Di Balik Awan - 1

14
0
Deskripsi

Ada dua hal yang paling dihindari Kim, 28 tahun, yaitu; berondong dan pemusik. Laki-laki berusia di bawahnya tidak akan pernah lebih dari sekadar 'anak-anak' di pandangannya. Sementara musik hanya akan membuat Kim terlempar pada masa lalu kelam yang tidak pernah usai di ingatannya.

Sayangnya, takdir seolah menentang keinginannya dengan membawa Yunan, penyanyi muda berbakat yang punya pesona bukan main dahsyatnya. Berkali-kali Kim berusaha menghindar, bocah raksasa berusia 23 tahun itu selalu memiliki...

Chapter One

Bosan. Itulah yang Yunan rasakan hari ini. Seharian penuh hanya menggulir layar ponselnya, bolak-balik dari Instagram dan Tik Tok saking tidak ada kerjaannya.

Serba salah. Jadwal padat bikin pusing, waktu senggang bikin keki!

Yunan membenarkan letak bantal sofa apartemen studionya yang tidak bisa dibilang besar untuk seukuran Yunan. Bukan karena dirinya kini adalah penyanyi terkenal yang bisa memiliki apartemen mewah sekalipun, meski bukan griya tawang—tentu tidak, itu berlebihan karena dirinya bahkan belum bisa menggapai posisi Langit Angkasa ketika musisi tersebut masih seusianya—tapi setidaknya lebih besar dari ini mengingat tinggi Yunan yang semakin lama semakin menjulang—kalau soal ini, Yunan boleh percaya diri karena mengalahkan Langit.

Siapa pun yang mengatakan Yunan tidak akan lebih tinggi lagi sejak ia masih berusia 20 tahun, mereka pasti malu melihatnya. Bagaimanapun, Yunan sangat suka basket dan renang. Yah, meski cuma 183, yang artinya hanya satu senti melebihi Langit, tapi—HEY! Itu sudah merupakan pencapaian di usianya yang 23 tahun serta berdarah ‘asli’ Indonesia. Bisa dibilang, orang tua Yunan saja tidak memiliki gen menjulang yang diturunkan ke anaknya. Yunan berusaha sendiri!

Ya, tinggi badan memang penting. Bukan cuma untuk membuat lawan bicara menghargainya dan tidak menganggap Yunan sebagai bocah, tapi juga menjadikan para penggemarnya semakin tergila-gila. Yunan tahu, perempuan senang dengan laki-laki yang tinggi. Betul?

Suara kunci pintu yang dibuka menggunakan password membuat pandangan Yunan akhirnya beralih dari ponsel. Saat itulah ia menyadari efeknya. Sambil memijit sepasang alis tebal nan panjangnya yang pusing, Yunan menyambut tamunya yang sudah pasti merupakan sang manajer, Chisa, “Lama banget, Mbak. Aku udah lapar.”

Yunan yang memejamkan mata, asyik memijat dengan jari telunjuk dan ibu jari, mendengar bunyi debum yang disusul dengkusan yang tentu saja berasal dari Chisa. “Kalau udah kelaparan, kamu bisa pesan makanan sendiri, Nan. Malu sama badan. Udah gede, nggak mandiri.”

Yunan sontak terduduk dan menatap Chisa dengan tatapan terluka. “Lho, kok, gaslighting, Mbak? Kan, Mbak yang nawarin tadi. Kalau aku beli, nanti yang Mbak bawain nggak kemakan, mubazir dong?”

“Nggak usah kasih tatapan gitu ke Mbak, nanti Mbak colok, ya!” ancam Chisa dongkol, lantas berdecak saat mendapati Yunan hanya menyengir lebar. “Mobil Mbak tadi mogok, makanya Mbak bete. Mana bawaan lagi banyak banget dan Mbak harus naik ojek! Nenteng beginian sepanjang jalan, beratnya minta ampun!”

Pandangan Yunan kini terarah pada barang yang membuat suasana hati Chisa buruk. Tepat di depannya, di atas meja kopi yang panjang dan rendahnya tidak sampai setinggi lutut Yunan dalam posisi duduk, Yunan melihat tiga paper bag sekaligus dengan warna berbeda. “Kok, beli banyak banget? Aku cuma nitip ramen?”

“Mbak beli soto kambing di resto lain. Mbak, kan, juga perlu makan!”

Yunan mengembuskan napas. “Bukan begitu maksud aku. Mbak lagi PMS, kah? Sewot terus."

Chisa melotot. “Mbak lagi capek! Semua yang Mbak beli berkuah. Berat! Belum lagi terik siang bolong. Mana helm ojeknya bau apek! Ubun-ubunku ini rasanya mengepul, tahu?!"

“Iya, iya. Ya ampun,” pasrah Yunan sambil menarik paper bag satu lagi, mendekat ke arahnya. Menyadari merek apa yang tertera, kedua mata Yunan terbeliak. “Mbak toko buku???”

“He-eh.”

“Mbak beli buku apa?”

“Buka aja.”

Yunan mengernyit. “Aku yang buka?” tanyanya, memastikan telinganya tidak keliru.

“Iya. Itu Mbak beliin buat kamu.” Chisa menunjuk paper bag toko buku langganan Yunan yang kini sudah berganti warna. Wajar saja jika Yunan tidak sadar di awal. “Tadi pas ke bengkel, Mbak lihat di seberangnya ada toko buku itu. Kayaknya baru buka. Nggak begitu besar karena nggak di dalam mall, tapi cukup lengkap. Seenggaknya, ada karya penulis favorit kamu.”

Kedua mata Yunan berbinar mendengarnya. Tanpa babibu lagi, Yunan sudah membuka perekat yang menempel di mulut kantung belanja berbahan kertas tersebut dan membawa keluar apa yang ada di dalam.

“Jujur, Mbak nggak tahu itu karya terbarunya atau itu cuma cetakan ulang salah satu karyanya pakai sampul baru. Soalnya, seingat Mbak, kamu belum punya yang kayak gitu gambarnya,” tambah Chisa saat Yunan sibuk mengamati benda di tangannya. “Atau udah?” sambungnya, ragu.

Tidak lama kemudian, Yunan sudah menerjang Chisa dengan pelukan. Tubuhnya yang besar membuat Chisa terkejut sampai-sampai keduanya nyaris limbung. Untung saja Chisa belum membuka pembungkus makanannya, kalau tidak atau sedang melakukannya, bisa-bisa mereka sudah mandi kuah soto!

“Thank you, Mbak, thank youuu!”

“Lepas, Nan! Kamu udah gede!”

Yunan tersenyum masam begitu ia menarik diri. “Aku debut juga pas 21, Mbak. Udah gede juga itu. Dan kita begini fine-fine aja."

“Tapi, dulu masih agak imut-imut. Sekarang udah amit-amit.”

“Aku tahu Mbak sayang aku.” Yunan menaikturunkan alisnya, lalu mengangkat novel yang masih berada di tangannya. “Ini buktinya.”

“Mbak lebih sayang gaji Mbak. Kamu ladang duit Mbak.”

Yunan hanya terkekeh meresponsnya.

***

Danny Abhimanyu, penulis favorit Yunan yang karya-karyanya selalu berhasil membuat Yunan berdecak kagum setiap selesai membaca. Meski buku-bukunya terkenal, bahkan sampai mendapat julukan “Pengarang Mega Best-seller”, tidak satu pun orang yang tahu wujud Danny. Walaupun demikian, sudah pasti penulisnya berjenis kelamin laki-laki, kan? Setidaknya, begitulah yang Yunan dan orang-orang bayangkan ketika berbicara tentang nama Danny Abhimanyu.

Yunan tidak dapat menahan senyum saat ia membaca adegan romantis. Khas tulisan Danny, tidak sampai yang membuat merinding, tapi tidak juga terasa kurang gereget! Segalanya begitu pas.

“Dua jam lagi kita mulai rekaman.” Suara Chisa menguasai atmosfer dalam ruangan khusus Yunan yang tersedia di gedung label rekaman Langit Angkasa. Semua artis yang bernaung di sini memang memiliki ruang pribadi masing-masing untuk beristirahat. Meski hanya terdiri dari sofa panjang berukuran 3 seater, meja kerja plus kursinya, loker rendah 6 pintu untuk menyimpan barang—tidak ada ranjang karena memang tidak dibikin memiliki fasilitas seperti hotel, ruangan dengan penerangan warm white ini cukup nyaman buat Yunan menghabiskan waktu dengan membaca. “Ampun, deh. Belum kelar-kelar itu buku?”

“Belum,” balas Yunan seadanya, lalu membenarkan bantal sofa yang menjadi sandaran kepalanya di salah satu lengan kursi.

Yunan memang sibuk, tapi kalau 2 minggu belum kunjung selesai membaca sebuah buku saja, itu sudah bisa dibilang lelet! Pasalnya, buku yang sedang dipegangnya tersebut juga tidak begitu tebal. Standar novel fiksi pada umumnya, sekitar 300 sampai 400 halaman saja. Terlebih, Yunan sedang tidak memiliki jadwal On Air apa pun belakangan ini. Chisa saja masih sempat menghabiskan 1 season drama Korea dengan mencicilnya setiap pulang ke rumah, masa Yunan satu novel saja belum?

Mendengar dengkusan Chisa, Yunan pun menggeser buku dari pandangannya untuk menatap sang manajer. “Aku harus irit-irit, Mbak, biar nggak cepat habis.” Yunan kembali mengalihkan perhatiannya pada halaman buku. “Kalau sampai ini selesai, aku nggak tahu harus baca buku apalagi. Cuma tulisan Danny yang cocok di aku. Dan belum tentu dia bakal terbitin novel lagi dalam waktu dekat, kan?”

Yunan tidak berbohong. Karya terakhir Danny Abhimanyu, sebelum “On Cloud Nine” di tangannya sekarang ini, terbit saat Yunan masih menjadi mengikuti pelatihan. Untungnya, menjadi penyanyi membuat ia sibuk. Yunan sempat tidak ada waktu untuk melakukan hobinya satu itu.

Namun, tidak ketika ia memiliki waktu senggang yang random dan sedikit seperti belakangan ini. Kesibukannya hanya rekaman, berlatih menari, dan lain sebagainya. Kalau melakukan basket atau renang, rasanya tubuh Yunan bisa rontok. Ia butuh melakukan hal yang ringan untuk mengisi kekosongan yang tak seberapa itu ketika sudah tiba di apartemen pada malam hari, sebagai pengantar tidur.

Sayangnya, buku-buku Danny sudah ia baca ulang semua sampai Chisa hapal karya siapa yang sedang dibaca Yunan saat sedang memiliki waktu kosong yang tidak banyak.

Chisa mendesah panjang sambil duduk di lengan sofa dekat kaki Yunan. “Kalau emang sesuka itu sama karya dia, kenapa kamu sampai nggak tahu dia ngeluarin buku lagi? Nggak ada info di Instagramnya?”

“Dia nggak ada Instagram.” Yunan menutup bukunya setelah tidak lupa meletakkan pembatas di halaman terakhir dirinya berhenti, kemudian terduduk untuk menghadap Chisa. “Aku juga udah unfollow penerbitnya karena udah lama banget nggak ada bahas soal karya Danny.” Yunan mengangkat bahu.

Chisa bersedekap. “Dia penulis misterius gitu?”

Yunan mengangguk. “Tapi, aku bisa bayangin wujudnya pasti mirip-mirip Kak Langit. Gagah gitu.” (read: “Sinar untuk Langit” by Junieloo)

Sebelah alis Chisa menukik. “Cowok?”

“Ya, mikir aja. Namanya udah jelas Danny Abhimanyu, Mbak.” Yunan berdecak kecil.

Chisa meneleng. “Bukannya penulis itu bisa pakai nama pena?”

“Bisa, sih. Cuma kalaupun nama pena, biasanya kayak nama nickname atau username. Nama-nama unik. Kalau ini, kan, kayak nama panjang biasa?” Yunan mendadak ragu sendiri. “Tapi, nggak, ah. Aku yakin seratus persen kalau Danny ini cowok. Tulisannya maskulin. Dia juga bisa gambarin perspektif tokoh cowok kayak laki-laki in real life. Realistis gitu. Soalnya, selama aku baca novel yang penulisnya cewek, rata-rata, suka-suka mereka aja.”

“Maksudnya suka-suka mereka?”

“Yah, tipe men written by women gitu.” Mendapati kebingungan di wajah Chisa, Yunan menambahkan, “Cowok Wattpad. Mbak tahu Wattpad nggak?” Melihat Chisa menggeleng, Yunan kembali berusaha, “Kayak cowok-cowok di drama Korea?"

“Oh!"

“Iya, begitu.” Yunan mengangkat novel di tangannya. “Kalau dia ini, beda. Makanya aku bilang, aku cocok. Nggak banyak ambil dari sudut pandang cewek, tapi tetap kerasa romantisnya. Dan yang penting, tetap masuk akal.”

“Romantis yang masuk akal gitu emang gimana?” Mau tidak mau, Chisa ikut penasaran. “Setahu Mbak, kalau udah cinta, nggak akan pakai logika lagi.”

Yunan tertegun. Sejujurnya, ia sendiri tidak tahu. Sepanjang hidupnya, Yunan cuma sibuk mengejar prestasi selama sekolah dan fokus berkarier setelahnya. Tujuannya selalu ingin membuat kedua orang tuanya bangga sekalipun belum pernah terwujud. Meski begitu, Yunan merasa tokoh-tokoh yang Danny Abhimanyu ciptakan terasa nyata seolah semua laki-laki memang berpikir sama.

Seolah menyadari kebimbangan Yunan, Chisa tersenyum. “Kamu tahu? Pertama kali Mbak kenal sama kamu, Mbak bisa langsung tahu kalau kamu ini tipe cowok yang soft, tapi juga nggak pantang nyerah. Mbak jadi penasaran …"

Sepasang alis Yunan bertaut saat Chisa menggantungkan kalimatnya. “Soal apa?”

“Gimana nanti pas kamu suka sama cewek. Bakal sebucin apa kamu sama dia, mengingat karier aja kamu kejar sampai segininya sampai omongan orang tua sendiri nggak didengar," ledek Chisa.

***

Hari ini Yunan pulang lebih cepat. Meski senja telah menguasai langit, tapi setidaknya bukan gulita yang menyambutnya saat keluar dari gedung rekaman.

“Kamu mau makan apa, Nan?” tanya Chisa yang telah menghidupkan mesin mobilnya. Tidak seperti artis lain yang memiliki mobil sendiri atau diantar supir pribadi, Yunan memilih diantar Chisa ke mana-mana. Bukan karena dirinya tidak sanggup membeli mobil, melainkan Yunan merasa belum benar-benar butuh. Toh, Chisa selalu ada untuknya. Begitulah enaknya mempekerjakan perempuan mandiri yang belum menikah seperti Chisa. “Pecel lele enak kali, ya?”

Di samping kemudi, Yunan yang telah memasang sabuk pengaman pun sedikit merosotkan badan agar kepalanya bisa bersandar. Beruntung manajernya tidak membeli mobil sedan, meski Toyota Raize ini juga tidak bisa dibilang besar untuk membawa Yunan yang semakin hari semakin bertambah tinggi. “Apa aja, deh. Cuma jangan yang di pinggir jalan. Pusing kalau banyak pengamen.”

Chisa berdecak sambil memutar roda kemudinya, keluar dari kawasan gedung label rekaman. “Nggak mungkin juga aku bawa kamu ke tempat begituan. Yang ada, nimbulin kehebohan.”

“Mau makan ditempat aku?”

“Iya, take away paling.”

Yunan hanya mengangguk dan memejamkan mata. Berniat mengistirahatkan kepalanya yang sedikit terasa berat sejenak. Namun, entah mengapa, saat Chisa membangunkannya kembali, Yunan sudah mencium aroma menggiurkan dari kantung plastik di tangan Chisa. Gulita bahkan juga telah menyelimuti langit. “Lho, udah beli?”

“Udah. Mbak beliin ayam sama lele. Terserah nanti kamu mau pilih apa.” Chisa meletakkan bungkusan di tangannya dari kursinya di belakang kemudi, ke kursi tengah. Dan seolah menyadari tatapan Yunan yang masih terarah padanya, Chisa menjawab, “Nggak tega aku bangunin kamu, Nan.”

Yunan langsung tersenyum manis. “Ada yang pernah bilang nggak, sih, kalau Mbak ini perhatian banget?”

“Karena aku kerja sama kamu!” Chisa berdecak dan mulai melajukan mobilnya kembali. “Kalau kamu sakit, aku juga yang rugi. Prinsipku, kamu harus sehat. Kamu banyak job, Mbak banyak rezeki.”

Yunan terkekeh. Akan tetapi, sebelum ia sempat merespons, Chisa terlebih dulu berhenti mendadak dengan wajah pucat. Yunan yang terkejut pun sontak melepas sabuk dan mencondongkan badan, melongok untuk melihat apa yang terjadi di depan mereka.

“Ya Tuhan! Mbak nabrak orang?!”

*

Hai. Besok hasil mamaku, mohon doanya, ya. 

Oiya, aku nggak tahu siapa aja yang baca ini dan tertarik sama cerita ini, tapi aku nggak berani berharap banyak. Tenang, beberapa chapter awalnya akan kubuat FREE, nggak kayak SUL yang cuma 1 sample karena memang ini cuma ada di KaryaKarsa. Di Balik Awan tidak akan ada di Wattpad.

Yang mau baca, terima kasih banyak! Yang keberatan, it's okay juga. Sekali lagi, aku nggak berharap banyak meski nggak dipungkiri, dengan adanya beberapa dukungan dari kalian, sanggup bikin aku senang dan semangat nulis.

Untuk yang bertanya kapan “Sinar untuk Langit” update, tadinya mau hari ini. Jujur, tapi ternyata KaryaKarsa eror, sama sekali nggak bisa update. Harusnya, aku upload Di Balik Awan dulu sorenya, malamnya baru SUL. Sayangnya, aku baru bisa update DBA sekarang :( Jadi, aku usahakan agak larut malam, kalau nggak besok. Yah, semoga aja nggak ada kabar buruk, jadi aku nggak ada hambatan emosional buat update :"(

Thank u
Love u
See u

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Di Balik Awan
Selanjutnya Sinar untuk Langit - EPILOG
16
6
Semua orang harus tahu kalau Sinar hanya untuk sang Langit.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan