Marriage First, Love Later (PROLOG - BAB 5)

6
0
Deskripsi

Anita Pramesti terbangun dan menemukan fakta bahwa suaminya berbeda. Bagaimana bisa? Jika ini mimpi, mengapa juga sosok seperti mantan bosnya yang bahkan jarang bertemu dengannya yang muncul? Sayangnya, semua yang terjadi adalah kenyataan.

Adipati Prayudi memiliki bukti kuat jika Anita adalah istri sahnya. Namun, sebagaimana pun semua orang di sekelilingnya memberikan fakta, perempuan itu tidak memiliki perasaan apa pun pada Adi. Segalanya terasa hambar dan aneh. Seingatnya, mantan bosnya tersebut...

PROLOG

Perempuan itu membuka matanya yang terasa berat dan mendapati ruangan serba putih. Tentu Anita tidak bodoh untuk mengetahui langsung di mana ia berada sekarang. Hanya saja, apa yang terjadi sampai dirinya berakhir di tempat seperti ini?

Belum sempat otaknya mencerna, pintu ruangan itu terbuka dan memunculkan sosok yang familier. Ya, lelaki paling dingin yang pernah ia kenal―yang tidak lain merupakan mantan bosnya. Namun, apa urusannya dengan sosok berwajah datar tersebut sampai berada di sini? Dan ... oh, tunggu! Apa itu? Mengapa ekspresinya tampak murung? Bukankah makhluk itu berhati batu? Pengecualian dengan keluarganya, tentu saja!

Tunggu. Sial! Mungkinkah Anita melakukan kebodohan sebelumnya? Atau jangan-jangan, ia sudah membuat Pak Abi celaka? Mengingat dirinya belakangan ini memang pernah menyetiri bosnya tersebut, segalanya pun terasa masuk akal.

Refleks, perempuan itu terduduk saking paniknya. Hal yang tentu saja membuat kepalanya yang berdenyut nyeri hingga ringisan kecil pun lepas dari mulutnya. Sontak, ia pun memegangi kepalanya yang ternyata diperban. Oh, no! Apa yang terjadi dengan area tersebut? Kali ini Anita benar-benar khawatir! Pasalnya, hanya otaknya sajalah yang membuat ia masih tetap waras dalam pernikahannya dengan sang suami.

Anita terkejut saat Adi dengan cepat menoleh ke arahnya begitu mendengar lirihannya. Perempuan itu sampai takut kepala mantan bosnya akan copot. Akan tetapi, melihat Adi langsung menghampirinya dengan langkah panjang, Anita lebih takut kalau saat ini kepalanya yang bakal dipenggal!

Jangan katakan kalau dirinya memang sedang berurusan dengan seorang Adipati Prayudi? Damn! Seberapa parah luka Abi? Ia jadi benar-benar merasa bersalah dengan mendiang Bu Ani. Pasalnya, Abi adalah anak yang paling dekat dengan wanita itu.

Sesaat Adi telah berdiri di samping ranjang rumah sakit, Anita pun menunduk, siap menerima makian. Sayangnya, kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Sepasang lengan berotot milik lelaki itu justru merengkuh tubuhnya. Anita pikir, Adi hendak meremukkan tulang-tulangnya dengan pelukan tersebut, tapi tidak. Dugaannya salah. Adi justru mengusap kepalanya lembut dan mengucap syukur pada Tuhan karena telah menyadarkannya.

Dengan cepat, Anita pun mendorong tubuh yang padat tersebut dengan tenaganya yang masih lemah. Penuh kebingungan, perempuan itu berkata, “P-Pak Adi ngapain?”

Dahi Adi berkerut hebat mendengar panggilan Anita padanya. Belum sempat lelaki itu menjawab, suara Anita kembali membuatnya bungkam.

“Pak Adi jangan macam-macam, ya. Saya laporin suami saya nanti!” tukas Anita, mengancam. Meski begitu, jauh di dalam lubuk hatinya, ia sedang menertawakan kalimat tersebut. Cih! Melaporkannya pada suami? Mau tahu akan urusannya saja tidak. Segalanya ia yang urus. Memang laki-laki tidak berguna! Tapi, mau tidak mau Anita harus mengatakannya supaya Adi tidak macam-macam. Ia bahkan turut menunjukkan jari manisnya yang dihiasi cincin di sana. “Nih, lihat. Saya udah nikah. Pak Adi lupa?”

Eh? Sebentar. Mengapa bentuk cincinnya berbeda?

Pandangan Anita dari wajah maskulin Adi pun berpindah pada benda yang melingkar di jari manisnya. Terburu-buru, perempuan itu melepasnya untuk memastikan apakah ada yang aneh dari cincin itu. Dan seperti tersambar petir, ia justru melihat nama mantan bosnya tersebutlah yang terukir di sana.

Dengan tatapan bertanya-tanya, Anita memandang Adi yang mengembuskan napas berat, seolah telah mengetahui apa yang sedang terjadi saat ini.

“Aku suami kamu, Anita.”

Anita pun kembali tak sadarkan diri.

 

BAB 1: Keputusan Berpisah

Sepasang kaki jenjang itu melangkah tanpa keraguan. Diiringi suara heels setinggi 9 sentimeter yang beradu dengan kilap lantai marmer kantornya, perempuan berambut cepol asal tersebut melenggang masuk ke dalam lift yang tentunya masih kosong.

Sambil menunggu transportasi vertikal tersebut membawanya ke tempat yang dituju, perempuan itu segera melepaskan ikatan di kepalanya. Membiarkan rambut panjang bergelombangnya tergerai, yang lantas disisir seadanya dengan jemari lentik. Tidak lupa, ia mengeluarkan pouch kosmetik dalam tasnya dan mulai berdandan kilat.

Ting.

Bertepatan dengan bunyi tersebut yang menandakan ia telah sampai di lantai teratas gedung, perempuan itu pun mematut diri sekali lagi dari pantulan pintu lift yang belum terbuka sempurna, untuk memastikan penampilannya sudah cukup rapi. Meski begitu, masih ada yang kurang darinya hari ini.

Dengan cepat, ia merogoh tasnya kembali untuk mengambil ID Card dan mengalungkannya.

Anita Pramesti. Secretary.

Perempuan itu mengembuskan napas. Sudah bertahun-tahun ia mengenakan tanda pengenal tersebut. Senang karena dirinya masih dan selalu menjadi kepercayaan perusahaan ini. Tapi, tidak dipungkiri jika dirinya turut sedih memikirkan bahwa …

Hidupnya masih tidak ada perubahan dari tahun ke tahun.

Menyadari pintu lift hendak tertutup kembali, sosok jelita berusia 32 tahun tersebut langsung melangkah keluar dari posisinya dan seketika mengabaikan kesedihannya.

Ya, tidak ada waktu untuk meratapi nasib. Jam kerja akan dimulai dalam beberapa menit. Ia harus profesional dengan tidak memikirkan masalah pribadi.

Sementara itu, di salah satu gedung tertinggi di Jakarta Selatan, seorang pria berperawakan cukup tinggi dengan bahu yang sangat bidang, melangkah mantap menuju ruangannya. Tidak dapat dipungkiri bila sosok tersebut selalu berhasil menarik perhatian para karyawan hanya dengan berdiam diri, khususnya perempuan.

Sikapnya yang dingin pada dunia tapi hangat dengan keluarga, membuat banyak kaum Hawa berandai-andai jika mereka bisa mendapatkan hati bos besar dan menjadi bagian dalam hidup lelaki itu. Penampilannya serta gerak-geriknya juga sangat macho. Belum lagi bentuk tubuh atletis yang seolah mengatakan pada kemeja serta jasnya bahwa fungsi mereka hanyalah sia-sia.

Saat telah duduk di kursinya, di balik meja yang dihiasi papan nama bertuliskan “Adipati Prayudi” beserta jabatannya, lelaki itu menyandarkan punggungnya sejenak sambil memicingkan mata. Tidak, ia bukan sedang lelah dengan pekerjaannya. Justru, semua ini adalah keinginannya sejak lama. Berada di posisi ini. Hanya saja, pertanyaan sang ayah semalam saat keduanya tengah mengobrol santai, masih membekas di benaknya.

“Di, Ayah mau tanya nih. Tapi, kamu jangan tersinggung, ya?”

Adi tersenyum. “Iya. Kayak sama siapa aja Ayah ini. Ada apa, Yah?”

Ari tampak berdeham sejenak sebelum akhirnya membiarkan pikirannya menang melawan hati kali ini. Ia tidak ingin lagi menunda-nunda waktu untuk memastikan hanya karena merasa ‘tidak enak’ pada anaknya sendiri. “Kamu masih punya ketertarikan sama perempuan, ‘kan?” tanya beliau, hati-hati.

Meski terkejut bukan main, Adi tetap mengangguk. Gerakan yang membuat dada Ari merasa plong! Lega sekali.

Masih dalam pejaman mata, Adi memijit alis panjang dan lebatnya yang tampak nyambung hingga bulu-bulu di sana sedikit berantakan karena ulah barusan.

Adi memang selalu menghindari pembahasan tentang perempuan. Namun, hal tersebut bukan karena dirinya ‘belok’. Ia memang tidak tertarik saja. Percintaan itu tampaknya melelahkan. Memahami perempuan itu lebih sulit dari mencari solusi agar perusahaan tidak bangkrut! Sebisa mungkin, ia tidak berurusan dengan mereka.

Adi sudah lama mendedikasikan hidupnya untuk perusahaan sang ayah. Passion-nya memang di sini. Menurutnya, Ariyusman atau yang dikenal sebagai Pak Ari di perusahaan ini adalah sosok mengagumkan sampai Adi ingin mengikuti jejaknya.

Ya, selain karena bukan tentang “kosmetik” yang sama sekali tidak dimengertinya, hal tadi jugalah alasan mengapa Adi lebih memilih mengurus perusahaan ini alih-alih perusahaan peninggalan mendiang sang bunda. Walau begitu, ia juga sempat ‘berperan’ penting selama beberapa saat dalam perusahaan yang dibangun wanita yang melahirkannya tersebut saat adiknya, Abimana Prayuga, masih dalam aksi “kabur”.

Lamunan Adi seketika enyah tatkala pintu ruangannya diketuk oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan sekretarisnya? Tentu saja! Karena tidak ada seorang pun yang diperbolehkan menemuinya tanpa izinnya kecuali sang sekretaris yang memang bertugas menyampaikan segala hal padanya.

“Pagi, Pak Adi.”

Adi mengangguk samar. “Pagi. Ada apa?”

Jerry, sang sekretaris hanya terdiam. Mulutnya tampak terbuka, tapi sedetik kemudian kembali tertutup. Begitu seterusnya.

Bingung sekaligus mulai gerah, Adi pun sekali lagi bertanya dengan bibir menipis. “Ada apa, Jerry?”

“Ng … nggak jadi, Pak. Nggak ada apa-apa.” Jerry tampak menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya menyengir kikuk. “Saya permisi dulu.”

Adi tidak berusaha menahan laki-laki berusia sepantaran dengan adiknya yang paling bungsu itu. Meski begitu, tidak dipungkiri bila dirinya cukup terpikirkan akan sikap aneh Jerry belakangan.

Ada apa sebenarnya? Tapi di detik berikutnya, Adi pun mengangkat bahu. Tak acuh.

***

“Haduuuh! Kok, baru pulang jam segini? Kamu tuh bukan gadis lagi, lho. Punya suami yang harus diurus!”

Anita hanya terdiam sambil terduduk, memijit betisnya yang terasa pegal karena harus berdiri di bus selama 2 jam dengan heels-nya saking macetnya hari ini. Jakarta benar-benar gila padatnya! Sudah naik TransJakarta pun, tetap saja tidak lepas dari ‘drama’ jalanan karena banyak pengendara roda dua, bahkan roda empat, yang masuk ke dalam jalur busway.

Sejujurnya, Anita bisa saja mencari ojek agar cepat sampai. Tapi tidak, tarifnya saat macet seperti tadi benar-benar mahal! Dua kali lipat, bahkan lebih, dari tarif naik TransJakarta. Ia tidak bisa berlaku ‘boros’ karena ia harus mengumpulkan uang demi membeli rumah idaman untuknya dan sang suami yang berstatus “masih mencari pekerjaan” alias pengangguran. Ya, Anita sudah tidak betah tinggal di rumah mertuanya yang tidak pernah tidak “mengomentarinya” sehari saja.

“Nit, kalau diajak bicara tuh jawab!”

Anita mengembuskan napas dan mendongak. Posisi sang mertua yang sedang berdiri sambil bertolak pinggang di hadapannya, membuat wanita itu semakin terlihat seperti menunjukkan kuasanya di rumah ini. “Macet, Ma. Kayak nggak tahu Jakarta aja.”

Anita tidak berbohong, tapi juga tidak sepenuhnya berkata jujur. Karena sesungguhnya, belakangan ini perempuan itu memiliki pekerjaan baru sebagai sopir bos besarnya tatkala mereka akan meeting di luar. Meski demikian, Anita tidak keberatan sama sekali. Justru, dirinyalah yang menawarkan setiap Abi terlihat tampak lelah.

Dan ia dengan senang hati melakukannya. Seakan-akan sedang bernostalgia dengan Bu Ani yang dulu juga kerap memintanya untuk menyetir mobil mendiang wanita itu. Terlebih, Abi adalah anak kesayangan Bu Ani. Anita merasa senang berlaku baik pada bosnya sekarang karena seakan bisa membayar kebaikan-kebaikan Bu Ani dulu padanya.

Itulah yang membuatnya pulang lebih lambat. Lagi.

“Makanya, nggak usah kerja jauh-jauh!”

“Nggak jauh. Kan, masih sama-sama di Jakarta walaupun beda daerah.”

“Ngejawab terus! Saya ini orang tua kamu, lho. Saya ibu dari suami kamu yang harus kamu hormati juga.” Wanita itu berdecak. “Lagian, emangnya kamu nggak bisa kerja di rumah aja? Urus suami! Kamu itu terlalu ‘bebas’ untuk ukuran perempuan yang sudah menikah. Kalau kamu sibuk terus di luar, kapan mau punya anak?”

Dengan lesu, Anita pun berdiri. Menyejajarkan tatapannya dengan sang mertua, bahkan lebih tinggi. “Ma, Mama boleh ngomong begitu kalau anak Mama sendiri udah mapan. Aku kerja juga buat ‘ngasih makan’ anak Mama yang nggak pernah ngapa-ngapain itu, kok.”

“Jangan kurang ajar kamu, Nit. Itu suami kamu.”

“Berhenti manjain Aryo, Ma. Dia udah dewasa. Udah waktunya bisa ‘urus’ diri sendiri.”

“Mentang-mentang punya pekerjaan, kamu seenaknya merendahkan anak saya. Apa gunanya dia menikah sama kamu waktu itu? Memang seharusnya saya nggak pernah setuju! Saya udah punya pilihan yang ‘baik’ buat anak saya satu-satunya. Perempuan yang lemah lembut, penurut, mudah diatur, dan nggak pernah meninggi seperti kamu! Istri macam apa kamu?”

Anita terkesiap mendengarnya. Saking terkejutnya, ia sampai hanya bisa terdiam seribu bahasa selama beberapa saat.

“Oke, Ma. Aku juga udah capek bertahun-tahun jalanin hidup kayak gini,” respons Anita pada akhirnya. Perempuan itu bahkan tersenyum meski kedua matanya menunjukkan kilat kecewa. Walau demikian, tidak ada penyesalan maupun kesedihan di wajahnya. Sebaliknya … beban di pundaknya seolah menguap begitu saja.

Tanpa memedulikan panggilan mertuanya yang mengatakan bahwa wanita itu belum selesai berbicara, Anita pun masuk ke dalam kamarnya dan menemukan sang suami yang masih saja sibuk dengan ponselnya. Pemandangan yang selalu Anita temukan ketika pulang kerja.

Jangankan pertanyaan; “How’s your day?” atau perhatian kecil lainnya, berharap lelaki itu “mau” turun tangan membantu pekerjaan rumah saja tidak pernah terwujud! Padahal, Anitalah yang mencari nafkah. Sang suami hanya tinggal menjawab, “Kan, belum ada panggilan. Mau diapain?” dengan santai tiap kali Anita mulai menyinggung soal keseharian lelaki itu. Sampai akhirnya, perempuan itu mulai terbiasa dan memaklumi segala hal.

Bertahun-tahun dijalaninya tanpa ada rasa muak hanya demi menggapai impiannya untuk hidup berkecukupan dengan keluarga kecilnya. Ia mencintai Aryo. Sungguh! Buktinya, ia sampai rela tinggal di “neraka kecil” yang tidak lain merupakan rumah mertuanya, hanya demi menuruti ego sang suami yang tidak ingin membeli rumah KPR dan pengin langsung yang bagus saja secara “lunas” nanti. Sesuai keinginan Anita selama ini.

Benar, memang begitu keinginan Anita dulu. Anita tidak suka kredit atau berhutang pada siapa pun, pada pihak mana pun. Tapi, tidak lagi! Tidak setelah ia berbulan-bulan tinggal dengan mertuanya.

Dan setelah bertahun-tahun, bukannya terbiasa, mentalnya justru semakin tak berdaya.

Kalau saja dirinya bukan generasi sandwich di mana ia masih harus mengirim setengah gajinya untuk menghidupi kedua orang tua serta pendidikan adiknya yang tinggal di Solo, mungkin tahun ini ia sudah bisa membeli rumah sendiri dengan tabungannya selama bekerja tanpa harus ‘menunggu’ bantuan berupa finansial dari suaminya.

Anita terduduk lemas di pinggir ranjang sesaat Aryo mulai bersuara meski tanpa mengalihkan perhatiannya dari game di ponsel.

“Udah, nggak usah dipusingin apa kata Mama. Anggap aja dia ngoceh kayak biasa.”

Sambil tetap memunggungi Aryo yang tengah berselonjor di sisi ranjang yang lain, Anita tersenyum getir menatap dinding kamar mereka. “Kamu nggak pernah berusaha bela aku di depan mama kamu.”

“Aku emangnya harus apa?”

Pertanyaan itu sanggup membuat Anita menoleh dari balik bahunya dan mendapati Aryo masih senantiasa fokus dengan ponselnya yang diposisikan horizontal di kedua tangannya. “Harus apa? Kamu harusnya bela aku, Yo! Kamu tuh suami aku. Kamu juga tahu kalau aku bukan kerja ‘buat diri sendiri’ tapi buat kamu juga. Buat kamu yang tiap hari cuma hapeeee terus!”

Mau tidak mau, Aryo jadi sewot. “Kok, jadi ikut kesal ke aku, sih, Nit? Mama yang ngomelin kamu, kenapa marahnya ke aku?”

“Karena itu mama kamu! Dia belain kamu terus. Kamu seharusnya kasih dia pengertian ke dia karena cuma kamu yang dia mau dengar!”

