan dengan hilangnya folder tersebut. Revi pun tersenyum.
Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan mengetik sebuah pesan.
Malam. Bisa dilanjut kerja samanya?
BAB 6 | Menulis
Pelangi Putih. Semua yang gemar membaca novel fiksi remaja, pasti mengetahuinya. Pelangi Putih merupakan salah satu penulis teenlit yang karyanya paling dinanti. Novel perdananya yang berjudul Mentari di Balik Mendung, menempati rak best seller di hampir seluruh toko buku.
Para penikmat novel Mentari di Balik Mendung menyukai Pelangi Putih karena gaya bahasanya yang ringan, namun memiliki makna yang berat. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sana. Selain itu, Mentari di Balik Mendung juga mampu membuat pembaca tenggelam dalam kisah yang tertuang.
Kepopulerannya di karya pertama, membuat Pelangi Putih sukses menduduki tempat sebagai penulis best seller begitu novel keduanya yang berjudul Gulita di Balik Bintang terbit.
Sayangnya, setelah buku keduanya sukses, Pelangi Putih justru menghilang. Banyak para penggemar yang kecewa karena dibuat penasaran dengan kelanjutan cerita dari Aldi dan Langi, tokoh utama dalam novelnya. Tidak sedikit yang berpikir jika sang penulis telah kehabisan ide atau tiba-tiba mandek. Tidak sedikit pula yang berpikir jika sang penulis tidak berniat melanjutkan kisah Aldi dan Langi kembali.
Tidak ada yang tahu, siapa sebenarnya Pelangi Putih. Tidak ada yang tahu bagaimana rupa dan nama aslinya. Pelangi Putih tidak pernah mencantumkan identitas dirinya, sedikit pun, di dalam profil pengarang.
Di profil pengarang pada buku kedua Pelangi Putih, hanya tertulis: Pelangi Putih merupakan penulis muda yang hobi menulis. Bahkan, di novel perdananya tidak tercantum lembar khusus profil pengarang!
Penulis Misterius.
Begitulah sebutan yang diberikan para penggemar untuknya. Karena sampai saat ini, tidak satu pun orang yang mengetahui "siapa" itu Pelangi Putih kecuali Aldi dan Langi sendiri.
***
"Gue pengin belajar nulis deh."
Revi lantas menoleh padanya dan tersenyum. "Serius? Wow!"
Rain manggut-manggut. "Pengin aja. Soalnya, kan, gue sering berkhayal. Jadi, kalau nggak disalin rasanya..." Rain mengangkat bahu. "Sayang."
"Ngomong 'sayang'-nya jangan dipisah dong," goda Revi, membuat Rain kontan memalingkan wajah. Salah tingkah. "Gue bersedia kok ngajarin lo. Kalau mau sih," tawar Revi.
"Emang lo bisa nulis?" tanya Rain, skeptis.
"Weits!" sergah Revi. Cewek itu kemudian menepuk-nepuk dadanya yang rata dengan bangga. "Jagonya nih! Belum tau aja lo, tulisan gue nggak kalah bagus sama Pelangi Putih."
Rain berdecih. "Sombong banget sih!" gerutunya, membuat Revi terkekeh. "Kalau emang gitu, kenapa nggak coba kirim ke penerbit?"
Revi pun meringis seraya menggaruk pelipisnya. "Takut ditolak."
Jawaban itu membuat Rain tertawa mengejek. "Katanya lebih bagus dari Pelangi Putih," cibirnya. Entah mengapa ia merasa tidak senang jika ada orang yang menyetarakan diri atau bahkan merendahkan penulis favoritnya meskipun secara tidak langsung.
"Eh, gue nggak bilang lebih bagus, ya! Gue bilangnya, nggak kalah bagus!" elak Revi.
"Sama aja tau!" balas Rain, sewot.
"Beda!"
"Sssst!!!"
Mulut Revi dan Rain kontan terkatup rapat mendapati nyaris seluruh pasang mata di perpustakaan, menatap keduanya dengan pandangan terusik.
"Elo sih!" desis Rain, nyaris tidak terdengar.
"Kok gue?!" pekik Revi, tertahankan. "Kan, elo yang ngajak gue ke sini!"
Rain lantas berjengit. "Dih? Siapa yang ngajak lo? Kan, tadi gue cuma bilang mau ke perpus buat nyari bahan makalah. Tapi elonya malah ngikut ke sini."
Revi pun mendengus. "Abisan, gue bete. Mau jajan, masih kenyang. Mau nongkrong doangan di kantin, pasti ramai."
Sebelah alis Rain terangkat. "Biasanya, kan, kantin juga ramai?"
"Iya. Tapi Anya lagi malas ke kantin. Jadi, gue juga ikutan malas ke sana," kilah Revi, berbohong.
Terang saja ia berbohong. Kalau jujur, Revi bisa dikira cewek gatal nanti! Pasalnya, mustahil kalau Anya "malas" atau bahkan "tidak mau" ke kantin. Sahabatnya itu, kan, paling bosan berada di kelas. Namun, demi menemui Rain, Revi tega mencampakkan Anya dengan terburu-buru meninggalkan kelas saat bel istirahat kedua berbunyi. Membuat Anya kontan mengutuk dan menyumpahi Revi saking jengkelnya.
Rain hanya mengangkat bahu kemudian menutup buku-buku referensi di atas mejanya. "Yaudah. Mending sekarang lo ajarin gue," ucap cowok itu lantas tersenyum miring, menantang. "Buktiin ke gue kalau tulisan lo sebagus Pelangi Putih."
"Gampang!" sahut Revi, pongah. "Siniin laptop lo."
"Bentar. Gue close dulu," balas Rain sebelum cowok itu menggeser laptopnya ke hadapan Revi yang duduk di sampingnya. "Tuh."
Kening Revi pun mengernyit dalam. "Ngapain Ms. Word-nya lo close juga sih?" gemasnya.
"Emang pakai Ms. Word?" tanya Rain, polos.
"Ya lo pikir aja dong. Masa mau nulis di powerpoint?!" balas cewek itu, keki. "Buka lagi Ms. Word-nya coba."
Dengan patuh, Rain mengikuti perintah Revi. Telunjuk cowok itu bermain-main di atas kursor sebelum tampilan Ms. Word kembali menguasai layar laptopnya. "Udah. Terus?"
"Ya, tulis."
"Ha?" pekik Rain tertahankan. "Apa yang diajarin kalau gitu?!"
Revi berdecak. "Maksud gue, lo tulis dulu apa yang lo khayalin. Nanti gue cek."
Rain lantas memberengut. "Nggak bisa."
"Belum juga dicoba, udah pesimis duluan!" Revi mendengus. "Gini lho mikirnya, 'lo mau atau nggak' bukan 'lo bisa atau nggak'. Ubah mindset lo sekarang. Be positive!"
Revi tidak menyadari jika ucapannya barusan mampu menciptakan seulas senyum di wajah Rain. Sangat manis. Sampai-sampai cowok itu juga tidak sadar jika kedua matanya tidak luput memandangi sisi wajah Revi yang asyik mengutak-atik format Ms. Word di laptopnya.
Rain berdeham kecil saat kesadaran mulai menguasainya. "Ngapain?"
"Ngatur formatnya," jawab Revi sekenanya. "Usahain kalau nulis, formatnya yang rapi."
Rain segera mengambil alih laptopnya dan mengecek apa saja yang diubah oleh Revi. Ukuran font diubah menjadi 12 dengan jenis Times New Roman. Penjajaran paragraf diubah menjadi justified, serta jarak spasi sebesar 1,5 lines.
Nggak sekalian margins atas-kiri diubah jadi 4 dan 3 senti untuk bawah-kanan?!
"Ini kayak format mau bikin makalah tau!" protes Rain.
"Komen aja lo, kayak netizen!" sergah Revi. "Rata-rata penerbit itu emang pakai format begini, soalnya terkesan rapi. Kalau nulis atau baca tapi formatnya asal-asalan dan kelihatan berantakan, kan, orang juga malas kali."
"Tau dari mana?" tanya Rain, skeptis. "Lo, kan, belum pernah coba nerbitin?"
"Yaaah, belum pernah coba, kan, bukan berarti buta soal beginian. Gue tuh kadang suka iseng-iseng baca blog penerbit mayor," jawab Revi.
"Tapi bosan tau lihatnya!" Rain lantas mengganti font tersebut dengan jenis Adobe Garamond Pro. "Nah, bagusan gini nih! Ini font yang dipakai di novel-novelnya Pelangi Putih. Bukan Times New Roman!"
Meskipun mirip, tapi Rain tahu betul jika font dalam buku Pelangi Putih bukanlah berjenis Times New Roman seperti yang ia gunakan di setiap tugas makalahnya!
Diam-diam Revi tersenyum. Sekagum itukah Rain pada Pelangi Putih sampai-sampai tipe font yang digunakan dalam novelnya pun ia hafal? Gils! Revi saja kalah.
"Lagian, rapi itu, kan, relatif. Formatnya kayak gimana pun kalau nyaman begitu, mau diapain?" lanjut Rain.
Revi mengedikkan bahu. "Terserah sih. Gue juga sering gonta-ganti font kalau bosan."
Rain tersenyum puas mendengarnya. "Oke. Terus, gue harus apa?"
"Coba lo tulis dulu. Apa aja yang ada di pikiran lo, tuang ke situ."
"Gue nggak ngerti cara nulisnya. Pemahaman kosa kata gue tuh minim tau!"
Revi berdecak. "Nggak usah mikir nulisnya mesti gimana. Nulis itu kegiatan buat menuang ide, bukan menguras pikiran! Anggap aja lo lagi nulis diari. Pakai bahasa seadanya aja, nggak usah berpaku sama gaya bahasa penulis lain."
"Jatuhnya kayak ngasal dong?" cicit Rain, cemberut.
"Baik atau bagus itu hasil dari proses. Pelangi Putih pun pas awal nulis pasti nggak sebagus sekarang," ujar Revi kemudian bangkit dari tempatnya. "Udah, coba tulis dulu. Nanti gue cek."
***
Rain menggaruk kepalanya, frustrasi. Sinting! Ia mungkin percaya bahwa menulis bukanlah hal yang mudah. Tapi ia sama sekali tidak menduga jika menulis ternyata sesulit ini!
Cowok itu lantas menoleh dari balik bahunya dan mendapati Revi tengah asyik membaca majalah sekolah di salah satu lorong perpus di belakangnya. Ralat. Bukan membaca. Hanya melihat-lihat.
Kemudian Rain melirik arloji di tangannya dan mendesah. Jam istirahat kedua akan habis sebentar lagi, tapi yang sudah ia tulis bahkan belum mencapai tiga baris. Satu paragraf pun belum jadi!
Merasa diperhatikan, Revi pun menoleh. "Udah?" tanyanya, seraya meletakkan kembali majalah tersebut ke tempat semula sebelum ia kembali duduk di kursinya.
Rain menggeleng, lesu. "Buat narasi dua baris aja nggak selesai-selesai," akunya. "Nulis itu susah banget ternyata."
Revi tersenyum. "Kan, gue bilang tadi. Kalau mau ada hasil ya harus lewatin proses. Lagian, bukan cuma nulis kok. Semua hal juga susah dan butuh latihan."
"Emang lo juga begitu pas awal-awal?" tanya cowok itu, polos.
"Kalau gue sih udah berbakat dari lahir. Jadi, nggak gitu susah. Tinggal ngasah dikit," jawab Revi, sengak. Benar-benar membuat Rain ingin menggigit cewek itu sekarang juga!
"Malesin banget sih!" gerutu Rain, mencibir. "Jadi, orang yang nggak punya bakat kayak gue, nggak bisa?" jengkelnya.
"Bukan gitu. Kan, gue bilang, 'kalau lo mau, lo pasti bisa'. Yang lo butuhin cuma belajar lebih giat dan usaha yang lebih besar dari gue. Bukan berarti lo nggak bisa. Karena tulisan gue aja pas pertama kali nggak langsung bagus. Gue tuh tadi cuma mau bilang kalau lo jangan mudah pesimis. Nggak ada hal yang instan di dunia ini," tutur Revi lantas mengangkat bahu. "Mi instan aja perlu dimasak dulu sebelum dikonsumsi.
"Lagian, banyak kok orang yang sukses tapi bakatnya bukan di bidang yang sama," lanjut cewek itu. "Yang penting niatnya. Ingat aja kalau hasil nggak pernah mengkhianati usaha."
Ucapan itu lagi-lagi membuat senyum manis Rain terulas. Dua kali, tanpa cowok itu sendiri sadari, dirinya tersenyum karena Revi.
Dan cewek itu hanya dapat meneguk ludah diam-diam, salah tingkah.
"Ngapain lo lihatin gue sambil senyum-senyum gitu? Awas naksir!" gurau Revi, mencoba menetralisir atmosfer di antara keduanya.
Senyum Rain kontan menguap. "Kepedean banget sih, ish!" desisnya.
Revi pun berusaha memaksakan tawa kecil keluar dari mulutnya meskipun perasaan kecewa tiba-tiba saja hinggap di dada akibat respons Rain. Sialan!
Tidak ingin berada dalam situasi canggung terus menerus, Revi pun mengambil alih laptop Rain dan mengecek hasil tulisan cowok itu.
"Bagus kok," pujinya, bersungguh-sungguh. "Cuma perlu diasah lagi aja."
Senyum Rain kontan merekah. "Serius?"
Revi mengangguk. "Lumayanlah untuk pemula."
Semangat Rain yang sempat meredup pun kembali terbit. Pujian Revi sanggup menjadikan Rain termotivasi dan tidak lama kemudian, cowok itu kembali asyik menuang apa pun yang terlintas di benaknya. Membiarkan Revi mengamatinya dalam diam.
Namun, kegiatan barunya tersebut tidak bertahan lama. Karena esoknya, Rain berhenti menulis dan kembali fokus membaca.
Menghabiskan novel kedua Pelangi Putih yang tidak kunjung selesai dibaca. Huh!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
