Terjebak di Rumah Bekas Pesugihan

0
0
Deskripsi

Pak Abdul dan Bu Aminah berpindah-pindah rumah. Agar Arumi, putri mereka tak diganggu oleh makhluk tak kasat mata. Namun, kepindahan mereka yang ketiga kalinya justru, membuat pak Abdul dan keluarganya terjebak bahaya di rumah bekas pesugihan yang mereka beli. 



 

Selain rumah mereka, ada juga rumah kosong dan sumur tua yang terbengkalai puluhan tahun silam. Lubang besar itu bekas tragedi pembunuhan para korban untuk dijadikan tumbal dan konon, arwah mereka terjebak di dalam sumur itu.



 

"Biarkan kami...

Rumah Baru 




 

"Gimana ini, Pak? Arumi tidak sembuh-sembuh juga," keluh ibuku sambil mengaduk daun singkong di dalam panci yang sedang dimasak. Namanya Siti Aminah wanita berusia empat puluh tahun. Wajahnya kusam karena terbakar terik matahari. Kesehariannya dihabiskan untuk bekerja di sawah.



 

"Sabar, Bu. Berdoa saja biar Arumi cepat sembuh." Bapak sambil menggulung kain sarung lusuhnya hingga ke atas perutnya yang rata. Kemudian ia mengambil ubi rebus yang masih ngebul di atas piring. Laki-laki bertubuh kurus itu adalah bapakku. Orang memanggilnya, Pak Abdul. Bapak sedang duduk di kursi kayu berukuran panjang.



 

Oh, ya. Kenalkan, namaku Eka Arumi. Adikku sudah lama meninggal. Aku biasa dipanggil Rumi atau Arum. Umurku saat ini memasuki dua puluh satu tahun. Kata orang aku cantik, tinggi dan berisi. Sayangnya, di umurku sekarang masih menyandang status jomblo akut. Lagian ya, mana ada laki-laki yang mau sama aku? Mereka menghindari bahkan, mereka menganggap diriku ini seperti orang gila. Yap, aku suka berbicara sendiri. Bukan tanpa alasan. Aku biasa melihat 'mereka' wajarlah, dibilang gila.



 

Aku dan kedua orang tua tinggal di rumah kedua. Karena rumah sebelumnya dijual dan pindah ke rumah baru dengan harapan aku sembuh. Dan dijauhkan dari gangguan dedemit.


 

Sampai sekarang belum juga sembuh. Segelintir orang menyebutku anak indigo padahal bukan. Hanya kebetulan saja bisa melihat 'mereka' dan kata orang indigo itu memiliki keistimewaan. Kata siapa? Justru 'mereka' menggangguku. Untungnya, beberapa tahun belakangan interaksi antara makhluk halus agak berkurang.



 

Sekarang kedua orangtuaku berencana pindah lagi. 



 

"Pak … kita pindah saja. Semoga pindah ini yang terakhir," ucap ibuku penuh harap. Kedua netranya terlihat berbinar-binar.



 

"Uang dari mana, Bu? Lagian, mau pindah kemana lagi. Bapak sudah betah disini." Bapak sambil mengunyah ubi. Sesekali meniupkan ubi yang dipegangnya.


 

Ibu pindah posisi dan menepuk pundak Bapak.



 

"Jual saja sepetak sawah kita yang disana," ujar Ibu memberi ide. Ibu berjalan lagi ke arah tungku dapur. Ia berjongkok dan tangannya mendorong kayu bakar agar apinya menyala.



 

"Baiklah. Bapak setuju." Bapak berdiri. "Ini pindah kita yang terakhir." 



 

"Iya, Pak." Senyum Ibu mengembang di wajahnya.



 

Aku duduk di bangku kecil sambil ngulek sambal untuk teman daun singkong nanti. Disampingku ada Luna gadis tanpa tangan dan berwajah hancur. Bajunya berlumuran darah yang berasal dari wajah rusaknya. Tenang kok, dia biasanya terlihat cantik juga.



 

*

*

*


 

Dua Minggu kemudian sawah Bapak laku terjual. Dan Ibu juga mendapatkan informasi bakal rumah yang akan dibeli. Harganya murah uang sisa penjualan sawah masih tersisa banyak.



 

"Mau sampai kapan, Bu? Pindah-pindah terus!" ketusku. Sambil menggendong tas ransel. Ya, hari ini kami pindah. Lagi dan lagi. Membosankan!



 

"Sampai kamu sembuh dan dapat jodoh." Jawaban Ibu datar sedatar jalan raya. 


 

Kenapa sih, Bu? Pusing mikirin jodoh. Ntar juga datang sendiri kan. 



 

*

*

*


 

Pukul lima subuh minibus yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah yang lumayan besar. 


 

"Apa ini rumah baruku?" tanyaku dalam hati. Kedua netraku memandang bangunan rumah tersebut dari dalam kaca mobil. Ada dua perempuan dan satu laki-laki. 



 

"Turun, Nduk. Sudah sampai!" perinta Bapak. 



 

Aku menoleh ke sumber suara. Bapak berdiri di depan pintu mobil yang sudah terbuka. Aku enggan keluar, kuseret bobot ini dengan malas. 



 

Kini aku berdiri di depan halaman luas rumah besar itu. Rumah bercat warna telur asin. Sepertinya yang punya rumah baru saja mengecat ulang warnanya. Jelas tertinggal aroma catnya hingga menusuk hidungku. Hidungku juga menangkap bau aroma lumut dan anyir khas rumah kosong. Mungkin rumah ini dibiarkan lama kosong.



 

Ibu dan Bapak tengah bercengkrama dengan mantan pemilik rumah ini. Ceilah! Mantan. Kulihat wanita bergaun merah cerah nampak berdiri sendiri di sudut ujung teras. Kedua matanya menatap tajam.



 

Mataku menyapu sekeliling rumah dan berniat menghampiri wanita muda itu. Siapa tahu bisa jadi teman.



 

"Mbak," sapaku seraya menghampirinya.



 

"Rum! Sini." Suara Ibu membuatku kaget dan terpaksa menoleh ke arahnya. 



 

Aku urungkan berkenalan dengan gadis itu. Aku pun, menoleh ke arahnya. 



 

"Astaghfirullah! Kemana perginya?" tanyaku dalam hati. Kok, mendadak hilang? Dia terbang? Atau loncat? 



 

Rumah berukuran besar ini telah menyimpan banyak pertanyaan. Coba dipikir. Eh, nggak usahlah! Kalian baca aja.



 

Rumah besar dan sebagus ini dijual murah? Ada empat kamar, dapur, dua kamar mandi, ruang keluarga, ruang tengah, dan terakhir ruang depan. Wow, kan!



 

Tiga kamar bersebelahan dan satu kamar terpisah. Pintu kamarnya sulit dibuka masih tergembok.



 

"Huft!" Kubuang napas dengan kasar. Debu menempel di mana-mana. Pasti bakalan capek.



 

Kakiku terus berjalan. Dan aku tertarik menuju ruang paling belakang. Membuka grendel pintu. Kubuka daun pintu yang sedikit rapuh itu lebar-lebar. Angin menerpa wajahku dengan lembut. Masih tercium aroma embun pagi. 


 

Rupanya rumah ini dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Aku penasaran. Berjalan beberapa meter, ada sebuah batu besar di pojok. Perlahan aku naik dan berdiri di atasnya. Tanganku menggapai tembok untuk berpegang. 



 

Kulihat ada sebuah rumah kosong berukuran besar juga. Diperkirakan jaraknya antara rumahku sekitar 50 meteran. Bangunan rumah dikelilingi semak belukar juga ilalang yang tinggi satu meter. Ada tiga pohon beringin posisi setengah lingkaran. Satu lagi, pohon waru. Daunnya tumbuh lebat sekali. Ih, serem. Bulu kuduk mendadak berdiri semua. 



 

Aku bergeser ke kanan. Disana ada sebuah sumur yang tak layak pakai. Sumur tua. Diapit pohon bambu. Tiba-tiba, angin berhembus di belakang tengkuk. Membangunkan bulu-bulu halus tubuhku. Cepat-cepat merapatkan jaket berwarna coklat ke tubuhku. 



 

"Serem amat ini tempat," gumamku. 



 

Aku berniat menyudahi berkeliling menurunkan satu kaki dari batu. Kemudian disusul kaki kiriku. Ketika tubuhku berbalik seseorang menepuk bahuku kencang.



 

"Nengok nggak, ya? Jangan bercanda deh, masih pagi." 



 

Aku menoleh.



 

"Aaaa!" teriakku. 


 

Wajah seorang bocah tanpa bola mata tepat di wajahku.



 

Alamak! Masih pagi udah nongol aja. Aku tersungkur.



 

"Ada apa, Rum?" tanya Bapak. Dia berdiri di depan pintu.




 

"Nggak ada apa-apa, Pak. Rumi jatuh," kataku berbohong.



 

Bapak menggeleng.



 

"Kamu ada-ada saja. Cepat bantu Ibu beresin barang. Nanti sore kita nyekar!" ajak Bapak.



 

Aku berdiri sambil meringis.



 

"Baik, Pak." 


 

Sial! Kemana perginya itu bocah. Iseng banget dah!




 

Tiga hari menjelang puasa. Seperti kebiasaan orang-orang pada umumnya. Ke kuburan untuk nyekar mengirim doa dan membersihkan kuburan.


 

Aku segera masuk, satu langkah kaki di ambang pintu.



 

"Tolong …."



 

Suara orang berbisik lirih ke telingaku. Aku terdiam. Menajamkan pendengaran. Untuk memastikan orang atau dedemit? 



 

"Tolong aku … buka tali ini," ujar orang itu. 



 

"Menoleh atau jangan? Nanti kaya tadi dibikin kaget," kataku dalam hati.



 

"Tolong lepaskan tali ini."



 

Tali? Tali pocong maksudnya. Hih. Ogah!



 

Aku bergegas masuk dengan membanting pintu.



 

Beh, ini jantung kaya lagi dipompa naik-turun. Jedag-jedug gitu.



 

Sebenarnya, masih penasaran sama tempat-tempat lainnya. Pengen ke kamar mandi di pojok sana. Tapi ….



 

"Tolong … buka tali ini." Suara itu lagi?



 

Kenapa suaranya ada di dalam kamar mandi itu? Apa jangan-jangan ada yang terikat disana.



 

"Buka atau jangan ya?"







 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Terjebak di Rumah Bekas Pesugihan
0
0
Bab 2 dan 3
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan