

Langkah kaki Harley terhenti begitu saja. Bukan karena ragu, tapi karena sorot matanya menangkap sosok yang tidak bisa dia abaikan—Jeffrey, berdiri tegak bersandar pada pintu mobilnya, mengenakan kaos hitam dengan dengan jaket leater orange gelap. Tatapan itu… dingin, mengulitinya pelan-pelan seperti belati tumpul yang tahu betul bagian mana yang paling sakit.
Tidak ada siapa pun di lorong itu, hanya mereka berdua. Sunyi. Terkurung di balik hening malam, di tempat yang bahkan CCTV pun enggan memandang.
Setelah seharian menghilang tanpa kabar, Jeffrey hanya mengirim satu pesan. Bukan permintaan, bukan klarifikasi—Gue jemput.
Tidak ada tanya, karena dia sudah tahu semuanya. Keberadaan Harley? Sudah dia pantau. Lokasi? Sudah dia sadap. Percakapan Harley dengan manajernya? Sudah dia dengarkan sejak pagi. Tidak ada tempat yang aman dari obsesi pria itu.
Dia tidak mencintai dengan cara biasa. Dia mencintai dengan kendali. Dengan cengkeraman. Dengan kekuasaan. Dan Harley, entah mengapa, tetap kembali… selalu kembali.
“Masuk.” Nada suaranya berat, dalam, dan tidak memberi ruang untuk penolakan.
Tanpa satu kata pun, Harley membuka pintu dan masuk. Seolah tubuhnya lebih patuh dari hatinya.
Seolah dia tahu: melawan Jeffrey bukan tentang menang atau kalah. Tapi tentang berapa banyak luka yang sanggup ditanggung.
———
Di Dalam Mobil — Beberapa Menit Kemudian
Mesin mobil meraung pelan. Jeffrey memacu kendaraan itu dengan ketenangan yang mengganggu.
Hening.
Terasa sesak, seperti duduk di dalam gua yang hanya memantulkan napas dan dendam.
Harley mencoba memecah keheningan.
“Aku ada jadwal syuting di Busan. Tiga hari.” Suara gadis itu ringan, tapi terdengar seperti usaha untuk menyampaikan bahwa hidupnya masih bisa berjalan tanpa Jeffrey.
Jeff hanya menjawab dengan gumaman, “hm.”
Itu saja. Seolah dia sedang mendengarkan berita cuaca.
Harley menoleh dengan wajah tak percaya. “Just ‘hm’? Itu aja respon kamu?”
Jeff menoleh sebentar, satu alis terangkat dengan ekspresi mengejek.
“Terus lo mau gue tepuk tangan? Nangis di kaki lo biar lo batal pergi? Atau kita bikin adegan melodrama ‘jangan tinggalin aku, sayang’? Grow up, Harley.”
Kalimat itu ditusuk dengan sarkasme. Setajam pisau. Setipis kesabaran.
Harley menarik napas dalam, menahan gejolak di dadanya. Matanya tak sengaja menangkap sesuatu di bawah jok kursinya. Sebuah lipstik Dior—merah menyala. Bukan miliknya.
Tangannya mengambil benda itu. Perlahan. Tapi matanya sudah penuh amarah. Dia mengangkat lipstik itu, menatap Jeff penuh tuduhan.
“Lipstik siapa ini?”
Jeff mengangkat bahu. Sambil tetap menyetir, dia menjawab dengan tenang.
“Evelyn. Mungkin.”
“Evelyn?” ulang Harley, suaranya naik satu oktaf. “Kenapa bisa ada lipstik dia di mobil kamu?”
“Gue gak nyimpen jadwal make-up orang, Harley. Bisa jadi dia jatuhin, bisa jadi sengaja tinggalin. Who knows.”
“Jadi kamu tidur sama dia?”
Jeff tidak langsung menjawab. Tapi senyum itu… Senyum tipis, keparat, dan tidak membantah—cukup menjelaskan semuanya.
BRAK!
Harley melempar lipstik itu ke arah kaca jendela samping Jeffrey, mengenai pelipisnya.
Mobil berhenti mendadak. Jeffrey menginjak rem keras. Ban berdecit di aspal. Dalam satu gerakan cepat, dia memutar tubuh, menatap Harley dengan mata gelap yang nyaris kosong.
“Lo tuh bisa gak sih, sehari aja... gak nyari perkara sama gue?” suara itu rendah, tapi penuh amarah yang ditahan.
Harley menatap balik, napasnya memburu. Tangannya mengepal di pangkuan, seolah menahan jiwanya yang ingin meledak.
“AKU MUAK SAMA KAMU! KAMU BRENGSEK! GAK BERGUNA! ORANG GILA! KENAPA AKU MASIH STUCK SAMA KAMU, HAH!?”
Jeff tertawa. Tertawa sinis. Tawa pria yang tahu betul bahwa gadis itu… tidak akan benar-benar pergi.
“Orang gila?” ulang Jeff. “Lo yang gila. Lo yang balik lagi dan lagi. Lo yang gak bisa lepas. Jadi sekarang lo mau main drama jadi korban? Huh?”
Harley tidak tahan lagi. Air matanya jatuh begitu saja. Dia membuka pintu dan keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Meninggalkan Jeffrey.
Tapi Jeffrey… Hanya memandang sebentar lewat spion. Tidak mengejar. Tidak memanggil. Dia hanya mengambil ponselnya.

Jeffrey tersenyum miring. Menyalakan mesin. Lalu memutar arah.
Menuju club. Menuju Evelyn. Menuju pelarian yang dia tahu tidak akan pernah bisa membuatnya benar-benar lepas dari Harley—karena luka itu sudah jadi candu.
Jeffrey berselingkuh (?) Dan dia tahu Harley tahu. Tapi dia tidak peduli. Karena dia ingin memilikinya dan menghancurkannya dalam waktu yang bersamaan. Dan Harley, seberapa pun dia membenci Jeffrey—selalu kembali. Karena dalam relung tergelap jiwanya… Dia butuh dihancurkan oleh orang yang sama.
———
📍Apartemen
Suara bel terdengar dua kali, cepat dan panik, seperti seseorang yang tidak sanggup menunggu.
Jonathan bergegas menuju pintu, langkahnya panjang dan terburu-buru. Dia baru saja menaruh gelas kopi di meja saat matanya mendapati sosok yang tak asing berdiri di ambang pintu—Harley, berdiri diam dengan wajah pucat, rambut sedikit berantakan, dan jemarinya menggenggam ponsel dengan gemetar yang tidak mampu dia sembunyikan.
“Harley?” ucap Jonathan pelan, nada suaranya penuh bingung dan khawatir.
Gadis itu hanya mengangkat pandangan tanpa menjawab. Matanya basah, dan dari wajahnya, Jonathan tahu—ada sesuatu yang tidak beres.
Tanpa bertanya lebih lanjut, Jonathan membuka pintu lebih lebar. “Masuk.”
Harley melangkah masuk pelan-pelan, seolah tubuhnya hanya bergerak karena terpaksa, bukan karena keinginan.
Jonathan menutup pintu dan menatap Harley lekat-lekat. Raut wajahnya mulai berubah, dari bingung menjadi cemas.
“Apa yang terjadi? Kamu… kamu bertengkar lagi sama Jeffrey?”
Harley membuka mulut, tapi suara itu seperti tertahan di tenggorokan. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya dia berbisik lirih. “Jeffrey… selingkuh.” Kalimat itu terdengar patah. Separuhnya adalah kenyataan, separuh lainnya adalah luka yang masih segar.
Jonathan mematung. Sorot matanya terkejut, tapi mulutnya masih mencoba menyangkal.
“Selingkuh?” ulangnya pelan, seolah berharap dia salah dengar.
Harley mengangguk, menatap Jonathan dengan mata yang penuh kelelahan. Tangannya mengusap wajahnya sendiri dengan kasar.
“Iya. Jeffrey selingkuh, Jo. Sahabat kamu itu… selingkuh. Dan dia bahkan gak berusaha nyembunyiinnya.”
Jonathan menarik napas dalam, seolah paru-parunya tidak siap menerima beban itu. Dia berjalan ke dapur di sudut apartemen, menuangkan segelas air dingin, lalu menyerahkannya pada Harley.
“Minum dulu.”
Harley menerima gelas itu dengan tangan yang masih sedikit bergetar. Dia meneguknya pelan, sebelum kembali bicara.
“Dia semalaman sama Evelyn.”
Jonathan menghentikan gerakannya. Tatapannya mengeras.
“Evelyn? Yang investor club itu?”
Harley hanya mengangguk singkat. Matanya kosong.
Jonathan menghela napas berat, duduk di sofa seberangnya. Dia menunduk, kedua siku bertumpu pada lutut.
“Saya… gak menyangka,” gumamnya, lebih ke diri sendiri. “Saya tahu Jeff aneh, obsesi dia ke kamu gak normal… tapi selingkuh? Itu—itu bukan dia, Ley.”
“Tapi dia lakuin itu,” balas Harley, lirih. “Tanpa rasa bersalah. Di depan aku.”
Jonathan terdiam. Ia menatap Harley dengan sorot yang sulit diuraikan.
“Kemarin… saya ke club,” katanya akhirnya. “Saya rencana ngenalin dia sama temen saya. Seorang psikolog. Jeff butuh pertolongan, Ley. Saya udah lama pikirin itu. Tapi setiap kali saya mau ngomong langsung, dia selalu—kabur.”
Harley memejamkan mata, wajahnya menegang saat mengingat ucapan terakhir Jeffrey di dalam mobil malam tadi.
“Dia bilang kalau aku gila,” bisiknya. “Waktu aku marah, waktu aku bilang aku capek sama dia… dia tertawa dan bilang aku yang gila.”
Jonathan terdiam. Matanya memandangi perempuan di depannya dengan iba yang dalam.
“Aku… kenapa dia memperlakukan aku seperti ini? Aku... selalu menerima kekurangan dia. Tetapi, dia memandangku rendah.”
Jonathan mencondongkan tubuhnya, menatap Harley serius.
“Saya ngerti. Tapi kamu juga tahu, Ley… kalau kamu putusin dia sepihak, dia gak bakal tinggal diam. Dia bakal datengin kamu—maksa kamu balik, seperti kemarin itu.”
“Hhh…” Harley menghembuskan napas berat, meletakkan gelas di meja dengan gemetar. “Seharusnya aku gak nunjukkin diri. Kalau memang aku mau pisah, aku gak boleh muncul. Tapi sialnya, aku model. Hidup aku bukan milik aku sepenuhnya.”
Jonathan menatapnya dengan sorot yang lebih dalam. Ragu. Tapi kata-kata itu tetap keluar, setengah bercanda, setengah penuh makna.
“Kalau gitu… kenapa kamu gak selingkuh juga, di belakang dia?”
Suasana ruangan seketika membeku.
Harley mendongak. Matanya menangkap wajah Jonathan, mencari tanda kalau itu hanya candaan. Tapi pria itu tidak tertawa. Dia hanya mengangkat bahu kecil, seperti menyampaikan ide logis, bukan jebakan moral.
“Kamu butuh pembalasan, Ley. Kadang… satu luka cuma bisa ditutup sama luka lain.”
Harley tidak menjawab. Dia hanya menatap Jonathan, matanya penuh badai. Tidak setuju. Tidak menolak. Tapi terlihat sedikit—tertarik.
————
📍Altar Club
Suara musik berdentum lembut di balik kaca kedap suara ruangan privat Altar Club, namun atmosfer di dalam ruangan terasa jauh lebih pekat—lebih personal. Lampu temaram memantulkan kilau keemasan dari botol wine yang belum dibuka di meja bar, dan aroma musk bercampur alkohol memenuhi udara.
Pintu terbuka perlahan.
Jeffrey masuk dengan langkah tenang, nyaris tanpa suara. Matanya tajam, terasa begitu dingin.

“Ekhmm…”

Ia berdehem pelan. Bukan untuk memanggil perhatian, tapi lebih seperti mengumumkan kehadirannya—tanpa perlu bersuara lantang.
Evelyn, yang sedari tadi berdiri menunggu kehadiran Jeffrey seketika menoleh cepat. Senyum manis yang langsung muncul di bibirnya nyaris tak bisa disembunyikan, tapi ada sesuatu yang lain di sorot matanya—hasrat, penguasaan, dan sedikit permainan kekuasaan.
Ia berjalan tenang, langkah tingginya mendekat perlahan. Gaun hitam keemasan membungkus tubuhnya dengan sensual, bergerak lentur mengikuti lekuknya. Saat ia sampai di hadapan Jeffrey, kedua lengannya langsung melingkar di leher pria itu, dan tanpa ragu bibirnya mengecup bibir Jeffrey dengan lembut—namun cukup lama untuk menegaskan sesuatu.
“Sayang…” bisiknya manja, suaranya meluncur seperti anggur mahal di malam yang dingin. “Kamu akhirnya sampai juga.”
Jeffrey hanya diam. Matanya tak bergeming, hanya menatap Evelyn dalam-dalam, seperti mencoba membaca isi kepalanya… atau mungkin menakar kesetiaan yang tak pernah dimintanya.
“Rasanya…” Evelyn melanjutkan, tangannya naik mengusap tengkuk Jeffrey dengan gerakan pelan, “lama sekali kita tidak bertemu. Dan itu… membuatku terus memikirkan kamu. Siang, malam, bahkan saat aku bersama pria lain, bayangan kamu tetap ada di sana.”
Senyum nakal mengembang di wajah Evelyn. Ia memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan ekspresi Jeffrey yang tetap datar namun mematikan.
Jeffrey akhirnya mengangkat tangannya dan melepaskan pelukan Evelyn secara perlahan. Bukan dengan kasar—tapi dengan otoritas yang jelas. Evelyn tidak terlihat tersinggung. Justru, matanya makin berbinar.
“Kamu… kelihatan lebih dingin dari biasanya,” godanya. “Apakah karena dia?” Nada suaranya menurun, menyisipkan nama yang tidak perlu disebutkan. Harley.
Jeffrey menatap Evelyn tanpa menjawab. Pandangan mereka terkunci. Tidak ada yang bicara, tapi ruang di antara mereka menjadi medan perang yang sunyi.
Lalu, tiba-tiba, Evelyn mendekat lagi. Kali ini tubuhnya menempel di dada Jeffrey, dan wajahnya bersandar di sana, seolah ingin menyerap semua ketenangan pria itu—ketenangan yang bagi sebagian besar orang, hanyalah ilusi sebelum badai.
“Malam ini…” bisik Evelyn, suaranya berat, mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan, “aku ingin bersamamu. Sepenuhnya. Sampai pagi. Aku gak mau kamu pergi.”
Jeffrey menunduk sedikit, menatap mahkota kepala Evelyn yang bersandar di dadanya.
“Lo yakin?” ucapnya, suaranya berat dan rendah, nyaris terdengar seperti ancaman. “Karena kalau gue nginap, lo gak bisa nyari napas pakai orang lain lagi.”
Evelyn tertawa kecil, mengangkat wajahnya dan menatap pria itu dengan lirikan mautnya.
“Aku gak butuh orang lain, Jeff,” katanya dengan licik. “Aku cuma butuh kamu… selama kamu mau menghancurkan aku dengan cara yang gak bisa aku lawan.”
Dan Jeffrey?
Dia tidak tersenyum. Tapi jemarinya terangkat, menyentuh dagu Evelyn, mengangkat wajah perempuan itu paksa, dan menatap langsung ke matanya.
“Bagus,” bisiknya. “Karena malam ini, gue gak niat nahan diri.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
