
“ Jadi kemarin itu, lo teriak-teriak Wa… lo bilang ada Pocica di kamar lo." Kata Ajung yang berbadan besar sambil terus saja memakan camilan keripik yang dibeli ramai-ramai.
“ Oh, jadi semalam yang gw denger itu suara Wawa yang teriak-teriak ya?” tanya Dera, seorang cewe berbadan kurus tetapi doyan makan. Dera yang lagi asik baca buku dan duduk agak jauh mulai merapat.
“ Nah iya… makannya itu pintu sebenernya mau gw gebrak, takut lo kenapa-napa… tapi dikunci dari dalam.” kata Ajung.
“ tunggu …...
Pagi yang tidak cerah, sedikit mendung. Aku mengamati langit-langit kosanku yang sudah agak rusak dan berkelupas. ‘wah… kalau hujan bisa saja bocor ini…’ pikirku sambil masih tidur terlentang di atas kasur.
Pandanganku beralih ke jendela kamar yang berada di bawah langit-langit yang terkelupas itu. Mengamatinya… tapi tiba-tiba saja kilatan halilintar nampak menembus kain gorden yang sedikit transparan. Aku menutup telinga dan mataku dengan segera. Benar saja, suara gemuruh petir langsung menggelegar dan membuat jantungku berdetak dengan cepat.
Aku bangun dengan tergesa dan duduk sambil memutar otak, agar laptop dan lukisan-lukisanku yang masih tergeletak di lantai tidak kebasahan oleh bocoran air dari langit-langit yang sudah terlihat tidak baik-baik saja, seperti suasana hatiku.
Dengan enggan aku bangun dan merapikan tumpukan tugas lukisan set lokasi dengan palet warna yang sudah ditentukan oleh dosenku kedalam lemari buku, lukisan itu kubiarkan tergeletak setelah selesai melukis semalaman, sekarang sudah kering.
Laptop ku ambil dan kumasukan kedalam tas, karena aku harus berangkat ke kampus saat itu. Tugas lukisan tersebut merupakan tugas mata kuliah mayor yang aku ambil, Penata Artistik.
Saat hendak berangkat dan buka pintu, aku dikagetkan oleh anak angkat ibu kos yang berbadan besar yang tertidur tepat di depan pintuku dan menghalangi jalan.
Kos ini adalah kos putri, tetapi para penjaganya laki-laki semuanya, sebanyak 4 orang. Dua diantaranya anak angkat ibu kos, yang satu ini yang paling akrab dengan anak-anak kos, karena mau kalau disuruh apa saja dengan imbalan dibayar atau di jajani. Tapi denganku dia tidak seperti itu, ia membantuku dengan ikhlas.
“ Jung … ngapain tidur disini … ? ” tanyaku bingung. Dia hanya mengangkat kepalanya dan kembali tidur.
“ Pindah deh… samping lu itu tangga… kalo kenapa-napa … ”
“ Kaga bakalan… lo liat aja, badan gw lebih gede dari pada jalanan tangganya … kaga bakalan gw nyerosot kebawah, waaa …. " ujarnya sambil setengah sadar.
“ nah, tuh tau… udah deh minggir duluuu… gw mau ngampus ini, dah mau ujan.. gw ga bisa lewat. Masa mau langkahin kepala elu ?” tanyaku bingung mau lewat mana. Satu lorong itu benar-benar penuh dengan badannya Ajung.
Kamarku dan beberapa kamar kost terletak di lantai dua, tiga kamar masih menjadi satu dengan rumah ibu kost dibawah, beberapa kamar lain terpisah di luar pintu geser disamping kamarku, dan tepat didepan kamarku ada tangga turun kebawah yang di sampingnya terdapat dua kamar mandi. Entah kenapa ini makhluk tidur didepan pintu kamarku, dan bukan yang pertama kalinya.
“ Dah buru lu bangun … gw kesiangan …”
“ ehh.. justru gw yang ga bisa tidur gara-gara elu … malem- malem teriak-teriak…” katanya memasang muka kesal sambil bangun dan duduk.
“ hah… gimana? gw teriak-teriak?” tanyaku bingung, tapi seketika petir kembali menggelegar. Aku harus sampai ke kampus sebelum hujan.
“ Duh, udah mau ujaaan… nanti aja deh lanjutin ceritanyaaa… gw mau berangkat duluuu, minggggiiir.. udah bangun bagini malah tambah penuh ini ruangan…” Ujarku sambil sedikit mendorong dengan paksa. tapi tetap saja, susah.
“eehhh waaaa… luu kagaa mandii duluuu…?” panggilnya sambil teriak.
“ bodo ah, udah telat gw!” jawabku sambil berlari menuruni tangga. Ada si mamih kos lagi telpon, aku menghampirinya untuk salam lalu bergegas keluar menuju pintu depan dan pagar.
“ Neng … buru-buru amat …?” ujar salah satu preman yang tinggal di gang itu juga. Aku sedikit takut dengan dia karena wajahnya yang sangar dan tatonya yang banyak. Tetapi wajah anak-anak kampus banyak yang lebih seram dari dia, juga tatonya lebih beringasan. Tetap saja aku masih takut, tetapi berusaha tidak menilai seseorang dengan tampilannya saja, jadi aku hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman.
Aku lanjut berlari menuju kampus, kalau mengendarai kendaraan bermotor bisa hanya 5 menit sampai, kalau berjalan kaki sekitar 15 menit dan berlari 10 menitan.
Badanku cukup berisi, dan aku suka berolahraga saat SMA, namun entah, saat kuliah aku menjadi malas, mungkin karena sudah terlalu lelah dengan tugas-tugas yang menumpuk.
Sepuluh menit aku sudah berlari, sudah hampir sampai gerbang. Tiba-tiba ada motor yang hampir menabrakku saat tikungan memasuki gerbang kampus. Aku lihat ia mengendarai vespa berwarna biru muda menggunakan helm senada, dengan wajah jutekny, berjenggot tipis, tapi ganteng. Matanya hanya melirik kearahku dan melanjutkan jalannya tanpa meminta maaf.
Aku hanya menarik nafas lalu membatin sambil cemberut. ‘ Untung ganteng lu bang… gw maafin deh…’ Lalu aku lanjut lari lagi menuju bangunan kampusku yang terletak paling depan.
Dibelakangku ada bunyi bel sepeda. Aku berhenti sejenak, terdapat seorang bapak-bapak sedang mengendarai sepeda ontel dengan belnya senyum-senyum menghampiri.
“ Lari- lari aja neng… sini di bonceng abang … ” godanya.
Ia adalah salah satu maskot di kampus ini dan semua orang mengenalnya. Sosok seorang bapak berkebutuhan khusus yang sangat ramah, suka menggoda dan menyapa setiap orang yang datang. Tetapi jangan ditanya ketika tantrum ya… waaah ! ….
Aku menjawabnya dengan memperlihatkan gigiku, mengangguk dan lanjut berlari ke dalam.
Sesampainya didalam si cowo jutek sudah memarkirkan vespanya dengan cuek, aku berjalan perlahan sambil bergumam, ‘jangan hujan dulu, jangan hujan dulu…’, ia melihatku melewatinya, matanya mengikutiku dan aku merasa risih, sepertinya ia masih meletakan helmnya atau entah, cukup lama juga ia disana. Setelah itu aku mempercepat jalanku menuju prodiku dan benar saja, begitu sampai pintu masuk, hujan turun dengan derasnya.
“ Ahhh.. syukurlaah…." seruku lalu aku menoleh ke si cowo jutek itu. Kebasahan, aku terkikik dan langsung kabur ke kelas.
***
Aku masuk ke dalam kelas penyutradaraan, salah satu mata kuliah yang ku suka. Aku selalu mengambil bangku paling depan, rajin mencatat dan bertanya. Sudah sekitar 10 menit berlalu namun dosen yang biasanya cepat sampai, ini belum hadir, mungkin terjebak hujan, pikirku. Suasana kelas ribut, setiap anak sedang bercerita dengan temannya masing-masing. Ada yang tertidur didalam kelas, bersin-bersin, disalahkan karena membuang angin di ruangan ber AC, tapi memang dingin udaranya. Aku berbincang dengan teman satu kosku, Dera.
Tiba-tiba seseorang masuk kedalam kelas. Awalnya kami mengira dosen penyutradaraan, tetapi seseorang dengan rambut cepak, berjenggot tipis dengan wajah juteknya langsung duduk di depan, di kursi dosen. Aku bingung dan beberapa teman bingung.
“bang Ardi, mas Cahyo kemana?” tanya salah satu senior yang sepertinya kenal dengan orang itu.
“istrinya lahiran…” jawabnya singkat dengan suara beratnya, lalu ia melihat padaku yang duduk tepat di depannya.
“ Eh lu, pawang hujan… hapus papan tulisnya…” katanya sambil menunjukku dengan dagunya. Aku celingukan.
“ Yah malah celingukan, bukannya apus… buruan.” Katanya lagi dengan sedikit ketus.
Ketika aku hendak bangun, seseorang yang duduk di belakang sudah maju untuk menghapus, lelaki jangkung yang menggunakan hoodie hitam. Hoodie itu masih ia kenakan didalam kelas. Ia juga hanya mengenakan celana jeans rombeng belel dan sendal hotel.
“ Kenapa jadi elu yang hapus?” tanya abang jutek itu.
“ Bang Ardi, dia yang piket hari ini…" jelas senior yang bertanya tadi.
“ oh yasudah.” matanya masih menatapku jengkel.
Kelasnya berbeda dengan kelas mas Cahyo yang fun. Pembawaan laki-laki ini membuat teman-teman tegang dan nampak tidak bersemangat. Berbeda dengan ku yang bolak-balik di ajukan pertanyaan, bolak-balik dibilang pawang hujan.
“ Wa ... ada masalah apa, lo sama bang Ardi?” tanya beberapa teman yang penasaran.
“ Ga ada masalah apa-apa… ga tau tuh kenapa dia… ketemu juga baru … harusnya gw yang marah sama dia tadi mau nabrak gw tapi ga minta maaf" jelasku pada mereka.
“ Kenapa dia yang malah kesel sama elu? " tanya Didi, senior yang tadi bertanya ke si abang jutek.
“ mana gw tauuu…” jawabku bingung, tiba-tiba ada yang dingin-dingin dikepalaku.
Cowo berhoodie hitam itu meletakan minuman dingin di kepalaku.
“ nih buat si pawang hujan… ah, gw panggil lo pawang hujan juga …" ejeknya, tiba-tiba dia kaku terdiam, langsung memberikan minuman itu ke tanganku lalu kabur.
“ Rie.. kenape lu…?” tanyaku setengah berteriak pada Arie.
“ Lo ke kantor dosen sekarang … ” kata suara berat yang ada dibelakangku.
“ Pawang hujan… kalau dipanggil nengok. ” panggilnya.
“ Saya bang?” tanyaku bingung.
“ Iya siapa lagi ? cepet ikut gue … ” - “ Sekarang bang?” tanyaku dan dibalas dengan pelototan matanya yang ganas, aku bangun dan mengikutinya.
“ Di, tolong bayarin dulu ya, ntar gw ganti …” pintaku pada Didi, yang hanya dijawab dengan anggukan.
***
Bang Ardi, duduk dengan angkuh di meja mas Cahyo.
“ Lo bantu TA (Tugas Akhir) Gw di departemen artistik. Mas Cahyo rekomendasi lo juga. Ga tau kenapa lo lagi lo lagi. ” katanya dengan nada kesal.
“harusnya saya yang bilang gitu bang. abang yang tadi mau tabrak saya. abang juga yang pelototin saya… kenapa saya yang kena marah terus sama abang? sekarang abang minta bantuan saya. minta maaf saja ke saya tadi enggak loh bang… ” jawabku dengan kesal.
“ oh, berani kamu ya… tadi kamu baca mantra apa, sampai saya kehujanan? dasar pawang hujan!”
“ loh.. siapa yang baca mantra? tadi saya baca doa bang… jangan hujan dulu tunggu sebentar lagi saja hujannya, begituu…” ujarku sambil mengulang doa yang aku baca tadi.
“ sama aja baca mantra, mana ga doain guw sampai bangunan dulu lagi … ” ujarnya dengan kesal.
'siapa eluuu…' pikirku.
“ Yaudah pokoknya bulan depan, lo bantu gw syuting. terserah tim lo siapa, elo penata artistiknya. Pekan ini gw kasih scriptnya yang udah di ACC, lo breakdown deh sana.” jelasnya, tapi aku masih terdiam.
“ udaah sana.. nunggu apa…? ” tanyanya lagi.
“ bang, ada 3 kata yang punya kekuatan super, abang tau ga?” tanyaku, dia diam saja.
“ tolong, maaf dan terimakasih …" jawabku sambil meninggalkan orang itu.
Orang itu tertawa sambil mendengus. “ Lo ngajarin gw, pawang ujan… ?”
***
'Mimpi apaa gw semalem … tiba-tiba ketemu orang kaya gini… ga ada kata maaf, tolong ataupun terimakasihnya… '
batinku sambil menendang kaleng cola yang terserak di jalan.
Terdengar suara knalpot motor dua tak rombeng, berisik semakin mendekat.
“ Wa.. bareng ga? gw mau kearah kosan lu nih …” ajak Arie si hoodie hitam yang kosannya masih agak jauh. Biasanya aku pulang dengan Dera, tapi karena aku dipangil tadi, teman-teman sudah pulang semua.
“ boleh lah … sudah capek juga hatiku ini denger abang itu tadi ngoceh … ” jawabku tapi langsung disikut oleh Arie.
Dibelakangku bang Ardi lewat dengan vespa birunya, tanpa menyapa. Hanya memandang jutek saja. Aku memincingkan mata kesal.
***
Sepanjang jalan menuju kosan yang kalau pulang dengan kendaraan menjadi berputar arah dan menghabiskan waktu lebih lama, aku menceritakan keluh kesahku dengan bang Ardi kepada Arie.
“ Serius dia kira elu baca mantra biar ujan? ” tanyanya sambil ketawa, aku mengangguk.
“ Dia ngira lu penyihir kali wa… hahahhahaha asli ngakak gw…” kata Arie sambil tertawa, tanpa sadar tanganku memukul kepalanya yang menggunakan helm.
“ Dah lah, gw udah cape.. mau tidur lagi… bentar lagi ujan lagi nih… elu jangan lupa pakai jas ujan …”
“ Iya siap bu Penyihir … ” - “ Avada kedavra…. ” balasku sambil menjentikan jari ke arah helmnya. Dia terawa.
***
Malamnya, di ruang santai kosan, tempat biasa kami nonton setiap malam sambil makan, ngemil ataupun hanya sekedar mengobrol saja, Ajung menceritakan kenapa dia tidur didepan kamarku.
“ Jadi kemarin itu, lo teriak-teriak wa… lo bilang ada Pocica di kamar lo." Kata Ajung yang berbadan besar sambil terus saja memakan camilan keripik yang dibeli ramai-ramai.
Dera yang lagi asik baca buku dan duduk agak jauh mulai merapat.
“ Oh, jadi semalam yang gw denger itu suara Wawa yang teriak-teriak ya?” tanya Dera, seorang cewe berbadan kurus tetapi doyan makan.
“ Nah iya… makannya itu pintu sebenernya mau gw gebrak, takut lo kenapa-napa… tapi dikunci dari dalam.” kata Ajung.
“ Ajung berisik banget semalam, lo sama sekali ga sadar wa?” tanya bang Zaen, salah satu penjaga kosan yang ikut nimbrung nonton.
“ hah? apaan deh? ribut-ribut? pocica? jam berapa?” tanyaku.
“ ham helapa hih hemalam? (jam berapa sih semalam?)” tanya ajung yang mulutnya penuh dengan keripik.
“ kayaknya sih hampir jam satu atau dua malam gitu deh, lo minta tolong juga wa …" jelas bang Zaen.
“ hihyaa, hangkanya hita hanik (iya makanya kita panik)” ujar Ajung lagi.
“ tunggu … jam segitu gw lagi ngelukis sambil pakai earphone … dan pintu ga pernah gw kunci Jung…”
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
