Warna untuk Pelangi (BAB 13-14)

0
0
Deskripsi

Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi.

Revi tidak pernah menyangka kehadiran Rain menumbuhkan kembali sesuatu dalam dirinya yang telah terkubur sejak lama. Rain...

BAB 13 | Awal

Revani, atau yang akrab dipanggil dengan Reva, mengernyit mendapati sebuah folder tidak dikenal dalam laptopnya. Penasaran, cewek itu pun membukanya dan terkejut mendapati banyaknya file berbentuk Ms. Word dengan berbagai judul.

Reva tersenyum bangga. Terlebih pada adiknya yang baru saja masuk ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur.

Revi berjengit ngeri melihat kakaknya yang tersenyum padanya. "Kenapa lo?"

Reva terkikik. "Senang aja. Akhirnya, gue tau bakat tersembunyi dari elo."

Mendengarnya, Revi langsung mendelik dan kontan bangkit, menghampiri Reva yang duduk di depan meja belajar. "Lo bongkar-bongkar folder gue, ya?" tanya Revi, dengan nada protes.

Reva mencibir. "Siapa suruh nyimpan di laptop orang!"

Revi berdecak. "Kan, Bokap janji ngebeliin pas gue SMA nanti."

"Kelamaan itu mah. Emang lo sekarang nggak ada presentasi atau pelajaran TIK gitu, yang diharuskan punya laptop?" Reva mengernyit, heran. "Gue sih dulu ada."

Revi menggeleng. "Yaaa, ada. Cuma gue masih bisalah pinjam laptop teman kalau di sekolah. Kalau di rumah, kan, pakai laptop lo," ujarnya lantas mengangkat bahu. "Lagian gue juga nggak enak kalau minta sekarang-sekarang. Papa sama Mama kayaknya juga lagi ngumpulin duit buat SMA gue nanti. Karena mereka pasti udah duga kalau gue nggak bakal bisa masuk Negeri."

Tawa Reva pecah mendengarnya. Kalau dulu ia pasti akan membalasnya dengan, "makanya belajar!" tapi kini, Reva tahu kalau kalimat itu tidak akan ampuh! Lagipula, tidak perlu menonjol dalam bidang akademik pun ternyata adiknya sudah produktif dengan talenta menulis yang dimilikinya.

"Terus, ini semua nganggur di sini aja?" tanya Reva. "Udah nyoba ngirim salah satu tulisan lo ke penerbit?"

"Belum." Revi meringis. "Gue agak ngeri ditolak."

"Kan, lo belum nyoba. Kok udah mikir ditolak?"

"Nebak aja. Tulisan gue belum seberapa soalnya," jawab Revi, sekenanya.

Reva tersenyum lantas menepuk ringan lengan adiknya. "Percaya. Gue yakin naskah lo diterima."

Sebelah alis Revi terangkat. "Emang lo udah baca tulisan gue?"

"Belum sih," lirih Reva seraya meringis. "Tapi nanti malam gue coba baca. Judul yang mana yang udah tamat?"

Revi lantas menunjuk file berbentuk Ms. Word yang dinamai Mentari di Balik Mendung. "Baru itu. Tapi epilognya belum."

Reva manggut-manggut. "Ini ceritanya tentang apa?"

Revi tersenyum. "Baca aja. Lo pengin tau, kan, siapa cowok yang lagi gue suka? Nah, di situ dia jadi tokoh keduanya. Yah, kurang lebih novel itu berdasarkan kisah nyata."

"Ini cerita tentang anak SMP?!" tanya Reva, berjengit ngeri. Malas banget nggak sih kalau ia harus baca kisah cinta anak bocah seperti itu?!

"Bukan!" sergah Revi. "Gue buat Revi di situ udah SMA. Cowoknya udah kuliah."

"Nama tokoh utamanya Revi? REVI?!"

Dengan polos, Revi mengangguk.

Reva langsung berdecak. "Pakai nama samaran kek. Kalau nanti gue baca, yang kebayang muka lo gimana?!" protesnya, sewot.

"Abisnya, gue nggak nemu nama yang bagus..."

"Pelangi aja."

"Ha?"

"Gue suka banget sama Pelangi. Bahkan, gue mau ngasih nama Pelangi buat anak gue kelak," ucap Reva menerawang, lantas kembali menatap adiknya. "Gue yakin, karakter lo di sini persis banget kayak lo yang absurd, kan? Nah, pas tuh! Pelangi itu, kan, banyak warnanya. Sama kayak lo yang kadang hitam, kadang putih, kadang mejikuhibiniu!"

Revi langsung tersenyum masam. "Itu muji apa ngehina sih?"

Reva terkikik geli. "Anggaplah pujian. Jadi gimana, lo setuju nggak?"

Revi menggaruk pelipisnya. "Gue bingung. Masalahnya, Pelangi terlalu berat. Sementara nama cowoknya biasa aja."

"Hmm..." Reva mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk. "Kalau Langi, gimana? Dari nama Pelangi itu. Nggak berat, kan?"

Dan Revi tersenyum, menyetujui.

***

Revi baru akan keluar kelas, berniat pulang saat pikiran itu kembali terlintas dan mengusik dirinya, membuat langkahnya kontan terhenti. Gimana kalau Aldi masih menunggunya di depan sekolah? Tanya benaknya, khawatir.

Revi menjulurkan lehernya, melihat masih banyak siswa yang berlalu lalang di depan kelas, kemungkinan besar gerbang sekolah masih sangat ramai. Jika Aldi masih menunggunya pun, Revi tidak perlu khawatir. Cewek itu bisa berteriak dan meminta tolong pada orang-orang kalau Aldi sampai berbuat macam-macam.

Begitu Revi berhasil melewati gerbang sekolah, cewek itu tidak melihat tanda-tanda keberadaan Aldi. Namun, ketenangannya tidak bertahan lama. Tubuh Revi kembali membeku mendengar suara berat itu memanggilnya.

Revi perlahan menoleh dari balik bahunya. Menatap sengit Aldi yang berdiri menjulang di belakangnya.

Seolah mengetahui isi benak Revi, Aldi bersuara. "Sampai saat ini kamu belum juga bisa maafin aku, Rev?"

"Kembaliin ayah dan kakak gue ke sini sekarang, baru gue bisa maafin lo."

Aldi mendesah frustrasi. "Itu nggak mungkin!"

"Dan maafin lo juga hal yang mustahil, Aldi!" desis Revi, tajam.

Aldi tertegun. Ia membasahi bibirnya yang terasa mengering. "Apa pun. Asal masuk akal. Kasih aku kesempatan buat menebus semua ini, please!"

"Cuma itu yang bisa buat gue maafin lo—"

"Back to earth, Revi! Mereka udah nggak ada. Aku nggak bisa ngebangkitin orang mati!"

Revi terkesiap mendengarnya. Ucapan Aldi memang tidak mengada-ada, tapi kenyataan yang diperjelas oleh lisan itu justru lebih sakit didengar.

"Pembunuh emang pandai menyakiti orang," tukas Revi dengan dada terhimpit.

"Aku bukan pembunuh..."

"Jangan dekat-dekat!" pekik Revi saat Aldi berusaha menghapus jarak. Tubuh cewek itu bergetar, ketakutan. "Gue nggak sudi berdekatan sama penjahat!"

Revi tidak peduli jika ucapannya yang tidak bisa dikatakan pelan itu membuat banyak siswa yang berlalu lalang di dekat mereka, menatap Aldi dengan sebelah mata. Cowok itu memang pantas dimuntahi kebencian.

"Nggak. Aku bukan penjahat..." kilah Aldi. Ia berhasil mengikis jarak saat Revi lengah dan mengunci cewek itu dalam kuasanya. "Aku mohon, maafin aku."

Revi meronta dalam rengkuhan Aldi. Berteriak-teriak, memohon cowok itu agar melepaskannya. Revi benar-benar tidak sudi bersentuhan dengan seorang pendosa!

Namun, semakin kuat Revi mendorong dadanya, semakin kuat pula lengan Aldi menguncinya. Cowok itu bahkan tidak peduli dengan orang-orang yang menyaksikan keributan keduanya.

Tidak sedikit siswa yang ingin menolong Revi. Tapi mereka lebih tidak ingin ikut campur akan masalah yang bahkan tidak satu pun dari mereka ketahui.

Tapi tidak dengan Rain.

Cowok itu baru akan keluar dari gerbang sekolah saat ia mendengar keributan di tempat yang tidak jauh darinya. Penasaran, ia pun mengintip apa yang menjadi pusat perhatian banyak siswa. Dan kedua matanya pun terbelalak melihat Revi tengah ketakutan dalam rengkuhan cowok asing. Apa-apaan itu?!

Tidak ada yang Rain pikirkan selain menolong Revi saat itu. Dengan langkah panjang, ia menghampiri dan menarik cowok asing itu dari Revi lantas mendorongnya hingga terjatuh di aspal. Ia bahkan lupa akan sebuah fakta jika dirinya masih "bermusuhan" dengan Revi.

"Jangan peluk-peluk Revi!" amuk Rain, lantas menggeleng kecil dan meralat ucapannya, "Jangan ganggu Revi!" titahnya, tajam. Meskipun Rain sendiri tidak tahu apa masalahnya, tapi ia tidak suka Revi dipeluk-peluk cowok asing. Terlebih karena cowok pengusik itu membuat Revi ketakutan!

Rain mendorong lembut bahu Revi agar cewek itu berdiri di belakangnya. Ia tidak ingin cowok asing itu kembali menyentuh Revi.

"Gue punya urusan sama Revi. Tolong minggir," ucap Aldi seraya bangkit. Berusaha menahan intonasi suaranya agar tetap tenang.

Rain melirik Revi dari balik bahunya, sekilas. Wajah cewek itu pucat pasi. Rambutnya tampak kusut. Bahkan tubuhnya bergetar samar, ketakutan. Dan hal itu entah kenapa membuat Rain kesal dengan keberadaan cowok asing itu.

"Tapi Revi nggak mau berurusan sama lo," balas Rain.

Kalimat itu sanggup membungkam Aldi. Cowok itu melirik Revi yang tampak seperti mayat hidup di balik tubuh menjulang Rain.

Aldi meneguk ludahnya. Ia tidak ingin menyerah dengan cepat, tapi ia lebih tidak ingin membuat Revi semakin membencinya. Cowok itu pun memandang nelangsa sosok Revi yang enggan meliriknya selama beberapa detik sebelum akhirnya memutuskan untuk berlalu.

Ya, saat Aldi hanya berusaha untuk mengalah. Bukan menyerah.

Rain menatap punggung lebar Aldi yang semakin menjauh dengan amarah sekaligus rasa penasaran. Siapa cowok asing itu? Apa dia punya hubungan khusus dengan Revi? Meskipun membuat Revi ketakutan, tapi Rain tidak bisa memungkiri jika dirinya melihat cinta di kedua mata cowok asing itu. Mungkinkah cowok itu adalah mantan pacar Revi?

Sialan! Rain benar-benar dibuat penasaran dengan semua yang berbau cewek itu!

Rain memutar tubuhnya dan menatap Revi dengan cemas. "Lo nggak apa-apa?"

Meskipun terdengar sangat lembut, suara Rain tetap membuat Revi tersentak. Dan cewek itu pun hanya menggeleng kecil membalasnya.

Rain tersenyum memaklumi, lantas menepuk-nepuk lembut puncak kepala Revi. "Jangan takut. Dia udah pergi kok," ucap Rain, menenangkan. "Nanti kalau dia balik lagi, gue pukul!"

Revi hanya menatap Rain dengan hampa. Niat cowok itu memang sangat baik. Revi juga tidak menemukan nada bergurau di balik ucapan Rain barusan. Tapi Revi tidak yakin jika semua akan baik-baik saja setelah ini. Revi meragu. Terlebih pada dirinya sendiri.

***

Satu hal yang Revi lupakan saat berniat melanjutkan "kehidupannya" adalah kenyataan bahwa masa lalu tetap menjadi bagian dalam hidupnya.

Revi sama sekali tidak pernah membayangkan Aldi akan kembali dan meruntuhkan kepercayaan dirinya dalam menjalani masa depan dengan lembaran yang baru. Cewek itu tidak pernah memikirkan konsekuensi yang akan terjadi jika ia kembali menulis sekaligus membocorkan identitasnya pada dunia.

Yang Revi pikirkan saat itu hanya Rain. Ia ingin memberi kejutan pada cowok itu hingga tidak memikirkan dampak apa yang akan diterimanya nanti.

Rain adalah motivasinya dalam menyelesaikan novel ketiga. Ia bahkan mengubah akhir kisah Langi—sang peran utama dalam novelnya—secara drastis hingga menimbulkan pro dan kontra dari para pembaca.

Tapi Revi tidak peduli. Yang terpenting saat itu Langi berakhir bahagia dengan Hujan. Bukan dengan Aldi, sang penghancur segalanya.

 

BAB 14 | Rahasia

Usai membaca karya adiknya, Reva memutuskan untuk mengirim naskah tersebut pada penerbit. Tanpa sepengetahuan Revi sendiri.

Tidak membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mendengar kabar baik dari pihak penerbit. Reva pun mengabarkan berita tersebut sebagai kejutan untuk adiknya.

Awalnya Revi kesal karena Reva membuat keputusan sendiri akan karyanya. Tapi kekesalan itu tidak bertahan lama, karena bagaimana pun Reva hanya ingin "menolong" Revi agar dunia mengetahui bakatnya.

Tika, nama editor yang tertarik dengan karya Revi pun tampak antusias menjalani kerja samanya dengan cewek itu. Menurut Tika, Revi merupakan penulis muda yang patut diapresiasi.

"Keluarga dan teman-teman pasti bangga sama kamu!" ucap Tika, antusias.

Revi tersenyum. "Makasih. Tapi saya justru nggak mau teman-teman saya tau, Mbak."

Tika mengernyit. "Lho, kenapa?"

Revi hanya menggeleng kecil.

Tika tidak memaksa. Ia justru tersenyum manis menanggapi. "Kalau gitu, kita butuh nama pena. Kamu udah punya?" tanya Tika. Karena saat naskah Revi sampai ke penerbit, Reva hanya mencantumkan nama lengkap Revi, bukan nama pena cewek itu.

Revi berniat menggeleng karena ia memang belum memiliki nama pena yang sesuai dengannya. Namun, tiba-tiba wajah Reva yang sangat mirip dengannya itu, terlintas di benaknya. Membuat Revi tersenyum manis dan mengangguk pada Tika. "Udah, Mbak."

"Oya?" respons Tika, lantas menopang dagu, antusias. "Apa namanya?"

"Pelangi..." ucap Revi, menggantung. "Harus dua kata nggak sih?"

Tika terkekeh. "Nggak. Tapi, nama Pelangi itu udah biasa. Kalau nggak salah, ada juga deh penulis yang awalan nama penanya itu Pelangi. Jadi, kalau bisa jangan Pelangi doang. Cari yang unik," sarannya.

Revi manggut-manggut. Memikirkan ucapan Reva dan alasan mengapa kakaknya itu sangat menyukai pelangi. Katanya, pelangi itu penuh warna. Berwarna seperti Revi yang absurd, alias memiliki macam-macam warna.

Terkadang, cewek itu bersikap ceria seperti warna kuning. Terkadang, cewek itu bersikap dingin seperti warna biru. Terkadang, cewek itu bersikap hangat seperti warna oranye. Terkadang, cewek itu sangat bergairah seperti warna merah. Terkadang pula, cewek itu tampil misterius di depan dunia, seperti warna hitam.

Tapi pada dasarnya, bagi Reva, Revi tetap adiknya yang polos. Sebesar apa pun dunia luar berusaha mewarnai hidup adiknya, Revi tetaplah Revi di depan keluarganya. Sebanyak apa pun tinta mewarnai seluruh permukaan, dasar sebuah kanvas tetaplah putih.

Revi meyakinkan dirinya sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Putih. Pelangi Putih."

***

Lagi-lagi, Revi tidak masuk sekolah. Anya bilang, mamanya Revi telah meminta izin pada guru dengan menelepon pihak sekolah dan mengatakan bahwa Revi sedang sakit. Ia pun tahu hal tersebut dari guru yang bersangkutan, bukan Revinya sendiri.

Di hari sebelum Revi sakit, Anya memang merasakan ada yang aneh pada Revi. Sahabatnya itu jadi lebih pendiam. Revi bahkan sering ketangkap basah tengah melamun oleh guru yang berbeda, di jam yang berbeda pula. Membuat Anya menaruh iba pada telinga Revi saat itu pasti sudah melepuh kepanasan.

Anya ingin tahu, hal apa yang mengusik pikiran Revi hingga sahabatnya itu terlihat tidak bersemangat sepanjang di sekolah. Revi bahkan tidak akan bersuara jika Anya tidak memulai atau memancingnya.

Oleh karena itu, Rain memutuskan untuk mengunjungi rumah Revi hari ini juga. Ia tidak tahan untuk mengetahui apa yang terjadi pada cewek itu. Karena entah mengapa, perasaannya mengatakan suatu hal yang bersangkutan dengan cowok asing kemarin.

Diam-diam Rain berterima kasih pada Affan yang pernah menyuruh Rain mengantar Revi ke rumah cewek itu. Meskipun hanya sampai di depan gang, tapi Rain tahu yang mana rumah Revi. Hmm, nggak tahu-tahu banget sih. Rain cuma sok tahu aja.

Rain tersenyum saat seorang ibu-ibu yang tinggal di gang yang sama, keluar dari rumahnya dengan sapu lidi di tangan. Baru ibu itu akan menyapu halaman luar rumahnya, Rain berdeham.

"Permisi. Maaf ganggu. Ibu tau rumahnya Revi nggak?" tanyanya, sopan.

Ibu itu tertegun sebentar, sebelum akhirnya tersenyum. "Eleh eleh, kasep pisan ey. Kirain nyariin anak saya, eh taunya nyari neng Repi."

Rain tersenyum lebar. "Iya. Ibu kenal Revi?"

Ibu itu lantas menggeleng. "Teu."

Rain langsung berjengit mendengarnya. Cowok itu meringis kecil, menahan kekesalannya. "Ng, yaudah deh, Bu. Makas—"

"Cari siapa?" tanya seorang cowok yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah ibu di hadapannya. Rain menduga jika cowok itu adalah anaknya ibu tersebut.

"Revi, Mas. Kenal nggak?" tanya Rain.

"Oooh, adeknya si Reva, ya?" balas cowok itu membuat Rain mengernyit, bingung. Mana ia tahu seluk beluk keluarga Revi? "Kenal sama Kakaknya gue mah. Itu tuh, rumahnya yang dicat warna abu-abu. Yang pagarnya warna hitam."

"Oh, si Neng Pina?!" sahut ibu itu. "Atuh, Ibu mah kenal adiknya si Repa, teman kecilnya si Jodi itu. Cuma Ibu nggak ngeh tadi kalau yang kamu cari si Repina."

"Revina, Bu. Pamali gonta-ganti nama orang," tegur cowok yang ternyata bernama Jodi.

Rain hanya tertawa kecil menanggapinya. "Yaudah Bu, Mas, makasih infonya. Saya permisi. Punten," pamit Rain sopan, lantas berlalu meninggalkan si ibu yang terpesona dengan aksen Sunda cowok itu.

Begitu sampai di depan rumah bercat abu-abu itu, Rain lantas mengetuk-ngetuk pagar dengan koin seribuan yang ia temukan dikantungnya. "Permisi..." ucapnya lantang.

"Maaf aja, Mas!"

Rain langsung tercekik mendengar sahutan tak lazim yang diterimanya. "Ng... Saya mau bertamu. Bukan minta sumbangan apalagi ngemis!" balasnya sewot.

Pagar hitam di depan Rain cukup tinggi, nyaris sejajar dengan bahunya. Mungkin karena seragam sekolah yang membalut tubuhnya itu tertutupi oleh pagar, makanya ia disangka bukan ingin bertamu.

Terdengar kunci pintu diputar, sebelum akhirnya pintu kayu itu terbuka. Menampakkan seorang wanita yang lumayan mirip dengan Revi. Rain menduga jika wanita itu adalah ibunya Revi dan... Reva? Entahlah. Apa kakak Revi juga mirip dengan cewek itu? Dan Rain semakin penasaran dibuatnya.

"Oh, maaf," ucap wanita itu menyesal, lantas membuka gembok pagar. "Temannya Revi, ya?" tebaknya begitu ia menyadari seragam sekolah yang membalut tubuh pemuda di depannya.

Rain mengangguk dan menyalami tangan wanita itu dengan sopan. "Iya, Tante. Saya ke sini mau jenguk Revi. Dia sakit apa, Tante?" tanyanya.

Wanita itu tidak menjawab. Marisa hanya mempersilahkan Rain untuk masuk dan duduk di ruang tamu. "Duduk dulu, Nak..." ucap Marisa, menggantung.

Seolah tahu pikiran wanita itu, Rain langsung membungkuk dalam dan memperkenalkan namanya. "Rain, Tante."

"Rayin?"

"Iya. Rain. Tulisannya nggak pakai Y tapi," jelasnya.

"Oh, Rain." Marisa terkekeh menanggapinya. Ia cukup terhibur dengan sikap Rain yang terkesan agak polos dan sangat sopan. "Yaudah. Nak Rain duduk dulu, ya. Saya buatkan minuman sebentar."

"Eh, nggak usah repot-repot, Tante," cegah Rain.

Marisa mengibas tangannya. "Nggak. Sebentar ya."

Mau tidak mau, Rain tersenyum. Kehadiran Marisa membuat Rain merindukan sosok yang akhir-akhir ini sibuk dan tidak punya cukup waktu untuk menghabiskan akhir pekan bersama Rain dan Raya. Siapa lagi kalau bukan ibundanya?

Tidak lama kemudian, Marisa kembali dengan segelas teh hangat di tangannya. Rain hanya berharap semoga minuman itu manis dan bukan tawar.

"Nih, diminum dulu," ucap Marisa lantas tersenyum. "Semoga gulanya pas ya," lanjutnya seolah mengetahui isi pikiran Rain.

Rain tersenyum malu-malu sebelum akhirnya menyesap teh hangat tersebut.

"Nak Rain teman sekelasnya Revi?"

Usai meletakkan kembali gelas di atas meja, Rain menggeleng kecil. "Bukan, Tante. Saya teman main pas istirahat."

"Hmm?" Marisa mengernyit bingung. "Gimana?"

Rain menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Duh! Teman apa sih sebenarnya Rain bagi Revi?

Pada akhirnya Rain menjawab, "Ng... kami suka bareng kalau istirahat."

"Oh," balas Marisa seraya manggut-manggut.

Rain memainkan jemari di pangkuannya seraya melirik Marisa dari balik bulu mata. Hingga keheningan tercipta seperti sekarang, Marisa tidak juga mempersilahkan Rain untuk menjenguk Revi.

Rain pun berdeham. "Hmm... saya boleh jenguk Revi sekarang nggak, Tante?" tanyanya, sesopan mungkin.

Marisa tersenyum. "Maaf mengecewakan Nak Rain, tapi Revi lagi nggak bisa diganggu saat ini."

Rain tertegun. "M-maksudnya?"

"Saya yakin, Nak Rain mengerti maksudnya." Marisa mengembuskan napas sejenak. "Saya mempersilahkan Nak Rain duduk di sini karena saya nggak mau berlaku nggak sopan pada tamu dengan mengusir Nak Rain. Lagipula, niat Nak Rain sangat baik. Meskipun saya belum bisa mempertemukan Nak Rain dengan Revi."

"Emangnya kenapa, Tante?" tanya Rain, kecewa.

Marisa tidak menjawab alasannya. Wanita itu hanya kembali tersenyum dan mengatakan, "Jangan khawatir, Revi nggak sakit. Dia cuma lagi nggak ingin ditemui siapa pun."

Rain menunduk. Kalau tahu begitu, untuk apa dirinya membuang-buang waktu kemari? Bukan hanya Revi, Rain juga gemas dengan Marisa dan ingin menggigit wanita itu. Tapi tidak mungkin! Rain bisa dosa besar!

Marisa menatap rambut tebal Rain yang tengah menunduk dengan tatapan hampa. Ia tidak mungkin membiarkan Rain bertemu dengan Revi saat ini. Ia tidak mungkin membiarkan cowok itu melihat keadaan Revi yang sedang jauh dari kata baik-baik saja.

Marisa tidak ingin Revi kehilangan teman sebaik Rain. Karena saat ini, Revi sangat berbahaya bagi siapa pun. Termasuk Marisa, ibunya sendiri.

***

Usai mengantar Rain sampai ke depan rumah, Marisa bergegas masuk ke dalam dan mengunci pintu. Wanita itu terdiam saat suara barang pecah kembali terdengar. Diam-diam ia bersyukur karena keributan itu kembali mewarnai atmosfer rumahnya setelah Rain pamit pulang.

Marisa menatap nelangsa pintu kamar Revi. Kembali dirinya tersentak saat mendengar bunyi benda yang dibanting kuat-kuat dari dalam.

Ribuan kali Marisa meyakinkan Revi jika semua yang terjadi bukanlah kesalahannya. Tapi Revi tidak kunjung bisa memaafkan dirinya sendiri.

Marisa terduduk di sofa yang ia letakkan di depan kamar Revi. Sudah berhari-hari ia tertidur dan beristirahat di sana. Bukan di kamarnya. Ia tidak ingin lengah. Marisa tidak ingin terlambat sedetik pun jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Revinya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Warna untuk Pelangi (BAB 15-16)
2
0
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi.Revi tidak pernah menyangka kehadiran Rain menumbuhkan kembali sesuatu dalam dirinya yang telah terkubur sejak lama. Rain tidak menyadari, cowok itu cukup berjasa dalam dunia pena. Tanpa Rain, Revi belum tentu mampu bertanggung jawab.Akan tetapi, kenyataannya tidak sesederhana itu. Masa lalu Revi tetap menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Katakanlah ia kejam, tapi mendapatkan kembali semua yang telah pergi lebih baik daripada kehilangan. Sekalipun itu artinya, ia memilih untuk tidak bertemu dengan Rain.Copyright © 2018 by Junieloo
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan