
Bagi Hannah menjadi seorang novelis dan komikus bukan hanya sekedar menyalurkan hobi, melainkan sudah menjadi tujuan hidup dan bahkan Hannah sudah mendedikasikan dirinya untuk mengabdi menjadi seorang novelis dan komikus sampai masa senjanya.
Namun semua itu perlahan berubah saat dirinya tidak sengaja bertemu dengan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang menangis di area taman bermain komplek apartemen dan membuat dirinya berakhir dirumah megah milik seorang ketua gangster yang ternyata merupakan...
Tak.. Tak.. Tak.. Tak..
“Hmm, jadi sebelum mulai proses cetak novel, aku harus merevisi beberapa bab?” Tanya Hannah dengan tatapan mata yang terfokus pada layar komputer.
‘Ya begitu, ku kira pemeriksaan kali ini tidak akan memerlukan revisi seperti novel mu yang kemarin kemarin. Tapi ternyata ada beberapa masukan yang diinginkan oleh Bapak Kepala.’ Ujar seorang perempuan dari seberang sana yang hanya di balas gumaman saja oleh Hannah.
“Hmm yasudah. Aku akan coba revisi secepatnya. Bapak Kepala tidak menentukan deadline nya kapan kan?” Tanya Hannah sambil melirikan matanya kearah kalender yang berada di sebelah monitor komputer.
‘Tidak, dia hanya bilang semakin cepat semakin baik.’
“Ya selogan beliau sejak dulu begitu hahaha.” Hannah terkekeh saat bayangan sang Bapak Kepala editor mengatakan selogan yang di katakan oleh editor pribadinya tadi.
‘Yasudah, kalau begitu selamat mengerjakan revisi! Kalau ada yang ingin kamu tanyakan lagi, hubungi aku saja.’
“Siap. terima kasih kak, bye."
Hannah menutup sambungan teleponnya dan kini tatapan matanya terfokus pada kalender yang sudah berada di tangannya.
“Hmmm, berarti aku harus menyicil revisian ini di sela-sela aku update chapter terbaru novel dan juga komik ya.” Gumam Hannah yang kini menyandarkan tubuhnya pada kursi gaming.
“Baiklah, sepertinya revisi ini akan selesai di akhir bulan besok. Meski aku memaksakan diri juga yang ada nanti aku akan terlambat upload chapter terbaru novel dan komik ku.”
Hannah kembali meletakan kalender setelah melingkarkan sebuah tanggal sebagai deadline dirinya harus menyelesaikan revisi novel yang akan di cetak fisik dan di pasarkan di semua toko buku negeri ini.
Dzzing..
Hannah langsung memejamkan kedua matanya saat merasakan nyeri pada kepala bagian kanannya.
“Argh, tidak biasanya aku mengalami migrain.” Gumam Hannah sambil memegangi kepala bagian kanan.
Seketika kedua bola mata Hannah membulat terkejut saat dirinya teringat jika kepalanya sudah merasakan migrain seperti ini, biasa tubuhnya akan mengalami demam dalam kurun waktu empat hari.
“Oh tidak, sebelum itu terjadi aku harus secepatnya menyelesaikan panel komik dan menguploadnya!” Pekik Hannah menatap panik layar komputernya yang saat ini tengah mewarnai panel untuk komiknya.
Tanpa membuang-buang waktu Hannah kembali melanjutkan mewarnai panel nya, karena dirinya tidak ingin jadwal mengupload panelnya mengalami keterlambatan karena demam yang akan menyerang dirinya.
Dengan penuh konsentrasi menyelesaikan panel, Hannah sama sekali tidak mengubris ponselnya yang sudah beberapa kali bergetar karena adanya pesan maupun panggilan masuk.
“Ahhhhh! Akhirnya selesai juga! Komikku terselamatkan kali ini.” Desah Hannah merasa lega karena berhasil mengupload panel chapter terbaru dari komiknya.
“Argh, sepertinya tubuh ku benar-benar demam. Tubuh ku terasa begitu nyeri di gerakan sedikit saja.” Keluh Hannah saat dirinya yang baru saja akan merenggangkan persedian namun mengurungkan niatnya saat merasakan nyeri pada setiap sendi tubuhnya.
“Aku harus segera pergi ke klinik, jika tidak ingin semakin parah dan akan menghambat pekerjaan ku.”
Dengan sedikit terburi-buru Hannah mengambil dompet, ponsel dan juga jaket miliknya yang sedikit tebal karena saat ini meski tubuhnya sedang demam, hawa yang kini dirinya rasakan pada tubuhnya terasa cukup dingin padahal dirinya tidak meninggikan suhu pendingin ruangan.
“Hah, ku harap aku dapat sampai dengan selamat di klinik.”
***
“Jadi bisa kamu ulangi lagi, berapa jam waktu tidur mu dalam satu hari?” Tanya seorang pria berjas putih yang saat ini tengah duduk tepat berada di hadapan Hannah.
Hannah berdeham sebentar menghilangkan rasa gugup dalam dirinya saat sang dokter kembali bertanya kepada dirinya, padahal sebelumnya dia sudah menjawab berapa jam waktu tidurnya dalam satu hari.
“Dua jam dalam sehari dok, bahkan terkadang saya lupa untuk tertidur karena mengejar deadline pekerjaan."
Sang Dokter yang mendengar jawaban Hannah memejamkan kedua matanya erat sambil menghela nafas panjang.
“Memang kamu bekerja apa sampai bisa-bisanya kamu lupa untuk tidur?”
Dengan sedikit ragu Hannah menjawab pertanyaan sang dokter. “Hmm saya seorang arsitek dok. Jadi wajar jika saya memiliki waktu tidur yang sedikit karena mengejar deadline.”
Hannah memandang takut-takut dokter yang ada di hadapannya saat ini. Takut jika sang Dokter tidak merasa puas dengan penjelasan yang dirinya berikan.
“Hmm, bagiamana pun juga jam tidur itu sangatlah penting demi kesehatan mu. Apalagi kamu masih muda, jangan sia-siakan masa muda mu, nona.” Ucap sang dokter yang di balas anggukan kepala oleh Hannah.
“Baik dok, saya akan lebih memperhatikan jam tidur saya kedepannya.”
Dokter hanya balas menganggukan kepalanya lalu memberikan sebuah resep obat kepada Hannah.
“Kamu bisa menebus semua obat ini di loket pengambilan obat.”
Hannah menganggukan kepalanya dengan cepat, lalu beranjak dari duduknya.
“Baik terima kasih banyak dok. Saya permisi dulu.”
Dengan bergegas Hannah melangkahkan kakinya berjalan keluar dari ruang pemeriksaan, lalu menghela nafas lega saat sudah berhasil keluar dan menutup pintu ruang pemeriksaan.
“Hah, untung saja dokternya tidak bertanya jadwal makan ku seperti apa. Jika dia sampai bertanya, bisa habis di ceramahi aku!” Desah Hannah yang merasa lega, lalu melanjutkan langkah kakinya menuju loket pengamibilan obat.
Setelah memberikan resep obat yang tadi diberikan oleh sang dokter, Hannah memilih mendudukan dirinya di kursi tunggu karena tiba-tiba saja migrainnya kembali kambuh.
“Ah, aku ingin cepat cepat sampai apartemen.” Keluh Hannah sambil memejamkan kedua matanya erat.
"Kepada nona Hannah, dipersilahkan untuk mengambil obat!"
Hannah kembali membuka kedua matanya dengan terpaksa saat mendengar namanya di panggil oleh suster di bagian loket pengambilan obat. Dengan sedikit terpaksa, Hannah berjalan menghampiri loket dan mendengarkan penjelasan sang suster terkait jadwal minum obatnya.
Setelah selesai, dengan lemas Hannah melangkahkan kaki berjalan keluar dari klinik. Beruntung Klinik ini berada tidak jauh dari kawasan apartemen, jadi dirinya bisa berjalan kaki untuk mempercepat waktu.
“Ugh, ku harap, aku tidak akan pingsan di tempat umum. Akan sangat memalukan.” Keluh Hannah yang merasakan tubuhnya benar-benar lemas, karena belum memberikan asupan karbohidrat ataupun asupan gula kedalam tubuhnya.
“Kak Hannah!”
Hannah yang tengah berusaha untuk tetap menjaga kesadaran dirinya, mengerutkan kening heran mendengar namanya di panggil oleh suara anak kecil.
“Duh, apa aku sedang berhalusinasi ya, karena suhu tubuhku yang semakin meninggi?” Gumam Hannah merasa ragu jika saat ini benar-benar ada seorang anak kecil yang tengah memanggil namanya dan tetap malanjutkan langkah kakinya.
Grep..
“Kak Hannah! Cunggu Leo!”
Hannah yang merasakan celananya ditarik oleh seseorang pun hampir saja terhuyung karena tidak bisa menjaga kestabilan tubuhnya yang tengah demam.
Sedikit merasa sebal dan penasaran siapa orang yang sudah hampir membuatnya terjatuh disaat tengah sakit seperti ini, Hannah pun menundukan kepalanya untuk melihat siapa pelakunya.
“Kak Hannah! Kakak atit?” Tanya Leo dengan polosnya yang menjadi sang pelaku penarikan celana Hannah.
Hannah yang merasa asing dengan Leo, mengerutkan keningnya heran. “Maaf kamu siapa ya dik? Kakak baru pertama kali melihat mu.”
Mendengar apa yang baru saja di katakan oleh Hannah, membuat Leo langsung memekik sebal.
“Acu Leo! Kak Hannah lupa Leo?!”
Hannah merasa kepalanya kembali berdenyut nyeri setelah mendengar pekikan Leo yang cukup nyaring ini.
“Kak Hannah bilang acu bica beltemu kak Hannah lagi cetelah dua minggu!”
Hannah memejamkan kedua matanya erat, mencoba mengingat siapa anak kecil yang ada di hadapannya ini.
Leo yang melihat Hannah terdiam sambil memejamkan kedua matanya pun mengerutkan dahinya heran.
"Kak Han-
“Ah! Aku ingat kamu Leo kan!” Seru Hannah saat dirinya berhasil mengingat Leo.
Leo yang mengetahui Hannah berhasil mengingat dirinya pun mengulaskan senyum cerah di wajahnya. Namun senyum cerah itu tidak bertahan lama saat dirinya melihat darah yang menetes dari hidung Hannah.
Tes.. Tes..
“Kak Hannah! Dalah!” Pekik Leo panik. Dirinya segera menolehkan kepalanya untuk mencari dimana keberadaan Ken berada.
“Daddy! Daddy! Hidung Kak Hannah beldalah!” Pekik Leo panik saat dirinya berhasil bertatap mata dengan Ken yang sedang berjalan menuju kearahnya.
Ken yang dari jauh mendengar suara pekikan panik sang putra dan melihat orang asing berjaket tebal tengah berdiri di hadapan sang putra pun segera berlari dengan cepat, karena dirinya takut hal buruk terjadi kepada Leo.
Namun saat Ken hampir saja sampai didekat Leo, orang asing berjaket tebal yang tengah beridri dihadapan sang putra tiba-tiba saja ambruk tidak sadarkan diri, membuat Leo kembali memekik panik.
“Daddy! Kak Hannah, angun!” Seru Leo sambil mencoba menggerak-gerakan tubuh Hannah yang saat ini sudah tidak sadarkan diri setelah darah menetes keluar dari hidung perempuan itu.
Ken yang sudah sampai di hadapan Leo dan juga orang asing yang tengah tidak sadarkan diri pun mencoba untuk menenangkan sang putra.
“Tenang Leo, apa kamu mengenal perempuan ini?" Tanya Ken yang baru menyadari jika orang asing yang dirinya lihat tadi rupanya seorang perempuan.
Sambil menahan isak tangis, Leo menganggukan kepalanya. “Kak Hannah yang cudah menolong Leo!”
Begitu mendengar perkataan Leo, tanpa menunggu lama Ken langsung merengkuh tubuh Hannah yang tidak sadarkan diri kedalam pangkuannya.
“Suhu tubuhnya panas sekali, pantas dia mimisan.” Desis Ken saat merasakan suhu tubuh Hannah yang begitu tinggi.
“Leo, kita harus segera pulang membawa perempuan ini untuk di obati!”
Ken yang masih merengkuh Hannah, bangkit berdiri dan tatapan matanya kini beralih pada Ami yang sudah berada di dekat dirinya dan Leo.
“Ami, tolong kau jaga Leo. Saya akan membawa perempuan ini terlebih dulu kerumah.”
Ami langsung menganggukan kepalanya, membiarkan Ken membawa tubuh Hannah yang tidak sadarkan diri kedalam mobil.
“Paman, Kak Hannah nda apa-apa kan?” Tanya Leo yang kini sudah meneteskan air mata.
Ami mengulaskan senyum kecil diwajahnya dengan kedua tangannya terulur untuk membawa Leo kedalam gendongannya.
“Leo tenang saja, Daddy akan menyembuhkan Hannah.”
Leo yang mencoba untuk percaya dengan perkataan Ami pun menganggukan kepalanya pelan, dan kini dirinya bersama Ami berjalan menuju satu mobil lain yang tidak dibawa oleh Ken.
“Ya, kuharap perempuan itu tidak sakit parah.” Gumam Ami saat dirinya sudah berada di belakang kemudi dan langsung melajukannya membelah jalan raya untuk kembali menuju rumah keluarga Durant.
-TBC-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
