Guilty as Sin (Part 22: Claimed)

5
0
Deskripsi

Part 22: Claimed

Asa tak pernah tahu, bahwa seorang Gavin Manggala—dengan sikap dinginnya, perilaku yang sulit ditebak, dan hati sekeras batu yang enggan bicara, ternyata mampu merangkai kalimat seindah itu.

Asa yakin dia adalah orang paling beruntung sekarang.
 

Pagi menyingsing, Asa mengeliat pelan tak ingin membangunkan tiga teman sekamarnya. Dia duduk sebentar, menatapi diri di pantulan cermin, dan sedetik kemudian pipinya menghangat, Asa mengulum senyum saat mengingat kejadian semalam. Dia menangkup wajah, tak kuasa menahan bahagia kala ini adalah pagi pertama sebagai kekasih Gavin Manggala.

Masih menunjukkan pukul enam, Asa bergegas membersihkan diri untuk masak di dapur. Dia sempat mengecek ponsel, berharap ada notifikasi pesan masuk dari seseorang yang ia inginkan. Namun, nilih, Asa berpikir keras apakah dia harus mengirim pesan duluan? Atau tidak perlu? Ah, mungkin Gavin masih tidur. 


Asa menggeleng sendiri, memijat pelipis tak ayal mengapa ini sangat memusingkan. Namun, daripada bergelut, Asa memilih ke dapur.

Kenop pintu ia raih dan ditariknya hingga terbuka, tetapi kini dia terpaku pada tubuh tinggi besar tak jauh darinya. 


Asa menelan ludah melihat keberadaan Gavin, begitu mata mereka bertemu entah mengapa situasinya menjadi sangat kaku. Semula bersandar pada tembok, kini lelaki berkaos putih itu menegakkan badan.

"Hai," sapanya, mengusap belakang leher saat Asa melangkah dekat, malu-malu Gavin mesam-mesem yang sangat menular. "Selamat pagi."

"Pagi." Asa malah terpanah, menampaki Gavin di depan dengan rambut lembab, wajah berseri dan segar sehabis mandi. Dia bahkan bisa mencium wanginya.

"Gimana tidurnya?" tanya Gavin memutuskan lamunan Asa.

"Nyenyak. Kamu?"


"Pasti." Gavin tersenyum mengajak Asa melakukan hal yang sama.

Asa berusaha menahan debaran jantung yang cepat, takut sampai terdengar oleh Gavin. Terutama sewaktu Asa merasakan jemarinya diraih lembut dan tangan besar itu melengkapi ruasnya.

Oh, Asa harus bisa mengendalikan diri untuk tidak pingsan saat ini juga. 


Gavin menuntun Asa berjalan menuju dapur. Gadis itu sampai harus sedikit mendongak untuk melihat ekspresi Gavin yang tak padam. Senyumnya terus terangkat tanpa mau turun. 

Asa pikir kesenangan mereka sekarang tak layak bila mengingat kejadian semalam, maka ia bertanya. "Kamu udah ngomong sama Erza?"


"Apa?" Gavin menoleh, seakan tak paham. 

"Minta maaf," cicit Asa agak segan. "Semalam pipinya langsung ungu."


“Udah.” 

Asa mengerjap, penuh kagum. “Kamu udah minta maaf?” 

“Udah. Aku juga udah masak nasi, biar kamu bisa langsung makan.” 

Mendengar itu membuat Asa sangat lega, beban pikiran itu lekas menghilang di pikirannya.

"Kita kan memang mau masak nasi goreng buat yang lain," ujar Asa melepas genggaman saat tiba di dapur. "Jingga sama Rindu kayaknya masih belum bangun, kita butuh masak di dua ricecooker—" Suara Asa menggantung lantaran melihat dua ricecooker sudah matang.

"Sudah." Gavin menyahut, tak terhitung seberapa senang Asa kali ini.


"Thank you..." 


"Anything for you, now what can i help?" Gavin bersandar pada meja dapur, tak mau jauh dari gadisnya.

“Mau masak duluan aja?”

"Masak buat aku doang boleh?" pinta Gavin, kelopak matanya naik, seperti mengusulkan permohonan besar. “Aku mau coba masakan kamu, gantian, waktu itu aku buatin kamu sop.”

Asa memalingkan pandangan, hampir terbuai oleh sihir itu. Dia segera mengambil bahan-bahan untuk segera masak. “Kamu kupasin bawang, ya, yang banyak. Bikinnya sekalian buat yang lain.”

"Nanti orang-orang nyobain masakan kamu secara percuma? Kamu gak adil, Asa!" protes lelaki itu dengan raut menekuk. 


"Dih lebay!" timpal Asa tanpa membatalkan suruhan dengan mengasongkan sekantong bawang.

 

"Biarin." Walau bibir mengerucut, Gavin hanya bisa menurut.

Empat puluh menit setelah itu, teman-teman Gavin bermunculan dan beberapa duduk di meja makan. Mereka sengaja memberikan waktu Gavin dan Asa berdua di dapur.
 

"Hp siapa si tu yang bunyi berisik banget," cerocos Adam sewaktu terdengar nada dering telepon di lantai atas. 


Rehan yang baru saja pemanasan di luar pun terkekeh, lekas menaiki tangga. “HP gue itu, tumben amat ada yang nelpon pagi-pagi apa emak gua kangen.”
 

Sementara itu Gavin dan Asa menyiapkan piring di meja makan. Lelaki itu pun membuka ponselnya.

"LO NGAPAIN NELEPON GUE GAVIN MONYET?!" teriak Rehan di seberang telepon.

"Tolong ambil charger gue," titah Gavin tanpa dosa.

“GAVIN ANJ-”

Belum sempat mengumpat Gavin langsung mematikan panggilan, alhasil semua terkekeh atas kelakuan Gavin yang benar-benar di luar nalar.

"Asik enak banget," puji Guntur ketika mencicipi nasi goreng yang telah siap disantap di meja.


Gavin tersenyum miring. “Bikinan cewek gue.”

"Udah jadian?" Itu pertanyaan Ali yang diberikan anggukan mantap. “Ciailahh.. harus jotos orang dulu.”

"Hubungan lo makan tumbal jir ngeri gue," sambung Adam meledek."

Gavin terdiam menatap runcuing, kelak dia ambil piring kedua temannya. “Lo berdua gak makan.”

"Gav, bercanda itu..." timpal Asa, memukul bahunya pelan sambil tertawa kecil.

 

Ah, mendengar itu saja Gavin tak kuasa lagi, dia kembali meletakkan piring itu ke asalnya sambil mengulum senyum. “Iya.”

"Dih ngeri banget." Ali bergidik melihat perubahan kontras dari sikapnya. "Asa kita berlindung sama lo ya sekarang kalo si Gavin tantrum. Lo harus tau hampir setiap hari dia galauin lo, sekarang beda banget tuh sumringah."

 

Asa bisa melihatnya dengan jelas.

 

"Bener-bener anjir, gue capek ngadepin lo," keluh Regan benar-benar lesu.

"Istirahat," kata Gavin sembari menerima chargernya. “Thank you.”

Adam cengengesan, senang sekali Rehan menderita. "Kasih dia minum sama LC-nya, Gav." 

"Sesat bangsat," tukas Rehan sambil sibuk mengambil nasi.


Mendengar itu, Asa melirik Gavin. "Kamu suka kayak gitu?" Ia amat penasaran dengan raut yang panik. 

Gavin menggeleng singkat sambil mendengus geli, rasanya senang bila dikhawatirkan. "Nggak, Tessalia Anand. Cuma temen-temen aku aja yang kurang iman."

"Bener sih tapi." Rehan menghembus napas remeh seraya mengunyah. “Itu kan karena lo hampir gak demen cewek kalo gak ketemu Asa.”

Semua terbahak-bahak layak puas akan itu, Asa hampir tersedak karena tawanya, membuat Gavin telak mendesis sebal, "Asal ngomong lo." 

"Tapi Gavin sekarang jadi agak bener nih." Itu pendapat Guntur, alisnya terangkat berkali-kali.

"Ya, karena cewek guelah." Gavin mendesis bangga.

“Kenapa bisa dideskripsikan sosok yang merubah lo ini yang sudah menjalani status sebagai cewek lo.”

"Gue gak mau lo ngebayangin, cuma gue yang boleh tau," tekan Gavin, tak sopan menjadikan Asa terpaku akan tuturnya. Dan semua orang bisa tahu bahwa Gavin terlalu jatuh. “Kalau lo mau tau, inget aja anak-anak panti maunya main sama Asa. Anak panti aja kepicut masa gue ngga? Jadi gue gak mau lo kepicut juga.”

"Lah gue kepicut dari lama keles..." 

"Ya terserah yang penting Asanya sama gue," tandas Gavin tak lagi menghiraukan, fokus menikmati masakan Asa yang terbukti lezat, atau hanya karena dia menyukai pemasaknya.

Asa tak bisa berhenti menatapnya, dia pikir sekarang kalimat, penuturan, dan tindakan Gavin padanya adalah sesuatu yang sangat ia butuhkan selamanya.

Gavin menyanjung Asa di depan teman-teman, menceritakan hal-hal baik tentangnya tanpa berpikir, seperti memang sudah mengalir dan menetap di memorinya. 

Apa yang lebih menyenangkan dari ini?

Asa sadar Gavin selalu memperhatikannya, mulai dari hal kecil, hingga besar. Seperti halnya ketika semua sudah bersiap untuk pulang, Gavin meminta Asa hanya diam di mobilnya tanpa harus membantu dia mengangkat barang, menurut Asa itu berlebihan, tetapi Asa menghargai keinginanya.

Kini Asa menurut ketika Gavin membantunya memasang sabuk pengaman. Ketampanan Gavin selalu membutakan Asa pada kenyataan yang lain. Mengapa perasaan Asa berubah sesak? Pikirannya berkelana mencari jawaban yang tak bisa pertanyaan yang tak ada.

"Gav," panggil Asa lembut.

"Hm?" Gavin menyandarkan siku pada atas mobil.

 

"Aku dengar semua apa yang kamu bilang ke Rehan semalam.  Aku gak nyangka kamu sepeduli itu sama aku," ungkap Asa meski sempat ragu untuk mengutarakannya, lelaki itu diam, mulai mengkerling mata Asa dengan perasaan malu. Namun, gadis itu tersenyum getir dan anehnya matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu tau aku kagum ke kamu dari dulu, tapi aku gak tau rasanya kalau dipeduliin sama orang yang kita kagum bakal seluar biasa ini. Andai aku gak pernah confess ... kamu bakal sadar gak aku kagum sama kamu? Dan mungkin kita gak akan berakhir kayak gini."


Gavin mencari-cari makna dari pertanyaan itu. Asa akan selalu menjadi dirinya, seorang gadis yang terlalu berpikir jauh bahkan yang tak pernah terjadi sekali pun. 

"Gak ada yang tahu, tapi yang pasti kita tetap berakhir seperti ini," jawab Gavin, tetapi meredupnya kelopak mata itu membuat Gavin ingin berujar panjang, menyentuh halusnya rambut panjangnya. "Yang perlu kamu tahu, aku selalu memperhatikan, Asa. Tanpa tahu apa tujuannya. Aku masih ingat berantakannya rambut kamu, wajah tanpa polesan, sweater abu, dan celana kulot hitam. Sibuk dengan laptop, sampai alisnya berkerut, kelimpungan ngurusin acara gigs waktu itu. Awalnya cuma iseng ikut Guntur ke office Lingkar Mahasiswa, tapi karena penasaran aku tanya Guntur, siapa sih cewek kayak belum mandi itu."


"Ih!" Asa mencubit perut Gavin yang disambut gelak sebelum lelaki itu melengkapi jemarinya.

"Guntur bilang kamu anak baru netes di acara kayak gituan, dan di sanalah aku mau bantu," tandas Gavin, telak menubuhkan mata berbinar di netra, tetapi mungkin masih belum cukup.

“Bohong.”

"Panggil Guntur dan tanya, mumpung masih hidup orangnya. Don't thinking something never happend," pinta Gavin pada akhirnya, menggambil alih kelingking Asa untuk berpaut dengannya. “Apa pun yang terjadi, in the end i will haunt you. I swear.

Jika semua itu benar, maka Asa pastikan Tuhan memang sangat baik. Jika selama ini mereka saling terkait, tetapi hanya belum menemukan waktu yang tepat, maka Asa akan selalu waktu saat ini berjalan lebih lama.


Asa makin resah tatkala Gavin melabuhkan bibir di punggung tangannya, memberikan arti bahwa dia berharga, menguci Asa pada rasa yang tak ingin ia lewatkan sedetikpun. Asa melirik ke sekitar, lalu menelan ludah. Tak hilang gugup, Asa mati-matian memberanikan diri hingga kemudian ia sedikit bangkit, mengecup lembut pipi Gavin.

Telak. Lelaki itu mematung, seperti tak ada lagi jiwa di raga. Melihat Asa kembali merapatkan duduk, menunduk dengan wajah memerah. Membangkitkan letupan gila yang tak terkendali di dada.

Sampai akhirnya Gavin menyadari: dunianya telah berubah. Kini, hanya ada Tessalia Anand di dalamnya. Hanya dia. Tak lebih.


___


Gavin terus melirik Asa yang tertidur di sampingnya. Terlalu cantik untuk dunia ini, terlalu damai untuk dibagi.

Teman-temannya terlelap di belakang—mungkin karena begadang. Itu bagus. Tak ada yang mengganggu saat ia menikmati pemandangan paling berharga dalam hidupnya.

 

Sebelum tertidur, Asa sempat meminta izin padanya, dan Gavin tahu betul, lelah itu nyata di wajahnya—dua hari terakhir mereka penuh kegiatan. Tapi justru karena itu, Gavin bisa menikmati momen langka ini, memandangi gadisnya.


Hanya miliknya. Dan Gavin tak pernah berniat membiarkan siapa pun mengambilnya.

"Udah cukup. Fokusnya ke depan, matanya liat jalanan," kata Rehan sambil menyikut pelan, nada suaranya setengah menggoda, setengah mengingatkan.

Gavin lekas mengubah atensi, tak tahu bahwa ada yang mengawasi. "Gue fokus."


Rehan yang ada di bangku tengah mendengus tak percaya. “Fokus liatin Asa? Iya gue tau cewek lo cantik, tapi inget lo bawa lima nyawa sekarang, enam sama punya lo.”

Gavin butuh waktu yang lama untuk menahan senyuman yang kemudian terbit melewati batas maksimal. "Thanks udah bikin Asa yakin buat confess ke gue, gue bersyukur itu terjadi."

“Iya lo harus ingat jasa gue.”

Gavin hanya memberikan decakan, kembali fokus pada rasa yang membuatnya ingin tersenyum sepanjang perjalanan.

Memakan waktu hingga tiga jam lantaran jalanan yang macet. Namun, perjalanan yang bisa menjadi suntuk itu tergantikan oleh Asa yang setelah bangun dari tidurnya menemani Gavin bernyanyi tanpa menganggu yang lain. 


Setelah menurunkan teman-teman yang di kampus dan berpamitan, Gavin tentu mengantar Asa pulang. Ketika mobil terparkir, Asa menyusul Gavin yang sudah membuka bagasi.

"Aku bantu kamu beresin barang." Gavin lebih dulu meraih tas Asa.

"Kamu nggak capek?"

“Segini? Capek?”

"Tapi aku bisa sendiri kok," tolak Asa berupaya menarik tasnya.

"Asa, Aku pacar kamu," tekan Gavin, Asa terperangah sendiri mendengarnya."Let me, okay?"


Tanpa mengiyakan Gavin membawakan semua barang Asa hingga ke depan kamar, gadis itu sibuk membuka kunci dan ketika selesai, Asa masuk lebih dulu, menyalakan lampu dan pergi ke toilet lebih dulu. Meninggalkan Gavin yang kini terpacu pada satu bunga palsu yang terletak di meja belajar. 


Gavin tersimpul, senang Asa tak membuangnya meski bunga yang lain sudah mati. Kini perhatiannya terparti pada satu buku tebal yang terletak di sana, mendorongnya dengan lancang untuk membuka. Namun, bukan sebuah tulisan yang ia dapat, melainkan bunga mawar kering yang ada di setiap lembar, sampai ia hitung jumlahnya berakhir di empat puluh sembilan. 

"Gav!" jerit Asa. Dia terbelalak, cepat-cepat menghampirinya, merebut buku diary itu dengan cemas.

"Kamu simpan ini, Asa?" tanya Gavin.

“Ah, itu ... ini. Anu ehm ... aku nyoba-nyoba aja buat itu, iseng aja ternyata bagus ya udah aku simpen, jadi aku—”

Asa mengatup bibir tatkala Gavin mencium bibirnya lalu tergelak pelan.  Asa tersipu, kedapatan mengabadikan setiap bunga yang diberinya. Namun, perasaan itu berubah seiring Gavin meraih lengan dan menariknya hingga bertubrukkan.

"I know you want me that bad," lirih Gavin, memainkan ibu jarinya di rahang Asa. "Sekarang apa pun itu, kamu harus utarakan, aku pun begitu. Cause you're mine."

"Jadi aku ini kayak barang gitu, ya? Dijadiin hak milik." Asa menatapnya, nada suaranya menggigit.

"Bukan," ralatnya, merengkuh pinggang itu lebih posesif, lebih menguasai. "Bukan soal hak milik, tapi semua bagian dari kehidupan kamu adalah bagian dari aku, Asa."

Asa tak pernah tahu, bahwa seorang Gavin Manggala—dengan sikap dinginnya, perilaku yang sulit ditebak, dan hati sekeras batu yang enggan bicara, ternyata mampu merangkai kalimat seindah itu.

Asa yakin dia adalah orang paling beruntung sekarang.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Guilty as Sin (Part 24: Surabaya)
3
0
Berikan padaku, suruhnya, tetapi tatkala Asa mengeratkan ponsel dan menaruhnya di belakang, Gavin tak segan menariknya kasar.“Gav... Aku—”Terlambat. Gavin sudah menatap layar yang menyala. Riwayat panggilan masih terpampang jelas: Darren Athasheno – 1 menit 51 detik.Ia terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. Pahit.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan