
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi.
Revi tidak pernah menyangka kehadiran Rain menumbuhkan kembali sesuatu dalam dirinya yang telah terkubur sejak lama. Rain...
BAB 1 | Pertemuan
Embusan angin kencang yang menusuk tengkuknya, tidak sanggup mengusik cowok itu. Rain membenarkan letak kaca matanya dan kembali terpaku pada buku di tangannya. Terkadang, bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat kedua matanya menangkap kalimat-kalimat puitis nan romantis di beberapa halaman berwarna putih gading tersebut.
Katakanlah ia nerd karena lebih memilih untuk membaca buku dibanding memanfaatkan jam istirahatnya dengan mengisi perut di kantin, seperti yang murid lain lakukan. Tidak masalah. Toh, Rain tidak pernah peduli apa kata orang.
Sebagian besar orang mengenalnya, tapi tidak dengan Rain. Ia bahkan tidak tahu beberapa nama teman sekelasnya. Rain (read: ra-yin) terbilang cowok populer di SMA Paradipta. Selain terkenal cuek dan asyik dengan dunianya sendiri, Rain memiliki otak yang cukup encer. Bonusnya, wajahnya itu cakep-cakep imut dan didukung oleh tubuh tinggi menjulang.
Minusnya, Rain itu anti sosial! Cowok itu hampir tidak pernah "ngomong" kalau tidak dipancing. Bahkan dengan kedua sahabatnya pun ia enggan memulai percakapan.
Rain tersenyum geli membaca quotes yang tertera di akhir bab pertengahan. Baru jemarinya akan membalik lembar selanjutnya, sudut mata Rain menangkap sesuatu yang mengusik ketenangannya.
Dari posisinya—yang tengah duduk di bangku halaman belakang sekolah—Rain bisa melihat dengan jelas seorang cewek yang tengah bersandar pada pilar gedung dengan sebelah tangan menggenggam tangkai pel. Anak-anak rambut di kening cewek itu basah oleh keringat. Belum lagi rok abu-abu selutut yang kini memiliki motif abstrak, alias basah di mana-mana.
Namun, bukan itu yang membuat Rain gugup. Tapi tatapan cewek itu. Sepasang mata berwarna gelap yang tidak lepas dari...
Novelnya?
Rain mengernyit begitu ia yakin jika tatapan cewek itu bukanlah mengarah padanya, tapi pada novel di tangannya. Ia lantas berdecak kecil. Salahkah jika cowok membaca novel?!
Ia tahu. Memang tidak sedikit orang yang memandang sebelah mata cowok yang gemar membaca novel. Apalagi novel roman. Geez! Memangnya cowok tidak punya emosi?
Kesal karena pandangan cewek itu tidak kunjung luput dari novel di tangannya, Rain lekas menutup novelnya dan berlalu.
***
Ini bukan pertama kalinya ia melihat cowok itu membaca novel milik pengarang yang sama. To be honest, hari ini juga bukan pertama kalinya Revi dihukum dengan bentuk hukuman yang sama. Jadi, Revi lumayan sering melihat cowok itu membaca novel di halaman belakang sekolah.
Kegiatan cowok itu telah Revi ketahui sejak lama, tapi ia tidak pernah mengindahkannya. Hanya saja, akhir-akhir ini ia merasa tertarik. Terlebih karena novel-novel yang dipilih cowok itu.
Sadar jika perbuatannya membuat cowok itu—lagi-lagi—merasa terusik, Revi lantas membenarkan posisinya dan membuang pandangan. Namun, tidak sampai beberapa menit, kedua matanya kembali gatal untuk mengintip cowok itu. Dan benar saja, cowok itu sudah kembali tenggelam dalam cerita dan tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila.
Mau tidak mau, Revi penasaran. Apa sih yang dituangkan dalam novel itu hingga sang pembaca tersenyum-senyum?
Tanpa berpikir ulang, Revi melangkah menghampiri cowok itu dengan membawa serta sapu ijuk di tangannya.
Masih tidak menyadari keberadaan Revi, cowok itu tersenyum geli membaca sebait lelucon yang terlampir di novel tersebut. Sampai sesuatu mengetuk-ngetuk novelnya, membuat senyum cowok itu menguap.
"Novel apa ini?" tanya Revi tanpa basa-basi. Ujung tangkai sapu di tangannyalah yang ia gunakan untuk mengetuk-ngetuk novel milik cowok itu tadi. Tidak sopan memang, tapi masa bodoh.
"Nggak bisa baca?"
Revi tertegun sejenak mendengar jawaban yang diterimanya bernada sangat ketus. Alih-alih ia berkilah dan membela dirinya, Revi justru mendaratkan pantatnya dengan santai di samping cowok itu dan mengambil alih novel tersebut.
Tindakan tiba-tiba Revi membuat cowok itu terkejut tanpa sempat melarangnya. "Pelan-pelan. Nanti robek!"
Revi mencibir. "Berapa sih harganya, nanti gue ganti!"
Cowok itu berdecak. "Bukan masalah harga."
"Terus?" Revi mengangkat satu alisnya.
Cowok itu terdiam. Rain juga tidak tahu alasannya. Hanya saja, ia tidak suka jika orang lain membuat novelnya kotor, lecak, atau bahkan robek.
Tidak menanggapi keheningan yang tercipta, Revi membuka novel di tangannya dengan kening mengernyit. "Novel romance, ya?"
"Terus kenapa?"
Revi berjengit hingga badannya sedikit condong ke belakang. "Kok sewot? Santai. Gue juga suka cerita yang cheesy."
"Kalau suka ya beli."
Bukannya tersinggung, Revi justru terkekeh. "Nggak ada duit. Novel sekarang mahal-mahal, gils. Uang jajan gue aja nggak sampai lima puluh ribu, itu juga udah termasuk ongkos bolak-balik. Sementara novel-novel sekarang jarang yang ada di bawah lima puluh ribu."
Mau tidak mau, Rain, cowok itu menyetujuinya. Novel-novel sekarang memang mahal. Berbeda dengan novel-novel jaman dulu. "Tapi itu, kan, termasuk novel lama," ujarnya seraya menunjuk novel di pangkuan Revi. "Buku pertamanya aja terbit pas gue masih SMP kalau nggak salah."
"Oh ya?"
Rain mengangguk. "Dan yang itu udah cetakan ketiga. Plus cover baru."
"Jadi sama aja dong? Harganya pasti nggak jauh beda sama novel-novel sekarang. Mana tebal banget pula nih buku."
"Iya sih. Tapi itu masih mending. Katanya, buku ketiganya bakal lebih tebal lagi, jadi udah pasti lebih mahal," jelas Rain.
"Serius?" tanya Revi antusias. "Jadi ini semacam trilogi gitu?"
"Iya."
"Yang gue bingung, kok udah cetak cover baru tapi buku ketiganya belum terbit?"
Rain mengangkat bahu. "Nggak ngerti. Mungkin karena penulisnya lagi mandek? Tapi berhubung banyak peminatnya, jadi buku ini dicetak lagi dengan cover yang lebih fresh," jawabnya, asal.
"Emang lo nggak bosan baca series yang isinya melulu tentang roman?" tanya Revi, penasaran.
Rain menggeleng. "Di novel ini bukan melulu cerita tentang kisah cinta sepasang manusia, kok. Tapi juga nyeritain tentang cinta dari keluarga, sahabat, dan perjuangan melawan konflik yang bikin para pembacanya kebawa emosi."
"Termasuk elo?" tanya Revi lantas ber-"oh" ria saat Rain mengangguk. "Pantas senyum-senyum sendiri tadi."
Katakanlah Revi keliru. Tapi masa sih matanya yang tidak rabun sama sekali itu bisa salah lihat? Revi berani sumpah. Ia melihat kedua pipi cowok itu merona. How cute!
Revi berdeham kecil. "Jadi, ini bukan murni roman? Terus ini novel dewasa?"
Rain lantas mendelik mendengarnya. "Bukanlah! Masa bawa-bawa novel nggak beradab ke sekolah?!"
"Gue nggak bilang ini novel nggak beradab, kok! Lo aja yang pikirannya kotor," elak Revi, membuat cewek itu kembali melihat rona merah muda di kedua pipi Rain. "Gue cuma tanya, ini novel diperuntukkan buat kalangan apa? Kalau remaja sampai dewasa, lebih masuk ke Fiksi Umum."
Rain menggeleng. "Itu kisah remaja kok. Ceweknya anak SMA, cowoknya anak kuliahan semester awal," ujarnya lantas mengangkat bahu. "Gue juga masih bingung sama genre-genre gitu. Yang gue tau, kalau cerita Vampir pasti genre-nya Fantasy."
Revi hanya manggut-manggut dengan bibir terkulum, menahan tawa.
Baru Revi akan kembali membuka mulut, cewek itu dikejutkan dengan pekikan yang akhir-akhir ini terdengar familier di telinganya.
"REVINA! HUKUMAN KAMU BERTAMBAH!"
BAB 2 | Perkenalan
Duk.
Anya mengernyit mendapati sebuah buku yang lumayan tebal, diletakkan begitu saja di atas mejanya. Ralat. Di atas meja Revi, sahabat sekaligus teman sebangkunya.
"Lah? Itu novel?"
Revi tidak menjawab. Ia sibuk merogoh-rogoh isi tasnya, berusaha mencari sebatang pulpen—yang mungkin terselip.
"Lo nyari apaan sih?" tanya Anya kembali.
"Pulpen."
Anya mendengus. "Ya ampun! Kayak lo duduk sama fakir alat tulis aja! Gue punya banyak kok. Nih! Lo butuh apa? Pulpen, pensil, penghapus, tipe-x, label tip, spidol, stabilo, tuh!" ucapnya seraya memamerkan kotak pensil berwarna pink yang isinya sebagian besar juga berwarna pink. "Buat apa emang?"
Revi menggeleng. "Sayang, ah. Barang-barang lo, kan, mahal semua. Beda sama pulpen gue yang merk-nya cuma Pilot. Cuma seribu lima ratus di Koperasi," jawabnya, tanpa mengindahkan pertanyaan kedua Anya.
Ah, tanpa dijawab pun Anya pasti sudah bisa menebak jika Revi tengah dihukum. Memangnya apa lagi alasan cewek itu sibuk di jam istirahat pertama? Menyapu dan mengepel adalah hukuman yang biasanya Revi lakukan. Tapi kali ini—akibat nekat meninggalkan kewajiban demi menghampiri cowok asing tadi—hukumannya bertambah. Revi disuruh menulis kalimat "Saya berjanji tidak akan terlambat lagi dan kabur dari hukuman" sebanyak dua lembar buku tulis!
"Astaga, Revi! Gue nggak bakal minta ganti kalau lo ilangin sekalipun! Kecuali kalau lo kayak Edo. Gue sumpahin lo nggak lulus," ucap Anya tajam, menyindir salah satu teman kelasnya yang suka menghilangkan barang orang lain dan tidak bertanggung jawab terhadap barang yang dipinjamnya.
Revi tidak menanggapi Anya. Baginya, pulpen miliknya sendiri adalah pulpen ternyaman yang ia pakai. Meskipun murah, kualitasnya tidak murahan! Lagipula, ia tidak suka memakai pulpen Anya yang semuanya berjenis pulpen gel. Sekali jatuh, langsung ngadat-ngadat! Dasar pulpen lemah!
Ia masih berkonsentrasi mengobrak-abrik tasnya, sampai pertanyaan Anya membuat gerakannya terhenti.
"Ini novel lo?"
"Bukan."
"Terus punya siapa?" tanya Anya, turut kebingungan.
Revi bergeming sejenak sebelum akhirnya membalas tatapan Anya dengan kening mengernyit. "Iya ya. Ini punya siapa?" gumamnya pada diri sendiri. Tapi Anya masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Lah? Gimana sih? Kok nggak tau pemiliknya?" gemas Anya. "Lo ngambil ini dari mana?"
"Itu punya orang."
"Orangnya siapa?"
Revi meringis kecil. "Siapa ya? Duh, gue nggak tau."
"Kok gue yang pusing, ya?" Anya memijit-mijit pelipisnya. "Kalau lo nggak tau, kenapa itu novel bisa di tangan lo?" lanjutnya kemudian menyipitkan kedua matanya. "Lo nggak nyuri, kan?"
"Enak aja!" sergah Revi. "Gue pinjam, kok!"
Sejujurnya, Revi tidak meminjam. Tidak sama sekali. Mengingat kejadian beberapa menit lalu, di mana bu Yeni muncul di hadapannya dengan wajah murka dan tanpa sungkan menambah hukuman untuk Revi, cewek itu langsung menghampiri dan mengekori bu Yeni tanpa memedulikan panggilan cowok pemilik novel tersebut.
Diam-diam Revi meringis menyadari kebodohannya. Kenapa juga ia harus membawa-bawa novel itu? Kalau sudah begini, kan, Revi harus mengembalikannya pada cowok yang bahkan Revi tidak ketahui namanya.
Mau tidak mau, Revi menceritakan kejadian beberapa menit yang lalu pada Anya. Membuat teman sebangkunya itu menopang dagu dengan kening berkerut samar. Pasalnya, Anya tidak tahu ada cowok yang gemar membaca novel di sekolah ini.
"Hmm, ciri-cirinya gimana?" tanya Anya.
Revi menggaruk tulang pipi kanannya. "Ng... Gue nggak bisa jelasin secara spesifik. Tapi gue tau orangnya."
"Tadi katanya lo nggak tau?!" pekik Anya, tertahankan.
"Maksudnya, gue lumayan sering lihat dia di sekolah. Tapi gue nggak tahu namanya. Dia kayaknya sahabatan sama Nathan and the genk. Gue pernah beberapa kali lihat dia bareng mereka soalnya. Tapi waktu itu gue masih belum nyadar keberadaan dia," tutur Revi.
Anya lantas mengibas tangannya. "Ah, elo mah emang nggak nyadar sama keberadaan siapa pun!" kesal Anya mengingat Revi yang sebelumnya tidak tahu siapa itu Nathan dan kawanannya kalau Anya tidak pernah cerita. "Hmm, mungkin Ben? Dia pintar soalnya," lanjut Anya, asal.
Revi berjengit. "Apa urusannya pintar sama suka baca novel?!"
"Kan, sama-sama suka baca buku!" kilah Anya.
Revi berdecak. "Gue suka baca novel tapi tetap geblek!"
Anya terkikik geli. "Emang lo suka baca novel? Sejak kapan?" tanyanya penasaran. Pasalnya, berteman dengan Revi sejak kelas 10 ternyata tidak menjamin Anya mengetahui segalanya tentang cewek itu. Dan fakta ini adalah salah satunya.
"Ng... Dulu, pas SMP."
"Terus sekarang—"
"Jadi, menurut lo siapa yang punya?" potong Revi, cepat.
Anya tidak lagi menanggapi kekesalannya karena sikap Revi yang agak aneh. Cewek itu kini justru tengah sibuk berpikir seraya mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk. "Sahabatnya Nathan kan, cuma Ben, Willy, Rain, Farhan, Dean, Affan, sama Yanuar."
Mulut Revi sampai ternganga mendengarnya. "Anggotanya banyak kayak BTS gitu lo bilang CUMA?!"
Kali ini Anya yang berjengit. "Eh! Jangan sok tau! BTS itu anggotanya tujuh orang. Sementara gengnya Nathan kan, delapan personil. Kayak EXO!"
"Lo yang sok tau berarti! EXO tuh sembilan member sekarang!" balas Revi, tak mau kalah.
"Cherrybelle kali, ah. Banyak amat!" sewot Anya. "Udah, ah! Ngomongin grup sana nggak bakal ada habisnya. Mending sekarang lo sebutin salah satu ciri yang khas gitu dari tuh cowok?"
Revi menggaruk cuping hidungnya, bingung. "Apa, ya. Yang pasti, dia pakai kacamata."
Anya manggut-manggut. "Nggak salah lagi. Kalau nggak Ben, pasti si Rain."
"Rayin?"
"Rain. Tanpa 'y' tulisannya," ralat Anya. "Cuma mereka berdua yang pakai kacamata. Bedanya, Ben nggak pernah lepas kacamata."
***
Revi baru akan berbelok ke aula utama begitu ia melihat sekelompok cowok yang diduga adalah geng Nathan—alias gebetan Anya yang tidak kunjung "jadi" itu—tengah berkumpul di dekat tangga.
Dari kejauhan, Revi melihat cowok yang kemarin ditemuinya, memang tengah mengobrol asyik dengan kelompok itu. Tidak. Hanya yang lainnya. Cowok itu hanya terlihat membisu dan tampak bosan dengan pembicaraan teman-temannya.
Hmm... Kemarin kata Anya, kalau nggak Ben, ya Rain. Batin Revi, ragu. Eh tapi, yang pakai kacamata cuma cowok itu... Lanjut suara hatinya seraya menunjuk cowok yang jelas-jelas bukan pemilik novel di tangannya. Ia memang sengaja membawa-bawa novel itu agar ketika tidak sengaja berpapasan, Revi bisa segera mengembalikannya.
Ben nggak pernah lepas kacamata.
Ucapan Anya kembali terngiang dan membuat senyum Revi lantas terbit di wajahnya. Pasti cowok itu bernama Rain.
Dengan rasa percaya diri, Revi menghampiri cowok itu dan memanggilnya. "RAIN!"
Cewek itu semakin menyunggingkan senyum manisnya saat dugaannya ternyata tidak salah. "Ah, syukurlah. Nih, gue mau kembaliin novel lo. Sori, kemarin emergency, jadi gue nggak sadar udah bawa kabur novel lo," tutur Revi lantas menepuk ringan lengan Rain. "Lain kali, dinamain novelnya. Kalau perlu, kasih tanggal dan tanda tangan lo, biar aman."
Kemudian Revi berlalu, meninggalkan kedelapan cowok yang terpana karenanya.
***
Rain bosan setengah mampus! Biasanya, waktu dimana semua guru tengah rapat adalah saat-saat yang tepat untuk membaca novel di tempat tersepi. Di mana lagi kalau bukan halaman belakang sekolah? Hanya itu tempat yang paling nyaman bagi Rain untuk membaca. Tidak satu pun orang melewati daerah itu tanpa alasan. Lagipula, gudang di dekat halaman belakang itu terkenal cukup angker. Hanya Rain yang tidak takut "bersemedi" di sana.
Namun, kali ini Rain tidak bisa ke sana karena cewek yang kemarin ditemuinya itu dengan seenaknya membawa kabur novel Rain!
Bisa saja Rain membawa novel yang lain untuk mengisi waktu luangnya saat di sekolah. Tapi Rain sudah telanjur jatuh cinta pada novel itu dan belum bisa move on! Gaya berceritanya yang ringan yang dibumbui dengan beberapa quotes menarik, membuat Rain semakin kagum pada Pelangi Putih, sang penulis.
Rain gemar membaca novel ketika ia duduk di kelas delapan Sekolah Menengah Pertama. Saat itu ia yang sangat suka menonton film, tiba-tiba saja mendapat secercah bayangan untuk beralih ke membaca, khususnya novel. Apalagi, banyak orang mengatakan jika rata-rata film yang diangkat dari sebuah novel tidaklah begitu detail dan mendalam seperti apa yang dituangkan dalam buku itu sendiri. Alhasil, Rain pun penasaran dan ketagihan membaca hingga saat ini.
Akan tetapi, ia baru "mengenal" siapa itu Pelangi Putih saat ia sudah menjadi senior tingkat akhir di SMA, tepatnya saat Raya secara tidak sengaja memperkenalkannya dengan karya milik penulis tersebut. Ya, bisa dikatakan jika ia "telat" menyukai Pelangi Putih.
Hmm, kalau dalam dunia K-Pop, ia pasti sudah disindir abis-abisan oleh para penggemar senior! Kata Raya sih gitu.
"Lo jadi demen novel roman ya, Kak?"
Rain hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari novel di tangannya.
"Coba baca karyanya Pelangi Putih dah. Lebih ke fiksi remaja sih. Tapi siapa tau lo suka. Doi tulisannya ringan, tapi emosinya dapat banget! Karakternya juga kuat. Pokoknya, bagus deh."
Dan ucapan adiknya, Raya, saat itu pun berhasil membuat Rain menoleh, tertarik.
"RAIN!"
Rain yang tengah sibuk dengan pikirannya pun lantas terkejut mendengar seseorang memanggil namanya dengan lantang.
Cowok itu menoleh dan mengernyit. Cewek kemarin? Batinnya bertanya pada diri sendiri. Ia semakin yakin kalau cewek itu adalah "si pencuri" yang kemarin kabur membawa serta novelnya saat Rain mendapati sebuah buku yang begitu familier di tangan cewek itu.
Rain tidak tahu harus berbicara apa ketika Revi menghampirinya. Ia bahkan tidak mendengarkan dengan jelas apa yang dibicarakan cewek itu padanya, hingga Revi berlalu dan meninggalkan teman-temannya yang sukses dibuat melongo.
Yang penting sekarang, novelnya kembaliiii! Riang Rain dalam hati.
"Ah, anjass! Lo kenal Revi?!" pekik Dean, mewakili pertanyaan di benak yang lain.
Rain mengernyit. "Revi?"
Kali ini, Farhan yang mengangguk. "Iya. Revi. Masa lo nggak tau?" Kemudian ia berdecak gemas melihat Rain justru menggeleng. "Buset. Dia temannya Anya. Sering bareng kok," lanjutnya.
Bagaimana Rain bisa tahu? Dia saja tidak peduli siapa itu Anya. Rain hanya tahu jika cewek bernama Anya itu adalah cewek yang sedang dekat dengan Nathan. Sudah.
Rain hanya mengangkat bahu. "Gue mau baca novel dulu di belakang," ucapnya sebelum akhirnya berlalu meninggalkan teman-temannya.
BAB 3 | Teman?
"Baca novel lagi?"
"Dihukum lagi?"
Revi justru terkikik geli mendengar balasan Rain. "Iya nih. Makin kelas tiga, gue makin pikun. Sampai lupa bawa baju olahraga, padahal udah disiapin dari semalam."
Rain tidak menanggapi. Cowok itu masih asyik tenggelam dalam kisah tiap lembar novel di tangannya. "Namanya bagus."
Rain lantas mengangkat pandangannya. Membalas tatapan Revi dengan kening berkerut samar. "Nama siapa?"
"Nama pena penulisnya."
"Oh." Rain tersenyum. "Iya. Namanya unik."
"Pelangi Putih," gumam Revi seraya mendaratkan bokongnya di samping Rain. "Lo tau artinya apa?"
"Emang apa?"
Revi berdecak. "Gue tanya, malah nanya balik!"
Rain langsung menggeleng. "Gue pikir lo mau ngasih tau."
"Gue aja belum pernah baca karya dia," ucap Revi seraya mengangkat bahu.
"Kalau gitu, lo coba baca novel-novelnya dia," seru Rain, antusias.
Revi tersenyum mendengarnya. "Sesuka itu sama Pelangi Putih, ya? Udah pernah ketemu orangnya belum? Atau ikut meet n greet-nya gitu?"
Pertanyaan Revi berhasil membuat perhatian Rain tertuju sepenuhnya pada cewek itu. "Belum. Gue bingung kalau ikut-ikut acara begitu," jawab Rain, lesu.
"Bingung kenapa?" tanya Revi dengan sebelah alis terangkat.
"Ribet daftarnya. Belum lagi kalau ada persyaratannya. Ini itulah. Malesin."
Revi terkekeh. "Kalau suka, masa setengah-setengah. Usaha dong!"
Rain lantas berjengit mendengarnya. "Omongan lo kayak gue ini lagi ngejar cewek aja."
"Kan, emang cewek."
"Siapa?"
"Itu, si Pelangi Putih."
Rain mengernyit dalam. "Tau dari mana? Sok tau! Siapa tau cowok. Lagian, kan, lo belum pernah baca karyanya. Dia nggak pernah nyantumin identitas diri di profil pengarang."
Revi terdiam sejenak sebelum akhirnya ber-"oh" ria. "Iya deh. Gue ngasal."
Rain kembali membuka novel di pangkuannya dan membiarkan keheningan merayapi atmosfer di antaranya dan Revi. Namun, belum selesai satu paragraf ia baca, Rain merasakan tatapan Revi terus mengarah kepadanya. Tidak. Tepatnya, pada buku di tangannya.
Diam-diam, Rain mengerling pada Revi yang masih menatap novel tersebut dengan pandangan kosong. Cewek itu termenung.
Penasaran dengan apa yang dipikirkan cewek itu, Rain berdeham. "Lo kenapa?"
Dehaman lembut Rain membuat Revi sedikit tersentak di tempatnya. Namun, ia segera menutupinya dengan senyum manis. "Nggak. Cuma, gue baru sadar kalau novel lo nggak disampul."
Rain mengernyit. "Emang perlu?"
"Semua novel gue sih, gue sampul."
"Sampul cokelat?"
Revi memutar kedua matanya. "Buku tulis kali ah, sampul cokelat!" sindirnya, gemas. "Sampul plastik lah! Yang bening."
Rain menggeleng. "Nggak bisa nyampulnya."
Kali ini Revi yang mengernyit. "Lah? Emang buku tulis lo nggak ada yang disampul?"
"Ada sih. Tapi, kan, beda. Bentuknya aja udah beda."
"Bisa. Beli yang bahannya dove-emboss. Jangan yang mika apalagi plastik biasa yang tipis. Lengket," jelas Revi.
Rain menimang-nimang sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Yaudah. Nanti gue beli."
Revi tersenyum manis menanggapi. "Sama gue, yuk? Pulang sekolah nanti. Sekalian mau lihat-lihat novel."
***
Rain berkacak pinggang saat Revi kembali meletakkan novel di tangannya pada rak buku.
"Kok ditaruh lagi?" gemas Rain
Melihat Revi yang tidak kunjung memutuskan novel apa yang ingin dibeli, membuat Rain ingin menggigitnya. Cewek itu terus menerus melakukan hal yang sama. Tertarik pada cover, kemudian dilihat-lihat sebentar, lantas diletakkan kembali ke tempat semula.
"Blurb-nya kurang menarik," jawab Revi asal. Kemudian cewek itu menoleh pada Rain yang menampilkan wajah bosan. "Lo udah ambil sampulnya?"
"Dari tadi," jawab Rain dengan ekspresi datar.
Revi mengangkat bahu lantas menarik lembut lengan Rain. "Yaudah. Yuk, bayar."
Rain melongo mendengarnya. "Lho? Nggak jadi beli?"
"Beli apaan?"
"Novel lah!"
"Emang gue mau beli?" Revi mengangkat alisnya. "Kapan gue bilang?"
Rain berdecak. "Pas di sekolah lo bilang mau lihat-lihat novel, kan?"
"Nah," seru Revi seraya menjentikan jemarinya. "Cuma lihat-lihat, kan? Udah puas kok barusan."
Sumpah deh. Rain benar-benar pengin menggigit Revi kalau begini! Buat apa dia menunggu cewek itu sampai berjamur kalau ujung-ujungnya tidak ada yang dibeli?! Jujur, Rain tidak suka menemani cewek belanja. Dan baru Revilah yang ia temani "melihat-lihat" karena tujuan cewek itu merupakan tempat yang disukainya, yaitu toko buku.
Sesampainya di depan kasir, Rain segera membayar belanjaannya dengan kartu berlogo toko buku.
"Lo punya kartu member?" tanya Revi.
Rain mengangguk. "Malas pakai cash. Soalnya gue juga sering, kan, ke sini buat beli," ujarnya, sedikit menyindir Revi yang pulang dengan tangan kosong. Tapi sayangnya, Revi tidak menyadari itu.
Revi mendengus lantas memukul pelan lengan Rain. "Halah! Bilang aja biar diskon tiap belanja!"
Rain hanya tersenyum menanggapi.
***
Rain melirik arloji hitam di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah bertengger di angka tujuh dan langit pun sudah gelap, tapi dirinya dan Revi masih asyik menyantap siomay kaki lima yang tersedia di dekat toko buku.
"Enak banget ya?" goda Revi seraya mengamati cara makan Rain yang mirip seperti orang kelaparan.
Rain manggut-manggut. "Gue belum pernah nyoba siomay seenak ini!" pujinya dengan pipi menggembung penuh, kemudian mengacungkan jempolnya pada abang siomay di depannya.
Revi tertawa melihat tingkah konyolnya. "Iya. Ini yang terenak. Tapi yang di sekolah nggak kalah enak kok."
Rain terlebih dulu menelan isi mulutnya yang penuh akan siomay sebelum akhirnya membalas ucapan Revi. "Gue belum pernah makan siomay di sekolah."
"Demi?!" Kedua mata Revi terbelalak. "Selama tiga tahun sekolah, belum pernah sekalipun lo makan siomay kantin?"
Rain manggut-manggut. "Gue kan, lebih suka ngehabisin waktu di halaman belakang atau perpus. Jarang ikut anak-anak ke kantin. Kalaupun ke kantin, paling gue beli minum doang."
Mulut Revi sampai terbuka mendengarnya. "Lo nggak kelaparan?"
Rain menggeleng.
"Jangan-jangan," lirih Revi dengan sebelah mata menyipit. "Lo diet?" godanya lantas menerima segelas air yang diberikan abang siomay.
Ucapan Revi sanggup menciptakan rona merah muda di pipi Rain. Meskipun langit sudah gelap, tapi lampu yang tersedia di gerobak siomay masih mampu memperjelas penglihatannya.
Revi yang baru meneguk air putihnya lantas tersedak menyadari hal itu. Ia segera mengusap daerah mulutnya yang basah dan menatap Rain dengan tatapan tak percaya. "Serius?!"
Mau tidak mau, Rain mengangguk malu.
"Kan, lo cowok?"
Rain langsung mengerling, tak suka. "Terus? Emang ada larangan cowok diet?"
"Bukan. Bukan maksud gue begitu," ralat Revi cepat. "Tapi, gue pikir cuma cewek yang mikirin bentuk badannya. Bukannya, cowok itu makhluk yang paling percaya diri?"
"Maksudnya apa?" tanya Rain, agak tersinggung.
"Jangan marah gitu sih!" Revi berdecak. "Gue cuma ngomong apa yang gue pahamin selama ini. Buktinya, gue lihat cowok kalau upload foto di Instagram misalnya, mereka langsung upload aja. Kalaupun ngedit, paling pakai effect yang simpel. Itu juga biar fotonya yang kelihatan bagus, bukan orangnya."
Rain mengangkat bahu. "Rasa percaya diri orang, kan, beda-beda."
"Dan lo termasuk orang yang percaya dirinya rendah?"
Rain langsung menggeleng. "Bukan gitu!" elaknya. "Gue cuma takut kejadian dulu keulang aja."
"Apa?"
Rain berdecak. "Gue yakin, pasti lo bakal nanya."
Revi mengedikkan kepalanya. "Lo yang mancing."
Cowok itu mengalihkan pandangan sebelum akhirnya mengembuskan napas. "Gue pernah di-bully karena berat badan gue yang di atas rata-rata pas SD," akunya, murung.
"Terus, lo jadi nggak pede sama diri lo sendiri?"
Rain mengangguk. "Saat itu gue juga masih kecil. Jadi, belum cukup matang buat nerima kritikan dari orang lain. Bagi gue waktu itu, yang paling penting adalah teman. Kalau mereka sampai musuhin gue, gue kepikiran banget," ujarnya seraya menerawang. "Coba gue udah kenal novel sejak kecil. Pasti gue nggak peduli tuh mereka musuhin gue atau nggak. Kayak sekarang. Gue lebih suka sendiri daripada gabung sama sahabat-sahabat gue."
Revi tersenyum mendengarnya. "Kalau begitu, kenapa lo masih kepikiran buat diet?"
Rain menghela napas. "Karena novel-novel fiksi yang gue baca kebanyakan, tokohnya nyaris sempurna. Gue jadi mikir, kalau gue mau dapat pasangan yang sesuai kriteria, yah gue juga harus jadi kayak tokoh cowoknya. Adil bagi cewek gue nanti, kan?"
Tatapan Revi yang tak pernah lepas dari Rain, membuat kedua mata cowok itu mau tidak mau terkunci. Selama beberapa detik, mereka hanya saling tatap sampai Revi berdeham kecil dan kembali membuka suara.
"Lo nggak harus jadi seperti tokoh di setiap novel yang lo baca, Rain. Kunci pertama orang terlihat menarik adalah ketika mereka percaya diri. Mereka paham kelebihan yang mereka miliki tanpa ambil pusing kekurangan mereka," tutur Revi, bijak.
Rain terdiam mendengarnya. Bukan karena ia tengah menimbang untuk menyetujui ucapan Revi atau tidak, tapi karena dirinya tengah mengingat-ingat. Kayak pernah dengar. Batinnya.
"Percaya deh. Orang yang cara berpakaiannya asal pun kalau dia percaya diri, gayanya bakal kelihatan keren!" lanjut Revi lantas tersenyum manis. "By the way, kriteria cewek idaman lo emang kayak gimana?"
***
Cantik, pintar, dan jago masak.
Itu sih bukan Revi banget!
Masak? Bisa dipelajari. Tapi pintar? Aish! Nilai di atas KKM saja Revi sudah elus dada.
Revi lantas berdecak. Kesal pada dirinya sendiri. Baru beberapa jam lalu ia mengatakan pada Rain kalau cowok itu harus "percaya diri" bagaimana pun dirinya. Namun, mengingat "cantik" juga merupakan salah satu kriteria cewek idaman Rain, tiba-tiba saja membuat Revi minder!
Sialan! Baru sebentar mengenal Rain, hati Revi sudah kecolongan!
Revi menggigit ujung bantalnya dengan gemas. Bagaimana ini? Salahkah ia menyukai Rain? Sanggupkah ia kembali menerima risiko untuk terjatuh bila harapan tidak sesuai kenyataan?
Cewek itu lantas terduduk di pinggir ranjang dan menggaruk kepalanya, bingung. Lebih tepatnya, pusing pada dirinya sendiri.
Tidak. Sesungguhnyaia tidak perlu merasa seperti itu. Semua telah berlalu. Kisahnya yang lama, telah mati. Revi telah berjanji pada semua orang, terlebih dirinya sendiri, untuk memulai kembali segalanya dari awal. Dan mungkin, Rain adalah seseorang yang dikirim Tuhan sebagai pengganti tokoh kedua dalam kisahnya?
Tapi bagaimana jika akhir kisah kedua sama mengenaskannya dengan kisah pertama? Atau bahkan, lebih parah?
Revi lantas menggeleng dan menutup wajahnya dengan bantal. Sekarang apa yang harus dilakukannya? Karena ia telanjur menyukai Rain.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
