
Indra Purwasena adalah seorang pendekar yang pemalas, usil dan tengil. Setiap hari dia selalu menjadi sasaran kemarahan gurunya yang bernama Braja Ekalawya.Meski perangainya cukup buruk tapi Indra adalah pendekar yang tangguh dari perguruan kecil bernama Dharmabuana.
Suatu hari di Desa Legokpare ada turnamen bela diri yang diadakan oleh Adipati Mangkuwira. Indra sangat ingin mengikutinya, karena ingin membuat nama perguruan kecilnya dikenal seluruh dunia, tapi Braja Ekalawya tidak mengizinkannya.Namun...
Chapter 01
Kabar Sayembara Silat
“Hoam..” seorang pemuda yang bernama Indra Purwasena itu menguap lebar. Dengan santainya dia rebahan di atas sebuah dahan pohon kecil, meskipun tubuhnya lebih besar dari dahan pohon, namun anehnya dahan kecil itu mampu menopang tubuhnya.
Tiba-tiba saja sebuah cangkir bambu berisi air melesat tepat di atas wajahnya, cangkir itu terbalik hingga airnya tumpah. Namun sekejap mata Indra langsung menggenggam cangkir bambu itu dan menggunakannya untuk menadah air yang sudah menetes di udara. Tidak ada setetespun air dari cangkir itu yang jatuh ke tanah.
Baru saja Indra hendak meminum air dari cangkir itu tiba-tiba hembusan angin melesat ke arahnya, Indra melemparkan kembali cangkir itu ke udara. Dia langsung menggerakan tangannya untuk menghalau pukulan dari orang tak terlihat yang menyerangnya.
‘Dakh’
‘Degh’
Indra beberapa kali beradu pukulan di dahan kecil tempatnya terbaring tadi. Tiba-tiba saja di hadapannya kini sudah berdiri seorang kakek-kakek, dia tak lain adalah guru Indra yakni Braja Ekalawya. Indra hendak meraih kembali cangkir bambu yang tadi dia lemparkan, tapi Braja langsung menyerangnya lagi dengan pukulan.
Indra menahan pukulan gurunya dengan tangan kiri, lalu tubuhnya berputar dengan tangan kanan bertumpu ke dahan kecil yang dia pijak, sementara telapak kakinya menahan cangkir yang jatuh. Bersamaan dengan Indra yang bergerak memutar itu Braja langsung menghentakan kakinya ke dahan kecil tumpuan Indra.
“Wawawa..”
‘Bruk’
Indra jatuh ke tanah tepat setelah telapak kakinya menyentuh bagian bawah cangkir, kini air di dalam cangkir itu benar-benar tumpah di bajunya. Braja Ekalawya yang masih berdiri di dahan pohon kecil hanya tertawa puas melihat muridnya itu terbaring kesakitan di tanah.
“Guru ini jahat sekali. Menyerangku pakai ajian halimunan segala lagi,” gerutu Indra sambil mengusap usap bokongnya yang terasa sakit karena menghantam permukaan tanah.
“Hehehe.. anggap saja itu hukuman untuk orang malas sepertimu,” jawab Braja sambil terkekeh.
“Perasaan aku terus yang dihukum,” gerutu Indra sambil berdiri.
“Ya memang kau satu-satunya murid tengil di perguruanku! Yang lain sibuk berlatih, kau malah tiduran di sini. Dasar pemalas,” omel Braja seraya turun ke tanah.
“Aku hari ini masih ngantuk guru,” tukas Indra sambil menguap lagi.
“Pergi sana cari kayu bakar biar ngantukmu hilang!” tegas Braja.
“Iya-iya,” jawab Indra sambil berjalan untuk mencari kayu bakar.
Braja hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan muridnya yang satu itu, tubuhnya memang terlihat kekar dan tinggi. Rambut pendek dan kulit sawo matang ditambah pakaian khas pendekar dengan baju terbuka di bagian depan membuatnya terlihat seperti pendekar yang hebat, tapi sayang sikapnya yang pemalas, usil dan tengil selalu berhasil membuat Braja mengomelinya setiap hari.
Sementara Indra terus menyusuri hutan yang ada di Pasir Gede (Bukit Gede). Di lembah bukit itulah selama kurang lebih dua puluh lima tahun ini Indra berguru di perguruan Dharmabuana, sedangkan di dekat pasir itu ada sebuah desa bernama Desa Panuntungan. Sepanjang jalan Indra terus menggerutu karena hampir setiap hari dia diomeli oleh gurunya.
Sejak kecil dia memang sudah dirawat oleh Braja hingga Indra sudah menganggapnya sebagai kakek kandungnya sendiri, sejak dulu sikap usil dan tengil Indra memang sudah terlihat, tapi beberapa tahun terakhir ini semakin menjadi karena merasa bosan. Selama ini dia terus berlatih di perguruan, ingin rasanya dia pergi sejenak untuk melepas kebosanannya. Terlebih dia ingin membuat nama perguruannya semakin dikenal, karena saat ini hanya orang-orang di sekitar Pasir Gede saja yang tahu tentang perguruan Dharmabuana.
Indra mulai mengumpulkan kayu bakar satu persatu, setelah cukup banyak dia kemudian mengikatnya dengan tali dari dahan pohon pisang yang sudah kering. Indra duduk di rumput sambil merasakan angin yang sepoi-sepoi menerpa tubuhnya. Rasa kantuknya kembali datang, tapi saat matanya hampir terpejam samar-samar di depannya terlihat seorang pria paruh baya sedang berjalan ke arahnya.
“Mau cari kayu bakar Mang?” tanya Indra dengan ramah, pria itu adalah penduduk Desa Panungtungan yang sedang mencari kayu bakar di Pasir Gede.
“Eh Indra, iya nih persediaan kayu bakar di rumah sudah hampir habis,” jawab pria paruh baya bernama Juha tersebut.
“Ya kalau nggak mau cepet habis jangan dibakar dong mang,” tukas Indra sambil tertawa.
“Kalau nggak dibakar emangnya mau diapain? Digoreng?” balas Juha seraya ikut tertawa.
“Wah Mang Juha bisa saja,” kata Indra.
“Oh iya, kamu nggak ikutan sayembara di Desa Legokpare?” tanya Juha.
“Emang ada sayembara apa mang di sana?” tanya Indra yang terlihat penuh antusias.
“Katanya Adipati Mangkuwira mengadakan sayembara silat di sana, siapapun yang bisa mengalahkan empat pendekar tangguh yang dibawa olehnya maka akan mendapatkan seribu koin emas dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Mira Mangkuwira,” jelas Juha.
“Wah mang Juha tahu bener isi sayembaranya, jangan-jangan mang Juha jadi panitianya ya?” kelakar Indra sambil tertawa.
“Bukan, mamang tahu dari para pendekar yang lewat ke desa,” tukas Juha sambil tertawa.
“Wah, terima kasih banyak mang. Aku mau izin dulu deh ke Aki Guru,” ucap Indra yang langsung berlari dengan girang menuju tempat perguruannya.
“Ini kayu bakarnya!” teriak Juha saat melihat Indra tidak membawa kayu bakarnya.
“Ambil saja mang!” teriak Indra dari kejauhan. Juha hanya geleng-geleng kepala saja, seluruh warga Desa Panungtungan memang sudah mengenal sosok Indra yang usil dan suka bercanda.
Indra terus berlari hingga sampai ke pondok-pondok yang ada di tengah hutan, disanalah perguruan Dharmabuana yang dipimpin oleh Braja berada. Tampak lima murid sedang berlatih di bawah asuhan cucu Braja yang bernama Lingga Ekalawya, dengan wajah polosnya Indra langsung menuju sebuah pondok tempat Braja tinggal.
“Guru, guru..” ucap Indra menemui gurunya yang sedang bersila di teras pondok sederhana miliknya.
“Guru aku mau pergi sebentar ke Desa Legokpare,” sambung Indra.
“Mau apa ke sana? Di mana kayu bakarnya?” tanya Braja.
“Kita bahas kayu bakarnya nanti guru. Sekarang aku mau izin untuk ikut sayembara silat di Desa Legokpare, lumayan guru hadiahnya dapat seribu koin emas. Kita bisa makan daging sapi selama dua bulan guru kalau dapat, boleh ya? Boleh kan?” tukas Indra yang terus berbicara tanpa henti. Braja tampak menghela nafas dalam.
“Tidak,” jawab Braja.
“Wah jangan gitu dong guru. Bagaimana kalau nanti lima ratus koin emas buat guru?” bujuk Indra.
“Tidak! Apa kau lupa dengan setiap wejanganku? Kekuatan yang kau miliki itu bukanlah untuk pamer ataupun untuk main-main!” tegas Braja.
“Tapi guru, kalau aku menang di sayembara itu maka perguruan Dharmabuana yang kecil ini akan dikenal oleh seluruh orang di Kerajaan Panjalu. Guru juga nantinya akan menjadi Mahaguru dari Dharmabuana,” bujuk Indra sambil memijat tubuh gurunya.
“Indra, perguruan itu tidak dilihat dari besar kecilnya. Tapi apa yang diajarkan di dalamnya,” ucap Braja tetap dengan pendiriannya.
“Ayolah, kakek,” bujuk Indra sambil tersenyum.
“Tidak, meski Lingga sekalipun tidak akan aku izinkan mengikutinya,” kata Braja.
“Ah, kakek nggak asik,” ucap Indra sambil pergi meninggalkan gurunya lagi.
“Dia sama sekali belum berubah,” gumam Braja seraya menghela nafas dalam.
“Indra mana kayu bakarnya?” teriak Braja, tapi Indra yang sudah menjauh tidak menjawab sedikitpun.
Indra yang kesal langsung berjalan lunglai ke area latihan perguruan. Lima murid yang tadi sedang berlatih kini sedang beristirahat. Lingga yang melihat sahabatnya seakan tanpa semangat segera berjalan menghampiri. Tubuhnya yang kekar dan tinggi membuat Lingga terlihat gagah, wajahnya yang tampan juga menambah kesempurnaan parasnya.
“Ada apa Dra?” tanya Lingga. Indra tidak langsung menjawab, dia terlihat termenung sejenak lalu tersenyum.
“Ah tidak, tadi guru mengomeliku gara-gara aku tidur di dahan pohon,” jawab Indra.
“Ya wajar kalau guru sampai marah. Kau kan murid kedua yang berguru di sini, guru juga sudah menganggapmu sebagai cucunya sendiri sama sepertiku. Jadi tidak heran kalau dia ingin kau memberikan contoh yang baik kepada murid lainnya,” tutur Lingga.
“Iya sih sejak kecil aku memang dirawat oleh guru. Tapi harusnya kau sendirian sudah cukup kan buat jadi contoh mereka,” tukas Indra.
“Tapi kalau kita berdua jadi contoh baiknya pasti akan lebih bagus,” jelas Lingga.
“Iya sih. Oh iya, aku sekarang mau pergi ke Desa Legokpare untuk ikut sayembara. Kamu mau nitip sesuatu?” tanya Indra mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Sayembara? Memangnya kakek mengizinkanmu ikut?” tanya Lingga.
“Kakek kan orang baik, tadi aku sudah meminta izin darinya. Kalau kamu nggak mau nitip, aku akan berangkat sekarang saja,” jawab Indra sambil mulai berjalan cepat meninggalkan area perguruan Dharmabuana.
“Tapi kamu sudah dapat izin dari kakek kan?” tanya Lingga lagi karena jawaban Indra tadi tidak jelas baginya.
“Aku tadi sudah meminta izin kepada kakek,” jawab Indra dari kejauhan sambil melambaikan tangannya. Lingga hanya menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Indra yang sama sekali tidak memberikan jawaban jelas dari pertanyaannya, dia ragu kalau kakeknya sudah memberikan izin kepada Indra.
Bersambung…
Chapter 02
Peserta Sayembara
Indra berjalan menuruni Pasir Gede sembari bersiul riang, dia memang belum pernah mengikuti sayembara silat sebelumnya. Tapi dia sangat percaya diri dengan kemampuannya, dia yakin bahwa akan pulang dengan membawa kemenangan serta seribu koin emas sebagai hadiahnya.
“Mereka pasti senang kalau aku pulang dengan uang banyak. Seribu koin emas, bisa beli berapa ekor sapi ya Hihi..” ujar Indra sambil terus membayangkan wajah murid perguruan Dharmabuana lainnya kalau mereka tahu dia membawa seribu koin emas.
Indra terus berjalan menyusuri Desa Panuntungan menuju arah selatan dimana Desa Legokpare berada. Tidak memerlukan waktu lama bagi Indra untuk sampai di Desa Legokpare, kini dia sudah sampai di jalan desa. Tampak banyak sekali pernak pernik berwarna warni di jalanan yang kemungkinan bekas penyambutan Adipati Mangkuwira beserta rombongannya.
“Maaf Mang, kalau sayembara silat di mana yah?” tanya Indra kepada seorang pria paruh baya yang sedang menanggung singkong.
“Saya juga nggak tahu Jang, nih saya bawa singkong buat dijual di acara sayembara. Ujang mau?” tanya pria itu sambil menunjuk singkong yang dia bawa.
“Nggak deh Mang, saya soalnya tiap hari makan singkong, di hutan sebelah barat Pasir Gede ada kebun singkong luaass.. banget. Nah biasanya saya suka ambil di sana Mang, singkongnya juga gede-gede,” tukas Indra sambil mengacungkan jempolnya.
“Ooh.. jadi kamu yang suka nyuri singkong saya teh? Ketahuan siah!” bentak tukang singkong sambil mengambil sebuah singkong yang paling besar.
“Eh?” Indra kaget karena dia tidak tahu kalau ternyata pria paruh baya itu adalah pemilik kebun singkong yang sering dia makan.
‘Ggbuuk’
‘Gbbukk’
“Ampun Mang. Ampun.. saya nggak akan ngambil banyak lagi Mang.. ampun, saya nggak tahu kalau itu punya Mamang,” kata Indra sambil meringis, tubuhnya terus digebuki oleh tukang singkong menggunakan singkong dagangannya.
“Tahu rasa siah! Kalau mau ngambil ngomong dulu!” tegas tukang singkong sambil terus menghantam tubuh Indra, orang-orang yang ada di sana langsung memandang mereka berdua.
“Iya Mang, iya. Mulai sekarang saya minta singkong satu aja ya tiap harinya,” tukas Indra yang terus berguling-guling di tanah jalanan sembari menerima pukulan demi pukulan dari tukang singkong.
“Nah gitu atuh, saya juga bukan orang pelit! Boleh kalau mau ngambil tapi jangan banyak-banyak!” tukas tukang singkong yang akhirnya berhenti memukuli Indra karena sudah cape.
“Iya Mang, sekali lagi maaf,” ucap Indra dengan wajah bersalah.
“Iya, tapi bawain nih singkongnya sampai tempat sayembara!” jawab tukang singkong seraya menyerahkan tanggungannya.
Indra mau tidak mau akhirnya menanggung singkong milik pria paruh baya itu, setelah bertanya kepada beberapa orang di sana akhirnya mereka tahu kalau acara sayembara dilaksanakan di pesawahan yang ada di Desa Legokpare. Di musim kemarau memang kebanyakan sawah tidak ditanami padi kembali karena kurangnya curah hujan, selokan tempat irigasi sawah juga selalu kering kalau di musim kemarau.
“Sararingkong! Hayu atuh singkongnya akang eteh, murah meriah! Singkong istimewa, cocok buat dimakan,” teriak Indra ikut menawarkan singkong begitu mereka sampai di tempat sayembara.
Orang-orang Desa Legokpare berkumpul di sana untuk menyaksikan sayembara, warga desa sekitar juga ikut meramaikan acara yang dilaksanakan oleh Adipati Mangkuwira. Di tengah-tengah pesawahan terdapat sebuah sawah besar yang ditaburi jerami-jerami diatasnya. Kemungkinan itu adalah arena bertarung para pendekar yang mengikuti sayembara. Sementara di dekat arena bertarung ada sebuah panggung teduh sederhana namun dengan ukuran yang besar.
Di atas panggung tersebut duduk Sang Adipati beserta keluarganya, di samping kanan kirinya ada para pengawal mereka. Tiga orang pria kekar duduk di kursi yang ada di bawah panggung, kemungkinan mereka adalah para pendekar yang akan menjadi lawan para peserta sayembara.
“Saya pamit dulu ya Mang,” ucap Indra kepada pedagang singkong yang sedang sibuk melayani pembeli. Dia hanya mengangguk saja merespon perkataan Indra.
Indra langsung menuju ke kerumunan warga yang ingin menyaksikan sayembara, Indra terus merangsek masuk hingga akhirnya bisa sampai di barisan paling depan kerumunan. Di atas panggung tepatnya di sebelah Adipati tampak seorang wanita cantik nan anggun sedang duduk manis menghadap kerumunan warga, Indra pikir mungkin dialah putri Adipati yang bernama Mira.
“Aduhai cantiknya,” ucap Indra berdecak kagum melihat sang putri Adipati, pandangannya kemudian tertuju kepada tiga pendekar yang duduk dibawah panggung.
“Bukannya mang Juha tadi bilang empat pendekar ya? Dimana satu lagi?” batin Indra.
Seorang pria dari panggung turun lalu maju ke tengah-tengah arena, dia mulai membuka acara sayembara. Dan seperti yang Juha katakan kepada Indra, Adipati Mangkuwira akan memberikan pemenang sayembara hadiah seribu keping emas beserta dinikahkan dengan putrinya yang bernama Mira Mangkuwira, tapi syaratnya adalah mengalahkan empat orang pendekar yang dibawa oleh Adipati.
Semua orang di tempat itu tampak saling memandang karena yang mereka lihat hanya ada tiga pendekar saja yang duduk di kursi. Sang pembawa acara juga menjelaskan bahwa para pendekar hanya diperbolehkan menggunakan gerakan beladiri saja tanpa menggunakan ilmu kanuragan, peserta juga boleh menggunakan senjata kayu yang disediakan panitia. Peserta dinyatakan menang jika lawannya mengaku kalah, tidak sadarkan diri atau keluar dari arena pertarungan.
“Silahkan bagi yang ingin menjadi peserta pertama, maju ke depan!” tukas pembawa acara sambil menyingkir menjauhi arena pertarungan.
Sekilas Indra melihat seorang wanita yang memakai caping di kepalanya tampak bergerak hendak maju, tapi seorang pria dari belakang kerumunan melompat di udara dan menapak di arena pertarungan. Alih-alih memperhatikan pendekar pertama yang maju, justru tatapan Indra tertuju kepada wanita cantik yang tadi hendak bergerak maju.
“Apa dia juga ingin mengikuti sayembara? Apa dia ingin menikahi putri Adipati?” pikir Indra heran, dia pikir mungkin wanita itu tidak normal.
“Sayang sekali, padahal dia terlihat begitu cantik,” ucap Indra sambil bergidik, dia kemudian keluar dari kerumunan karena merasa gerah. Indra melihat ada kerumunan orang berbaju rapi sedang duduk dibelakang kerumunan.
“Aku yakin dia akan kalah oleh pendekar pertama tuan Adipati,” terdengar suara seorang pria berbaju rapi sambil menyodorkan lima koin emas.
“Menurutku dia akan bertahan sampai pendekar ketiga,” timpal yang lainnya sambil meletakan lima koin emas. Indra langsung tersenyum lalu menghampiri mereka.
“Menurutku dia akan menang melawan pendekar pertama, tapi akan kalah oleh pendekar kedua,” celetuk Indra setelah berada di dekat mereka. Spontan saja para pria berbaju rapi itu menatap Indra.
“Siapa kau?” tanya seorang pria berbaju rapi seraya memperhatikan tubuh Indra dari ujung kaki hingga kepala.
“Kalian tidak mengenalku? Waduh kelihatannya kalian hanya pejudi kelas teri saja,” jawab Indra sembari menggelengkan kepalanya.
“Mau apa kau kemari?” tanya pria lainnya, dia terlihat sedikit tersinggung mendengar perkataan Indra tapi dia terlihat tidak mau gegabah karena melihat pakaian Indra yang seperti seorang pendekar.
“Ya jelas mau ikut taruhan lah,” jawab Indra cepat.
“Pendekar dilarang ikut, lagipula tampilan kere begitu mana punya duit,” ledek seorang pria berbaju rapi.
“Eh-eh, kalau aku memang pendekar kenapa aku tidak ikut berkumpul di dekat arena itu bersama pendekar lainnya? kebetulan saja hari ini aku memakai pakaian seperti ini. Lagipula buat apa pake baju rapi-rapi kalau penakut, ujung-ujungnya kalah juga,” balas Indra dengan meyakinkan. Sejenak pria-pria berbaju rapi itu saling memandang.
“Kalau begitu kau boleh ikut, tapi mana taruhanmu?” tanya seorang pria berbaju rapi dengan tatapan angkuh.
“Taruhan? Ooh.. ya, ya, kamu punya berapa koin emas disakumu?” tanya Indra.
“Lima puluh,” jawab pria yang ditanya Indra.
“Nah kalau begitu aku pinjam dua puluh lima. Jadi kita akan menaikan harganya ke dua puluh lima, bagaimana? Soalnya aku tidak terbiasa taruhan dengan harga rendah,” usul Indra.
“Hahaha.. kalau orang miskin sebaiknya pergi sana,” ejek seorang pria berbaju rapi.
“Wah, kalau takut sih bilang saja,” balas Indra.
“Kalau aku meminjamkan dua puluh lima koin emas, kalau kamu kalah mau bayar darimana?” tanya seorang pria berbaju rapi.
“Kalian tahu siapa pemilik kebun singkong paling luas yang ada di sebelah barat Pasir Gede?” bisik Indra dengan gaya meyakinkan.
“Kamu yang punya?” tanya pria di dekat Indra.
“Hihihi.. pantas saja kalian tidak tahu. Namaku Purwasena, nanti kalian bisa tanyakan kepada penduduk dekat Pasir Gede siapa pemilik kebun singkong yang luas itu. Sekarang ayo keluarkan saja koin emasnya,” tukas Indra sambil tertawa lebar. Pria itu saling memandang lalu mengeluarkan dua puluh lima koin emas, kini di depan mereka terkumpul dua ratus koin emas.
Tak lama kemudian pendekar yang pertama maju langsung bertarung dengan pendekar yang dibawa Adipati. Pertarungan yang cukup sengit hingga akhirnya sesuai dengan perkataan Indra, pendekar itu menang melawan pendekar pertama, tapi kalah oleh pendekar kedua. Tujuh pria berbaju rapi itu hanya tertegun saja, sementara Indra sambil tertawa segera mengambil dua ratus koin emas lalu memasukannya ke dalam kain di saku celananya.
“Hihihi.. terima kasih atas uangnya, sekarang aku pergi dulu untuk mengikuti sayembara,” ucap Indra sambil berjalan pergi.
“Hei kau! Jadi kau pendekar ya?” bentak seorang pria berbaju rapi.
“Pantas saja, kembalikan uang kami!” timpal yang lainnya. Indra lalu berbalik dan menjulurkan lidahnya.
“Lah yang bilang bukan pendekar siapa? Aku tadi cuma balik bertanya doang bukan menjawab kalau aku bukan pendekar. Makanya jangan main taruhan kalau nggak mau jatuh miskin!” ledek Indra. Seorang pria berbaju rapi langsung berlari hendak menghajarnya. Tapi Indra langsung melompat ke tengah arena, padahal pendekar pertama yang ikut sayembara itu masih sedang bersalaman dengan dua pendekar yang dibawa oleh Adipati.
“Wah kelihatannya pendekar kedua sudah tidak sabar,” ucap beberapa warga yang berkerumun. Sementara Indra hanya menjulurkan lidahnya dan memukul-mukul bokongnya ke arah para pria berbaju rapi yang tampak memakinya dari barisan belakang, tapi karena riuh para warga yang berkerumun makian mereka tidak sampai terdengar.
“Hahaha..” sontak saja warga yang berkerumun tertawa melihat tingkah lucu Indra, mereka pikir Indra bertingkah seperti itu hanya untuk menarik perhatian para penonton.
“Wah pendekar kedua ternyata sudah maju, silahkan pertarungan kedua dimulai!” ucap pembawa acara dari tepi lapangan.
Seorang pendekar pria yang dibawa Adipati langsung maju ke depan, dia bernama Sarmad. Tubuhnya tampak lebih tinggi dari Indra, mereka langsung memberikan salam khas pendekar dengan sebuah kepalan tangan kiri yang disatukan dengan telapak tangan kanan yang terbuka.
Indra menatap tajam lawan di depannya, mereka langsung memasang kuda-kuda gerakan silatnya. Indra melebarkan kaki kanannya ke depan, kepalan tangan kanannya di depan perut secara horizontal lalu telapak tangan kirinya yang terbuka berada di depan lehernya secara diagonal, tubuhnya juga agak membungkuk ke depan sebagai kuda-kuda awal gerakan silat khas perguruan Dharmabuana.
Bersambung…
Chapter 03
Senjata Makan Tuan
Sarmad menjadi orang pertama yang maju menyerang Indra dengan melayangkan tinju tangan kanannya, tapi Indra dengan lincah segera menahan pukulan lawannya menggunakan telapak tangan kirinya. Indra tersenyum lalu memutar tubuhnya ke belakang, Sarmad terlihat meringis kesakitan karena tangannya yang digenggam Indra dipaksa ikut dengan gerakan Indra.
Tapi Sarmad segera menghentakan satu kakinya ke tanah hingga tubuhnya terangkat ke atas, tapi cengkraman tangan Indra tidak lepas sedikitpun padahal Sarmad sudah menghentakan kakinya sekuat tenaga hingga kakinya kini sudah teracung ke atas sementara kepalanya masih dibawah. Indra lagi-lagi tersenyum lalu menarik tangan kanan Sarmad dan menghantamkannya ke tanah.
‘Gggbbuukk’
Terdengar suara benturan tubuh Sarmad menghantam tanah pesawahan yang sudah dilapisi jerami, Sarmad langsung meringis kesakitan. Tapi dia belum mengaku kalah, Sarmad segera memutarkan tubuhnya dengan kaki melayang mengincar leher Indra yang masih mencengkram tangannya. Indra langsung menundukan kepalanya dan melepaskan cengkraman tangan kirinya.
Sarmad langsung bertumpu kepada tangannya ke tanah, tubuhnya diangkat ke atas lalu kedua kakinya dihentakan mengincar dada Indra. Namun Indra dengan gesit segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada untuk menahan hantaman kedua telapak kaki Sarmad.
‘Dddssshh’
Kedua kaki Sarmad menghantam kedua tangan Indra, meski berhasil menahan serangan lawannya tapi Indra yang baru bangkit setelah menunduk tadi langsung sempoyongan ke belakang karena posisi berdirinya masih belum kokoh. Sarmad memanfaatkan itu dengan langsung bangkit dan melayangkan kembali tendangan kaki kirinya sambil memutarkan badan ke arah kiri.
‘Dddggghh’
Indra berhasil menahan tendangan Sarmad dengan punggung tangan kanannya, Sarmad kembali berputar berlawanan arah dengan yang tadi dia lakukan, kini dia berputar ke sebelah kanan dan melayangkan tendangan kaki kanannya.
‘Dddaagghh’
Indra kembali menangkis serangan lawan menggunakan lengannya, tapi kali ini dia tidak membuang kesempatan. Indra langsung menangkan kaki kanan Sarmad dan menariknya hingga kakinya membuka lebar, raut wajah Sarmad tampak jelas kalau dia menahan rasa sakit karena kakinya dibuka lebar.
“Ngeng..” ucap Indra seraya menggusur kaki kanan Sarmad layaknya menarik mobil-mobilan. Tentu saja Sarmad semakin kesakitan, dia mencoba meraih permukaan tanah menggunakan kedua tangannya untuk mencoba memberikan perlawanan.
‘Bbbreeekk’
Suara celana robek tiba-tiba terdengar, Indra segera melepaskan kaki kanan Sarmad yang sedang dia gusur tadi. Kedua tangan Sarmad spontan menutupi bagian pantat dan selangkangannya, ternyata karena pergerakannya tadi yang mencoba meraih tanah membuat celananya sobek. Sontak saja para warga yang hadir menyaksikan sayembara langsung menertawakan Sarmad yang sedang menahan malu.
“Awas kau..” gerutu Sarmad sambil terus menutupi celananya yang robek.
“Pppffftt.. Hihihihi..” Indra berusaha menahan tawanya, tapi karena tidak kuat akhirnya dia tertawa keras melihat Sarmad yang berjalan pelan sambil menutupi bagian celananya yang robek, kedua kakinya yang dirapatkan membuat cara berjalan Sarmad terlihat semakin aneh. Sarmad langsung keluar dari arena pertarungan untuk mengganti celananya.
“Diluar dugaan, pendekar Sarmad berhasil dikalahkan oleh penantang kedua kita. Selanjutnya dia akan menghadapi pendekar Kusna si jari besi,” ucap pembawa acara, riuh tepuk tangan disertai tawa memenuhi area pesawahan. Indra hanya berdiri sambil melambai-lambaikan kedua tangannya kepada warga yang ada di berbagai sisi arena.
“Huh, maju Jang!” teriak pedagang singkong dari kejauhan.
Seorang pria kekar dengan tubuh lebih besar dari Indra langsung memasuki arena, terlihat wajahnya begitu kesal melihat rekannya tadi dipermalukan di depan orang banyak. Mereka berdua langsung bersiap dengan kuda-kuda masing-masing. Pria bernama Kusna itu langsung merapatkan jari tengah dan jari telunjuknya, baik itu tangan kiri maupun tangan kanannya dia arahkan ke depan.
Indra terlihat sangat waspada menatap Kusna, tanpa aba-aba Kusna langsung maju dengan menghujamkan totokan jari kanannya mengincar leher Indra, Indra langsung menahan pergelangan tangan Kusna dan membalas dengan hantaman lutut kaki kanannya. Tapi Kusna memiringkan tubuhnya dan menyerang lagi dengan totokan jari kirinya, Indra mau tidak mau langsung melompat ke samping menghindari serangan lawan.
Indra mendekati tempat persenjataan dari kayu yang disediakan oleh penyelenggara sayembara. Indra langsung mengambil tongkat kayu dan memainkannya di tangan, Kusna kembali melesat dengan totokan jari kanan melesat mengincar kepala Indra. Tapi dengan sigap Indra segera menahan totokan Kusna itu dengan tongkat yang dia pegang.
‘Bbbrrakk’
Seketika itu juga tongkat kayu langsung patah menjadi dua, Indra yang terkejut segera membuang kembali tongkat di tangannya. Dia pikir percuma saja menyediakan senjata murahan seperti itu untuk menghadapi pendekar tangguh seperti Kusna.
“Itu memang bukanlah ilmu kanuragan, melainkan hanya tenaga dalam yang dialirkan ke jari-jarinya. Sekali terkena totokannya tubuhku pasti berlubang,” gumam Indra sambil bergidik ngeri. Kusna kembali melesat menuju Indra, kali ini setelah Kusna cukup dekat Indra langsung melompat ke udara dan melayangkan tendangan tiga kali beruntun.
‘Ddagh’
Semua tendangan Indra berhasil ditahan oleh Kusna, lawan Indra itu kali ini kembali membalas dengan melesatkan totokan tangan kanan dan kirinya secara beruntun. Tapi Indra yang baru menapak di tanah dengan cekatan memiringkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan menghindari totokan Kusna seakan sedang menari.
Indra langsung melakukan serangan balik dengan memutar badannya dan melayangkan hantaman tumit kaki kirinya mengincar leher Kusna. Namun Kusna dengan sigap menunduk seraya menjulurkan totokan tangan kanannya mengincar kaki kanan Indra, tapi Indra tidak diam saja dia langsung menghentakan kaki kanannya ke tanah hingga tubuhnya terlontar ke atas lalu menghujamkan tumit kaki kanannya mengincar bahu Kusna.
‘Bbekh’
Serangan tumit kaki kanan Indra dengan tepat berhasil menghantam bahu kiri Kusna sampai tubuhnya roboh ke tanah, meski Kusna meringis kesakitan dia langsung memaksakan diri untuk menjauh dari Indra dengan menghantamkan kedua telapak tangannya ke tanah, Kusna berjungkir balik ke belakang lalu berdiri sembari memegang bahu kirinya.
“Hihihi.. apa hanya itu kemampuanmu kisanak?” ledek Indra sambil petangtang petengteng di tengah arena lalu berbalik membokongi Kusna.
“Diam kau bocah ingusan!” bentak Kusna yang terpancing amarahnya, dia langsung menghentakan kakinya. Hanya dalam satu lompatan saja, tubuhnya sudah melesat berada di depan Indra dengan jari telunjuk dan jari tengahnya terbuka siap menusuk punggung Indra.
‘Ddakh’
‘Bbrrsstt’
“Hekh..” Kusna menjerit karena kini kedua jari tangannya masuk ke lubang hidungnya sendiri, tidak lain itu adalah ulah Indra yang langsung berbalik sambil menghantam pergelangan tangan kanan Kusna hingga jarinya melesat masuk ke lubang hidungnya sendiri sampai mengeluarkan darah. Indra juga langsung menyapu kedua kaki Kusna sampai ambruk di arena.
“Haduh.. haduh,” rengek Kusna yang terlihat sangat kesakitan sambil duduk di arena, dia berusaha mencabut jari telunjuk dan jari tengahnya dari hidung. Darah mulai mengalir dari hidung Kusna ke jarinya.
“Hahaha..” terdengar suara para penonton tertawa lebar melihat Kusna yang kesakitan terkena jurusnya sendiri.
“Hihihi.. malah senjata makan tuan. Eh, maksudnya hidung makan jari,” kata Indra sambil tertawa.
Karena malu dan sakit akhirnya Kusna segera lari terbirit-birit dengan lubang hidungnya yang masih tertancap jari tangannya. Namun sebelum pergi dia menunjuk Indra seakan mengancam akan membalasnya, setelah itu Kusna langsung pergi ke belakang panggung dengan darah yang menetes dari tangannya.
Tanpa menuggu lama lagi satu pendekar lainnya langsung masuk ke dalam arena sayembara, dia adalah Tara. Tatapannya terlihat sangat tajam menatap Indra, setiap langkahnya terlihat penuh dengan wibawa. Sejak awal jika memang ada yang Indra waspadai dari ketiga pendekar yang duduk di kursi itu maka Tara adalah orangnya.
“Dia pendekar yang cukup cerdik, mengelabui Kusna dengan bersikap seolah-olah lengah. Dia juga pintar memancing emosi lawannya agar terbawa emosi,” gumam Tara sambil menatap Indra yang masih tersenyum lebar.
“Kelihatannya aku tidak bisa main-main menghadapi yang satu ini,” ujar Indra sambil balas menatap Tara yang mulai mendekat.
Bersambung…
Chapter 04
Gerakan Silat Dharmabuana
“Kau cukup hebat pendekar muda, kalau boleh tahu. Siapa namamu?” tanya Tara sambil membuat salam khas pendekar.
“Nama saya Indra, kisanak juga kelihatannya pendekar tua yang hebat. Kalau boleh tahu siapa nama kisanak?” jawab Indra sambil tersenyum.
“Namaku Tara, sayangnya aku tidak seperti Kusna dan Sarmad. Aku sudah cukup tua untuk mudah terpancing emosi,” tukas Tara sambil mulai memasang kuda-kuda.
“Sayang sekali, kelihatannya akan sangat merepotkan,” kata Indra yang juga mulai memasang kuda-kuda khas perguruan Dharmabuana. Kali ini dia sadar tidak akan mudah mengalahkan lawannya, terlebih Tara memang terlihat lebih kuat dari Kusna dan Sarmad.
Tara langsung maju dengan tinju tangan kanannya, Indra juga melakukan hal yang sama. Benturan dua tinju pendekar itu terdengar keras pertanda tangan mereka dialiri oleh tenaga dalam. Tatapan mereka beradu seolah sedang mengukur kekuatan lawannya masing-masing, Indra langsung melayangkan pukulan tangan kirinya mengincar dada Tara, tapi dengan gesit Tara memiringkan tubuhnya ke sebelah kiri.
Kaki kanan Indra melayang mengincar pundak Tara, namun dengan tenang Tara berhasil menahan tendangan Indra. Tapi tubuh Tara sedikit tergeser ke kanan pertanda tendangan Indra memang sangat keras, melihat lawannya bisa menahan tendangannya Indra malah tersenyum. Tara menyipitkan matanya seolah tidak paham kenapa Indra sampai tersenyum seperti itu.
Tara hendak mencengkram kaki kanan Indra tapi tangannya hanya menangkap angin karena Indra sudah memutar tubuhnya kembali dan menunduk seraya menjulurkan kaki kanannya hendak menyapu kaki Tara. Tapi dengan lincah Tara langsung melompat ke udara, tapi Indra langsung mengangkat tubuhnya dan bertumpu ke tanah menggunakan kedua tangannya.
‘Dddaaggh’
Kedua kaki Indra melayang hendak menghantam dada Tara, tapi Tara berhasil menahannya dengan kedua tangan disilangkan di dada. Meski begitu tubuhnya terpental ke belakang meski tidak sampai jatuh. Indra langsung jungkir balik menyusul Tara yang baru menapak ke tanah.
‘Dddsshh’
Telapak kaki kanan Indra yang melayang berhasil ditangkap oleh kedua tangan Tara, tubuh Indra langsung diangkat hendak dibanting oleh Tara. Tapi Indra menyadarinya, dia langsung menghentakan tangannya ke tanah, tubuhnya berputar di udara sampai tangan Tara juga terlihat ikut berputar, jika Tara menahannya kemungkinan kedua tangannya akan patah, mau tidak mau dia juga menghentakan kakinya ke tanah sampai tubuhnya ikut berputar bersama Indra. Merasa kakinya tidak dilepaskan, Indra langsung menarik kakinya mendekat lalu dihentakan sekaligus ke depan. Kali ini Tara melepaskan tangannya dan melompat ke samping.
‘Wwwrrrr’
Terdengar suara riuh angin melesat dari arah hentakan kaki kanan Indra, angin yang bertiup itu bahkan sampai ke panggung dan dirasakan oleh Adipati Mangkuwira serta putrinya. Andaikan Tara tadi tidak menghindar kemungkinan tubuhnya akan terpental keluar arena dan dinyatakan kalah.
“Tekanan tenaga dalam yang luar biasa,” ujar Adipati sambil menatap Indra. Sementara Mira hanya terdiam sambil terus melihat setiap pergerakan Indra.
“Kau cukup handal untuk ukuran pendekar muda,” puji Tara, kali ini dia terlihat menarik nafas dalam sambil memasang kuda-kudanya.
Indra tak menanggapi perkataan Tara, dia langsung memasang kuda-kuda gerakan silat Dharmabuana yang dinamakan gerakan Saptabayu. Tara melesat sambil menghantamkan telapak tangannya mengincar dada Indra, namun Indra membalasnya dengan tinju tangan kanannya.
‘Dddessh’
Terdengar suara benturan tenaga dalam terjadi saat pukulan tangan kanan Indra menghantam telapak tangan Tara, jerami yang berad di sekitar tubuh mereka berdua langsung terhempas menjauh. Riuh angin bertiup dari titik benturan yang terjadi, Tara kembali menghantamkan telapak tangan kirinya, tapi kali ini Indra menahannya dengan lutut kaki kanannya.
‘Dddsshh’
‘Dddashh’
Terdengar suara benturan demi benturan terjadi saat mereka beradu serangan, jerami yang dihamparkan menutupi pesawahan kini mulai berhamburan karena tertiup angin yang muncul dari titik benturan serangan mereka berdua. Para penonton yang hadir tidak ada yang berani bersuara sekecil apapun, mereka tertegun mematung melihat pertarungan dua pendekar di dalam arena.
Tara yang terus menerus menyerang Indra secara beruntun benar-benar dibuat kagum, meskipun usianya masih muda tapi kelihatannya pengalaman bertarung Indra memang tidak bisa diremehkan. Sementara Indra sendiri merasa cukup terkejut karena di usianya yang sudah tua ternyata pergerakan Tara masih terbilang cepat. Meskipun jika dibandingkan dengan gurunya memang masih kalah jauh.
Namun lama kelamaan serangan dari Tara mulai terasa melemah, saat itulah Indra balas menyerang dengan pukulan tangan kanannya namun Tara tersenyum dan menangkap kepalan tangan Indra, dia menariknya lalu menyongsong tubuh Indra dengan tinju tangan kirinya. Indra memang masih sempat menangkis pukulan tangan kiri Tara dengan lengan kirinya tapi lutut kanan Tara yang datang bersamaan dengan pukulannya berhasil menghantam dagu Indra dengan telak.
‘Ggdakh’
Indra mendongak ke atas karena dihantam lutut lawannya, tak hanya sampai di sana. Tara juga memutar tangan kanan Indra yang berhasil dia tangkap, mau tidak mau Indra juga harus memutar tubuhnya agar tangannya tidak patah. Tapi Tara tidak tinggal diam, dia langsung menarik lengan Indra ke tanah sekaligus untuk menghantamkannya ke tanah pesawahan. Tapi Indra segera menahan tubuhnya dengan telapak tangan kirinya, tak hanya itu dia juga menghentakan tangan kirinya ke tanah sampai tubuhnya terlontar ke atas.
‘Ddagh’
Indra menyarangakan kedua telapak kakinya ke dada Tara yang baru hendak bangkit setelah serangannya gagal. Tubuh Tara terjungkal ke belakang karena posisi tubuhnya tadi belum sempurna setelah menunduk untuk menghantamkan tubuh Indra. Melihat hal itu Indra tidak membuang kesempatan, dia langsung menghujamkan tumit kaki kanannya mengincar tubuh Tara yang terbaring di tanah.
‘Bbbeekkhh’
Terdengar suara keras saat kaki kanan Indra menghantam tanah sebab Tara berguling ke samping, seluruh penonton yang melihat itu terlihat ngilu karena membayangkan betapa sakitnya kaki Indra yang menghujam tanah kering pesawahan. Tapi alih-alih meringis kesakitan Indra justru kembali melompat menyongsong Tara.
‘Hheekh’
Kali ini hantaman kaki kanan Indra berhasil ditahan oleh Tara tepat di atas dadanya, namun tanpa di duga darah mulai mengalir dari bibir Tara, dia terlihat begitu kewalahan menahan tenaga Indra. Melihat hal itu Mira langsung berdiri dan mengangkat tangan kanannya ke atas.
“Pertandingan telah selesai, pemenangnya adalah sang pendekar penantang!” teriak Mira, semua penonton terkejut termasuk Indra sendiri. Wajahnya yang kebingungan tampak menatap Mira, sementara kaki kanannya segera diangkat dari tubuh Tara yang terlihat terengah-engah.
“Tara memang tidak tahu menyerah, jika tidak dihentikan sampai kapanpun dia akan tetap bertarung,” gumam Adipati.
“Kelihatannya kaulah yang menang, pendekar muda,” ucap Tara sambil menyeka darah di tepi mulutnya.
“Terima kasih, tapi tuan pendekar juga hebat,” kata Indra sambil membantu Tara berdiri.
“Kalau boleh tahu, di mana kau berguru selama ini?” tanya Tara sambil meraih tangan Indra.
“Saya selama ini berguru di perguruan Dharmabuana,” jawab Indra.
Riuh tepuk tangan penonton langsung terdengar saat Tara berdiri dibantu oleh Indra yang langsung melambai lambaikan tangannya. Setelah bersalaman akhirnya Tara kembali duduk di kursinya menemani Sarmad yang sudah mengganti celananya dan Kusna yang kini kedua lubang hidungnya disumpal dengan kapas.
“Jika saja kita boleh menggunakan ilmu kanuragan, sudah aku remukkan tubuhnya sejak tadi,” gerutu Sarmad.
“Ya, dia bahkan tidak mungkin bisa menahan ajian totok waja milikku,” timpal Kusna.
“Kalian terlalu berlebihan, setelah aku bertarung dengannya aku sadar bahwa dia bukanlah pendekar muda biasa. Tapi baru kali ini aku mendengar perguruan Dharmabuana,” ucap Tara sambil duduk di kursi.
“Perguruan daerah mana itu kang? Saya juga baru kali ini mendengarnya,” tanya Sarmad.
“Entahlah, aku juga baru pertama kali mendengar nama perguruan Dharmabuana,” jawab Tara.
“Dimanapun itu tidak penting, jelas-jelas itu cuma perguruan kecil,” tukas Kusna yang terlihat masih dendam kepada Indra, tampak Indra melambaikan tangannya kepada mereka bertiga.
“Cih,” gerutu Kusna lagi.
Indra hanya tersenyum melihat sikap Kusna yang terlihat masih marah kepadanya. Tapi Indra langsung termenung, sejak tadi dia tidak melihat pendekar keempat yang akan dihadapinya. Indra langsung melirik ke sana kemari untuk mencari keberadaan pendekar keempat yang harus dia lawan. Tapi tanpa di duga yang melompat ke arena justru Mira Mangkuwira sang putri Adipati sendiri.
Bersambung…
Chapter 05
Ilmu Kanuragan Tingkat Tinggi
Semua orang di tempat itu tersentak kaget karena sang putri yang memakai pakaian mewah itu kini berdiri di tengah arena bersama dengan Indra. Tatapan Mira dengan tajam menatap Indra yang berdiri di depannya.
“Di mana pendekar terakhirnya nona?” tanya Indra sambil tersenyum.
“Kau sudah melihatnya sendiri sekarang,” jawab Mira dengan dingin.
“Maksudnya? Ah jangan bilang kalau dia berbuat curang dengan menggunakan aji halimunan,” kata Indra sambil berjalan.
“Tidak akan ada yang melanggar peraturan di sini, aku pendekar terakhir yang akan kau lawan!” tegas Mira sambil bertolak pinggang.
“Tunggu sebentar nona, saya bingung. Jika nona pendekar terakhirnya, lalu siapa yang akan saya nikahi nanti?” tanya Indra dengan serius.
“Kau tidak akan menikahi siapapun!” bentak Mira sambil melepas pakaian mewahnya.
“Tunggu, aduh saya belum siap nona. Sekarang kita ada di depan orang banyak,” tukas Indra sambil menutup matanya dengan jari-jari tangannya yang terbuka.
Mira langsung melemparkan pakaian mahalnya ke panggung, anehnya kain yang biasa begitu ringan tertiup angin itu terlihat melesat seakan batu yang dilemparkan. Ternyata Mira sudah mengenakan pakaian khas pendekar di dalam pakaian mewahnya tersebut, semua orang yang ada di tempat itu juga tampak kaget karena tidak pernah menyangka jika pendekar terakhir yang harus dilawan para peserta sayembara adalah putri Sang Adipati sendiri.
“Jangan pernah berpikir kau bisa memenangkan sayembara ini!” tegas Mira sambil memasang kuda-kuda.
“Tunggu dulu, kita mungkin bisa bicarakan semuanya baik-baik. Aku tidak mau mencari masalah dengan gadis yang akan menjadi istriku nantinya, aku tidak mau malam-malam malah ditikam pisau dapur, ataupun dimasakin sop cicak,” kata Indra sambil bergidik, kedua tangannya memberi isyarat agar Mira tenang.
Tapi sebaliknya, Mira malah terlihat begitu kesal. Dia langsung melesat melayangkan pukulan tangan kanannya mengincar pipi Indra, tapi dengan sigap Indra langsung menangkap pukulan tangan kanan Mira. Tapi dengan lincah Mira langsung melayangkan tendangannya mengincar selangkangan Indra, tentu saja Indra langsung melepaskan pegangan tangannya dan melompat mundur ke belakang.
“Waduh jangan gitu atuh neng, bisa hancur masa depan saya,” ucap Indra sambil bergidik.
Tapi Mira tidak menanggapi ucapan Indra, dia langsung maju lagi dengan pukulan tangan kirinya. Indra kembali menahan pukulan Mira dengan telapak tangan kanannya sampai terdengar suara benturan keras, Indra terlihat meringis kesakitan dan langsung melompat ke samping. Tapi Mira tidak tinggal diam, dia segera menghantamkan tumit kaki kirinya, meskipun Indra berhasil menahan hantaman kaki Mira dengan lengannya tapi tubuhnya langsung terdorong agak jauh.
“Gadis ini, dia lebih tangguh dari dugaanku,” gumam Indra sambil mengepretkan lengan kanannya yang terasa sakit. Indra kali ini langsung serius memasang kuda-kudanya, dia sadar meskipun seorang wanita tapi Mira jelas-jelas pendekar yang terlatih.
“Menurut Kang Tara apa pemuda itu akan mampu mengalahkan Neng Mira?” tanya Sarmad.
“Aku tidak tahu, mereka berdua sama-sama memiliki kemampuan yang hebat,” jawab Tara sambil terus melihat pertarungan Mira dan Indra yang mulai jual beli serangan.
“Akang terlalu berlebihan, bagaimanapun Neng Mira adalah murid terhebat mendiang Aki Waruga. Ilmu kanuragan dan keterampilannya bahkan melebihi ayahnya sendiri,” sela Kusna yang tampak tidak setuju dengan pendapat Tara.
“Memang benar, tapi kita tidak boleh meremehkan lawan selemah apapun penampilannya. Aku yakin Neng Mira juga mengetahuinya, karena itu dia masih belum menunjukan tehnik-tehnik silat yang diajarkan Tuan Guru Aki Waruga,” kata Tara yang tetap dengan pendapatnya.
Indra terus bertarung dengan Mira, pola serangannya hampir mirip dengan yang dilakukan oleh Tara. Tapi bedanya kecepatan dan kekuatan Mira tidak menurun sedikitpun meski dia melakukan serangan terus menerus secara beruntun, suara hentakan dan benturan tangan kosong terdengar menggelegar saat beradu. Jerami yang dihamparkan di atas tanah kering pesawahan kini semuanya sudah berada di pinggir arena karena terhempaskan angin yang timbul akibat benturan tenaga dalam mereka berdua.
Indra terus melayani serangan beruntun Mira dengan gerakan silat Saptabayu, Mira langsung menghantamkan pukulan tangan kirinya yang langsung ditahan oleh telapak tangan kanan Indra. Benturan kembali terjadi sampai suaranya terdengar oleh para penonton. Indra dengan cepat langsung melayang dan menghantamkan kedua telapak kakinya mengincar bahu Mira.
Akan tetapi Mira dengan cepat mendoyongkan tubuhnya ke belakang, kedua telapak tangan Mira juga langsung menyongsong punggung Indra yang melesat di atasnya, tapi serangan Mira itu tak luput dari perhatian Indra yang langsung memutar tubuhnya di udara dan menahan kedua telapak tangan Mira menggunakan kedua telapak tangannya.
‘Bbgghh’
Terdengar suara benturan keras, tubuh Mira langsung roboh menyentuh tanah sementara tubuh Indra terlontar ke atas akibat benturan serangan mereka yang dialiri tenaga dalam. Tapi Mira langsung berbalik dan bertumpu ke tanah menggunakan kedua tangannya, kedua kakinya diangkat lurus ke atas hendak menyambut tubuh Indra yang jatuh.
‘Dddakkh’
‘Bbbggghh’
Indra hendak menahan kedua kaki Mira dengan tangannya, tapi ternyata itu hanya pengalihan saja. Saat tubuh Indra sudah hampir menyentuh kaki Mira, dengan segera Mira melebarkan kakinya dan menjepit pinggang Indra dengan kedua kakinya, lalu Mira menghantamkan tubuh Indra ke tanah sampai berguling-guling.
“Sial, gadis itu ternyata cukup cerdik juga,” gerutu Indra sambil bergerak untuk bangkit. Tapi Mira tidak menyia-nyiakan kesempatan di depannya. Dia langsung melompat dan menghujamkan kakinya mengincar punggung Indra.
‘Bbaakkhh’
Terdengar suara benturan yang kencang saat tumit kaki kiri Mira menghantam permukaan tanah pesawahan sampai berhamburan, Indra ternyata sudah berguling dan langsung bangkit hanya dengan satu hentakan. Meskipun kakinya menghantam tanah pesawahan kering yang keras namun wajah Mira tidak terlihat meringis sedikitpun.
Baru saja Mira hendak menyerang lagi, tiba-tiba saja tanah terasa bergetar hebat. Semua orang yang berada di pinggir arena terlihat mulai panik karena getaran tanah bertambah kencang. Mereka langsung berhamburan dan berteriak ada gempa bumi, beberapa pendekar yang ada di tempat itu terlihat langsung saling memandang karena mereka tahu kalau getaran tanah itu bukanlah gempa bumi melainkan efek dari luapan ilmu kanuragan tingkat tinggi yang entah berasal dari mana.
‘Ddddhhooommrrr..’
Tiba-tiba saja terdengar suara ledakan yang memekakan telinga seiring dengan guncangan tanah yang semakin hebat, panggung di sana langsung roboh. Semua orang langsung tiarap di tanah pesawahan termasuk Mira dan Indra.
‘Deg’
Entah kenapa jantung Indra mendadak berdetak kencang, hatinya semakin berdebar, pikirannya langsung terasa gelisah. Indra langsung mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan terdengar, tidak salah lagi suara ledakan itu berasal dari Pasir Gede tempat perguruannya berada.
“Apa itu ledakan gunung berapi?” ujar beberapa orang warga.
“Bukan, itu di sana hanya ada bukit biasa,” timpal lainnya yang tahu tentang Pasir Gede.
“Apa yang sedang terjadi? Perasaan ini, ini adalah ajian pamungkas milik kakek,” gumam Indra saat melihat asap hitam membumbung tinggi dari puncak Pasir Gede, tubuhnya langsung merinding seketika. Jantungnya berdetak semakin cepat, hatinya juga semakin berdebar tak karuan. Di tengah getaran tanah yang mulai mereda, Indra langsung melompat keluar arena dan bersiap kembali ke Pasir Gede.
“Tunggu! Pertarungan kita belum selesai!” teriak Mira.
“Aku yang menang! Simpan seribu koin emasnya, nanti akan aku ambil lagi!” balas Indra yang berteriak di kejauhan. Mira hanya tertegun mendengarnya, dia tidak tahu harus berkata apa. Baru kali ini ada orang yang meninggalkan sayembara mengaku sebagai pemenangnya.
“Siapa yang menggunakan ilmu kanuragan tingkat tinggi ini,” batin Adipati Mangkuwira.
Sementara itu, Indra berlari sekuat tenaga dari Desa Legokpare, dia benar-benar merasakan firasat yang buruk. Untuk mempercepat langkahnya Indra langsung menggunakan ajian hampang raga. Dia dengan lincah melompat dari satu atap rumah ke rumah lainnya untuk memotong jalan agar cepat sampai di Pasir Gede yang ada di Desa Panuntungan.
Bersambung…
Chapter selanjutnya: Jejak Pertarungan
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
