Dalam Angan Ch. 8

0
0
Deskripsi

Chapter 8: Teka-teki

Exclusive Halloween New Cover for Spooktober!

Sebelum Val sempat bertanya, Bagus sudah berujar duluan, "Nonton futsal dulu."

Peluit dibunyikan di tepi lapangan. Siswa laki-laki dengan pakaian olahraga berkerumun membentuk lingkaran. Mereka bersorak, lalu berpencar menyisir luasnya area. Mengambil posisi masing-masing. Bagus melangkah dengan alat bantunya. Bukannya melewati lobi, tapi kembali menginjakkan kaki di rerumputan.

Niko kelihatan sudah memprediksi, dengan sigap lengannya bersiap di balik pundak Bagus. Seluruh tubuhnya fokus pada langkah demi langkah yang Bagus ambil. Val ikut melakukan yang sama, siaga di sisi kiri Bagus dengan lelaki itu di tengah. Diapit Val dan Niko bersamaan. Val menuntunnya duduk di bangku yang tadi Val dan Niko tempati.

Permainannya dimulai kembali.

Berinisiatif menggunakan kue coklat tadi sebagai peneman, Val mulai membuka bungkusannya. Disodorkan Val kotak kuenya pada Bagus, yang dengan sumringah disambut. Bagus memotong kuenya cepat dengan pisau plastik. Kepalanya menunduk sambil beberapa detik kemudian mendomgak kembali. Tak ingin melewati permainan yang dilakukan tanpa dirinya itu.

Mereka kocar-kacir mengitari lapangan, bola dalam pengejaran. Val tak bisa membedakan regu yang satu dan regu lawan sebab tidak ada seragam yang membedakan. Tentu karena ini hanya latihan dan bukan pertandingan sungguhan. Bagus dan Niko tidak nampak kesulitan. Duduk dengan tenang dan memperhatikan. Saat garpu plastiknya Val berikan pada Bagus, Val bisa lihat iris matanya bergerak cepat mengikuti arah bola ditendang. Tangannya memetik garpu dari genggaman Val. Sudah tahu Val sedang menawarinya alat makan tanpa perlu ia turunkan pandangan. Nampak benar ia fokus menyaksikan pertandingan.

Hendak dilakukannya hal yang sama pada Niko.

Namun sesuatu tentang Niko menunda niatnya. Iris mata lelaki keturunan Tionghoa itu tidak melesat cepat layaknya milik Bagus. Tidak bergerak sama sekali bahkan. Pandangannya lurus searah dengan regu latihan, tapi tidak ada pergerakan mikro yang wajahnya lakukan. Bak Niko sedang memperhatikan dan tidak memperhatikan di saat bersamaan. Matanya betul menatap ke depan, tapi pikirannya?

Niko balas melihat Val begitu menyadari dirinya sedang ditatapi. "Apa?"

Tak Val tanggapi sepatahpun selain tangannya melintang di depan perut Bagus, memegang garpu. Niko meraihnya, mencolek kuenya dan melahapnya dalam diam.

Val tak terlalu memusingkan yang barusan. Niko memang tidak banyak bicara. Meski dengan Bagus, kasusnya berbeda.

Mereka melahap kue coklat tanpa ada percakapan yang berarti. Ini entah lapisan krim keberapa yang lekat dan meninggalkan sisa lemak di langit-langit mulut Val. Diputuskannya suapan berikut adalah yang terakhir.

"Waaahhhh!!" Bagus bersorak dan loncat berdiri. Sikutnya mengenai tangan Val yang kaget tidak hanya karena sorakan menggelegar tetapi juga senggolan mendadak yang Bagus akibatkan. Potongan coklatnya jatuh dari garpu Val, menggelinding di atas seragam roknya yang putih. Membuat jejak coklat yang panjang dari pangkal paha hingga jatuh ke tanah. Sekitar tiga senti lebar jejak krim coklat itu, berkelang-kelang di sepanjang rok Val.

Bagus menyadari yang barusan ia perbuat. Terkekeh sambil ia kembali ke posisi duduk. Val pelototi ia yang sedang membasuh sisa krim dari rok dengan tisu. Tubuhnya agak meringkuk karena harus menyeka noda. Val manfaatkan situasi itu dengan mencolek sisa krim yang ada di garpu pada kemeja sekolah milik Bagus.

Bagus harus menoleh dua kali. Yang pertama adalah tolehan sekilas pada noda krim di atas saku kirinya. Jarak antara tolehan kedua hanya sepersekian detik dari yang pertama. Kedua matanya kini memastikan kalau noda itu benar eksistensinya di sana. Bagus menaikkan pandangannya perlahan, hanya untuk menemukan Val yang menyeringai puas.

***

Val tidak ingat awalnya bagaimana, tapi kini seragamnya tak lagi putih. Ada krim coklat berlumuran di permukaannya. Mengenai wajah, leher, hingga tangannya. Bagus juga sama. Rambutnya menjadi sarang krim dan bolu. Kue coklat yang panjangnya 30 senti itu habis tak bersisa. Ludes Val dan Bagus gunakan untuk berperang.

Dada mereka membuncah, bernapas lelah. Bagus sudah kembali mengistirahatkan diri di bangku, masih tersenyum. Val tak berani duduk sebab Bagus pasti masih ingin menjahilinya. Niko pergi entah kemana, menghindar dari peperangan kue coklat. Pertandingan futsal telah lama usai sebelum Val dan Bagus kehabisan bahan untuk dilempar. Kini Val sedang bersihkan lengannya dari krim yang menggumpal.

"Valentina!"

"B-Bunda..?" Bunda Val datang dari lobi.

Wajahnya masam. Val merasa seperti ia baru saja berbuat onar dan ketahuan. Meski Bunda tidak akan membentaknya andai itu benar kejadian. "Tante-" Bagus sempoyongan berusaha berdiri dengan satu kaki. Kakinya yang cedera nampak bukan jadi perkara bagi Bunda sebab omongannya disela, "Pulang! Sekarang!"

Bunda menatap Val dan Bagus bergantian. Mengisyaratkan keduanya untuk mengemas barang-barang dan masuk ke mobil Bunda yang mesinnya masih menyala di lobi. Sepatu hak lima sentinya menggertak menjauh.

Niko menampakkan diri begitu Bunda berbalik. Val mengajak Niko untuk ikut, di sela-sela terburu mengangkut ranselnya dan milik Bagus sebelum Bunda kembali mengamuk.

Perjalanan pulang mereka habiskan dengan hening. Rasa cemas menggerayangi sebab belum pernah Val lihat Bunda semarah ini. Di satu sisi, Val gembira ada Bunda di sini. Awalnya tak mengira akan berjumpa dengan yang selain Bagus. Dan Niko. Mungkin di rumah sudah ada Ayah tengah menunggu sambil menyesap kopi. Andai benar begitu, keputusannya untuk tinggal di dunia ini, meski ganjil, tak akan tergoyahkan lagi.

Val bisa mendapatkan semuanya di sini. Semua yang memang sudah sepatutnya ia miliki. Semua yang tidak seharusnya pergi. Mengapa ia harus kembali?

Lucu bagaimana rencana awal Val adalah untuk tunduk ke mana alam bawah sadarnya membawanya. Dengan harapan ia bisa segera melepaskan diri dari belenggu dunia ini. Menunggu dua puluh dua menit untuk sekadar memastikan ia tidak ingin tinggal. Namun, begitu Val dihadirkan dengan sosok yang ia rindukan teramat sangat, keinginannya berubah seratus delapan puluh derajat. Yakin betul dalam dua puluh dua menit itu, mempertaruhkan kehidupannya di dunia nyata adalah keputusan yang tepat.

Sejak Val menginjak kaki di gudang kosong itu, hingga sekolah ini, Val yakin dua puluh dua menit lebih telah berlalu. Tidak ada tanda-tanda ia akan ditanyai oleh sosok itu seperti yang Rara sebut. Padahal Val ingin buru-buru mengonfirmasi kalau ia sudah pasti memilih menetap di mimpi ini.

Beruntung Val sebab lokasi dari sekolah dan komplek perumahannya teramat dekat. Ia bisa melepaskan diri dari ketidaknyamanan yang perlahan tapi pasti, mencekiknya.

Val turun lebih dulu, sedetik sebelum Bunda benar-benar menginjak rem dan berhenti. Ia lalu mengitari buntut mobil dan membuka pintu di kiri Bagus, membantunya turun. Niko hendak membantu, tapi suara Bunda memerintahkannya untuk memasukkan motor Bagus ke teras rumah Val dan Niko menuruti. Suasana hati Bunda nampak berubah. Nada bicaranya pada Niko terdengar lebih ramah.

"Mama gak di rumah," ucap Bagus padanya, yang Val tanggapi dengan anggukan tanda mengerti. Artinya, Tante Ema sedang lakukan periksa rutin di luar negeri. Memaksa Bagus sendirian selama beberapa hari. Bila sudah begitu, Bagus biasa dititipkan ke rumah Val, dijaga oleh Bunda lebih dari senang hati.

Mungkin Bagus sudah dianggapnya anak sendiri.

Begitu Bagus dipapah Val hingga duduk kembali di sofa, Val tersandung dengan sebuah nostalgia yang datang berkunjung. Rumah ini, komplek ini, menyimpan banyak memori terselubung, telah dalam-dalam Val kubur. Yang kemudian ia tumbuhi bebungaan baru agar Val lupa dimana persisnya kuburan itu. Agar Val tak tergiur untuk menggali ingatan yang dulu.

Namun kini, berada di sini, ibarat semua ingatan itu bangkit dari kubur. Bunda yang melesat di dapur, Niko yang memutari dirinya untuk ikut duduk di ruang tamu, dan Val yang terpaku.

Val sungguh mengira sensasinya akan berbeda jauh. Membuka pintu rumah dan menginjakkan kaki di dalamnya lagi dibanding sekadar mengambil kotak obat di bawah meja ruang tamu dengan setengah sadar, tetapi cukup mengejutkan bagaimana dirinya cepat beradaptasi dengan sekitar. Tak lama setelah itu, semuanya terasa seperti memang yang sudah semestinya.

Kurang Ayah.

Lantas Val beringsut membuka kamar orangtuanya, dan tak menemukan Ayah di sana. Pintu kamar mandinya juga terbuka. "Ayah mana, Nda?"

"Kan Ayah kerja." Bunda mendongak pada kabinet tempat ia menyimpan koleksi tehnya. Memindai toples mana yang akan ia raih sebelum telapaknya sigap membuka tutup toples yang nampaknya sukar dan sangat rapat.

"Loh, Bunda? Bunda gak kerja?"

"Kan jemput kamu dulu. Bunda ngantor lagi." Bunda melirik sekilas. Ada dentingan sendok besi dan cangkir keramik sebelum suara tutup toplesnya berputar menutup.

"Yaudah, aku aja yang bikin teh." Diserobotnya Bunda yang menembakinya dengan tatapan heran.

Beberapa detik Bunda habiskan tertegun akan inisiatifnya. "Tumben?" Val tidak memberi respon, terlalu fokus mengidentifikasi racikan teh apa yang telah Bunda tuangkan. Berapa sendok serbuk daun teh yang perlu Val masukkan dan jenis apa saja, agar takaran dan racikannya sama enaknya. Ciri khas Bunda adalah meracik teh sesuai dengan karakteristik masing-masing orang yang akan disuguhinya. Val bertaruh di mimpi ini pun tidak akan berbeda.

Racikan Bunda pada cangkir pertama adalah untuk Bagus. Mampu Val kenali daun tehnya yang hijau gelap dan tipis, menggulung meliuk bagai cacing. Dandelion. Di cangkir yang sama, Val temui daun menggulung yang ukurannya lebih pendek. Kecil dan kurus. Warnanya tidak hijau seperti daun teh Dandelion, tetapi gelap dan pekatnya serupa. Keemun Mao Feng, salah satu varian teh hitam dari provinsi Anhui di Tiongkok yang Bunda beli sebab teringat pada Tante Ema dan Bagus. Aroma tehnya mengingatkan Bunda pada coklat, yang sudah menjadi kegilaan ibu dan anak yang satu itu. Dengan rasa yang meniru coklat, menjadi alasan Bunda menyuguhkan ini untuk Bagus.

"Bunda tinggal, ya." Bunda mengecup kening Val sebelum menyapa Bagus dan Niko di ruang tamu. Val bisa dengar Niko yang bertanya Bunda hendak kemana, yang Bunda jawab dengan, "Lanjut kerja. Baik-baik di rumah! Bagus! Ganti baju!"

Dua cangkir sisanya, Val asumsikan untuk dirinya dan Niko. Dibukanya lagi kabinet di atas kepala, menampilkan deretan dan tumpukan toples kaca berisi daun-daun kering aromatik. Val mengembalikan dua toples teh yang Bunda keluarkan untuk meracik minuman pertama. Lama dipertimbangkannya daun teh mana yang akan diseduh untuk Niko.

Val mengganti cangkir keramik motif bunga milik Bunda dengan gelas tinggi tembus pandang dan sedotan. Menukar hangat seduhannya dengan dingin dari es batu.

Nampan dengan tiga gelas teh berbeda-beda warna Val sajikan. Yang paling merah dan gelap adalah milik Bagus. Sedangkan keemasan agak pucat diperuntukkan bagi Niko. Teh putih Bai Mudan yang daunnya tipis terbuka dan pucuk tehnya yang mengingatkan Val pada warna keramik, menyumbang warna oranye kecoklatan pucat pada minuman Niko. Dicampur daun teh Peppermint yang bentuknya bergulung mengkerut, dengan warna kuning merembes dari daunnya begitu diseduh.

Tak ada lagi kaos belang-belang bernoda coklat di tubuh Bagus. Kaos kremnya bersih sebab Val bisa cium wangi deterjen floral. Niko pasti membantunya mengambil kaos bersih di lemari pakaian Bagus, lalu kembali ke rumah Val sambil membawa sesuatu yang baru. Yang semua ia lakukan ketika Val menyiapkan jamuan. Dan dengan sesuatu yang baru, maksudnya adalah benar-benar belum pernah Val lihat sebelumnya.

Ada kepingan-kepingan puzzle berukuran kecil hingga sedang di atas meja. Hampir menyulitkan Val untuk meletakkan nampahnya sebab potongannya berserakan. Bagus menyingkirkannya ke samping kanan meja dengan menggebu-gebu. Semacam tidak sabar untuk segera lanjut menyusun kepingan demi kepingannya, yang Val ganggu karena datang membawa nampah dan memaksanya berhenti dahulu.

Tak pernah Val tahu kalau Bagus adalah penggemar teka-teki gambar.

Nampak takjub dengan tampilan es teh miliknya yang mentereng, langsung Bagus meneguk minumannya. Mulutnya mengecap-ngecap sisa rasa yang masih tertinggal. "Kurang manis."

Dipelototi Val lelaki yang baru saja mengeluh tentang rasa teh buatannya itu. "Kebanyakan madu 'ntar diabet."

Val merebahkan diri di sofa tunggal membelakangi pintu depan, di sebelah kanan lelaki yang penuh semangat membolak-balikkan kepingan puzzle. Menilik sisi ke sisi dari puzzle tiga dimensi yang seperempatnya sudah jadi. Mencoba menancapkan kepingannya pada salah satu cekungan di sana. Yang sayangnya, tidak berhasil dalam sekali percobaan.

Diperhatikan Val dengan seksama sambil menyeruput teh hitam yang dicampurkannya dengan susu. Bagus nampak andal dalam mencocokkan kepingan satu dan yang lain. Tidak banyak waktu ia perlukan untuk membangun bentuk tiga dimensi yang dari puzzle itu. Sedikit saja Val menyelinap ke dalam lamunan, Bagus telah menyelesaikan hampir tiga perempat teka-teki gambarnya.

Bentuknya rumah dua tingkat, atau tiga, Val tidak bisa tentukan. Atapnya biru dengan dinding luarnya coklat keabuan, mengingatkan Val pada warna batang pohon. Hadir pula sentuhan ayunan mini di atas rerumputan yang Bagus tambahkan dengan penuh perhatian. "Jadiii!" Kedua tangannya terbentang, menggiring perhatian Val dan Niko pada hasil karyanya.

"Rumah manis, keluarga harmonis," respon Val atas kegirangannya.

Baru terpikirkan oleh Val kalau rumah-rumahan ini mirip dengan yang Bagus pernah rakit untuknya. Tugas sekolah yang mata pelajaran apa, Val tak mampu ingat meski ia berupaya. Yang membekas di benak Val hanyalah permintaannya yang ingin dibuatkan rumah dengan ruang bawah tanah untuk memarkir mobil-mobilnya di masa depan.

Berasumsi sedari dini ia akan lebih kaya dari Ayah dan Bunda.

Bagus agak terkesan dengan slogan yang Val ciptakan spontan. Berkontak mata dengan Val sembari mengukir senyuman lebar. Hati Val menghangat. Membangunkan memori tentang salah satu kisah di dunia nyatanya beberapa tahun lalu. Kembali pada masa Bagus masih bersamanya, masa mereka masih dapat menghabiskan waktu bersama.

Val terpukau akan betapa kreatifnya cara yang dunia ini gunakan untuk memantik memori indahnya dengan Bagus.

Niko kebalikannya. Tampak tak senang dengan ucapan Val atau teka-teki yang Bagus susun atau keduanya. Rautnya mengkerut, tinjunya menghantam puzzle itu hingga terbongkar hancur. Bagus tidak bereaksi sesuai yang Val prediksi. Val kira ia akan pura-pura meninju Niko balik sebab sudah meleburkan hasil jerih payahnya kembali menjadi kepingan-kepingan acak.

Namun, Bagus hanya terkekeh kecil. Dan Val? Larut dalam kenangannya sendiri. Kelakuan kasar Niko yang entah darimana berasal tak terlalu ia gubris.

***

Seumur-umur, Val tidak pernah harus mengendarai motornya ke sekolah.

Ini adalah hari ketiga Val harus membonceng Bagus yang kakinya cedera. Bagus sempat menggoda─apakah Val sekuat itu untuk bisa mengantarjemputnya karena menurutnya Val jadi nampak jauh lebih ramping dari yang ia ingat. Val agak curiga laki-laki ini sebenarnya sudah bisa berjalan tanpa perlu banyak bantuan. Dengan sengaja memanfaatkan Val karena ia terlalu malas berjalan kaki ke sekolah, tapi masih tak cukup pulih untuk mengendarai kendaraannya sendiri.

Meski Val takkan protes andai itu benar.

Hari ini, Val punya rencana. Sudah tiga hari pula Niko tidak dijumpainya di sekolah. Ada tiga huruf 'a' yang sejajar dengan nama Niko di buku absensi kelas. Entah perasaannya saja atau Bagus jadi terlihat lebih murung dari biasanya. Ditambah dengan mata kakinya yang Val asumsikan masih sedikit membengkak, membuatnya tak bisa berbuat banyak.

"Kaki kamu gimana?" Dengan sembrono, Bagus menggerak-gerakkan kaki. Val berasumsi kakinya tidak sakit lagi. Namun perban yang masih membalutnya membuat Val berpikir dua kali.

"Besok juga sembuh. Yang penting ada coklat."

Val mendengkus. "Yaudah, ayo beli coklat."

Ekspresi membelalaknya begitu kocak. Ia mematung di tempat, tidak berkedip pada Val. Tidak pula membantu Val mengeluarkan Vario hitam miliknya dari jajaran motor-motor padat. Saling menyikut dan berdempetan. Sebegitu tidak percayanya ia kalau Val mengajaknya, yang berarti secara tidak langsung mengizinkannya, mengonsumsi hal paling favoritnya selama empat hari berturut-turut.

Dulu, ceramah Val akan membakar telinga. Tentang coklat yang mengandung banyak gula, dan Bagus yang melahapnya berlebihan. Tentang penyakit gula yang Val yakin nama penyakit itu telah terpatri di lengkungan otaknya. Bagus harus menyumpal mulut Val dengan telapak tangannya agar ocehan Val punya akhir. Yang Val balas dengan mengigit daging telapaknya yang keras kapalan.

Setelah semua yang terjadi di dunia nyata, Val ingin membahagiakannya di dunia ini selagi bisa. Apapun yang dihasratkannya, yang memantik debaran jantungnya karena gembira, akan Val berikan semua.

Val bantu turunkan sandaran kaki. Genjotan motornya dan beban yang semakin menarik Val turun memberitahunya lelaki ini sudah naik. Diputarnya pedal gas motor, lalu hampir menabrak seorang siswa yang entah dari mana melemparkan diri ke tengah lajuan. Klakson dibunyikan. Kaget memicu refleks Val untuk menarik tuas rem dan berhenti mendadak. Tubuh Bagus terdorong ke depan, bobotnya memukul dada Val maju, hampir membentur kepala motor. "Gus! Gus!"

Anak yang menyebabkan ini semua kelihatan tak beradab sebab untuk sekadar meminta maaf pada mereka berdua saja pun tidak. Terutama Val, selaku pengemudi, sebab jika sesuatu terjadi pada Bagus karena anak ini, maka riwayatnya tak segan Val habisi.

Sebaliknya, ia menghampiri Bagus yang masih berupaya mengembalikan posisinya semula. "Niko! Niko ilang!"

 


~

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dalam Angan Ch. 9
0
0
Halloween New Cover!Chapter 9: Intuisi
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan