
Chapter 1
Sherina kembali mengisi kopinya setelah begadang semalaman, ia sendiri entah mengapa memikirkan satu pemuda langka yang tidak memiliki ponsel sama sekali, memangnya dia datang dari dunia mana sampai tidak memiliki ponsel, bahka ketika ditanya dimana keluarganya pun, pria yang ia ketahui bernama Sadam itu pun hanya menggelengkan kepalanya, lalu bercerita seperti di film - film bahwa dirinya dijodohkan lalu kabur kemudian tertabrak truck, menurutnya itu hal terabsurd yang pernah ia dengar dari seorang pasien, lantas Sherina meminta dokter ahli bedah syaraf untuk memeriksa kondisi pemuda tersebut, dan yang lebih membingungkan lagi hasil MRI dari pasien tersebut normal dan tidak memiliki kerusakan apapun.
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh pagi, dan Sherina harus segera bersiap - siap untuk berangkat ke Rumah Sakit. Setelah mengeringkan rambut, ia pun berjalan menuju meja makan dan mengambil sepotong roti untuk sarapan di dalam perjalanan.
“Bu, ibu dokter,” panggil suster yang berambut pendek kemarin.
Sambil mengunci mobilnya Sherina berjalan masuk melewati lobi Rumah Sakit yang didampingi suster tersebut sambil berbicara, "dok, pasien aneh yang kemarin masih ada di bangsal, dia tidak memberikan nomor ponsel atau pun KTP nya, bahkan ia tidak bisa menghubungi keluarganya. Langkah kaki Sherina terhenti begitu suster tersebut mengatakan bahwa ia tidak bisa menghubungi keluarganya.
“Maksud suster, tidak ada keluarga yang menjemput dia dan mengurus bagian administrasi, gitu?”
Suster itu pun mengangguk cepat.
“Antarkan saya kesana,” suster itu pun mengantarkan ke bangsal dimana Sadam berada.
Begitu ia masuk ke dalam bangsal, Sadam sedang memperhatikan smartphone pasien lain sambil bertanya, “Mas, memang alat ini canggih sekali, ya?” tanyanya.
Sherina kemudian menghampiri Sadam, “selamat pagi, mas. Bagaimana keadaan kepala Mas Sadam yang terbentur semalam?”
“Baik sekali bu dokter, tadi juga saya sempat keluar, setelah itu saya melihat sebuah tembok yang sangat tinggi,” ujarnya sambil memperagakan tangannya. Sherina mengerutkan kening, “tembok? Disini tidak ada tembok yang mas Sadam maksud.”
Sadam dengan lancang mengamit tangan Sherina dan membawanya pergi berjalan kearah tembok yang ia maksud, lalu Sadam menunjukkan sebuah gedung pencakar langit yang mengelilingi Rumah Sakit.
“Itu Dokter, tembok tinggi yang saya maksud.”
Sherina tertawa sedangkan lelaki itu terdiam, “Mas, mas ini Sadam ini sebenarnya datang dari mana? Kok gedung tinggi di Jakarta saja tidak pernah lihat? Bahkan anda tidak memiliki ponsel seperti orang lain pada umumnya, maksud saya, setiap manusia di bumi ini apalagi seumuran kita, tidak mungkin tidak memiliki ponsel. Apa jangan - jangan kamu….”
“Mungkin ini terdengar sedikit aneh untuk kamu, tapi saya datang dari tahun 1960,” Sadam memandangi gedung itu sekali lagi.
Sherina yang sejak tadi membawa tumblr di tangan kanannya itu pun langsung terjun bebas dan membuat air yang ada didalamnya pun ikut tumpah.
Sherina menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Nggak, nggak mungkin. Gue pasti halusinasi, kan?” Sadam menoleh,, “gue? gue itu apa? Yang ada itu Gua, seperti Gua Belanda atau Jepang yang letaknya ada di Bandung. Dulu ketika saya berkunjung ke Bandung, saya menghadiri Konferensi Asia Afrika saat masih menjadi mahasiswa aktif, dan bertemu dengan Bung Karno disana,” jelasnya dengan nada bangga, sedangkan Sherina memijit keningnya sendiri karena semua yang ia dengar nampak seperti sebuah kenyataan.
“Dokter Sherina M Darmawan, nama yang cantik, wanita yang dilahirkan dengan paras yang begitu indah akan selalu dapat memikat hati banyaknya pria, entah itu makna yang benar atau tidak. Semuanya akan—” mulut Sadam yang dijejali roti yang tadi Sherina bawa dari rumah.
Mata Sadam langsung membelalak kemudian mengunyah roti tersebut dengan cepat lalu menelannya.
“Tadi itu puisi yang saya buat secara mendadak untukmu," Sadam terus mengikuti langkah Sherina yang kian berjalan lebih cepat.
Dengan memutar bola matanya dengan malas, Sherina berhenti kemudian menjawab sambil berhadapan dengan Sadam, “puisi norak kamu itu nggak berlaku disini. Dulu kamu ini sebenarnya apa kalau hidup di tahun 1960?” Tanya Sherina yang kemudian kembali berjalan cepat.
“Saya anak Ardiwilaga Mangunkusumo," jawaban Sadam pun membuat langkah kaki Sherina terhenti lalu berbalik dan kembali mendekati Sadam.
“Coba, bentar. Tadi kamu bilang kamu anaknya siapa?” Tanya Sherina lagi.
“Ardiwilaga Mangunkusumo, kenapa? terkejut, ya? Di kota Semarang itu tidak ada yang tidak mengenali nama keluarga saya,” balasnya lagi dengan nada medok khas jawa tengah.
Sherina menatap Sadam lekat - lekat lalu membalas, “nenek aku suka cerita, kalau dia akan segera dijodohkan dengan anak seorang pengusaha kaya yang bernama Ardiwilaga Mangunkusumo, tetapi dia kabur entah kemana sehingga membuat keluarga Mangunkusumo mengalami kebangkrutan di tahun 1962.”
Lelaki itu mematung, apakah dia yang membuat semua ini menjadi kacau? Apa dia juga yang membuat keluarganya hancur?
“Dok, bantu saya. Bantu saya untuk kembali ke tahun 1960. Tolong dok, kalau memang pada kenyataannya seperti itu, seharusnya saya tidak ada disini dan seharusnya juga saya menuruti semua keinginan Romo,” Sadam frustasi sambil mengusap - usap wajahnya dengan gusar.
“Atau mungkin saya harus menabrakan kembali diri saya agar bisa terlempar lagi ke masa lalu?”
“Enggak, jangan. Jadi, kamu ini adalah lelaki yang akan dijodohkan dengan nenek saya?”
Sadam hanya tersenyum tipis, sementara otak Sherina dikerubuni banyak pertanyaan yang tidak bisa ia tanyakan kali ini.
***
1960
“Tuan, maafkan saya, saya telah lalai menjada Raden Mas Sadam, tuan,” para pembantu itu masuk dengan lari terbirit - birit menuju ruang gudang tempat penyimpanan cengkeh dan tumbunhan lainnya yang akan segera dijual.
“Bagaimana bisa seperti itu? Kerjamu tidak becus, cari ke seluruh kota Semarang. Jika perlu, kita sewa polisi swasta untuk mencari Sadam,” perintahnya dengan tegas.
Sang istri yang mendengar kabar Sadam menghilang pun langsung menangis tersedu - sedu di dada suaminya.
“Mas, sudah aku bilang, Sadam itu tidak bisa kita atur. Dia sudah dewasa, kalau kamu berpikir dia bisa menjadi alat untuk bisnis kamu, ya kamu salah Mas,” ujar sang istri yang kini duduk di kursi goyang.
“Bu, kalau kita tidak mendisiplinkannya seperti itu, dia mau jadi apa? Sadam itu satu - satunya penurusku Bu, kalau dia tidak ada, bagaimana usaha keluarga kita akan maju?” Romo pun berjongkok untuk memegang tangan istrinya itu.
“Calonnya Sadam itu orang jakarta, ia salah satu pedagang yang terkenal. Anaknya cantik dan pintar bahkan baru pulang berkuliah dari negara Paman Sam, dikasih istri yang baik kok malah kabur,” nadanya kesal namun masih ada kelembutan disana.
“Romo, romo,” panggil salah satu kerabat dekat Ardiwilaha, “keluarga Darmawan dari Jakarta sudah tiba, apa kita akan menyambutnya?”
“Bu, kalau udah begini kita piye bu? Bisa bangkrut lama - lama usaha kita tanpa bantuan keluarga Darmawan.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