Aryo berdecak. “Udah deh, Nit. Aku nggak mau ribut! Kamu juga pasti capek, ‘kan? Mending tidur aja. Istirahat.”

Anita langsung berdiri dari tempatnya dan menghadap penuh ke arah Aryo yang kini melepaskan perhatian dari ponsel di tangan lelaki itu. Kali ini, kalimat tersebut tidak lagi berfungsi untuknya. Anita ingin mengeluarkan keluh kesah sejadi-jadinya, unek-unek di hati yang telah bertahun-tahun dipendamnya. “Iya, aku capek. AKU CAPEK SAMA KAMU DAN MAMA KAMU! Aku capek hidup begini. Aku capek terus-terusan dipandang salah! Aku capek punya suami yang nggak punya prinsip dan tujuan! Aku capek sama kamu yang terus bergantung sama Mama kamu. Aku capek sama kamu yang nggak bisa tegas ngebela istrinya! Tumpuan aku di sini itu kamu, Yo! KA-MU!”

Ini adalah kali pertama Anita berteriak dan terlihat sefrustrasi itu selama 4,5 tahun mereka menikah. Sosok jelita tersebut bahkan tampak kusut. Aryo seperti tidak mengenal istrinya sendiri malam ini. Ke mana gerangan Anita yang selalu bersikap elegan dan berwibawa?

Aryo pun jadi merasa bersalah padanya. Diawali embusan napas yang panjang, lelaki itu pun bertanya, “Terus, mau kamu gimana?”

Anita tertawa seakan-akan dunia memang tengah bercanda padanya. Bagaimana mungkin ia bisa berakhir dengan seseorang yang bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukannya sedangkan posisi lelaki itu adalah ‘pemimpin rumah tangga’ bagi keluarga kecilnya nanti.

Ya, sebuah keluarga yang tidak akan pernah tergapai karena Anita sudah memutuskan …

“Aku mau pisah.”

 

BAB 2: Perempuan Mandiri

“Aku mau pisah.”

Setelah mengatakan hal itu, Anita segera merebahkan diri dan memejamkan mata. Ia bahkan tidak peduli jika dirinya masih berbalut pakaian kerja yang membuat tidurnya mungkin tidak leluasa. Masa bodoh! Ia memang sengaja memaksa diri untuk terlelap lebih cepat agar Aryo tidak mengeluarkan kata-kata yang mungkin bisa mengubah pikirannya.

Beruntung, rencana tersebut berhasil.

Esoknya, Anita terbangun dengan perasaan yang entah mengapa benar-benar lega. Anita tahu, setelah ini hidupnya belum tentu akan jauh lebih mudah. Bagaimanapun, kehadiran Aryo juga berguna untuk membuat kedua orang tua di kampung halamannya tidak khawatir karena ada yang menjaga Anita di luar pengawasan mereka seolah perempuan itu baru menginjak luasnya Jakarta selama beberapa hari. Kenyataan bahwa dirinya sudah menikah pun terkadang membantunya untuk lepas dari lelaki hidung belang yang kerap tiba-tiba muncul dan mendekatinya.

Tapi setidaknya, untuk sekarang, semua itu terdengar lebih baik dibandingkan hidup lebih lama lagi bersama mertuanya. Anita lelah tidak dihargai.

Saat Aryo masih tenggelam dalam mimpi di sampingnya, Anita bergegas membersihkan diri. Kali ini, dirinya jauh lebih santai dalam bersiap-siap. Perempuan itu bahkan menyempatkan diri untuk berdandan sebelum berangkat karena sudah tidak ada yang perlu ia takutkan.

Sebelumnya, Anita memang selalu berusaha keras berangkat pagi agar tidak perlu menyiapkan sarapan untuk Aryo maupun mertuanya. Katakanlah dirinya kurang ajar, tapi Anita benar-benar lelah jika harus memasak dulu sebelum menghadapi jalanan Jakarta yang tidak bisa diprediksi, serta urusan kantor yang membuatnya seharian harus memutar otak.

Hal tersebutlah yang membuat sang tuan rumah jengkel padanya. Mertuanya merasa Anita bertingkah seenak jidat dan lepas tanggung jawab sebagai istri. Ujung-ujungnya, wanita itu juga yang harus menyiapkan sarapan untuk anaknya sendiri. Padahal, Anita sudah pernah bilang berkali-kali untuk tidak ‘memanjakan’ Aryo. Laki-laki itu menjadi ‘pemalas’ karena keadaanlah yang mendukung. Aryo merasa masih memiliki sokongan. Dan itu adalah ibunya sendiri.

Tapi hari ini, Anita tidak perlu takut akan berpapasan dengan mertuanya sebelum berangkat kerja. Karena sebelum wanita itu berani ‘mengusirnya’, Anita akan lebih dulu keluar dari rumah ini sekaligus mengurus perceraian.

Ya, dulu Aryo bukan sosok yang tidak memiliki arah serta tujuan hidup. Laki-laki itu pernah menjadi makhluk paling mengagumkan dalam hidup Anita. Sejak kuliah, Anita sudah bisa melihat masa depannya yang cerah bersama Aryo.

Nahas, seluruh harapan perlahan runtuh sejak Aryo kena PHK di tahun kedua pernikahan mereka karena perusahaan tempatnya bekerja dulu mengalami pailit. Aryo yang tidak ingin Anita berusaha seorang diri untuk membayar kontrakan mereka pun memilih untuk membawa istrinya ke rumah orang tua yang tidak lain merupakan mama lelaki itu sendiri.

Awal-awal Anita merasa oke. Wajar jika ada beberapa hal yang tidak sejalan dengan pandangan mertua. Seperti membawa segelas air yang ringan di tangan. Terasa tidak ada apa-apanya. Tapi jika tidak kunjung mencari tempat untuk diletakkan, akan pegal juga. Dan begitulah yang Anita rasakan.

Hanya saja, Anita menahannya. Perempuan itu tidak ingin egois dengan memaksa keuangan. Selain karena ia masih harus mengirim uang bulanan pada keluarganya di kampung halaman, tujuan ia dan Aryo memilih mengontrak terlebih dulu saat itu adalah karena ingin membeli rumah yang layak nantinya tanpa mencicil. Memiliki dan tinggal di rumah impian merupakan cita-cita Anita.

Sayangnya, alih-alih termotivasi seperti Anita, Aryo mendadak terlena dengan statusnya yang merupakan pengangguran. Dia senang tinggal bersama ibunya karena terus ‘diperhatikan’. Anita tidak menyalahkan sang mertua untuk menyayangi penuh anak semata wayangnya tersebut, tapi … yang benar saja. Mau sampai kapan?!

Namun, alih-alih berhadapan dengan mertuanya hari ini, Anita justru harus berhadapan dengan suaminya sendiri yang sudah bangun. Padahal, biasanya lelaki itu selalu bangun lebih siang.

“Nit, kamu nggak serius, ‘kan, sama omongan kamu semalam?”

“Aku nggak pernah seserius itu.” Anita mulai menata rambut panjang bergelombangnya dengan tetap mematut diri pada cermin di hadapannya seakan tidak memedulikan keberadaan sang lawan bicara. Persis seperti apa yang Aryo selalu lakukan jika berbicara padanya.

“Coba pikirin lagi, Nit. Aku bakal ngomong sama Mama kali ini. Aku bakal tegur dia.”

Anita memutar matanya. “Nggak perlu. Aku udah benar-benar capek. Lagian, kalau kamu ngomong, aku tetap bakal dicap menantu durhaka karena udah buat anaknya berani ‘ngelawan’ dia,” tukas perempuan itu dengan bibir menipis.

Aryo menelan ludah. “Aku—”

“Udahlah, Yo. Aku nggak mau ribut. Kamu juga pasti masih ngantuk, ‘kan? Mending tidur aja. Istirahat sepuas kamu.” Anita membalikkan kata-kata Aryo dan mulai bangkit sambil menyampirkan tasnya di bahu. “Karena mulai detik ini, aku nggak akan nanyain keseharian kamu, perkembangan kamu, atau apa pun tentang kamu. Lakuin apa yang kamu mau sebagaimana yang kamu lihatin ke aku selama ini. Aku nggak akan peduli kamu udah dapat pekerjaan atau belum.”

“...”

Melihat Aryo hanya membeku, Anita pun melirik arloji di pergelangan tangannya dan mengembuskan napas. “Udah waktunya aku berangkat. Kamu mau ngomong apa lagi? Berhubung aku masih di rumah ini.”

Aryo terkesiap. “Lho, Nit, kamu mau ke mana?”

“Kerja, dong! Cari duit. Hidup tuh harus mandiri. Emangnya kamu?” Anita mendengkus. “Tapi kalau yang kamu tanyain di luar pekerjaan, pastinya aku mau keluar dari rumah ini. Apa lagi? Dan hari ini juga, aku bakal cari tempat tinggal baru. Di mana pun! Nggak peduli lagi bagus atau nggaknya. Nggak peduli sesuai impian atau nggak. Yang penting nyaman. Jauh dari ocehan Mama kamu yang nggak pernah ngehargai aku dan pemandangan suami pemalas yang nggak pernah ngebela aku!”

Setelah puas, Anita langsung pergi begitu saja tanpa peduli panggilan Aryo. Sudah cukup ia menggantungkan kebahagiaan dan kepercayaannya pada orang lain. Tepatnya, pada pilihan yang keliru. Kini saatnya, ia menentukan hidupnya sendiri.

***

Oh, tidak. Adi sepertinya sudah mulai mengikuti jejak Abi!

Semua orang di istana kediamannya juga tahu, si anak tengah tersebut tidak bisa ditinggal berdua saja dengan sang ayah. Malam ini, di ruang keluarga di mana dirinya berniat menemani sang ayah agar tidak kesepian, Adi justru merasakan posisi Abi yang merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak? Pertanyaan itu kembali terucap dari bibir ayahnya seakan jawaban-jawaban Adi sebelumnya adalah sebuah kebohongan.

“Yah, come on.” Adi mengembuskan napas yang nyaris terdengar seperti dengkusan. “Mending kita bahas perusahaan deh daripada hal nggak penting begitu.”

“Kok, nggak penting? Itu, ‘kan, masa depan kamu.” Dahi Ari mengernyit. “Ayah tuh berhak tahu masa depan anak-anaknya. Dan ingat, usia kamu udah 36 tahun, lho. Nanti kalau punya anak pas kamu udah encok, gimana?”

“Yah!”

“Jawab aja pertanyaan Ayah tadi.”

“Iya. Udah aku jawab, kok. Selalu aku jawab malah. Aku suka perempuan, Yah.” Adi tegas.

“Mana?”

“Mana apa?”

“Perempuannya. Kalau emang benar, coba Ayah lihat sini perempuan kayak gimana yang kamu suka,” ucap Ari yang sanggup membuat Adi tak berkutik sejenak.

“Yah.…”

“Kamu dari tadi manggil terus. Memangnya Ayah ini laki-laki panggilan?” respons Ari, keki. “Ayah cuma mau lihat tipe perempuan yang bikin kamu tertarik kalau emang kamu nggak ‘aneh-aneh’. Sederhana, ‘kan, permintaan Ayah?”

Adi berdecak samar. Saking samarnya, Ari pun tidak tersinggung karena tidak mendengarnya. “Nggak ada fotonya.”

“Tapi orangnya ada?” pancing Ari lagi.

“Ayah mau jawaban apa?” Adi tampak lelah.

“Ada, dong!” Ari tersenyum hangat hingga menjalar pada kedua mata teduhnya. “Ayah, ‘kan, pengin kamu ada yang menemani, Di. Memangnya, hidup sendiri itu enak? Nggak. Lihat nih, Ayah. Masih rindu bunda kamu. Nggak ada teman ngobrol setiap mau tidur lagi. Nggak ada yang garukin punggung Ayah dan elus-elus dada Ayah kalau tengah malam suka kebangun,” ujar pria itu, lantas terkekeh getir.

“Itulah yang aku nggak mau.” Adi menyandarkan punggung dan kepalanya pada sofa. “Nggak siap dan nggak akan pernah siap sama hal-hal semacam itu.”

“Hal-hal semacam apa?”

“Yang melibatkan emosi.”

“Maksudnya, seperti kehilangan yang Ayah rasain?” Ari menghela napas mendengarnya. “Kamu ini. Nyicip bahagia dari percintaannya aja belum, udah mikir ke arah sana. Nggak usah takut! Belum tentu juga nasib kamu sama seperti Ayah. Bisa jadi sebaliknya.”

“Emangnya Ayah sanggup kalau sebaliknya?” Adi menelengkan kepala. “Meninggalkan orang yang kita sayang merasa sedih dan kehilangan tanpa bisa berbuat apa pun? Bukannya, kita jadi kelihatan ‘egois’ karena pergi lebih dulu sedangkan ada yang masih butuh kita?”

Mendengarnya, Ari justru menampilkan senyum. Senyum yang sangat manis seolah ada orang lain yang mengamati mereka dari tempat lain. “Kamu benar, Di, Ayah pasti merasa bersalah di surga. Tapi di posisi Ayah sekarang, Ayah nggak pernah sekalipun mikir bunda kamu egois. Ayah justru bangga dan berterima kasih sama dia karena udah kasih kalian ke kehidupan Ayah. Anak-anak yang berhasil.”

Mau tidak mau, sudut bibir Adi tertarik mendapati ketulusan tersebut. Merasa waktu sudah mulai larut, lelaki itu pun bangkit dan tidak berniat melanjutkan obrolan mereka. “Aku pamit tidur duluan deh, Yah. Ayah juga jangan malam-malam.”

“Ah, kamu ini. Lagi seru ngobrol juga.” Senyum Ari berubah masam. “Sekali-kali tidur agak malam nggak apa-apalah, Di. Besok, ‘kan, Sabtu.”

“Nanti susah bangunnya. Kan, harus olahraga.”

“Kamu tuh anak Ayah, Adipati Prayudi. Bukan Ade Rai. Otot mulu diurus.” Ari cemberut. Meski begitu, ia tidak melarang anak sulungnya ‘memerhatikan’ kesehatan. Bagaimanapun, hal tersebut bagus untuk Adi sendiri.

Adi terkekeh. “Aku ke kamar, ya, Yah.”

Ari hanya mengangguk.

Namun, sebelum Adi benar-benar melangkah menjauh, lelaki itu sekali lagi menoleh pada sang ayah dan berkata …

“Oh, iya, soal tadi. Aku senang sama perempuan yang mandiri. Yang nggak banyak nuntut selagi aku memang nggak minta apa pun. Dan yang pasti, nggak ganggu kerjaan aku,” ujarnya singkat sebelum akhirnya benar-benar berlalu dari sana.

 

BAB 3: Berita Miring

Lagi-lagi, ini adalah hari ke sekian di mana Adi melihat gelagat aneh Jerry yang seperti tidak nyaman berada di dekatnya.

Merasa sangat bingung, lelaki itu pun bergegas menghampiri meja sekretarisnya dan bertanya langsung ke inti, “Kenapa, Jer? Kamu belakangan ini kelihatan aneh di depan saya. Apa saya buat kesalahan?” tanya Adi, berniat meminta maaf jika ada ucapan maupun sikapnya yang keterlaluan.

Jerry langsung berdiri dari kursinya untuk menghadap Adi dan menggeleng. “Bukan, Pak.”

“Bukan?” Sebelah mata Adi menyipit. Jawaban tersebut seolah mengatakan jika Jerry memang ada ‘masalah’ dengannya sekalipun tebakannya meleset. “Lalu?”

Sebelum Jerry sempat menjelaskan, telepon di mejanya berdering. Mau tidak mau, Adi pun menyuruh lelaki berkacamata tersebut untuk menjawab panggilan terlebih dulu sebelum melanjutkan pembicaraan mereka di ruangannya nanti.

Sekembalinya Adi ke kursinya, lelaki itu tampak duduk dengan tenang. Sungguh berbeda dengan Jerry yang kini super deg-degan setelah sambungan berakhir dan harus menghadapi bos besarnya sebagaimana yang Adi sendiri perintahkan.

Dan di sinilah lelaki berkacamata itu sekarang. Duduk di seberang meja pemilik perusahaan ini setelah dipersilakan oleh bosnya.

“Bilang ke saya, apa ketidaknyamanan kamu ini berkaitan dengan pekerjaan?”

Jerry mengangguk dengan mantap. “Iya, Pak.”

“Apa itu?”

“Begini, Pak … anu … ng …” Jerry tampak menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kira-kira, kalau saya bantuin Pak Adi cari pasangan gimana, Pak?”

Sebelah alis Adi menukik. “Pertanyaan macam apa itu? Kamu bilang ini berkaitan sama pekerjaan. Kenapa jadi bicara hal pribadi?” Lelaki itu tampak tersinggung.

“M-maaf, Pak. Tapi, memang itu masalah saya di kantor ini.” Jerry tampak takut-takut dalam mengatakannya.

“Maksudnya?”

“Sebelumnya saya minta maaf lagi, Pak. Tapi, rumor tentang Pak Adi udah menyebar ke seantero kantor, Pak. Masalahnya, ini menyangkut saya juga.”

“Rumor apa?”

“Pak Adi suka sama saya.”

Sontak, badan Adi langsung condong ke belakang saking terkejutnya dengan pernyataan tersebut. Dan lelaki itu pun mengerti akan kekhawatiran sang ayah belakangan ini. Ternyata Ari sudah lebih dulu mendengarkan berita miring mengenai dirinya ini. Entah sejak kapan. Adi tidak tahu tepatnya karena memang pria itu masih sesekali mendatangi kantor ini maupun kantornya Abi untuk melihat perkembangan perusahaan keduanya.

“Jujur, Pak, saya jadi diteror sama istri saya sendiri tiap pulang kantor karena takut Pak Adi makin dekat sama saya.”

“Istri kamu tahu dari mana? Kerja di sini juga? Bagian apa?”

Jerry menggeleng. “Istri saya cuma suka cari tahu keseharian saya ke teman-temannya yang juga kerja di sini. Tapi, saya benar-benar nggak tahu siapa dalang di balik kesebarnya rumor soal Pak Adi dan saya ke dia.”

Adi mendengkus. “Kamu tahu, ‘kan, posisi kamu itu di sini sebagai sekretaris saya. Wajar kalau kamu lebih dekat dengan saya dibanding karyawan lain.”

“Iya, Pak. Makanya itu, istri saya khawatir sama saya.”

Adi mengibas tangannya dan berdiri dari tempatnya. “Udahlah, Jer. Itu hanya rumor. Kasih pengertian ke istri kamu kalau saya nggak mungkin seperti itu! Saya normal,” tegasnya, tampak jengkel. Permasalahan Jerry mengenai rumah tangganya saat ini yang terdengar tidak masuk akal, semakin menguatkan prinsip Adi jika menikah itu memusingkan. Dan tentunya, bisa menghambat pekerjaan!

Diam-diam Adi berdecak. Padahal, ia sengaja mengganti sekretaris sang ayah dulu dengan orang baru seperti Jerry. Bukan, dirinya tidak sedang mendiskriminasi gender dan skeptis pada kemampuan perempuan. Hanya saja, Adi menghindari hal-hal di luar pekerjaan seperti ini.

Jangankan yang sering bertemu, karyawan yang jarang berpapasan dengannya saja selalu tersenyum malu-malu seolah akan muncul percikan romansa di antara mereka. Dan Adi sungguh malas menghadapi hal seperti itu.

Tapi, kenyataannya sekretaris laki-laki pun tidak lepas dari masalah “perempuan”. Kalau sudah begini, Adi harus apa?

***

Nahas. Seolah tidak cukup, tuduhan tersebut juga dilayangkan oleh sang adik padanya.

Lo gay, ya?

Sial! Abi sialan. Mentang-mentang sudah menemukan tambatan hati, seenaknya menuduh abangnya sendiri penyuka sesama jenis! (read: “Sunrise in Phuket” by Junieloo)

Jika memang hanya sebatas rumor di kantor, Adi akan menganggapnya sebagai masalah sepele. Tapi, kali ini asumsi tak masuk akal itu keluar dari mulut adiknya sendiri! Walau sepertinya Abi hanya asal bicara, Adi tetap terpikirkan. Adi jadi ‘peduli’. Karena baginya, pandangan keluarga adalah yang terpenting. Mereka merupakan bagian dari hidupnya. Terlebih, Adi adalah anak sulung. Contoh dari adik-adiknya.

Mau tidak mau, lelaki itu jadi gerah sendiri berada di kantor. Ia jadi tidak bisa menilai secara objektif pandangan para karyawan yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Karena itulah, ia putuskan untuk mencari udara segar di luar usai terlebih dulu memastikan pada Jerry jika tidak ada meeting atau jadwal penting apa pun hari ini.

Entah apa yang membuatnya melajukan mobilnya ke arah gedung yang pernah dipegang olehnya selama beberapa bulan. Apa lagi kalau bukan perusahaan mendiang bundanya yang kini dipegang oleh Abi?

Meski sudah lama tidak berkeliaran di tempat ini, kedatangannya tetap disambut dengan ramah oleh semua orang. Bahkan, sangat ramah seolah-olah seluruh karyawan sangat merindukannya. Padahal, gaya kepemimpinannya tidak sebaik sang ayah.

Hmm, mungkinkah Abi menjadi sosok yang berbeda di sini? Adi jadi penasaran, seperti apa pandangan orang terhadap anak tengah dalam keluarganya itu?

Di tempat lain, terdapat seseorang yang suasana hatinya hari ini berbanding terbalik dengan Adi. Saking senangnya, Anita bahkan sampai menawarkan bosnya, Pak Abi, untuk dibuatkan minuman atau dibelikan makanan yang lelaki itu mau karena sudah mengizinkan Anita absen kantor sehari tanpa perlu menjelaskan alasannya.

Memang sih, dirinya masih memiliki jatah cuti. Namun, tetap saja. Melihat sikap Abi di kantor yang berbanding terbalik dengan apa yang kerap mendiang Bu Ani ceritakan padanya, benar-benar membuat Anita merasa dipermudah. Ditambah, Aryo tidak datang di sidang pertamanya minggu kemarin.

Tentu saja! Apa yang diharapkan dari lelaki itu? Aryo, si Pemalas, pasti memilih tidak datang. Belum lagi sang calon mantan mertuanya yang pasti akan melarang Aryo untuk hadir karena takut Aryo mengajukan banding atas dasar masih cinta. Wanita itu pasti sudah sangat muak dengan Anita yang bersikap kian kurang ajar dan tidak layak dipertahankan sebagai istri.

Alih-alih kesal, Anita justru sangat bersyukur jika memang benar demikian. Karena hal tersebutlah yang semakin mempercepat proses perceraian.

Dengan riang, Anita melepas cincin kawinnya dan membungkusnya dengan plastik zipper berukuran kecil seakan benda itu tidak lagi bernilai. Ia memang tidak berniat mengambil keuntungan dari cincin tersebut. Ia hanya ingin menjual apa adanya ke toko emas yang mau saja. Berapa pun ia terima karena cincin itu sudah tidak ada artinya lagi.

Ugh! Seandainya tidak terukir nama Aryo di sana, Anita pasti tidak akan muak melihatnya dan tidak akan menggebu-gebu untuk segera menyingkirkannya. Bagaimanapun juga, cincin itu adalah perhiasan! Sayangnya, Anita sudah malas. Meski demikian, ia juga tidak ingin terlalu rugi dengan membuangnya begitu saja.

Ahh, Anita sungguh tidak sabar membebaskan statusnya sebagaimana tampilan jari manisnya kini.

Jika banyak perempuan takut menjadi janda, Anita justru merasa bangga. Who cares? Selama dirinya bahagia, apa pun ia lakukan sekarang. Karena terkadang … hidup perlu egois untuk tidak selalu memikirkan orang lain.

“Anita?”

Terkejut, benda di tangan Anita pun terjatuh. Beruntung, plastik yang melindunginya cukup membantu untuk tidak sampai membuat cincinnya menggelinding jauh. Sehingga Anita pun memilih fokus pada sosok familier yang sudah berdiri di depan mejanya dengan wajah datar.

Mantan bosnya.

Jika menurut karyawan lain Pak Abi yang paling menyeramkan di antara para bos yang pernah memimpin FIVE-A, tidak bagi Anita! Menurutnya, Pak Adi masih menduduki peringkat teratas bos paling menyeramkan!

Lihatlah otot-ototnya. Bahkan, jas navy yang membalut badan itu seperti tiada arti karena Anita maupun siapa saja yang melihat, tetap bisa menerawang apa di baliknya. Oh, jangan lupakan alis lebat nan panjang yang tampak nyambung yang membuat wajahnya maskulin tersebut terkesan semakin tidak ramah.

“Siang, Pak Adi. Mau bertemu dengan Pak Abi, ya?” sapa Anita sekaligus menebak, tepat sasaran. Memangnya, apa lagi tujuan lelaki itu menemuinya? Ada perlu dengan Anita sendiri?

Ya kali.

“Ya. Dia ada di dalam, ‘kan?”

“Ada, Pak. Silakan masuk,” ucap Anita langsung tanpa konfirmasi ke Abi terlebih dulu karena Pak Adi bukanlah ‘orang lain’ bagi bos besarnya. Bahkan, bagi perusahaan ini.

Adi memang pernah memegang FIVE-A selama kurang lebih 2-3 bulan saat Pak Ari—di usia beliau yang tidak lagi muda—sedang benar-benar kewalahan dalam mengurus perusahaan, sementara anak keduanya—bos Anita yang sekarang—belum mau turun tangan saat itu. Meski hanya sesaat, kepemimpinan seorang Adi masih cukup membekas di benak Anita karena lelaki itu seperti enggan berbicara atau sekadar mendengarkan Anita.

Walau demikian, Adi tidak memiliki wewenang untuk mengganti sekretaris sesuai keinginan lelaki itu. Selain karena Adi hanya ‘menggantikan’ sang ayah sejenak, Anita juga sudah mengabdi di perusahaan ini bahkan sebelum pendirinya, Ani Mulyani, jatuh sakit. Semua orang di sini juga tahu, Anita sangat loyal pada Bu Ani dan FIVE-A.

“Oke, thanks.”

Begitu Adi mengangguk dan menghilang di balik pintu, Anita langsung menghela napas. Tidak menyangka akan dipertemukan kembali dengan kulkas 2 pintu tersebut.

Jika menurut seluruh karyawan di sini “Pak Adi lebih mending daripada Pak Abi”, Anita tidak setuju! Entah karena dirinya dulu sering mendengar hal-hal positif tentang Abimana Prayuga dari mulut mendiang bunda lelaki itu sendiri sehingga pandangannya pun menjadi subjektif, atau memang benar perasaannya yang selama ini mengatakan jika Abi hanya ‘menciptakan’ karakter yang galak agar tidak disepelekan demi kemajuan perusahaan. Intinya, Abi tidak pernah sampai membuatnya deg-degan karena takut salah ketika berhadapan.

Sedangkan Adi? Dari mulai tatapan, aura, hingga tiap kata yang terucap dari bibir yang berbelah itu, selalu membuat Anita siap membeku saking dinginnya. Dulu, Anita bahkan sempat berpikir jika dirinya kurang becus dalam bekerja atau mungkin pernah menyinggung Pak Adi secara tidak sadar. Tapi, tidak. Memang sudah setelan pabrik seperti itu! Untungnya, Anita cepat beradaptasi dengan siapa pun atasannya.

Anehnya, saat berbicara dengan Pak Ari, sorot mata Adi menghangat. Pernah juga Anita menangkap pembicaraan lelaki itu melalui telepon dengan Agi—si bungsu dari keluarganya, nada bicaranya pun lembut dan tidak menukas sekalipun posisinya tengah “menegur”.

Tidak heran mengapa masih banyak karyawan FIVE-A yang mengagumi sosok Adi. Mereka pasti tergoda untuk dihadapkan dengan Adipati Prayudi dalam versi “manusiawi”.

Omong-omong …

KENAPA IA JADI MEMIKIRKAN PAK ADI?!

 

BAB 4: Lamaran Sinting!

Esoknya, kemunculan Adi kembali membuat Anita bingung. Terlebih, saat lelaki itu datang di saat Abi sedang tidak berada di ruangannya.

“Siang, Pak Adi. Mohon maaf sebelumnya, Pak Abinya sedang—”

“I believe this belongs to you.”

Anita sempat kebingungan. Namun, begitu Adi mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya dan meletakkannya di meja perempuan itu, Anita lantas tertegun. “Lho, kok bisa ada di Pak Adi?” tanyanya, bergegas meraih cincin dalam plastik kecil yang kemarin memang sempat jatuh dari tangannya.

Adi mengangkat bahunya yang bidang meski tampak turun berkat otot di pundaknya. “Saya nemuin itu pas mau balik dan kebetulan kamu lagi nggak ada di meja.”

Anita manggut-manggut. Benar, kemarin dirinya memang dihubungi oleh Abi untuk menyampaikan pesan ke bagian finance, mewakili lelaki itu sementara di ruangan bos besar masih ada tamu. Siapa lagi kalau bukan abangnya sendiri? Jadilah, Anita yang turun tangan. Dan mungkin, tanpa sengaja dirinya menendang benda itu lebih jauh hingga ditemukan oleh Adi. “Oh. Terima kasih kalau begitu, Pak.”

“Sepertinya benda itu nggak penting lagi buat kamu sampai-sampai reaksi kamu biasa aja,” tebak Adi, seraya menenggelamkan kedua tangannya di saku celana. Menurutnya, Anita harusnya protes karena dirinya telah membawa pulang barang seseorang tanpa izin alih-alih mengembalikannya langsung ke meja sang empunya.

Melihat senyum manis terbit di wajah Anita, Adi pun mengerutkan kening. “Saya berniat jual cincin ini, Pak.”

“Itu cincin pernikahan, ‘kan? Kamu selalu pakai dulu.”

“Betul, Pak.” Senyum Anita melebar hingga menampilkan rentetan giginya yang rapi. Tidak heran jika Adi mengingatnya karena Anita tidak pernah sehari pun melepas benda tersebut dari jari manisnya. “Pak Adi mau beli? Saya jual berapa pun! Saya belum ada waktu ke toko emas.”

Adi benar-benar terkejut mendengarnya. “Kamu masih waras, Anita?”

“Justru, saya yang sinting kalau masih nyimpan benda ini.”

“Kamu sudah cerai?” tanya Adi, tanpa basa-basi.

Bukannya tersinggung, Anita justru tampak antusias dalam menjawab, “Betul! 100 buat Pak Adi!” Kemudian perempuan itu terkekeh geli.

Adi sanggup dibuat tak mengerti dengan reaksi Anita. Rasanya, ia ingin pergi dari sana sekarang juga karena keanehan mantan sekretarisnya tersebut. Hanya saja, sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya yang ternyata tidak kalah gilanya.

Usai mengamati sosok Anita terlebih dulu, meski tidak dari ujung kepala sampai ujung kaki—mengingat pandangannya terhalang oleh meja di antara mereka, Adi pun berdeham dan memberanikan diri bertanya … “Sabtu ini kamu free?”

***

Di sinilah Anita sekarang. Di sebuah kafe yang tidak jauh dari tempat tinggal barunya yang juga cukup dekat dengan kantor.

Untuk ke sekian kali, ia kembali melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah 25 menit ia menunggu, tapi Adi belum kunjung datang. Lelaki itu memang mengatakan jika harus mengurus hal lain dulu sebelum menemui Anita, tapi Anita sudah dirundung rasa penasaran yang sungguh hebat!

Apa yang membuat Adi ingin bertemu dengannya seperti ini hanya untuk membahas cincin kemarin? Mungkinkah mantan bosnya benar tertarik dengan benda tersebut? Tidak heran, model cincin kawin Anita memang unik! Adi pasti memiliki selera yang mirip dengan mendiang bundanya, Ani, yang dulu kerap memuji selera Anita. Dan mengingat jabatan Adi yang tidak main-main, Anita pun jadi tergiur membayangkan bayaran yang akan ditawarkan.

Bertepatan dengan pemikiran itu, pintu kafe kembali terbuka dan menampilkan sosok yang ditunggu-tunggu.

Ugh! Lihatlah tubuh menggoda yang kini dibalut kaus V-neck putih dan jaket hitam yang dibiarkan terbuka. Apa lelaki itu tidak sadar jika perut kotak-kotaknya tercetak jelas? Mau tidak mau, Anita pun lantas menoleh pada etalase dekat kasir di mana terpajang roti bantal yang masih fresh from the oven dan membandingkannya dengan milik Adi.

Tunggu. Mengapa cuaca kafe mendadak membuatnya begitu gerah???

“Udah pesan?” tanya Adi begitu sosok itu telah duduk di seberang Anita yang hanya dibatasi oleh meja setinggi lutut.

“Udah, sebentar lagi mungkin diantar. Tadi soalnya saya request buat nggak langsung dibuatkan karena masih nunggu teman.”

Adi manggut-manggut. “Oke, kalau begitu saya langsung to the point aja.”

“Pak Adi nggak mau pesan dulu?”

Adi hanya menggeleng. Namun, niatnya barusan sempat terjeda oleh kedatangan pelayan yang mengantarkan pesanan Anita. Demi kesopanan, lelaki itu juga memberi kesempatan Anita untuk mencicipi makanannya terlebih dulu.

Merasa hidangan ringan di atas mejanya sangat menggugah selera sampai penciumannya pun dimanjakan oleh aroma butter yang harum, Anita pun tidak ingin mendiamkan makanannya lebih lama lagi. Meski begitu, ia juga tidak ingin membuat lelaki di hadapannya hanya berdiam diri. Maka dari itulah, Anita persilakan Adi untuk berbicara sementara dirinya izin untuk mendengarkan sambil makan.

“Saya mau melamar kamu.”

Serpihan croissant di mulut Anita langsung menyembur mengenai paha Adi juga mengotori meja kopi di antara mereka. “HAH???” Kemudian ia langsung meralat, “Maaf, Pak. Saya nggak tertarik di perusahaan Pak Adi!”

“Bukan begitu. Saya mau nikah sama kamu,” ujar Adi, tanpa basa-basi.

“K-kok?” Anita semakin kebingungan sampai tidak mampu berkata-kata. Terlalu banyak pertanyaan di benaknya saat ini! “Sebentar. Bukannya kita ketemu buat negoisasi??? Saya pikir, ini soal cincin kawin saya.”

“Iya, memang untuk negoisasi. Tapi, bukan untuk cincin kawin kamu. Untuk apa?” Adi mendengkus seraya bersedekap hingga otot lengannya yang sudah terbebas dari jaket yang disampirkannya pada sandaran kursi, semakin terbentuk jelas. “Saya punya penawaran yang lebih menarik dari sekadar beli cincin kamu.”

“Apa?”

“Ya, ini. Yang barusan saya bilang. Saya pengin kerja sama dengan kamu soal ini. Saya yakin kamu paham maksudnya.” Adi pun berdecak. “Saya capek dengan gosip yang bilang saya penyuka sesama jenis,” jelas lelaki itu, datar.

“Bukannya emang iya?” Anita meringis kecil saat Adi tampak menautkan sepasang alis panjangnya.

“Kamu juga dengar berita itu?”

“Zaman Pak Adi mimpin FIVE-A juga udah ada kok rumornya di kantor. Tapi, saya nggak pernah sampaiin ke Pak Adi karena nggak penting. Nggak ada hubungannya juga sama kerjaan,” ujar Anita, apa adanya.

Badan Adi langsung condong ke depan, menatap lurus kedua mata Anita. “Terus, kamu percaya sama omongan nggak masuk akal itu?”

“Ng ... maaf, Pak. Saya cuma manusia biasa yang nggak bisa nerawang isi hati orang lain. Kesimpulannya, saya menilai apa yang saya lihat aja.”

“Saya nggak begitu! Saya normal! Saya masih suka perempuan,” kilah Adi.

“Kalau begitu, kenapa Pak Adi nggak menikah sama perempuan yang Bapak taksir?”

“Saya nggak punya.” Adi menghela napas. “Saya nggak punya waktu buat ngurusin sebuah hubungan kayak gitu. Tapi, gosip itu semakin hari semakin keterlaluan! Belum lagi, desakan dari Ayah yang bikin saya pusing dengarnya.”

“Wajar sih Pak Ari nyuruh nikah, udah waktunya soalnya.” Melihat ekspresi tersinggung Adi, Anita pun meringis kecil. “Maaf, Pak. Saya orangnya emang jujur, makanya saya dipercaya Bu Ani,” dalihnya.

“Jadi, kamu mau atau nggak?” tanya Adi, tidak menanggapi ucapan Anita barusan.

Anita tampak mempertimbangkan sejenak. “Emangnya berapa, sih, yang Pak Adi mau tawarkan ke saya?”

Mengerti apa yang dimaksud Anita, Adi pun dengan enteng menjawab, “Berapa pun. Asal nilainya masih masuk akal.”

“Hmm.” Anita mengangguk paham. “Tapi, sebenarnya saya masih proses cerai, Pak.”

“It’s fine. Nggak harus dalam waktu dekat. Buru-buru malah kelihatan janggal nanti. Dan kalau kamu terima tawaran saya, kamu bisa merdeka sesegera mungkin seperti yang kamu mau. Karena saya bisa bantu percepat.”

“Interesting.” Anita menyeruput iced cappuccino-nya sejenak karena memang dia pecinta kopi dingin. Sedingin apa pun cuacanya, ia tidak pernah beralih ke kopi panas. Hanya saja, kelezatan minuman itu kini seakan tidak ada apa-apanya dibanding membayangkan kehidupan Adi yang serba mudah. Nikmatnya punya duit banyak, tambah batinnya. “Tapi lagi, saya nggak bisa pura-pura, Pak. You know, kayak … mesra-mesraan gitu, tanpa cinta.” Perempuan itu tampak malu-malu mengatakannya.

“Itu bisa dilatih.”

“Kalau emang begitu, kenapa Pak Adi nggak cari orang bayaran yang bisa diajak kerja sama dalam hal ini? Maksud saya, yang lebih ahli dalam bidang ‘pura-pura’ gitu. Nggak perlu latihan lagi.”

“Saya mau pernikahan ini sungguhan. Kalau bisa, seumur hidup. Saya bukan ingin pernikahan kontrak atau bayaran walaupun saya memang bayar kamu untuk ini. Saya nggak pengin nanti dibuat pusing lagi dengan hal serupa kalau sampai kontraknya udah berakhir,” tegas Adi. “Tapi kamu nggak perlu khawatir. Seperti yang saya bilang tadi, semua ini cuma buat matahin opini jelek tentang ketertarikan saya. Demi kelangsungan perusahaan yang bergantung sama kedamaian saya juga. Di dalam pernikahan, kita hidup masing-masing kayak biasa.”

“Tunggu dulu …” Anita mengernyit. Ia tahu, orang kaya itu tingkahnya penuh akan kejutan karena dikelilingi uang. Tapi makhluk seksi di hadapannya satu ini benar-benar di luar nalar! “Seumur hidup?”

“Ya.”

“Ng …” Anita membasahi bibirnya. “Emangnya, Pak Adi nggak ada niatan buat nikah lagi nanti?”

“Poligami maksudnya?”

“Eh, bukan!” Anita dengan tegas melanjutkan, “Saya nggak suka diduain walaupun basic-nya nikah bukan karena cinta! Emangnya saya cewek apaan dimadu?!”

Sebelah alis tebal Adi menukik. “Lalu?”

“Maksudnya tuh kalau semisal Pak Adi udah nemuin jodoh, gimana?” Anita tampak berpikir sejenak. “Saya, sih, nggak apa-apa cerai lagi. Asal, ada bayarannya. Karena saya pasti bakal dapat cibiran dari orang-orang kalau menjanda untuk kedua kalinya. Mereka bakal mikir, salahnya ada pada saya. Saya harus siap sedia biaya kalau-kalau mental saya goyang!”

Entah apa yang lucu, tapi omongan Anita barusan sanggup membuat Adi mendengkus geli. Meski tidak tertawa, lelaki itu terhibur karenanya. “Anita, saya bisa pastikan ke kamu kalau saya benar-benar malas mengurusi hal picisan begitu. Karena itulah saya di sini sekarang. Bahas rencana ini sama kamu karena saya tahu, saya nggak mungkin ada pikiran ke arah sana. Dan yang saya butuhkan saat ini cuma sisa hidup kamu sama kesediaan kamu buat ikut rencana saya.”

“Tapi itu jadinya enak di Pak Adi doang, nggak enak di saya!”

“Pardon?”

“Okelah, Pak Adi bayar saya. Cuma, beratus-ratus juta sampai miliaran sekalipun kalau cuma di awal, itu nggak sebanding sama waktu seumur hidup saya, Pak!” Anita mengibaskan rambut panjangnya seraya berdeham. “Saya ini perempuan berpendidikan, cantik, smart, dan bisa jadi apa pun sesuai kebutuhan. Saya bisa mengatur jadwal, mengatur keuangan, mengatur rumah tangga, masak, menyetir motor, mobil, sampai truk! Saya juga bisa merawat tanaman, merawat hewan peliharaan, sampai merawat suami yang nggak bisa apa-apa. Jadi intinya …”

“Saya ini mahal dan terlalu berharga,” mantap perempuan itu, penuh percaya diri.

Kedua mata Adi pun menyipit. “Terus, kamu maunya gimana?”

Anita tersenyum tipis.

 

BAB 5: Berpikir Realistis

“Saya mau Pak Adi nafkahin saya. Saya mau, Pak Adi perlakuin saya sebagai seorang istri dalam segi finansial. Ada uang bulanan, ada uang belanja juga. Beneran keuangan aja, kok. Perhatian dan lain-lain, saya nggak butuh,” ujar perempuan itu, berusaha agar terdengar simpel dan tidak terlalu menuntut agar dirinya tidak kehilangan kesempatan.

Berhasil!

“Tanpa kamu minta, saya akan melakukannya, Anita. Gimana pun, kamu istri saya nanti. Egois rasanya kalau saya ‘beli putus’ the rest of your life dengan uang. Karena berapa pun nominalnya, kamu tetap berhak atas hidup kamu.” Adi menyandarkan punggungnya. “Asal, kamu jangan minta cerai sekalipun dan bikin saya pusing buat cari pengganti atau bahkan pusing buat sekadar jawab pertanyaan orang-orang terdekat mengenai ‘kenapa kita bercerai’. Saya nggak mau mikirin itu. Juga, kamu harus paham akan kondisi. Saya ini pengusaha. Ada saatnya perusahaan mengalami pasang surut. Kalau kamu juga nggak menghargai saya sebagai suami dan menganggap saya terus berhutang sama kamu, saya yang akan ceraikan kamu sekaligus menuntut ganti rugi. Deal?

Anita tampak berpikir sejenak. Tampaknya tidak sulit. Ia tidak akan meminta cerai karena sudah muak dengan laki-laki. Kecuali, yang “berduit” seperti Pak Adi ini. Tentu saja! Dan soal “paham akan kondisi”, sudah pasti Anita jagonya! Bertahan di keadaan yang buruk nan terpuruk sekalipun adalah keahlian seorang Anita Pramesti.

“Oke, deal!” Usai mengangguk setuju, Anita pun menelengkan kepalanya. “Tapi omong-omong, kenapa harus saya, Pak?”

Mengerti pertanyaan Anita, Adi pun menjawab, “Sebelumnya saya sempat berkilah berulang kali dengan alasan perempuan itu merepotkan.” Adi tampak tidak peduli jika Anita tersinggung. “Saya selalu bilang kalau butuh wanita mandiri, nggak ribet, dan nggak aneh-aneh biar terkesan ‘saya memang lagi mencari dan belum menemukan yang cocok aja, karena nggak semudah itu dapat jodoh yang pas’. Kalau saya pilih sembarangan, Ayah bakal curiga karena jauh dari kriteria saya.”

“Terus, menurut Pak Adi, saya seperti itu?” Anita penasaran.

“Mandirinya, iya. Nggak ribetnya, saya harap juga iya. Tapi, nggak untuk yang aneh-anehnya.”

“Emangnya saya aneh-aneh?”

“Kamu mau nerima tawaran saya aja udah aneh.” Adi mengangkat bahunya. “Tapi syukurlah, saya lagi butuh keanehan itu.”

Benar, Adi tidak menyangka jika Anita akan dengan mudahnya setuju. Sekalipun ia telah mengobservasi lebih dulu, sosok jelita tersebut seperti hidup penuh prinsip yang kuat.

Mungkin, dugaannya tentang perempuan itu akurat. Tentang betapa lelahnya Anita dengan pernikahan sebelumnya sampai terlihat sangat ‘antusias’ ketika bercerai, juga tidak lagi peduli dengan cincin kawinnya hingga terlihat masa bodoh akan dihargai berapa benda tersebut.

Dan yang paling penting, penampilan Anita.

Adi tahu, Anita memang cantik. Dengan wajah kecil berbentuk diamond yang membuat lehernya kelihatan lebih jenjang, dagu agak lancip, rambut panjang bergelombang, serta lekuk tubuh “S” alias depan belakang ‘berisi’ dan cukup padat, tangan dan kaki yang ramping, hingga jemari yang lentik, semua seakan mengidentifikasikan jika perempuan itu adalah panutan perempuan lain.

Sayangnya, dulu Anita tidak ‘secerah’ ini. Anita berubah. Ke arah yang lebih baik tentunya. Rambut perempuan itu tampak rapi dan tersisir dengan baik. Riasannya juga tampak tidak ‘seadanya’ meski masih terlihat natural. Jemarinya pun kini dihiasi nail art.

Oh, jangan lupakan tas yang masih kelihatan seperti sangat ‘baru’ dan aksesoris seperti jam tangan yang bahkan masih dilapisi plastik pelindung di bagian kacanya. Hal-hal yang mengisyaratkan jika Anita sudah terlalu lama hidup di kehidupan yang tidak diinginkan sehingga memutuskan untuk hidup sesuka hati sekarang.

Adi jadi menerka-nerka, lelaki macam apa yang dinikahi perempuan itu sampai mampu meredupkan auranya?

Anita mendengkus. “Saya mau terima tawaran Pak Adi juga karena saya sekarang berprinsip untuk jadi mata duitan!”

Adi menjentik jemarinya. “Itu lebih aneh. Terang-terangan mengakui kamu matre,” responsnya, tidak terkejut. Ia juga sudah menduga akan hal ini melihat dari cara Anita memperlakukan cincin kawinnya. Disimpan terlalu benci, tapi dibuang pun takut rugi! Adi jadi beranggapan jika Anita mungkin tidak akan menolak tawarannya yang tentunya membuat harga perhiasan mungil tersebut mendadak terasa seperti recehan.

“Segalanya butuh duit sekarang!” Anita memotong croissant-nya dengan penuh kekesalan. “Saya udah capek ‘pelit’ sama diri sendiri cuma untuk wujudin bahagia sama orang yang nggak ada usahanya. Saya udah capek berharap sama ‘cinta’. Cuma bisa makan hati, tapi nggak bisa kasih makan! Mendingan saya berharap sama duit. Ada untungnya,” gerutunya.

Walaupun sesuai dengan hasil peninjauannya, Adi tetap pura-pura tidak tahu. “Yang kamu maksud, pernikahan sebelumnya?”

Anita menghentikan gerakannya. “Anggap aja Pak Adi suami pertama saya nanti.”

Adi manggut-manggut, menghargai keputusan Anita. “Baguslah kalau kamu udah bisa realistis dalam ngelihat dunia.” Kemudian lelaki itu bangkit dan membersihkan serpihan croissant yang menempel di celananya. Namun, sebelum memutuskan untuk pergi, Adi seperti mempertimbangkan sesuatu yang Anita tidak duga sama sekali. “Here. Tutupi rok kamu pakai ini. Lain kali, nggak usah terlalu formal ketemu saya. Saya bukan bos kamu.”

Anita tertegun selama beberapa detik sebelum akhirnya menerima jaket Adi sambil mengulum senyum. Sabtu sore yang cerah ini dirinya memang tampil rapi seperti mau ke kantor dengan blouse biru langit serta rok pensil di atas lutut berwarna khaki.

Tadinya, ia hanya tidak ingin terlihat terlalu santai menemui Adi yang selalu rapi. Anita memiliki prinsip jika penampilan yang baik, membuat siapa pun yang bertemu dengannya akan merasa dihargai. Nyatanya, lelaki itu yang malah sangat santai. Walau “santainya” Adi memang beda. Masih tetap terlihat rapi dan elegan. Lelaki itu bahkan masih mengenakan sepatu.

Sungguh berbeda dengan gaya “santai” versi Aryo yang mirip gelandangan. Kalau diingat-ingat, rasanya Anita geram tiap kali pergi bersama calon mantan suaminya tersebut yang kerap terkesan menyepelekan momen berdua mereka.

Di saat Anita sudah cantik dengan heels-nya, Aryo malah pakai sandal jepit! Di saat Anita sudah menawan dengan riasan flawless di wajah, Aryo malah belum mandi! Aryo memang sudah tampan tanpa butuh usaha. Tapi, ini soal bagaimana cara menghargai orang lain. Terlebih, pada orang yang hidup bersamanya.

Masih mending kalau gayanya tak acuh seperti itu karena lelaki itulah yang mengeluarkan uang untuk makan romantis mereka atau lain sebagainya alias sudah capek cari nafkah …

Lha, ini???!

Sudahlah. Yang terpenting, pandangannya sekarang dan untuk ke depannya, lebih menyegarkan. Suami pemalas akan berganti dengan suami pekerja keras. Oh, jangan lupa akan “keuangannya” juga! Batin Anita tengah bersiul-siul kegirangan.

“Makasih, ya, Pak Calon Suami.” Anita tersenyum manis. Semanis aroma duit yang berputar-putar di benaknya.

Meski terkejut dengan panggilan itu, Adi tidak mengelak karena baik keduanya memang harus berlatih untuk ke depannya. “Saya pamit kalau gitu. Kamu bisa hubungi saya semisal ada perlu di nomor saya yang lama. Masih simpan, ‘kan?”

Begitu Anita mengangguk, Adi lantas berlalu meninggalkan perempuan itu begitu saja.

Tapi, tidak. Tidak benar-benar “begitu saja”. Anita bahkan baru menyadari keberadaan 5 lembar uang merah di atas meja. Uang yang tentunya sengaja diletakkan oleh Adi.

Refleks, senyum Anita mengembang. “Yes! Cukup buat ganti pesanan sama buat pulang!” ucapnya, riang. Karena prinsipnya sekarang adalah kalau bisa tidak mengeluarkan uang, mengapa harus dikeluarkan? Kalau orang lain bisa membayar, mengapa harus diri sendiri?

Betul atau betul?

***

Anita baru saja bersenang-senang, membayangkan kehidupannya yang serba terpenuhi jika dirinya sampai menjadi istri seorang Adipati Prayudi. Sayangnya, pagi ini ia justru dilanda perasaan galau.

Keraguan tiba-tiba saja muncul dan membuatnya bingung sendiri. Benar, bagaimana kalau nanti ada yang menyangka dirinya berselingkuh?! Belum lama bercerai, sudah mau menikah lagi saja. Adi memang gila dengan tawarannya. Tapi, Anita lebih sinting dengan menerima tawaran tersebut!

Anita menggeleng kuat. Tidak, tidak boleh ragu! Prinsipnya sekarang adalah mengutamakan uang. Ingat kata Tuan Krab …

Uang lebih manis daripada madu.

Dan ini saatnya. Kesempatan sudah ada di depan mata. Tawaran Adi pun sangat menarik. Ia tidak akan dicecar oleh kedua orang tuanya yang mungkin tidak ingin Anita menjanda terlalu lama. Ia bisa tetap menikmati kehidupan dengan ‘bebas’ karena pernikahannya nanti hanya status. Yang paling penting, Adi janji akan menafkahinya sebagaimana seorang istri!

Dang! Benar-benar menggiurkan! Apalagi, untuk seseorang yang menjadi sandwich generation seperti dirinya. Pemasukan dari Adi akan sangat membantu. Bahkan, jauuuuh lebih baik.

Persetan dengan cita-citanya semasa remaja untuk hidup bahagia dengan orang yang dicintainya. Eits, tapi ada yang lupa dibahas kemarin!

Bergegas, Anita pun mengirim pesan untuk Adi dan berharap lelaki itu membalasnya dengan segera. Berhubung dirinya masih di kantor, begitu pun Adi pastinya, ia putuskan untuk tidak menelepon agar tidak ada yang menguping dan mendengarkan rencana mereka satu ini.

Karena jika sampai ada yang tahu, bisa bahaya untuk keduanya. Tuduhan gay pada Adi tidak akan redup, sementara Anita akan dicap sebagai cewek matre walaupun ia sendiri tidak memungkiri itu.

Anita:

Selamat siang, Pak Adi.

Ini Anita. Mau tanya soal kemarin.

Beruntung, Adi cukup fast respons hingga Anita tidak perlu lama mendapat kepastian.

Adi:

Ya?

Anita:

Kalau nanti di antara kita ada yang kesemsem duluan, gimana tuh, Pak?

Ada konsekuensinya nggak?

Adi:

Itu di luar kendali. Asal kamu nggak merepotkan saya. Nggak masalah.

Saya udah terbiasa disukai.

Di balik ponselnya, Anita tersenyum masam. Tidak salah, sih. Tapi, kenapa agak sebal, ya, dengarnya? Tentu saja karena Anita tidak bisa mengelak fakta tersebut.

Anita:

Kalau misalnya sebaliknya?

Pak Adi yang naksir saya.

Adi:

?

Anita:

Saya cantik lho, Pak.

Mandiri.

Nggak suka aneh-aneh :)

Adi:

We’ll discuss it later.

Saya ada meeting.

Anita:

Ok, ok.

Seraya meletakkan ponselnya di atas meja, Anita mengembuskan napas berat. Ia tahu, ia sudah sakit hati dengan pernikahan sebelumnya. Pak Adi pun tampaknya bukan laki-laki yang peduli soal hal picisan berbau romansa. Tapi, bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti cinta tumbuh di antara mereka, bukan? Mereka akan tinggal bersama seumur hidup!

Dan Anita ingin tahu konsekuensi apa yang diterima jika sampai ada yang ‘jatuh’ dalam permainan seumur hidup ini.

Yaaa, semoga saja kalau Pak Adi ‘kalah’, lelaki itu tidak akan menceraikannya hanya karena merasa waktunya tersita untuk memikirkan Anita. Who knows? Seorang Adipati Prayudi sulit ditebak. Sebaliknya, jika Anita yang lebih dulu mencintai, semoga ia kuat dengan sikap Pak Adi yang mungkin akan lebih parah dari Aryo karena pernikahan mereka benar-benar tanpa rasa ‘cinta’.

Ah, sudahlah. Adi juga bukan tipe Anita. Laki-laki cuek dan dingin seperti itu, mana mungkin bisa mencuri hatinya? Dan seperti yang Adi katakan tadi, semua ini akan dibicarakan lagi. Yang penting saat ini adalah …

Pernikahan dulu. Cinta urusan belakangan!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Marriage First, Love Later (BAB 6 - 10)
7
0
Anita Pramesti terbangun dan menemukan fakta bahwa suaminya berbeda. Bagaimana bisa? Jika ini mimpi, mengapa juga sosok seperti mantan bosnya yang bahkan jarang bertemu dengannya yang muncul? Sayangnya, semua yang terjadi adalah kenyataan.Adipati Prayudi memiliki bukti kuat jika Anita adalah istri sahnya. Namun, sebagaimana pun semua orang di sekelilingnya memberikan fakta, perempuan itu tidak memiliki perasaan apa pun pada Adi. Segalanya terasa hambar dan aneh. Seingatnya, mantan bosnya tersebut adalah makhluk paling dingin yang kerap membuatnya canggung. Mengapa tiba-tiba jadi pribadi yang sebaliknya dalam sekejap?Jika Anita memang mengalami amnesia, bukankah sang hati tidak akan terpengaruh? Bagaimana bisa dirinya terjebak dalam pernikahan tanpa cinta bersama lelaki yang tidak terpikirkan akan hadir di hidupnya sama sekali?Lagi dan lagi, apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan