
MATAHARI telah terbenam di ufuk barat, meninggalkan rantai-rantai keserakahan mahluk bumi. Angin malam yang sejuk mulai berhembus, membawa aroma kepedihan makhluk bumi yang tertindas. Sementara itu, dari ufuk timur, bulan purnama yang bercahaya lembut mulai naik, menerangi langit dan menghidupkan kembali cahaya di bumi. Di bawah sinar rembulan yang lembut, di atas Bukit Cipariuk Sodonghilir, tampak seorang pemuda tanggung sekitar umur tujuh belas tahunan sedang duduk bersila, si pemuda itu berkulit...
RAWA PENDEKAR JANGJAWOKAN
0
0
2
Berlanjut
MATAHARI telah terbenam di ufuk barat, meninggalkan rantai-rantai keserakahan mahluk bumi. Angin malam yang sejuk mulai berhembus, membawa aroma kepedihan makhluk bumi yang tertindas. Sementara itu, dari ufuk timur, bulan purnama yang bercahaya lembut mulai naik, menerangi langit dan menghidupkan kembali cahaya di bumi. Di bawah sinar rembulan yang lembut, di atas Bukit Cipariuk Sodonghilir, tampak seorang pemuda tanggung sekitar umur tujuh belas tahunan sedang duduk bersila, si pemuda itu berkulit kuning Langsat, berambut hitam mengkilat dengan panjang sebahu dan menggunakan pakaian pangsi berwarna hitam dan ikat kepala berwarna hitam pula. Mata si pemuda tampak terpejam dan bibirnya komat-kamit, sepertinya ia sedang merapal mantra, walau pelan tapi mantra yang dirapalkan si pemuda bisa terdengar jelas.“Hurung nangtung ngadeg cahaya, ari diuk ngumbar cahaya, nyangigir nalinga Malik disamak cahaya dikampuh bayu, sungkelang naga wangkelang dibaju ratu kateguhan, batuk isun jadi gugur awak aing jadi gelap, iket-iket naga mulut nakiceup jadi sabumi, ari cicing Indung gunung ombakna barat sajagat, moal aing teu sirna dikurung ku langit dikandang ku jagat, les ngiles.Si pemuda terus mengulang-ngulang rapalan mantranya, dan anehnya pada rapalan terakhir yang kesekian kali dibacanya itu, tubuh si pemuda mendadak menghilang seperti ditelan bumi.“Rawa! Rawaa!!” terdengar suara parau seperti suara kakek-kakek memanggil.*Iya Kek!” sahut si pemuda yang sedang merapal mantra, ternyata walau sekarang tubuhnya tidak terlihat, tapi sebenarnya dia masih berada di tempat duduknya dan masih terus merapal matra. Si pemuda yang ternyata bernama Rawa itu tampak merapal sesuatu yang berbeda dari yang tadi dia rapal, aneh, seketika itu juga tubuhnya bisa terlihat kembali, dia lalu berdiri dan segera melesat ke arah suara, yang ternyata dari sebuah gubuk kayu di tengah-tengah bukit.
1,354 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
MANTRA AJI SELAKSA TAWON
0
0
Diiringi senyum Sang Guru, Rawa pun berjalan meninggalkan Bukit Cipariuk, pergi menuju alam liar dan ganas dalam waktu lama yang tidak bisa ditentukan, apakah dia bisa kembali ke bukit Cipariuk untuk menjenguk gurunya, atau tidak karena tewas di medan tempur yang kejam dan tanpa aturan ….Sampai di bibir bukit, Rawa putar tubuhnya ke belakang untuk melihat gubuk gurunya, ternyata gubuk gurunya telah lenyap tanpa bekas, rawa kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke matanya, namun hanya asap tipis yang bisa dia lihat. Rawa tersenyum hambar, lalu di pandangnya seluruh tepian bukit dan jalan menurun yang akan ia lewati. Di bawahnya berdiri pohon-pohon jati tua yang kokoh. Sementara burung-burung ketilang dan tekukur beterbangan di atasnya sambil menyanyikan lagu sapu nyere pegat simpay. Rawa pejamkan matanya meresapi wejangan sang guru, yang kesemuanya menitik beratkan pada sifat-sifat kependekaran.Tiba-tiba Rawa teringat sebelum tahu-tahu dirinya berada di bukit itu, saat itu Rawa masih berumur lima tahun, Rawa yang seorang anak kedua dari dua anak yatim yang sangat miskin, karena sering kesulitan makan, terpaksa dia harus dititipkan oleh ibunya ke uwaknya (kakak bapaknya) bernama Urmi. Sementara satu-satunya kakak perempuannya telah menikah dan dibawa oleh suaminya. Ternyata uwaknya adalah orang yang sangat kejam, anak sekecil dia tiap hari harus kerja mencari kayu bakar dan mencari rumput untuk makan ternak dengan hanya diberi makan satu kali sehari. Pernah karena tidak kuat dipekerjakan dengan kejam dan tiap hari menahan lapar, Rawa pulang ke ibunya, tapi kata ibunya ‘Bapak kamu tidak mendapat sejengkal tanah atau warisan untuk makan kamu, oleh karena itu kamu harus tinggal bersama saudara bapak kamu!’ Rawa pun diantarkan kembali ke uwak Urmi yang kejam. Besoknya, ketika Rawa sedang menyabit rumput, sesuatu menggigit tangannya, belum sempat tahu apa yang menggigitnya, tiba tiba dia merasa pusing dan napasnya terasa sangat sesak, lalu dia pun pingsan dan tahu-tahu sudah berada di gubuk bukit Cipariuk itu bersama kakek Somandinata.‘Bocah! siapa nama kamu?’ tanya kakek Somandinata saat itu.‘Jaja Kek.’‘Nama bapak?’‘Inda, sudah meninggal Kek’‘Nama Ibu?’‘Habsah Kek’‘Nama kakak?’‘Howi Kek’‘Nama adik’‘Tidak punya Kek’‘Bocah pintar!’Kakek Nemu kamu di pinggir rawa, dalam keadaan pingsan karena digigit ular, mulai sekarang nama kamu adalah Rawa! Hekhekhekhekhelhekhekhekhekhek!’Rawa buka matanya, sambil berteriak,“Hiyaaa!” Rawa tarik sahabat owanya ke gendongannya, lalu sekelebat ia sudah menghilang dari atas bukit Cipariuk.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan