
“Kamu bukan salah satu dari mereka. Kamu siapa?” tanya si Perempuan.
Gua nggak boleh bersuara. Gua nggak boleh mati dulu. Diam. Diam.
Ara berusaha menenangkan diri sendiri.
“Jawab. Kamu siapa?” paksa si Laki-laki yang melangkah maju.
Mati gua. Mati gua.
SELAMAT MEMBACA…
Part 2
(JOSEON, 1700)
Ara menggerakan jemari tangannya perlahan dengan kesadaran yang masih setengah timbul. Kepalanya yang masih terasa sakit dipenuhi bayangan perkelahian. Pedang dan darah. Itu semakin membuat kepalanya berdenyut nyeri. Perlahan dibukanya sepasang matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya dengan kuat.
Melihat itu, panik langsung menyerbunya tanpa ampun.
Kemudian, diangkatnya kepalanya yang tertunduk. Dia melihat si Laki-laki dan si Perempuan yang sedang memperhatikannya dengan seksama. Ara bergerak memundurkan tubuhnya agar menjauh dari kedua orang itu.
“Kamu bukan salah satu dari mereka. Kamu siapa?” tanya si Perempuan.
Gua nggak boleh bersuara. Gua nggak boleh mati dulu. Diam. Diam.
Ara berusaha menenangkan diri sendiri.
“Jawab. Kamu siapa?” paksa si Laki-laki yang melangkah maju.
Mati gua. Mati gua.
“Jawab!” lanjut si Laki-laki tampak tidak sabar sambil memperlihatkan pedang yang ada di tangan kirinya.
Melihat itu, Ara terbayang kembali pedang dan darah. Kepalanya nyeri lagi hingga tidak mampu menahannya dan terkulai lemas. Dia kembali pingsan.
“Cukup, dia tidak sadarkan diri lagi.” Seru si Perempuan.
“Pakaiannya cukup aneh. Sebenarnya, dia siapa? Dari mana asalnya? Bahasanya juga aneh. Kamu ingat tadi dia bilang apa? Ba-Bali?” kata si Laki-laki sambil mengerutkan dahi.
“Yang pasti dia tidak berbahaya,” jawab si Perempuan.
“Dari mana kamu bisa tahu kalau dia tidak berbahaya? Dia orang asing! Bahkan wajahnya berbeda dengan rakyat kita.” Protes si Laki-laki.
“Kamu tidak lihat? Dia saja tidak mampu melihat pedang dan darah,” jelas si Perempuan. “Sepertinya dia memang bukan rakyat kita,” lanjutnya dengan lirih, lalu ditatapnya si Laki-laki yang juga menatap balik. Kemudian, keduanya memandangi Ara yang tidak sadarkan diri dalam diam.
^^^
“Kamu yakin dengan semua ini?” tanya si Laki-laki.
Si Perempuan menganggukkan kepala yakin. Mendengar itu, si Laki-laki menoleh melihat ke arah Ara yang terbaring di tempat tidur tertutupi selimut. Si Perempuan sudah menggantikan pakaian Ara dengan pakaian yang sama persis dengan miliknya. Seluruh tubuh Ara juga sudah dibasuhnya dengan bersih.
“Cantik, bukan?” tanya si Perempuan antusias.
Si Laki-laki hanya menghembuskan napas berat.
“Jika Putri Yi Ara masih ada, mungkin sudah sebesar dia sekarang.” Lanjut si Perempuan.
Si Laki-laki tampak sedih mendengarnya lalu membuang pandangan.
Si Perempuan menatap si Laki-laki dengan lekat.
“Kamu yang berjanji tidak akan menyakiti yang baik,” seru si Perempuan pelan. “Bukan salahmu kita kehilangannya. Kamu sudah melakukannya dengan baik. Putri Yi Ara juga pasti tahu itu.” Lanjutnya.
Kata-kata itu mampu membuat sepasang mata si Laki-laki merah dan berkaca-kaca.
Ketika itu, Ara membuka mata perlahan.
“Kamu sudah bangun?” tanya si Perempuan berhati-hati.
Mendengar suara itu, Ara langsung duduk lalu waspada melihat si Laki-laki dan si Perempuan yang tengah menatapnya khawatir. Ara berusaha mundur hingga punggungnya mengenai dinding sambil menangani ketakutannya.
“Jangan takut. Kami tidak akan menyakitimu,” lanjut si Perempuan dengan lembut.
Kenapa bahasanya susah dimengerti sih?! Terlalu jadul. Goryeo? Joseon?
Si Perempuan memberikan meja kecil berisi makanan di dekat Ara yang masih ketakutan. Ara menatap makanan itu dengan ragu. Ketika merasakan ada helaian rambut panjangnya di sekitar pipi, panik kembali menyerangnya. Dilihatnya pakaian yang dikenakannya bukan lagi celana jeans hitam polos dan kaos oblong lengan panjang over size yang dibalut jaket denim senada.
Ara baru sadar bahwa hijabnya sudah tidak ada di kepalanya. Dia pun menoleh ke segela arah mencari hijabnya dengan panik.
“Kamu mencari sesuatu?” tanya si Laki-laki.
Melihat itu, si Perempuan langsung paham. Dia berdiri mengambilkan hijab milik Ara di ujung ruangan lalu menyerahkannya pada Ara. Ara Segera menutupi rambut dan kepalanya dengan hijabnya. Hijab pashmina hitam polos miliknya itu kembali menutupi rambut dan kepalanya cukup sempurna meskipun hanya diikatnya dengan asal, karena dia tidak tahu di mana jarumnya berada.
Si Laki-laki dan si Perempuan saling pandang merasa aneh dengan sikap Ara.
“Kenapa rambut indahmu harus ditutupi?” tanya si Laki-laki berhati-hati.
Gua cuma tahu dia tanya kenapa, tapi nggak tahu apa yang dia tanyain. Ah! Ngeselin!
Ara hanya bungkam sambil melihat si Laki-laki dan si Perempuan penuh waspada.
“Kenapa rambut indahmu…,” si Laki-laki mengulangi pertanyaannya perlahan sambil menunjukan bahasa isyarat memegang rambutnya sendiri, “…harus ditutupi?”
Ah, kenapa rambut gua ditutupi? Ya jelaslah, gue Islam.
Ara tidak merespon pertanyaan si Laki-laki. Dia terus bungkam dan masih ketakutan.
“Kamu aman di sini. Jangan khawatir. Makanlah dulu, setelah itu istirahat lagi. Jika membutuhkan sesuatu, panggil kami.” Kata si Perempuan sambil menunjuk ke ruangan sebelah.
Ara tetap tidak merespon apa pun.
Kedua orang itu pun keluar dari kamar yang ditinggali Ara.
Beberapa saat Ara hanya membeku di tempatnya. Setelah merasa aman dan tidak mendengar percakapan kedua orang itu, dia bergegas mengambil jaketnya yang ada di ujung ruangan lalu membuka jendela. Dia keluar dengan hati-hati agar tidak membuat suara. Yang dilihatnya hanya tembok batu bata yang tidak rapi yang berdiri hanya sedada nya. Dia berusaha menaikinya dengan susah payah dan jatuh di baliknya karena gagal menjaga keseimbangan tubuh gemuknya.
Matanya langsung bertemu dengan beberapa orang yang melewati jalan di sana. Mereka semua berpakaian sama seperti kedua orang tadi. Bahasa mereka juga sama. Semua bangunan rumah di sana minim dan terbuat dari kayu. Sama persis seperti yang ada di drama-drama kolosal Korea. Orang-orang yang berlalu-lalang berbisik sambil memandanginya aneh.
“Sebenernya ini di mana? Kenapa gua bisa ada di sini? Mimpi? Ini di Indonesia atau di Korea?” tanyanya pada diri sendiri dengan lirih.
Ketika itu, matanya menangkap dua orang laki-laki berkumis dan berbadan tinggi besar mengenakan baju besi seperti prajurit membawa pedang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Melihat pedang itu napasnya menjadi sesak. Bayangan pembantaian pedang dan darah memenuhi isi pikirannya. Dadanya sakit tidak terkira. Dipeganginya dadanya yang sakit. Napasnya yang sesak membuatnya lemas.
Dua laki-laki prajurit berpedang itu berjalan mendekati tempatnya.
Ara semakin kesulitan bernapas. Kedua kakinya pun tidak mampu lagi menopang beban tubuhnya sendiri.
Semakin lama, dua laki-laki prajurit itu semakin mendekat.
Ya Allah, kalau ini cuma mimpi, tolong bangunin Ara. Kalau ini nyata, tolong bantu Ara melewatinya. Dan tolong bantu Ara kembali. Tolong, kali ini kirim bantuan-Mu. Hamba-Mu yang lemah ini butuh bantuan-Mu. Aamiin.
Bersambung…
SALAM SEHAT,
JINAAN00.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
