Jakarta Outbreak : Bab I (Calm Before the Storm)

0
0
Deskripsi

Nama gue Daris. Gue bukan pahlawan. Gue cuma orang biasa yang kehilangan segalanya saat dunia runtuh dalam satu malam.

Jakarta Outbreak bukan cuma kisah tentang wabah, peluru, dan darah. Ini tentang pilihan-pilihan yang kita ambil saat semua harapan digerus oleh kenyataan. Tentang keluarga. Tentang pengkhianatan. Tentang mereka yang masih bertahan — atau pura-pura kuat.

Gue menulis ini buat lo yang pernah merasa sendirian di tengah keramaian. Buat lo yang pernah nyalahin diri sendiri atas hal-hal...

Prolog : Jakarta Dulu & Sekarang

Jakarta selalu menjadi pusat segalanya.

Dulu, ia adalah tanah yang diperebutkan.
 Fatahillah menaklukkannya dari Portugis dan menamainya Jayakarta—kota kemenangan.
Kemudian, VOC datang dengan kapal dan meriam, mengubahnya menjadi Batavia, kota yang akan menjadi pusat perputaran uang terbesar di Nusantara.

Sejak itu, Jakarta tak pernah diam.
Ia tumbuh, membesar, dan menelan siapa pun yang berusaha mengendalikannya.

Di abad ke-21, ia tetap sama.
Sebuah magnet yang menarik manusia dari segala penjuru negeri.
Sebuah ilusi tentang kehidupan yang lebih baik—sekaligus jebakan yang tidak akan melepaskanmu begitu saja.

Mereka yang datang ke kota ini membawa harapan, tetapi hanya sedikit yang benar-benar menemukannya.
Sebagian besar terjebak dalam sistem yang lebih besar dari mereka.
Sebuah sistem yang tidak peduli berapa banyak yang mati setiap harinya.

Tapi Jakarta mulai berubah.
Bukan karena kemacetan yang makin parah.
Bukan karena kriminalitas yang semakin liar.
Bukan karena air laut yang perlahan-lahan menggerogoti daratan.

Ada sesuatu yang salah.
Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Sesuatu yang tersembunyi di balik berita, laporan rahasia, dan desas-desus yang hanya dibisikkan di sudut-sudut kota.

Orang-orang mulai menghilang.
Beberapa kembali dalam keadaan yang tidak bisa dikenali.
Sebagian lainnya… tidak pernah kembali sama sekali.

Lampu-lampu kota masih menyala, tetapi ada sesuatu di balik terang itu.
Gedung-gedung masih berdiri, tetapi lorong-lorongnya terasa semakin sunyi.
Lalu lintas masih padat, tetapi ada jalanan yang sebaiknya tidak kau lewati lagi.

Jakarta masih hidup.
Tapi pertanyaannya, apakah ia masih menjadi tempat bagi yang hidup?

"Siapa suruh datang ke Jakarta?"

Kalimat itu dulu adalah candaan.
Sekarang, ia terdengar seperti peringatan yang terlambat datangnya.

Selamat datang di Jakarta.
 Jika kau bisa keluar hidup-hidup.

 

 

I

The Calm Before the Storm

Fall Out Boy

outside my front window, this story's going somewhere

He's well hung, and I am hanging up

There's a song on the radio that says

"Let's get this party started"

Let's get this party started

Bengong. Mungkin itu adalah salah satu kegiatan paling nikmat saat lu sendirian. Apalagi sambil ngerokok, ngopi, ditemani musik cadas yang ngebanting telinga, dan scroll-scroll timeline media sosial cuma buat tau kabar dunia. Kedengarannya ngenes, tapi buat gue, itu udah cukup buat bikin gue ngerasa jadi makhluk paling santai di jagat raya.

Nama gue Daris Farazya. Mahasiswa semester delapan yang tinggal di sebuah kamar kosan kecil di Jakarta Selatan. Alasan gue ngekos simpel: biar deket sama kampus. Lima menit naik motor juga nyampe. Kamar ini kecil, tapi nyaman. Bukan cuma tempat istirahat, tapi jadi tempat gue ngelindungin diri dari dunia luar yang sering bikin pusing kepala.

Gue bisa dibilang sebatang kara. Nyokap gue meninggal waktu gue masih SMP. Komplikasi katanya. Padahal nyokap gak pernah ngeluh sakit. Tangguh, diem, gak banyak omong. Tiba-tiba pergi. Sedangkan bokap gue, seorang anggota militer yang setelah kematian nyokap... hilang. Gak ada kabar, gak ada jejak. Sampe hari ini, gak pernah muncul lagi. Gue tumbuh tanpa kedua orang tua. Sendiri. Ngelewatin masa remaja yang labil tanpa pelukan, tanpa telinga yang dengerin curhat. Kadang iri sama orang-orang yang bisa pulang ke rumah dan disambut keluarga.

Untungnya gue masih punya satu orang yang selalu ada: kakak perempuan gue, Deandra. Dia tinggal di Australia sama suaminya. Meski jauh, kami rutin komunikasi. Teknologi menyelamatkan hubungan kami. Bahkan tiap bulan dia ngirimin duit yang jumlahnya lumayan. Sering banget gue bingung itu duit mau dipake buat apa.

Gue gak punya banyak temen. Bukan karena anti-sosial, tapi karena gue milih-milih. Gak gampang percaya sama orang. Bukannya pernah dikhianatin, tapi gue ngerasa gak ada yang bener-bener tulus di dunia ini. Kebanyakan hubungan dibangun atas pamrih. Bantu orang karena pengen sesuatu balik. Kata dosen gue, itu namanya teori pertukaran sosial. Gak ada makan siang gratis. Dan gue percaya itu.

Tapi hidup harus jalan terus. Sekesepian apapun, gue belajar buat nerima. Gak ngeluh. Toh, dunia gak bakal peduli seberapa keras lu nyalahin hidup. Gue belajar nikmatin hal-hal kecil: dengerin musik, nulis, ngerokok sambil ngopi, dan ya... bengong.

"DAARIIIIIIIIISSS!!!" teriak seorang perempuan sambil nyekek gue pakai bantal.

"Ffooi, fangke!" gue berusaha ngelepas sekapan bantal itu. "Gila lu! Kalo mau masuk, ketok dulu napa."

Dia nunjuk pintu kamar gue yang ternyata gak dikunci. Wajahnya udah pasti gak asing, Marsha Adinda. Salah satu dari tiga orang paling dekat dalam hidup gue.

Gue dan Marsha sering ngabisin waktu bareng. Jalan, ngopi, makan, keliling kota. Kayak pasangan, tapi bukan. Kami sama-sama jomblo, tapi gue gak pernah kepikiran buat pacaran sama dia. Dia cantik, iya. Menggemaskan? Banget. Tapi juga bawel, manja, dan keinginannya random banget.

Tapi dia tempat gue cerita. Dan sebaliknya. Kami saling ada. Meski kadang dia gak selalu ada buat gue, gue tetap ada buat dia. Itu aja udah cukup.

"Lu gak ke kampus, Dar?" "Gue udah bilang, jangan panggil gue 'Dar'. Nggak enak. Kalo ada 'L'-nya baru enak." "Iyuh jijik. Gue manggil lu 'Darl'? Gak level." Dia ketawa.

Begitulah kami. Ribut, bercanda, cubit-cubitan, dan berakhir dengan senyum. Sampai akhirnya kami berangkat ke kampus, lalu muter-muter Jakarta tanpa tujuan pasti. Mampir ke Sabang, makan nasi goreng, ngobrol soal penyakit aneh yang katanya nyerang otak.

Marsha khawatir. Gue? Skeptis.

"Ah, lebay. Paling juga demam biasa," kata gue. Tapi dalam hati... gue sedikit waspada.

Malam makin larut. Kota penuh cahaya. Tapi ada yang aneh. Beberapa orang mulai jatuh sakit. Bahkan di warung tempat kami makan, ada pria yang tumbang tiba-tiba.

Kami pulang. Diam di motor, hanya ditemani suara angin malam.

"Lu gak kangen bokap?" tanya Marsha pelan.

Pertanyaan itu nyayat. Tapi gue jawab sejujur mungkin.

"Kangen. Tapi gue takut tahu alasannya kenapa dia pergi. Mending gak tahu, daripada makin sakit."

Marsha diam. Lalu peluk gue dari belakang. Pelan. Hangat.

"Terus kuat ya, Daris."

Malam itu kami habiskan di kamar gue. Nonton film, bercanda, lalu gue ketiduran. Sementara Marsha masih duduk di ujung kasur, menonton dalam diam.

Dan hari itu... mungkin hari terakhir di Jakarta yang masih terasa normal.

 

 

#

Jumat, 23 Desember. Pukul 13:00 WIB.

Matahari terik menggigit Jakarta siang itu. Biasa, panasnya khas akhir tahun yang nggak pernah kompromi. Tapi buat gue, hari ini terasa beda. Spesial. Soalnya ini hari yang udah lama gue tunggu-tunggu—konser musik akbar di kawasan Senayan. Sebuah malam panjang buat pesta sebelum pergantian tahun. Gue udah siap dari jauh-jauh hari, outfit terbaik, energi penuh, dan tentu aja—rencana besar: datang bareng Marsha.

Gue ngelirik layar ponsel. Nggak ada notifikasi dari dia. Aneh. Biasanya jam segini Marsha udah ribut ngajak siap-siap. Gue buka chat dan ngetik:

“Sha, lu di mana? Gue main ya ke kamar.”

Nggak ada balasan.

Beberapa menit berlalu. Masih sepi.

“Sha, woy. Masih tidur ya? Bangun ngapa, kebo.”

Kesal mulai naik ke permukaan. Tapi seperti biasa, sebelum emosi numpuk, gue pasang earphone dan muter playlist andalan. Volume gue naikin, berharap musik bisa ngusir rasa cemas yang mulai ganggu kepala.

Tiga lagu berlalu.

Tiba-tiba, musik berhenti. Diganti sama ringtone.

Nama di layar: Marsha

Halo, Sha? Lu di mana? Baru bangun ya?” gue angkat telepon sambil rebahan.

Maaf, Dar… gue udah nggak di kosan. Sekarang gue di kampus.

Gue langsung bangun duduk. “Hah? Ngapain ke kampus? Sendirian? Tumben nggak ngajak gue.

Ya... nggak enak aja. Lu kan nggak suka ke kampus. Gue males ngerepotin.

Lu kenapa, sih? Sakit? Tumben banget sadar kalo lu itu emang hobi ngerepotin gue.” Gue ketawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Yaudah deh, gue nyusul sekarang. Habis itu kita langsung pesta!” Teriak gue semangat. “Lu di mana?

Di kantin fakultas, Dar.

Gue langsung ngerasa ada yang beda. Nada bicaranya pelan, nggak seceriwis biasanya. Marsha yang gue kenal tuh rame, nyebelin, tapi hangat. Sekarang? Datar. Hambar. Ada yang nggak beres. Perasaan gue nggak enak.

Tanpa mikir panjang, gue cabut ke kampus.

Sesampainya di sana... ya ampun, klasik banget. Kampus kayak pasar. Parkiran udah kayak terminal. Manusia tumpah ruah. Gue heran, kampus ini bukannya makin lama makin sepi karena orang lulus? Tapi kenyataannya, yang masuk ribuan, yang keluar bisa dihitung jari. Sisanya? Ada yang masih nunggu SKS penuh, ada yang nungguin dosen yang nggak pernah nongol, dan nggak sedikit yang cuma numpang eksis—entah buat jualan ideologi atau sekadar ngecengin junior.

Kadang gue mikir, kampus ini kayak tempat transit orang-orang bingung. Dan jujur aja, suasana kayak gini bikin gue makin males datang.

Oi bro, kemana aja? Ngampus lah. Jarang banget keliatan lu.

Kalimat itu selalu jadi opening dari orang-orang kampus setiap kali gue muncul di gedung jurusan. Sok akrab. Sok peduli. Padahal menurut gue itu cuma basa-basi level dewa. Nggak ada isinya. Sekadar formalitas, biar nggak keliatan asing.

Gue pun jawab seperlunya. Basa-basi dibalas dengan basa-basi. Nggak pake lama, gue langsung ngacir menuju tujuan utama gue: kantin fakultas. Tempat di mana, katanya, Marsha lagi nunggu.

 

Udah mesen, Mbak?” gue tanya sambil narik kursi di seberangnya. Marsha duduk sendirian, wajahnya kosong.

Udah, Mas. Ini... air mineral.” jawabnya pelan sambil ngasih senyum tipis.

Lu belum makan kan? Yuk makan.

Gak lapar, Dar. Entahlah... perut gue aneh banget hari ini.

Tumben. Jangan-jangan lagi galau, ya? Cieee... cerita dong.

Apaan sih lu. Kepo banget. Ganggu tau gak?” nada suaranya ketus.

Hehe, becanda, Sha. Sorry. Yaudah, nanti aja kita makan di venue. Banyak makanan enak. Lu pasti doyan.

Dia terdiam. Tatapan matanya menunduk, kayak lagi mikir keras. Lalu tiba-tiba...

Dar... soal obrolan semalem.” Nada bicaranya berubah. Lebih pelan, tapi berat. Gue langsung ngerasa gak enak.

Yang mana? Kalau pas di kosan, sorry ya gue ketiduran. Tau sendiri gue kan.

Yang pas makan. Ada satu hal yang dari dulu gue tahan... tapi sekarang gue pengen ngomong.

Apa, Sha?

Dia menghela napas panjang.

Lu putus sama Sheryl gara-gara gue, ya?

Gue terdiam. Kaget? Banget.

Ha? Apaan sih, Sha. Udah setahun gue putus sama Sheryl. Kenapa baru nanya sekarang?

Jawaban lu udah cukup. Dari respon lu... gue tau. Gue penyebabnya, kan?

Kok lu bisa mikir begitu?

Dari pertama kali denger kalian putus, gue udah ngerasa. Gue ngerti, Dar. Gue kenal lu.

Sha, bukan karena lu. Emang udah nggak cocok aja. Udah jalan masing-masing.

Kalian itu nggak keliatan ada masalah. Tiba-tiba aja... lu bilang putus. Tanpa penjelasan. Nggak mungkin nggak ada sesuatu.

Kok jadi gini sih, Sha? Kenapa lu bawa-bawa ini sekarang?

Jawab dulu.

Gue nggak bisa jawab... karena emang gak ada yang perlu dijelasin.

Dia menarik napas dalam-dalam. Matanya mulai berkaca-kaca. Empat tahun gue kenal Marsha, baru kali ini dia kayak gini. Gue ngelihat dia, dan untuk pertama kalinya... dia kelihatan rapuh.

Kenapa lu ngomong kayak gini, Sha? Ada apa sebenernya?

Gak tau, gue kepikiran aja. Bingung.” suara Marsha makin pelan, dan gue lihat dia mulai menyeka air matanya.

Kalau ada yang gangguin, cerita ke gue. Jangan dipendem sendiri.

Gak apa-apa, Dar. Cuma… PMS aja.” katanya sambil memaksakan senyum, mengusap air matanya seolah itu hal sepele.

Gue terdiam, jari gue muter-muterin sedotan plastik di gelas air mineral, sambil mikir harus bawa obrolan ke mana.

Yaudah, yuk pergi. Kita cari makan dulu. Nanti kita telat.

Sorry, Dar. Gue gak jadi ikut.

Kalimat itu—gak jadi ikut—jatuh kayak palu godam. Bikin hati gue nyeri dalam sekejap. Gue reflek ngangkat kepala, menatap wajahnya.

Apa sih, Sha? Seriusan? Gue udah beli tiket dua, buat kita.

Gue tahu. Ini uangnya. Tiketnya lu aja yang pegang. Ajak siapa kek. Temen cewek lu kan banyak.

Sha, bukan soal tiket. Duit mah bisa cari. Tapi lu sendiri yang ngajakin dari awal. Lu yang semangat banget waktu itu.

Gue ngajak karena gue pengen nemenin lu, Dar. Gue cuma pengen balas semua kebaikan lu. Tapi ternyata hari ini... gue nggak bisa. Maaf ya. Lu ajak Sheryl aja”

Bangke, gue gak mau sama Sheryl! Gue mau lu. Gue pengen hari ini bareng elu.” suara gue mulai naik.

Maaf, Dar... maaf banget. Hari ini... ada hal penting yang harus gue lakuin.

Kepala gue makin penuh. Pikiran gue muter nggak karuan. Feeling gue buruk—bener-bener buruk. Ini bukan pertama kalinya Marsha batalin janji, tapi kali ini beda. Sikapnya sejak kemarin aneh. Jaraknya makin kerasa. Dan sekarang... gue gak tahu kenapa, tapi perasaan gue bilang: setelah hari ini, kami gak akan ketemu lagi.

Sha, please. Gue minta banget. Hari ini aja. Kita udah rencanain dari lama. Jangan tinggalin gue hari ini.

Dar… tolong jangan paksa. Gue... gak bisa. Maaf.” matanya kembali berkaca-kaca, bergetar.

Lu kenapa sih? Kemarin lu tanya soal bokap, sekarang lu ngerasa jadi penyebab gue putus sama Sheryl. Sekarang kayak gini. Gue jadi takut dengernya

Hehe... lebay amat, lu.” Marsha senyum kecil sambil nyemprot air dari gelas minumnya ke arah gue. “Jangan drama. Kita satu kosan juga, ya kali gue ilang ke alam lain.

Bukan itu maksud gue. Lu tau sendiri, feeling gue kadang suka bener.

Yang ini enggak, Dar. Gue gak kemana-mana. Tapi hari ini... maaf banget, ya. Gue bener-bener harus pergi.

Pergi ke mana sih? Penting banget sampe kayak gini?

Dia tersenyum lagi—senyum yang kali ini terasa jauh.

Rahasia dong. Jangan kepo.

Senyuman itu justru nyulut emosi gue. Mungkin maksud dia bercanda, tapi gue bener-bener nggak bisa ikut ketawa hari ini.

Tau ah. Bodo amat.” gue bangkit dari tempat duduk, ngambil tas gue, dan jalan pergi. Kepala gue panas. Jantung gue berdebar nggak karuan. Sebenernya, gue cuma nunggu satu hal... Marsha ngejar. Bilang ini semua cuma becandaan. Tapi sampai kaki gue nginjek gedung parkir—nggak ada suara. Nggak ada langkah. Nggak ada Marsha.

Perasaan gue mulai berantakan lagi.

Entah kenapa, firasat bahwa hari ini adalah yang terakhir gue bisa liat Marsha... makin kuat. Gue gak ngerti dari mana datangnya rasa ini—cuma tiba-tiba muncul dan nempel erat di dada. Dan anehnya, ini pertama kalinya gue ngerasa takut. Takut kehilangan. Takut kalo semua ini bukan cuma pertengkaran biasa.

Hubungan gue sama Marsha selama ini murni—gak ada embel-embel cinta, gak ada status, cuma dua orang yang saling ngerti dan saling ada. Tapi jujur... dalam hati kecil gue, ada ketakutan yang gak pernah gue akui: gue takut jatuh cinta sama dia.

Karena cinta, menurut gue, sering jadi sumber dari semua kerumitan.

Yang tadinya simpel, bisa berubah jadi rumit. Yang tadinya bebas, tiba-tiba penuh tuntutan. Yang tadinya bikin ketawa, bisa berubah jadi luka yang dalam. Dan yang paling gue benci—cinta itu bisa bikin dua orang yang tadinya deket... justru makin jauh saat mereka mulai saling menginginkan.

Dan itu yang bikin gue takut banget kalo suatu saat, gue beneran jatuh cinta ke Marsha.

Sekarang, isi kepala gue cuma dia. Wajahnya. Suaranya. Tawa recehnya. Gue pengen balik. Pengen ngebatalin semua omong kosong tadi, duduk lagi di sebelah dia, dan bilang “oke, Sha, gak apa-apa lu gak ikut. Yang penting hari ini kita bareng.”

Tapi ego gue lebih dulu berdiri. Dan kayak biasa, dia yang menang.

Gue terus melangkah menuju parkiran motor. Langkah gue cepat, tapi pikiran gue lambat. Penuh. Sesak. Ada dorongan untuk teriak, untuk marah, untuk mecahin sesuatu, tapi yang keluar cuma napas berat dan tatapan kosong.

Dan saat gue hampir nyampe ke pintu parkiran motor, tiba-tiba...

Gue berhenti. Langkah gue tertahan.

Di depan sana, berdiri seseorang dengan rambut panjang yang familiar banget. Sosok yang pernah jadi bagian penting dalam hidup gue. Dan meskipun udah lama gak ketemu, gue masih inget jelas setiap detail wajahnya.

Sheryl.

Li...” sapa gue pelan, otomatis. Panggilan itu masih nempel di lidah gue. Panggilan yang dulu jadi milik gue, buat dia.

Sheryl menoleh. Dia lepas maskernya, pelan, lalu tersenyum kecil. Wajahnya pucat, tapi senyumnya masih sama seperti yang gue inget.

Ris. Tumben sendirian. Marsha mana? Biasanya kalian nempel kayak perangko.

Gue nyengir kecil, coba jaga suasana tetap ringan. “Dia di kantin, Li. Lagi sendirian juga.

Oh...” jawabnya pelan. Hening sesaat. Udara di antara kami mulai terasa aneh.

Lu sendiri? Cowo lu mana?” gue tanya, lebih ke basa-basi, tapi juga karena penasaran.

Dia menghela napas pendek. “Udah nggak ada, Ris. Udah tiga bulan putus.

Kami terdiam. Nggak tau mau ngomong apa. Pandangan saling bertaut sebentar—cukup lama buat menimbulkan perasaan aneh di dada—lalu kami tersenyum, canggung tapi tulus.

Mau ke mana?” kami bertanya bersamaan. Reflek ketawa bareng, walau cuma sebentar.

Gue mau ke Senayan. Nonton konser. Biasalah.” jawab gue sambil nyengir.

Sendirian? Dari dulu emang mandiri banget, ya, lu.” Dia senyum, manis, seperti dulu.

Iya... males rame-rame. Lagian udah biasa juga. Lu sendiri mau ke mana?

Pulang, Ris. Badan lagi nggak enak.

Oh...” Gue perhatiin wajahnya lebih seksama. Pucatnya makin kelihatan. Gue gak bisa pura-pura gak lihat.

Lu gapapa, Li? Mukalu pucat banget.

Gak enak badan. Pusing, tugas kampus juga lagi numpuk.

Perlu gue anter?

Gausah, Ris. Gue naik taksi aja. Lu mau konser kan? Ngerepotin nanti.

Iya juga sih. Naik motor ama gue bisa bikin lu pingsan. Panas, macet, bising.

Dia ketawa kecil. “Itu lu tau, Ris.

Gue ikut ketawa, walau ada perasaan aneh di dada. Lama nggak lihat Sheryl ketawa kayak gitu. Simpel, tapi bikin dada sesak.

Yaudah... gue jalan duluan ya. Hati-hati, Li. Cepet sembuh.” Gue pamit, tapi pelan. Gak yakin pengen ninggalin percakapan ini secepat itu.

Gue baru mau melangkah, tapi suara dia nahan gue.

Ris... boleh gue minta waktu lu? Gue pengen ngobrol.

Gue berhenti. “Boleh. Kapan?

Hari Rabu besok. Jemput gue di rumah ya. Jam tujuh, kalau bisa.

Bisa kok.

Dia senyum lagi. “Oke, Ris... salam ya buat Marsha.

Gue mengangguk pelan. Kami akhirnya berpisah. Sheryl melangkah pergi ke arah gerbang kampus, dan gue menuju parkiran motor. Ada rasa lega bisa ketemu dia lagi, tapi juga campur aduk dengan kecewa karena Marsha batal ikut. Gue gas motor dan mulai menembus keruwetan jalan ibukota.

Pukul 15:47. Gue akhirnya sampai di area Senayan. Jarak kampus ke sini memang gak jauh-jauh amat, tapi tetap aja—macet Jakarta itu bukan soal jarak, tapi soal kesabaran. Jalanan padat, klakson bersahutan, dan aroma asap kendaraan nyatu sama keringat para pengendara motor. Jakarta banget.

Pukul 18:30, setelah Maghrib, acara akhirnya dimulai. Arena konser udah penuh sesak. Penonton padat dari segala arah. Salah satu kesalahan gue—terlalu santai dan lupa cari posisi strategis. Sekarang gue harus rela berdiri agak jauh dari panggung utama, diapit sama rombongan cewek-cewek histeris dan cowok-cowok mabuk semangat.

Sorakan penonton meledak saat MC naik ke panggung.

SELAMAT MALAM, JAKARTAAAA!” teriak pemandu acara perempuan yang suaranya menggema, meski wajahnya cuma samar kelihatan dari tempat gue berdiri.

Gila, rame banget ya Nes acara tahun ini…” sambung MC cowok, ikut menyulut semangat. Setelah beberapa obrolan ringan dan gimmick konyol, mereka memperkenalkan band pembuka.

Begitu musik mulai, semuanya pecah.

Gue ikut hanyut. Suasana, dentuman bass, lampu-lampu yang menari di udara—semuanya ngasih energi aneh yang ngebuat lupa segala hal. Sejenak gue lupa soal Marsha, soal Sheryl, soal hidup yang gak pernah benar-benar stabil. Gue cuma lompat, nyanyi, dan larut dalam kegilaan malam itu.

Setelah lagu terakhir dari band pembuka, MC naik lagi. Senyum mereka masih lebar, tapi ada nada serius di suara cowoknya.

By the way, guys... kalian pasti udah denger ya soal wabah aneh yang katanya mulai nyebar di Jakarta? Barusan gue buka Twitter—banyak banget berita soal korban jiwa. Semoga semua yang meninggal bisa tenang di sisi-Nya.

Gue ngerasa ada yang nusuk di dada. Wabah? Korban jiwa? Tadinya gue kira cuma hoax media. Tapi reaksi penonton di sekitar gue juga berubah. Beberapa mulai cek HP. Gue buru-buru buka Twitter, dan...

‘Innalillahi, mahasiswa meninggal di dalam TransJakarta. Katanya kena penyakit misterius itu. :’’(’

‘Temen SMA-ku meninggal. Terus tetanggaku juga. Ini apa sih? Serem banget!’

‘#JakartaKenapa kenapa semua kayaknya chaos hari ini?’

Tangan gue mulai dingin. Gue coba hubungi Marsha. Gak diangkat. Gue coba WhatsApp. Centang dua, tapi gak dibaca. Gue makin panik.

Dan tepat saat gue mulai jalan menjauh dari kerumunan, ada teriakan dari pintu masuk.

Seorang perempuan muncul dari sana. Bajunya sobek, tubuhnya berlumuran darah, jalannya pincang sambil terus teriak minta tolong. Panik langsung menyapu seluruh area. Security langsung lari ke arahnya, diikuti beberapa penonton yang mau nolong.

Tapi saat mereka mendekat, cewek itu... menggigit. Ya, menggigit salah satu orang yang mencoba bantuin. Gigitannya brutal, darah muncrat, dan jeritan menyusul.

Suara musik dari panggung mendadak berhenti. Dan yang gue denger cuma teriakan—histeris, panik, kacau.

Di panggung, seseorang udah roboh. Dua orang lainnya... sedang memakan tubuhnya. Sumpah, mereka benar-benar menggigit orang itu hidup-hidup. Dan yang mencoba nolong, justru ikut digigit. Situasi berubah drastis jadi neraka dalam hitungan detik.

Penonton mulai lari. Teriak. Dorong-dorongan. Ada yang jatuh, ada yang diinjak. Orang-orang mulai kabur ke segala arah. Gue terpaku. Otak gue lumpuh. Mulut gue cuma bisa gumam pelan...

“What the hell just happened...”

 

To Be Continue 

Next Chapter on 22 May 2025

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jakarta Outbreak : Chapter II (Disasterpiece)
0
0
Saat dunia mulai runtuh, teror pertama pecah bukan di rumah sakit atau laboratorium... tapi di tengah dentuman musik, lampu sorot, dan ribuan penonton yang tak tahu bahwa mereka adalah saksi awal dari akhir segalanya.Di tengah konser yang berubah jadi neraka hidup, teriakan penonton tersatu dengan jeritan makhluk haus darah yang tak seharusnya ada di dunia ini. Daris terjebak dengan insting bertahan hidup. Ketika panik memuncak dan manusia berubah menjadi binatang, siapa yang akan tetap waras?Di balik panggung, di lorong-lorong gelap yang dulunya hanya dipakai kru, kini menjadi jalan terakhir menuju keselamatan—atau maut. Sementara sebagian orang memilih berlari, satu sosok nekat masuk ke zona neraka bersama kekasihnya, Izzy.Malam ini, panggung bukan tempat pertunjukan. Ini altar pengorbanan. Dan tidak semua yang datang akan pulang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan