Amor Et Tenebrae: 40. Andrea Hermosa

0
0
Deskripsi

Dan… kabar itu akhirnya sampai ke Ovest Mansion.

Serena bangkit dari duduknya begitu cepat hingga gaun sutranya berkibar pelan di lantai marmer putih. “Apa kau bilang barusan?” tanyanya tajam, menatap lurus ke arah butler tua yang berdiri tenang di ambang pintu. “Melamar siapa?”

Torex, lelaki sepuh dengan postur tegap dan suara berwibawa, tak goyah sedikit pun. Ia membungkuk sedikit, sopan seperti biasa. “Signorina Andrea Hermosa, Signora.”

Untuk sesaat, ruangan itu hening. Hanya detak jam antik di dinding yang terdengar, seperti menertawai keheningan yang mencekam.

Serena menahan napas. Matanya membelalak pelan, dan jari-jarinya mencengkeram tepi kursi. Perasaan campur aduk menyerbu dadanya: terkejut, marah, kecewa—dan di balik semuanya, ketakutan yang perlahan menjalar dari benaknya ke seluruh tubuh.

"Andrea…" gumamnya lirih, seperti tak percaya nama itu keluar dari mulutnya sendiri.

Ia melangkah pelan ke arah jendela, menatap taman mawar yang tengah bermekaran, namun keindahan itu tak mampu menenangkan gejolak dalam dirinya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menolak menangis. Tidak sekarang.

"Bagaimana mungkin Dominic tidak mengatakan apapun kepadaku terlebih dahulu?" suaranya serak, terluka. Ia membalikkan badan, menatap Torex dengan wajah yang sulit dibaca—antara murka dan duka. “Setidaknya… aku pantas tahu sebelum semua orang tahu. Aku ini ibunya.”

Torex hanya menundukkan kepala dalam diam. Ia tahu, kadang lebih bijak membiarkan luka itu mengalir keluar dulu sebelum memberikan jawaban apa pun.

Serena memejamkan mata, mengambil napas panjang, namun kesabarannya semakin terkikis.

“Dan dia memilih gadis itu? Andrea?” Nada suaranya meninggi, sinis, penuh penolakan yang tak bisa lagi ia sembunyikan. “Yang bahkan tak tahu cara duduk di meja makan dengan benar? Yang datang entah dari mana, lalu tiba-tiba—” Ia terdiam sejenak, rahangnya mengeras.

Lalu dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan beracun, ia menambahkan, “Dia bukan bagian dari keluarga ini. Dan dia tak akan pernah bisa menjadi bagian dari keluarga ini.”

Torex menatap majikannya dengan sorot mata sayu namun penuh hormat. Ia tahu, badai baru saja dimulai di Ovest Mansion.

———

Bukan hanya di Ovest Mansion kabar itu menyebar. Di kediaman keluarga Mataelon lainnya—terutama di Nord Mansion—getarannya ikut terasa. Aroma kabar mengejutkan itu melayang hingga menembus dinding-dinding elegan rumah tua bergaya neoklasik itu, menebar ketegangan yang hanya bisa dimaknai oleh darah keluarga.

Di dalam ruang duduk yang luas namun terasa sempit oleh udara penuh kecanggungan, Elleanne duduk bersandar di kursi sofa berlapis kulit krem. Di sisinya, Bellucianne tengah memainkan ujung selendang hitamnya dengan gugup, sementara Jessica—yang lebih tenang namun tak kalah cemas—mengisi sisi lain ruangan dengan keheningan.

Mereka bertiga baru saja mendengar kabar yang mengguncang: Dominic melamar seorang gadis muda—Andrea Hermosa—tanpa mengatakan apa pun kepada anggota tertua keluarga.

Kabar itu dibawa oleh Luke Adav, pria paruh baya yang telah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Mataelon. Dengan wajah tenang dan postur sopan, Luke berdiri di hadapan mereka, seolah dirinya tidak baru saja menjatuhkan bom di tengah-tengah ruangan.

“Kau yakin, Luke? Itu tidak salah dengar?” tanya Elleanne akhirnya, suaranya datar tapi matanya menusuk. Ia ingin mendengar sesuatu yang bisa mematahkan kekhawatirannya—atau setidaknya meragukan kebenaran berita itu.

Luke mengangguk pelan. “Benar, Signora. Benedict sendiri yang menyampaikan langsung pada saya. Dan… Giovane Signora Dominic akan menemui saya untuk mengatur persiapan pernikahannya.”

Elleanne mendesah panjang. Tubuhnya perlahan meluruh ke sandaran sofa, seolah sebagian kekuatan hidupnya tersedot oleh kenyataan baru ini. Ia menatap langit-langit yang tinggi dan kosong, seolah jawaban bisa turun dari sana.

“Pada akhirnya…” gumam Bellucianne dengan lirih, “…Fratellone Jonathan akan digantikan oleh orang luar.” Matanya melirik Elleanne sejenak sebelum menatap kembali tangannya sendiri. “Keluarga Fratellone tidak lagi benar-benar murni berdarah Mataelon.”

Jessica, yang sejak tadi duduk diam di pojok ruangan, hanya menunduk. Ia adalah istri dari kakak lelaki mereka—sosok yang seharusnya menjadi pewaris alami garis keturunan, tapi kini posisinya terancam oleh anak angkat yang bahkan tidak membawa darah yang sama. Meski hatinya dipenuhi dengan tanya, ia tetap menjaga diamnya.

Bellucianne memandang Elleanne lekat-lekat. “Bagaimana ini, Sorella?” tanyanya, nadanya sarat akan beban dan keresahan yang sulit ia redam.

Elleanne tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata, sejenak mencoba menenangkan pikirannya yang berseliweran ke masa lalu. Meski mereka telah menerima kehadiran Dominic sejak bertahun-tahun lalu—anak lelaki yang dibawa masuk oleh Jonathan sendiri dan dirawat layaknya darah daging—tetap saja ada perasaan asing yang sulit dijinakkan.

“Aku tidak tahu,” ucap Elleanne akhirnya dengan suara serak. “Pikiranku benar-benar buntu mendengar kabar ini.”

Ia lalu mengangkat wajahnya, menatap Luke. “Bagaimana dengan reaksi Cognata Serena? Apakah dia tahu?”

Luke mengangguk. “Signora Serena pun terkejut… seperti yang lain. Tidak ada yang menyangka Giovane Signora Dominic akan mengambil langkah seperti ini, secepat ini.”

Elleanne tersenyum miris, lalu berkata pelan, “Ah… aku pikir memang sejak awal Dominic tidak benar-benar menerima keberadaan Serena. Anak itu… dia hanya patuh pada Charlize, meskipun Fratellone telah lama bercerai dengannya.”

Jessica yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara, suaranya lembut tapi penuh makna. “Itu karena Cognata Charlize yang membawanya masuk ke keluarga ini… bukan begitu, Cognata?”

Elleanne menoleh, menatap Jessica lama. Ada keraguan dalam matanya. Sejujurnya, ia sendiri tidak sepenuhnya yakin tentang bagaimana Jonathan bisa membawa anak itu masuk—begitu saja, tanpa penjelasan yang utuh, tanpa silsilah yang jelas.

“Pernikahan mereka hanya bertahan lima tahun…” gumam Elleanne pelan, lebih pada dirinya sendiri. “Bagaimana mungkin anak itu hanya tunduk pada Charlize?”

Ia lalu mendesah lagi, matanya berkabut. “Tapi… memang benar dia juga tak pernah menghargai Serena sebagai istri kedua padre-nya. Ada batas yang tak pernah ia lewati untuk mendekatinya.”

Untuk sesaat, ruang duduk itu sunyi. Tiga perempuan dan seorang pelayan lama, terjebak dalam pusaran sejarah keluarga yang pelik—dan kini terguncang oleh langkah berani anak lelaki yang tidak mereka pahami sepenuhnya.

———

Bukan hanya keluarga Mataelon yang diguncang oleh kabar mengejutkan itu.

Di tempat lain, Sofia, perempuan berparas memesona dengan ambisi yang menyala di balik setiap langkahnya, menerima kabar itu dalam malam yang tak bersahabat. Langit gelap, angin menusuk, dan di dalam ruang privat yang hangat, api amarah justru menyala lebih besar dari lilin di meja.

Kabar itu datang seperti tamparan. Dominic akan menikah. Dan bukan dengan dirinya—bukan dengan perempuan yang selama ini merasa paling pantas berdiri di sisinya. Yang membuatnya lebih gila adalah, nama sang calon istri bahkan asing di telinganya. Seseorang yang tidak pernah terlihat, tidak pernah disebut, bahkan tidak pernah muncul dalam lingkaran pengaruh keluarga.

Sofia berdiri membelakangi jendela, siluetnya tercetak samar oleh cahaya lampu gantung di belakangnya. Di hadapannya, Damian berdiri dengan postur santai, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, wajahnya datar dan dingin seperti malam itu.

Mata Sofia menyipit, penuh amarah yang tertahan.

“Kamu pasti tahu kenapa aku memanggilmu malam ini, Damian,” katanya, suaranya pelan namun mengandung tekanan yang tajam.

Damian menaikkan sebelah alis. “Tentu. kau bicara soal Dominic.” Ia bersandar sedikit ke sisi meja, suaranya tetap tenang, seperti sedang membahas hal sepele. “Dia akan menikah.”

Pernyataan itu menyulut api di dada Sofia.

Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, kuku-kukunya menancap ke telapak tangan, tapi ia tak peduli.

“Dan kau tidak berpikir untuk memberitahuku?” suaranya meninggi, emosi menelanjangi kontrol yang biasanya ia banggakan. “Tentang siapa perempuan itu? Tentang siapa yang akan menjadi istrinya, huh?”

Damian menoleh, menatapnya dengan senyum miring yang tajam seperti bilah pisau.

“Itu bukan wilayah saya, Sofia,” ucapnya santai. “Dan jelas bukan urusan saya untuk menyampaikan kabar pribadi dari dalam keluarga Mataelon kepadamu.”

Sofia maju selangkah, tetapi Damian lebih cepat. Ia berdiri dan mendekatinya, langkahnya tenang, terukur, tapi penuh ancaman yang samar. Sampai akhirnya, hanya beberapa inci memisahkan tubuh mereka.

Ia menunduk sedikit, menatap lurus ke dalam mata Sofia, dan berbicara dengan nada rendah yang nyaris seperti desisan.

“Kali ini,” katanya pelan, “saya akan membiarkanmu menikmati rasa sakitmu dalam diam. Anggap ini… balasan kecil.”

Sofia menahan napas. Ia tahu tatapan itu. Tatapan yang tak sekadar mengintimidasi—melainkan peringatan.

Damian menyeringai tipis, lalu menambahkan, “Dan jika kau berani lagi menyelipkan seseorang ke dalam sistem kami untuk mengorek informasi… saya sendiri yang akan bicara pada fratellone untuk memberimu pelajaran. Kau terlalu sering bermain api, Sofia. Dan keluarga Mataelon… tidak lupa.”

Diam-diam, Sofia menggigit bibir bawahnya. Dada sesak, bukan karena takut, tapi karena amarah dan kecemburuan yang mendidih. Tapi ia tidak mundur. Tidak sekarang.

Mata mereka saling bertaut—dua kekuatan yang berlawanan, sama-sama dingin, sama-sama berbahaya.

———

DOOORRR!!

Suara tembakan memecah udara, nyaring dan mengejutkan, menggema di lorong bawah tanah Ovest Mansion yang sunyi dan pengap. Darah menyembur, mengenai dinding dingin yang kini terciprat merah.

Benedict, dengan ekspresi datar dan mata sekeras batu, menurunkan pistolnya perlahan. Pria di hadapannya ambruk tanpa sempat mengeluarkan satu kata terakhir pun—pengkhianat yang berani membocorkan informasi dari dalam keluarga Mataelon.

Di belakang mereka, Dominic berdiri tenang. Wajahnya tak menunjukkan emosi. Hanya dingin—dingin yang menakutkan. Tubuhnya tegak, berbalut setelan hitam yang rapi tanpa noda, seolah ia tak pernah menyentuh kekerasan yang mengelilinginya.

Dan di belakang Dominic, berdirilah Stephanie. Diam, tapi tidak tenang.

Matanya tertuju pada punggung pria itu—Dominic Andreas Mataelon. Pria yang dikenal tanpa belas kasih, pemilik wilayah kekuasaan yang tidak segan mengorbankan siapa pun demi menjaga nama keluarganya.

Dominic memutar sedikit wajahnya, menatap tubuh tergeletak di lantai lalu berkata, dengan nada dingin yang mengiris:

“Jangan sampai hal seperti ini terulang kembali.”

Suara itu tak meninggi, tapi cukup untuk mengguncang siapa pun yang mendengarnya.

Stephanie menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mendadak menyerang.

“Baik, bos,” ucapnya singkat, dengan kepala sedikit tertunduk. Ada ketakutan dalam suaranya, tapi juga kekaguman yang tak bisa ia bantah.

Dominic melangkah pergi dari tempat kejadian tanpa menoleh lagi, dan Stephanie dengan refleks mengikuti di belakangnya, seperti bayangan yang setia tapi penuh pertanyaan.

Langkah mereka menyusuri koridor panjang yang hening, hanya gema sepatu kulit Dominic yang terdengar. Di tengah keheningan itulah, pertanyaan-pertanyaan muncul dalam hati Stephanie—semuanya tanpa jawaban.

Bagaimana mungkin… pria seperti Dominic, yang sedingin es, sekejam monster dalam legenda bawah tanah, bisa memiliki sisi lain—sisi yang begitu lembut—pada seorang perempuan asing yang baru ia kenal tak lebih dari satu tahun terakhir?

Stephanie memejamkan mata sesaat, mengingat kabar yang bahkan membuat jantungnya nyaris berhenti.

Dominic melamar gadis itu.

Andrea Hermosa. Seorang gadis biasa. Tak memiliki silsilah mentereng, tak berasal dari keluarga berpengaruh, bahkan tak memiliki satu pun alasan strategis untuk menjadi bagian dari keluarga Mataelon.

Namun Dominic... memilihnya.

Bahkan cara Dominic memperlakukan Andrea bukanlah cara seorang mafia memperlakukan wanita. Ia menjaga, melindungi, memperhatikan. Mata dingin itu bisa melunak saat melihat gadis itu. Dan suara yang biasanya terdengar seperti perintah, bisa berubah menjadi nada tenang, penuh kelembutan yang belum pernah Stephanie dengar sebelumnya.

Dominic yang ini… bukan Dominic yang ia kenal.

Namun ada satu orang yang tahu lebih banyak dari siapa pun.

Benedict.

Pria itu tetap diam, seperti bayangan yang tak pernah berbicara. Hanya dia satu-satunya saksi perjalanan Dominic menuju kehidupan baru—menuju Andrea Hermosa.

Dan seperti perintah langsung dari Dominic, Benedict menyimpan semuanya… dalam diam.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya My Sugar Boyfriend (Re Writing) - 17. True Declaration of Love
2
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan