My Sugar Boyfriend (Re Writing) - 12. Commitment Issue

1
0
Deskripsi

Keesokan harinya, mereka bertemu kembali. Janji Vante yang diucapkan kemarin tak ia lupakan—dan kali ini ia menepatinya.

Dengan langkah santai, ia menghampiri Hayes di taman kecil dekat stasiun. Di tangannya, sebuah cone es krim warna merah muda terang mencolok di bawah sinar matahari.

“Cherry,” katanya sambil menyodorkan cone itu. “Buah favoritmu, kan?”

Hayes menatap es krim itu sejenak, lalu senyumnya mengembang perlahan. Ia mengambilnya dengan kedua tangan seolah sedang menerima hadiah berharga.

“Terima kasih…” ucapnya lirih, lalu menjilat permukaan es krim perlahan. Wajahnya berubah—tidak lagi kusam seperti hari sebelumnya. Kali ini, ada kebahagiaan yang terpancar dari matanya.

Vante memperhatikan dengan senyum kecil di sudut bibirnya. “Kamu menyukainya?”

“Hm!” Hayes mengangguk cepat, lidahnya masih sibuk dengan rasa manis asam yang meleleh di mulutnya. “Aku suka. Banget.”

Ia berhenti sejenak, lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya. Pandangannya tertuju pada angka digital yang tertera di layar.

“Tanggal empat belas,” gumamnya, kemudian menatap Vante dengan mata berbinar. “Aku akan menjadikannya… tanggal jadian kita.”

Vante mengerjapkan mata. “Tanggal jadian?”

Hayes mengangguk pelan. “Iya. Mulai hari ini, kamu jadi pacarku.”

Ia mengucapkannya dengan ringan, namun penuh keyakinan. Seolah semuanya sudah pasti.

Vante menghela napas pendek. “Tunggu dulu… bukannya seharusnya kita kenal lebih lama dulu?”

Tanpa ragu, Hayes menggeleng. “Aku gak punya waktu untuk itu.”

Ia merogoh sakunya lagi dan menarik selembar uang, lalu menyodorkannya ke Vante. “Ini… anggap aja sebagai pembayaran pertama. Kamu pacarku sekarang. Jadi, tolong ajari aku gimana caranya bikin kamu bahagia.”

Vante tak langsung menjawab. Ia menatap uang di tangannya, lalu beralih memandang Hayes dengan ekspresi rumit. Ada sisi polos, naif, bahkan lucu dari pernyataan itu—tapi juga ada sesuatu yang menyentuh dan mendesak di dalam tatapan gadis itu.

Namun sebelum ia sempat membuka mulut, sebuah suara memotong suasana.

“Hayes? Kamu di sini?” tegur seseorang dari belakang.

Mereka berdua menoleh bersamaan. Seorang pria muda berdiri di bawah bayang pohon. Seragam sekolahnya sama dengan Hayes, dan ia tampak sedikit terengah—seperti habis berlari mencarinya.

“Hah, kamu ngikutin aku, huh!?” balas Hayes dengan nada ketus.

Cowok itu tertawa kecil, meski wajahnya tampak canggung. “Apa ini termasuk kesalahan? Aku pacarmu, Hayes. Nggak aneh kan kalau aku nyariin kamu?”

Vante mengerutkan kening. Pandangannya berpindah dari cowok itu ke Hayes, bingung.

Namun Hayes langsung melipat tangannya di dada, wajahnya keras. “Bukan. Kamu mantan pacar aku.”

Ia lalu menunjuk Vante dengan dagunya. “Ini pacar baruku. Namanya Vante. Dia jauh lebih baik dan peka sama aku—gak kayak kamu yang bisanya nyakitin dan bikin aku cemburu tiap hari.”

Vante nyaris tersedak tawanya sendiri. Ia menoleh ke arah jendela toko es krim di sebelah mereka, berusaha menyembunyikan senyum yang muncul tanpa ia sadari.

Dalam hati, ia tak menyangka bisa terseret begitu dalam ke kisah cinta segitiga seorang gadis sekolah.

Dan anehnya, ia tak menyesal sedikit pun.

Flashback Off

📍Apartemen

Jam di dinding berdentang pelan. Tepat pukul sebelas malam.

Vander duduk bersandar di sofa, secangkir teh hangat mengepul di tangannya. Aroma mint dan madu menguar lembut, menyatu dengan udara malam yang sunyi. Ia menatap ke luar jendela apartemennya—lampu kota berkerlap-kerlip seperti bintang buatan di lautan beton.

Ia tersenyum kecil, samar. Bukan karena pemandangan itu, tapi karena ingatan yang perlahan muncul dari balik memori.

Dulu... dirinya pernah terseret dalam sebuah hubungan yang nyaris tak masuk akal—romansa remaja, begitu ia menyebutnya.

Hayes. Gadis sekolah yang tiba-tiba muncul dengan cara yang paling tak biasa.

Ia masih ingat jelas bagaimana Hayes, dengan wajah polos dan suara lantang, menyodorkan sejumlah uang hanya agar Vander bersedia menjadi pacarnya.

“Ini uangnya,” katanya saat itu, mata beningnya menatap lurus tanpa malu. “Kamu pacarku sekarang.”

Vander tertawa pelan saat mengingatnya. Lucu. Konyol. Tapi juga... menghangatkan.

Ia tidak serta-merta menjauh saat itu. Sikap Hayes yang menggemaskan, tulus meski ceroboh, membuatnya berpikir dua kali untuk menolaknya mentah-mentah. Ada sesuatu yang menyentuh di balik kepolosannya—dan Vander, entah bagaimana, memilih untuk memperhatikan gadis itu sedikit lebih lama.

Namun waktu membawa kesadaran baru.

Apa yang ia lakukan salah. Meski tak pernah menyentuh garis batas, kedekatannya dengan Hayes bisa disalahartikan. Ia bukan anak sekolah. Dan yang lebih penting—ia sudah memiliki seseorang yang cukup spesial di hatinya.

Seseorang yang tidak boleh terluka karena hal sepele seperti ini.

Maka, Vander memutuskan untuk menjauh. Perlahan ia menghilang dari orbit Hayes. Tidak lagi membalas pesan, tidak lagi datang ke tempat biasa mereka bertemu.

Ia mengira semua sudah selesai. Tapi takdir rupanya punya rencana lain.

Beberapa tahun kemudian, mereka bertemu lagi. Kali ini dalam suasana yang sangat berbeda.

Hayes bukan lagi gadis SMA yang ceroboh. Ia kini mahasiswi—dan ironisnya, salah satu dari mahasiswa bimbingan Vander sendiri. Dunia terasa mengejek saat ia menyadari bahwa jadwal mengajarnya hampir selalu bertabrakan dengan kelas Hayes. Hampir setiap hari mereka saling bertatap muka—meski lebih banyak pura-pura tidak saling kenal.

Vander meneguk tehnya lagi. Hening.

Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Ia membuka aplikasi Twit, atau lebih tepatnya Twitnote, tempat biasa ia membagikan potongan kalimat, pemikiran acak, dan kutipan buku.

Satu akun membalas cuitannya. Akun kosong, dengan foto yang cukup membuat penasaran, dengan username jelas. Tapi Vander tahu siapa pemiliknya.

Ia membuka profil akun itu, lalu mendapati bahwa gembok akun tersebut telah dibuka.

post-image-68314f0c45369.jpeg

“Dia membuka gemboknya,” gumam Vander pelan, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.

Jari-jarinya menyentuh layar, namun ia tidak berniat membalas. Hanya menatap cuitan terakhir dari akun kosong itu:

“Cherry.”

———

📍Kediaman Keluarga Huang – Dalam Kamar Kimberly

Ketukan lembut terdengar di balik pintu kamar. Sesaat kemudian, pintu terbuka perlahan, menampilkan sosok Zee dan Yoona yang masuk dengan langkah tenang namun terukur.

Zee berdiri tegak di ambang pintu, matanya langsung mengarah pada Kimberly yang duduk bersandar di atas ranjang. Wajah pria itu tampak serius, hampir dingin.

“Papa baru dengar kabarnya,” ucap Zee, suaranya terdengar datar namun tegas. “Gimana kondisi kakimu?”

Kimberly menoleh pelan, menatap ayahnya dengan senyum tipis. “Semua baik-baik aja, Pa. Nggak separah yang dikira.”

Zee hanya mengangguk singkat. “Syukurlah kalau begitu,” gumamnya, sebelum berdiri di sisi ranjang selama beberapa detik, seolah menilai sesuatu yang tidak terucap.

Sementara itu, Yoona—selalu menjadi penyeimbang dalam keluarga—menyodorkan mangkuk berisi potongan buah segar.

“Mama bawain buah, sayang. Coba dimakan, ya? Biar cepat pulih,” katanya lembut, senyumnya hangat menenangkan.

“Terima kasih, Ma.” Kimberly tersenyum, kali ini lebih lebar. Ia menerima mangkuk itu dengan kedua tangan, lalu menatap ibunya dengan pandangan yang jelas lebih rileks.

Tak ingin mengganggu lebih lama, Yoona melirik suaminya sejenak. “Aku mau anterin buah juga ke kamar Hayes,” katanya pelan sebelum melangkah keluar lebih dulu.

Zee menatap Kimberly sekali lagi. “Kalau begitu, kamu istirahatlah,” ujarnya pendek.

“Iya, Pa.”

Zee kemudian mengikuti langkah Yoona keluar dari kamar. Namun matanya tertuju pada pintu kamar lain yang terbuka sedikit—kamar Hayes. Ia melihat bayangan Yoona di dalam, meletakkan nampan berisi buah serupa.

Pintu itu tetap terbuka… dan tetap sunyi.

Zee tidak mengatakan apa pun. Sudah hampir seminggu ini, ia memilih diam terhadap Hayes. Tak ada percakapan, bahkan sekadar menanyakan kabar. Ada jarak yang sengaja ia ciptakan—dan ia sendiri tahu alasannya.

Ia hendak menuruni tangga menuju ruang kerja, ketika suara langkah kaki lain terdengar dari arah lorong depan.

“Noah,” gumamnya begitu melihat sosok putra keduanya memasuki rumah. “Kamu sudah pulang?”

“Iya, Pa,” sahut Noah, menurunkan tas kerja dari bahunya. Ia terlihat lelah, tapi tetap sopan.

Zee mendekat sedikit, ekspresinya kembali dingin. “Tolong perhatikan adikmu di perusahaan,” katanya pelan namun tegas.

Noah mengernyit. “Kimberly maksud Papa?”

Zee menghela napas pendek. “Menurutmu siapa lagi?”

Noah tertawa kecil, hambar. Ia menyandarkan satu tangan di dinding, lalu menatap ayahnya dengan ekspresi tak puas. “Dia sudah dewasa, Pa. Apa yang harus diperhatikan? Rasanya… terlalu pilih kasih kalau Hayes tidak pernah mendapatkan perhatian yang sama.”

Seketika suasana menegang.

Zee mematung, tatapan matanya menajam, menyelidik wajah Noah seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik ucapan itu.

Mata mereka saling bertaut. Dingin. Sunyi.

Sampai akhirnya, suara Yoona memecah ketegangan.

“Noah, kamu sudah pulang?” tanyanya sambil keluar dari kamar Hayes, nampan kosong di tangannya.

“Iya, Ma.” Noah menanggapi cepat, tanpa menoleh. “Noah mau istirahat dulu.”

Dengan satu langkah panjang, ia melewati Zee dan Yoona tanpa menunggu balasan. Wajahnya tertutup, ekspresinya sulit ditebak.

Zee mengikutinya dengan pandangan mata tajam hingga Noah masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu rapat.

Yoona berdiri di samping suaminya, menyadari hawa berbeda yang muncul sejak tadi. Ia menyentuh lengan Zee perlahan, mencoba mencairkan suasana.

“Jangan berpikir terlalu jauh… mungkin dia cuma lelah, sayang.”

Zee tak menjawab. Ia hanya menoleh sedikit, matanya tetap terpaku ke arah kamar Noah. Bibirnya mengatup rapat.

Ia tak suka disela.

Dan Yoona tahu itu.


———

Dalam Kamar Noah

Cahaya lampu kuning temaram menyinari ruangan dengan lembut. Begitu pintu tertutup, Noah melemparkan tubuhnya ke sofa panjang di sudut kamar.

Ia menyandarkan kepala, matanya memejam sejenak. Napasnya panjang—seperti menahan sesuatu yang nyaris meledak dari dalam dadanya.

Tangannya mengepal di atas paha.

Ada rasa—campuran antara kesal, lelah, dan getir—yang berputar-putar di dalam dirinya. Rasa yang ingin ia teriakkan, namun tetap ia telan mentah-mentah.

Ia menatap langit-langit, lalu membisikkan satu kalimat dalam diam.

"Sampai kapan Papa akan berpura-pura hanya melihat satu anak?" gumamnya yang terdengar hanya untuk dirinya sendiri.

———

Stevie duduk bersila di atas ranjang, ponsel di genggaman. Layar menyala, menampilkan riwayat percakapannya dengan Vante—yang, sayangnya, berhenti di pesannya terakhir.

Ia menunggu. Lagi.

Sudah lebih dari dua jam sejak ia mengirim pesan, namun tidak ada tanda-tanda balasan. Sekalipun Vander terlihat sudah membaca pesan itu. Stevie menggigit bibir bawahnya, lalu mengetik pesan baru dengan jempol gemetar.

post-image-68314f219db27.jpeg

Pesan itu terkirim. Ia menatapnya beberapa detik, berharap akan segera muncul notifikasi "typing…".

Namun layar tetap diam. Sunyi.

Wajah Stevie terlihat resah. Ia menyandarkan punggung ke dinding, lalu memeluk lututnya.

“Dia... bakal balas chat aku, kan?” gumamnya lirih, seolah ingin meyakinkan diri sendiri bahwa Vante belum benar-benar menjauh. Bahwa ini cuma masalah waktu. Bukan penolakan.

———

📍Apartemen

Tepatnya disisi Vante yang duduk di kursi kerja. Lampu meja menyala lembut, menerangi sebagian wajahnya yang serius menatap layar laptop. Ia mengenakan kaus abu-abu dan celana kain longgar—terlihat nyaman, namun matanya tak memancarkan hal serupa.

Sebuah notifikasi dari ponselnya berbunyi singkat di samping laptop.

Nama Stevie muncul. Lagi.

Vante menoleh sebentar ke layar ponsel, menatap pesan baru itu. Jempolnya sempat mengarah untuk membuka, tapi berhenti di tengah jalan.

Ia menghela napas panjang, lalu membalikkan ponsel, menelungkupkannya di atas meja.

Terlalu berat untuk sekadar mengetik “iya, aku sedang sibuk saat ini.”

Bukan karena Stevie.

Tapi karena dirinya sendiri.

Energinya terkuras, bahkan hanya untuk merespons perhatian yang tulus. Ia tahu, membalas chat Stevie mungkin bisa saja membuka lagi ruang kecil di hati Stevie yang mungkin, gadis itu akan berharap lebih jauh bersama dengan Vander

Dan ia belum siap.

Belum ingin.

Bukan karena Stevie tidak cukup baik.

Tapi karena luka lama itu masih terlalu nyata. Terlalu segar. Seseorang dari masa lalu—yang pernah ia izinkan masuk begitu dalam—telah membuatnya belajar satu hal: cinta bisa menjadi racun, jika datang di waktu yang salah.

Tangannya beralih ke touchpad laptop. Ia mengetik cepat, mencoba tenggelam dalam pekerjaan. Menyibukkan diri. Mengalihkan rasa.

Namun di tengah-tengah halaman spreadsheet yang ia buka, pikirannya melayang.

Ke Stevie. Ke pesan yang belum ia balas. Ke suara lembut gadis itu yang masih ia ingat jelas.

Apartemennya hening, tapi pikirannya gaduh.

Dan untuk malam ini, Vante memilih diam. Membiarkan Stevie menunggu di seberang layar.

Tanpa tahu, bahwa yang ia lawan bukan Stevie… tapi dirinya sendiri.

Tepatnya, Vante tidak benar-benar ada disatu titik keinginan untuk membuka hatinya buat perempuan manapun.

Tentang Stevie.

Tentang mantan calon istrinya.

Dan… tentang perempuan-perempuan lain yang mencoba mendekatinya.

Vante, tidak berniat untuk itu. Karena yang dia tahu, dia mengalami gejolak sulit dihatinya—commitment issue.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Amor Et Tenebrae: 35. Tu es arcani lator
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan