Nusantara Top Secret Project: Rongga Waktu - Cerpen

37
9
Deskripsi

The Great Palangka City, tahun 2382.

Vorne keluar dari pintu teleportasi umum. Remaja laki-laki itu bergegas menuju rumah sederhananya di lantai 153. Sepatu angin di kakinya dia kaitkan pada dua utas hologram, lalu dia berpegangan. Sepuluh detik, dia sampai di lantai 153 berkat dorongan hologram itu.

Ini adalah salah satu cerpen dalam buku ‘Rinduku Sederas Hujan Sore Itu.’ Terbit tahun 2017 (Noura Publishing), dan republished tahun 2019. Akan terbit cetakan ulang ke-3 Februari 2022.

Nusantara Top Secret Project: 

Rongga Waktu

J.S. Khairen

The Great Palangka City, tahun 2382.

Vorne keluar dari pintu teleportasi umum. Remaja laki-laki itu bergegas menuju rumah sederhananya di lantai 153. Sepatu angin di kakinya dia kaitkan pada dua utas hologram, lalu dia berpegangan. Sepuluh detik, dia sampai di lantai 153 berkat dorongan hologram itu.

Rumah susun ini terdiri dari 211 lantai. Kawasan tempatnya tinggal di The Great Palangka City ini, satu-satunya kawasan yang masih belum dihancurkan Komplotan Gulita.

“Ibu.” Belum selesai pintu otomatis di rumahnya itu terbuka, Vorne sudah menggumam kepada ibunya yang terbaring lemah. Ada ribuan jenis penyakit di dunia ini, semuanya sudah ada obatnya. Namun, tidak dengan penyakit Yohera, ibu Vorne.

Ibunya menoleh.

“Aku baru kembali dari Rumah Sakit Palangka. Aku pikir mesin pendeteksi mereka rusak. Tapi, dua jam aku memeriksanya, tidak ada sama sekali data yang cocok dengan penyakit Ibu! Aku... aku....” Vorne tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahkan, pada daftar penyakit amat langka, juga tak ada yang cocok dengan hasil analisis darah milik Yohera.

“Dari rumah sakit? Bukannya hari ini kamu tes Sabuk Hud Putih?” tanya Yohera.

“Aku gagal lagi.” Vorne melengos. Sabuk Hud Putih adalah level paling awal, yang bisa diambil untuk bisa bergabung dengan angkatan bersenjata. Vorne sudah gagal tiga kali dan banyak kawan-kawannya sudah masuk akademi. Nusantara membutuhkan pasukan-pasukan baru untuk menumbangkan musuh secepatnya.

Yohera tersenyum. “Baru tiga kali gagal,‘kan?”

“Dulu, Panglima Koyop, panglima tergagah se-Nusantara, gagal enam kali untuk sabuk pertamanya,” Vorne mendahului ibunya, dia sudah hafal sekali kalimat ini.

Dengan sisa-sisa tenaga, Yohera memencet sesuatu di gelang digitalnya. Sret. Jendela rumah mereka terbuka. Tampak ratusan gedung tinggi, lebih tinggi daripada awan teren dah. Hampir semuanya sudah berantakan dan hancur.

“Vorne, anakku.” Yohera berdiri dengan bantuan kasur otomatisnya.

Bukan, tulangnya tak lumpuh. Ada masalah dengan organ dalamnya, entah jantung, entah lambung. Yang jelas, mesin pendeteksi tercanggih tak bisa mengetahuinya. Ini terjadi sejak pertarungan itu. Jika banyak bergerak, akan membuat jantungnya memompa darah lebih cepat dan ini bisa berbahaya baginya. Vorne berupaya mencegah ibunya, tetapi Yohera mengelak.

Vorne mendekat. Kali ini,dia tak terbang dengan Sepatu Angin. Dia melangkah dengan kakinya, menghampiri Yohera.

Yohera memencet lagi gelang digital itu. Keluar semacam peta hologram yang memperlihatkan tiap sudut rumah sederhana mereka. “Ibu lupa di mana menyimpannya.” Yohera mengutak-atik. Tak lama, peta hologram itu berhasil men- deteksi keinginan Yohera. “Nah, di sana. Coba kamu ambil.”

Vorne bergegas. Dia menarik sebuah panel besar yang tertempel di dinding. Di dalam panel itu, ada banyak panel kecil. Di panel kecil paling bawah, ada sebuah gagang rahasia. Vorne menggenggam benda itu. Seketika, di luar terdengar gemuruh hendak hujan.

“Kertas?” tanya Vorne. Dia sempat mengira ibunya akan memperlihatkan Artefak Sabuk Hud Biru canggih miliknya. “Sudah 250 tahun lebih tidak ada lagi manusia yang meng- gunakan kertas, kenapa Ibu masih menyimpan peta?” Ada sensasi getir dan senang yang bercampur di dada Vorne. Ternyata, ada dua kertas. Satunya peta berukuran lumayan besar, satunya kertas kecil bertuliskan BUNGA KEDUDU.

“Carilah. Mungkin itu mitos. Tapi Kakek Buyut pernah bercerita, ini obat segala penyakit!”

“Di mana aku harus mencarinya, Ibu?”

“Di hutan Kalimantan!”

Gemuruh di luar sana makin keras, perlahan rinai turun.

“Hu-hutan Kalimantan? Di sini? Hutan sudah lenyap hampir 300 tahun yang lalu dari pulau ini, Ibu.” Vorne memelankan suaranya.

“Itulah kenapa kamu harus mencarinya di masa lalu.”

Vorne bingung. Dia mencoba mencerna kata-kata ibunya. Masa lalu? Mungkinkah ibunya kini sakit jiwa? Memang, sakit ini menyerang tubuhnya sejak empat tahun lalu, diperparah oleh pertarungan itu. Sejak itu pula Yohera menggantung Sabuk Hud Biru miliknya - angkatan bersenjata paling bergengsi se-Nusantara.

“Pergilah.” Yohera menarik tangan Vorne, menempelkan gelang digital mereka.

Vorne kaget. “I-ini?” Di situ tertulis NUSANTARA TOP SE­ CRET PROJECT: RONGGA WAKTU.

Saat membaca itu, terdengar kilat menggelegar. Sudah hampir dua tahun tak pernah hujan di The Great Palangka City.

“I-ini kan yang dicari-cari Faren Margoney, penjahat gila itu! Pemimpin Komplotan Gulita!”

“Tak usah sebut nama bajingan itu! Kalau Ibu sembuh, akan Ibu hancurkan dia! Sekarang, pergilah, Nak, cari obat untuk ibumu ini, bantu selamatkan Nusantara.”

Vorne ragu. “Kenapa harus aku? Aku... aku....”

“Kamu takut? Pantas kamu tak lolos juga ujian itu! Ber- gabung dengan akademi angkatan bersenjata artinya rasa takutmu tidak boleh ada lagi!”

Vorne terdiam.

“Baiklah, biar Ibu saja yang pergi! Tenaga Ibu masih ada.” Yohera memencet gelangnya, tubuhnya seketika langsung dibaluti pakaian tempur bercorak tegas berwarna hitam dan biru. Meski begitu, Yohera masih tak bisa berdiri dengan kakinya. Dia masih dibantu semacam kasur tipis berkerangka yang membuat tubuhnya tegap.

Vorne tersengal. Dia ragu. Napasnya memburu. Dia takut, tetapi marah. Ibunya hendak menyalakan portal khusus untuk teleportasi berpindah tempat. Tepat pada saat itu, Vorne mematikan kasur tipis berkerangka tadi.Ibunya terjatuh ke lantai, lunglai, tak kuat berdiri.

“Biar aku saja, Ibu.”

“Ta… tapi....”

“Tidak apa. Nusantara membutuhkan Ibu, tapi Ibu harus sehat dulu. Aku yang akan pergi cari Bunga Kedudu itu. Agar aku bisa kembali punya ibu yang hebat! Aku akan pergi ke mesin itu, kembali ke masa lalu.”

“Ta… tapi, kamu harus kembali sebelum 24 jam, Vorne! Kalau lewat, maka angkatan bersenjata akan mengetahui tindakanmu, mereka akan menangkapmu, juga menangkap Ibu. Kalau lewat dari 48 jam tak juga kembali, maka kamu akan terjebak di masa lalu selamanya, dengan kata lain ....” Yohera tak melanjutkan kalimatnya.

“Aku pasti akan kembali! Demi Ibu!”

Kubah mini yang menutupi tubuhnya menghilang. Itu untuk melindunginya dari air hujan. Semua orang tampak bersuka-cita menyambut hujan, beberapa angkatan muda Sabuk Hud Putih tak kalah riang. Vorne berpura-pura tak melihat mereka. Dia gemetar, berjalan menuju perpustakaan.

Vorne mengakses Kuburan Digital, tempat yang menyediakan data digital semua orang dari ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Semua ada, biodata, keturunan, perjalanan hidup, hingga sesuatu yang dulu mereka sebut sebagai media sosial. Tempat berkumpulnya triliunan foto, kata, dan pemikiran, atau sesekali omong kosong dari para nenek moyang generasi terakhir - sebelum negara ini berubah nama menjadi Nusantara.

Rindang Rimbun Belantara. Vorne mencari nama itu. Satu-satunya nama leluhur yang mengetahui tentang Bunga Kedudu. Nama orang zaman dulu aneh-aneh, ya, pikir Vorne.

Vorne tak sadar, apa yang dia cari adalah bagian amat terlarang. Di ruang kontrol, lampu alarm merah berkedip- kedip, para petugas - yang memiliki Sabuk Hud Hijau - langsung bergegas, hendak meringkus Vorne.

Dia menyalin semua data tentang Rindang Rimbun Belantara ke gelang digitalnya. Vorne belum puas karena tak juga menemukan satupun data tentang Bunga Kedudu.

Di depan, dua petugas melaju cepat dengan Sepatu Angin dan pistol listrik di tangan. Menyadari ada yang tak beres, Vorne cekatan pergi. Dia berbelok hendak keluar, dua petugas lainnya mengejar.

   “Itu bocah tengiknya Yohera si Lumpuh!”

“Hus, jaga mulutmu,” kata petugas satunya. “Dulu dia kapten angkatan bersenjata di Great Palangka.”

“Tapi sekarang lumpuh! Melawan Sabuk Hud Hijau seperti kita saja sekali sentil pasti tumbang! Apalagi melawan pasukan Faren Margoney si Gila!”

Vorne terus dikejar dan dia sudah mendekati pintu. Tepat di depan pintu, dua petugas lainnya yang tak terlihat sudut mata, mendarat dan langsung menodongkan pistol listrik kepada Vorne.

Di luar hujan. Jika pistol listrik itu ditembakkan, maka akan merambat kepada ratusan masyarakat yang berlalu lalang. Mereka semua akan kena sasaran. Kalaupun Vorne tak ditembak, akan mudah sekali menangkapnya karena semua orang yang punya gelang digital, dilengkapi modus pengamanan darurat.

Vorne melihat langit-langit. Tak mungkin dia meloncat atau terbang dengan Sepatu Angin. Sepatunya sudah kuno, bukan keluaran terbaru. Paling mentok, dia hanya bisa terbang tiga puluh meter dan dia akan menjadi sasaran empuk petugas. Vorne kian terdesak. Enam, delapan, hingga sepu- luh petugas Sabuk Hud Hijau mengepungnya.

Ini satu-satunya cara. Aku harus mencari obat itu, pikir Vorne. Dia kemudian memencet gelang digitalnya. Keluarlah semacam bola kristal bening seukuran kepalan tangan bayi. Benda ituberputar dan mendesing, seketika membentuk lubang di lantai. Vorne terjun bebas. Itu adalah alat teleportasi khusus, tetapi ilegal. Ah, saat terdesak, istilah ilegal tak ada lagi dalam kamus Vorne. Hukuman berat siap menantinya.

Vorne mendarat tepat di depan sebuah mesin besar tak menyala bertuliskan Nusantara Top Secret Project: Rongga Waktu. Mesin itu sebesar rumah. Dia tak paham cara menyalakannya. Vorne berkeliling memeriksa. Tak ada panel digital ataupun tombol manual. Bahkan, teknologi kuno seperti kabel juga tak ada.

Mesin bercorak merah putih itu tampak seperti batu berbentuk oktahedron yang licin. Vorne mengetuk-ngetuk dinding luarnya, tak terjadi apa-apa. Vorne coba terbang ke bagian atasnya, tak ada apa-apa juga di sana.

Dia terduduk di atas mesin itu. Vorne kembali mencoba membuka data yang dia dapatkan tentang Rindang Rimbun Belantara. Hanya ada sedikit sekali artikel tentang nama itu. Siapa orang ini? pikir Vorne. Dia membaca artikel pertama keras-keras. Vorne bosan sekali, ada tujuh belas halaman. Namun, halaman tujuh belas ternyata menyimpan sesuatu, kunci untuk keberangkatan Vorne ke masa lalu.

Pada baris terakhir, tertulis:

“...yang dulu dipersatukan oleh Indonesia Raya.”

Tiba-tiba, sesuatu berderit pelan. Corak merah putih tadi bergerak-gerak. Kemudian, di bagian tengah, terbuka sebuah pintu - seperti pintu pesawat terbang kuno, tetapi dengan posisi terbalik.

Meski ragu, Vorne meloncat ke dalamnya. Pintu itu tertutup. Tampak sebuah layar analog dan papan ketik. Sudah ratusan tahun tak pernah ada lagi dua teknologi ini. Vorne mendekatkan tangannya. Dengan gamang, dia mengetik sederet angka, yang menunjukkan tahun yang hendak dia kunjungi. 2045.

Mesin itu menabrak pepohonan yang tumbuh amat rapat, kemudian jatuh dan menghantam tanah. Ini tidak seperti ketika Vorne naik turun di rumahnya dengan begitu cepat, begitu mulus,dibantu dua utas hologram di 2382.

Musik di dalam mesin itu tuntas bernyanyi. Pintu pun terbuka.

Indonesia Raya? Lagu itu betulan ada, ternyata. Vorne mengira keberadaan negara itu dulu hanyalah mitos.

Belum selesai Vorne bingung bercampur takjub dengan lagu yang barusan dia dengar, kini di depan matanya terhampar hutan mahaluas. Menganga mulut Vorne dibuatnya. Hal semacam ini hanya bisa dilihat di Pusat Sejarah pada masa depan. Lewat layar-layar digital yang tak bisa disentuh, tak bisa dihirup udaranya, tak bisa disandari pohonnya, tak bisa direnungkan keindahannya.

Vorne hendak menangis menyaksikan apa yang ada di depannya. Dia langsung tersadar, tak ada waktu untuk takjub berlama-lama. NTSP Rongga Waktu ini adalah proyek rahasia. Pasti tak butuh waktu lama bagi para angkatan bersenjata Sabuk Hud Biru untuk mengetahui bahwa mesin mereka dicuri. Apalagi yang mencurinya adalah anak Yohera, seseorang yang amat disegani di angkatan. Vorne harus bergegas. Dia harus kembali dalam 24 jam agar tak ketahuan.

Segera ia tandai lokasi tempat dia mendarat di gelang digitalnya agar nanti memudahkan untuk kembali. Vorne menyalakan Sepatu Angin-nya. “Baiklah Rindang Rimbun Belantara, di mana kau berada?” Vorne berbicara sendiri. Dia melaju.

Vorne berusaha menyelinap agar tak ketahuan. Meski dia takjub melihat sungai, hutan, dan permukian primitif 2045, tetapi dia tetap punya satu tugas. Sudah tiga belas jam dia melaju, melewati kerumunan manusia tanpa disadari, masuk keluar kampung, masuk keluar kota dengan cepat. Tak ada tanda-tanda keberadaan Rindang Rimbun Belantara.

Dia hidup di lereng yang bersahaja. Di mana pelangi tak pernah hilang, di mana orangutan, burung-burung, ular, macan, dan segala macam hewan hidup tak tersentuh manusia.

Rindang Rimbun Belantara adalah pusaka hutan nan elok. Hiruplah wanginya, untuk tahu keberadaannya. Dengar- lah desaunya, untuk tahu dia berjalan ke mana. Tataplah rupa hijaunya, untuk paham sekuat apa akarnya menancap, me- runtuhkan semua angkara. Sentuhlah dedaunannya, untuk merasakan seberapa ranum tepa rasa yang dia cipta untuk manusia. Jangan petik ranting dan dahannya yang berjiwa, dia akan marah dalam diam untuk menumbangkan umat manusia.

Vorne makin bingung dengan petunjuk itu. Sudah lewat 24 jam, dia belum tidur sama sekali. Matahari sudah lenyap di telan cakrawala. Ternyata hutan Kalimantan ini luas sekali. Meski dia punya Sepatu Angin yang mempercepat langkahnya, tetap saja dia belum bisa menemukan satu-satunya petunjuk menuju Bunga Kedudu. Pastilah kini dia sedang menjadi buronan di The Great Palangka City.

Vorne duduk sebentar, bersandar pada satu pohon. “Cara mengekstrak air minum dari tanah atau pokok pohon,” Vorne berbicara kepada gelang digitalnya. Alat itu menunjukkan caranya, sekejap dia tiru, dan hilanglah dahaga Vorne dibuatnya. Dia merasakan sensasi berbeda hanya dari cara minum yang amat primitif dan sederhana.

Hutan itu amat gelap, tetapi diterangi oleh bintang. En- tah berapa juta bintang terhampar di langit, Vorne lagi-lagi takjub. Namun, belum sempat dia berlama-lama menikmati, tiba-tiba ada sebuah cahaya menyala di depannya. Dengan bantuan gelang digital, Vorne mencoba membidik asal cahaya itu seperti teropong. I… itu ... itu seperti tumbuhan! Seperti sekuntum bunga!

Vorne melaju cepat dengan Sepatu Angin-nya. Senang bukan kepalang. Sebentar lagi ibunya sehat! Ternyata, tak perlu bertemu Rindang Rimbun Belantara untuk bisa mendapatkan Bunga Kedudu itu! Atau, jangan-jangan Rindang Rimbun Belantara hanya perumpamaan untuk hutan yang maha luas ini? pikir Vorne. Dia tahu leluhur Nusantara sangat suka memakai perumpamaan.

Jaraknya makin dekat. Vorne mengulurkan tangan, se- nyumnya merekah, hendak memetik. Tinggal sejengkal lagi, tiba-tiba terdengar suara deru yang amat kencang. Tubuh Vorne ditimpa sesuatu yang besar dan berat. Dia terbangun dari mimpi. Ternyata Bunga Kedudu tadi hanya mimpi! Kini, dia harus menggeliat keluar dari dahan pohon yang menimpanya.

Tubuhnya sakit, lengannya terkilir, dan wajahnya sedikit luka terkena dahan yang hampir sebesar tubuhnya. Dia mencari asal suara mesin tadi. Tak terlihat di mana-mana. Vorne meloncat dengan Sepatu Angin hingga tiga puluh meter.

“Apa itu? Kendaraan-kendaraan aneh. Kenapa mereka menebang pepohonan - ah, ini ternyata penyebabnya!” Vorne marah. Dengan senjata darurat yang dia miliki di gelang digital, Vorne bisa saja dalam sekejap membuat kendaraan-kendaraan itu hancur lebur menjadi atom-atom kecil - senjata itu pemberian Yohera untuk berjaga-jaga, yang tentu saja ilegal untuk dimiliki oleh Vorne.

Vorne bersiap melempar. Ketika hendak melakukannya, terdengar suara anak-anak kecil, yang melempari kendaraan-kendaraan itu dengan batu. Vorne mencoba mendengar dengan deteksi suara jarak jauh.

Seorang anak perempuan - kisaran sembilan tahun - tampak memimpin teman-temannya. “Pergi dari rumah kami! Ini rumah kami, tempat main kami!” Dia menggemeretakkan gigi, melempar batu yang tak sebanding dengan kendaraan yang dikemudikan orang dewasa itu.

“Heh, Bocah-Bocah Tengik! Pergi sana! Pulang ke ibu kalian, nyusu!”

Batu yang dilempar Tara mengenai kepala si pengemudi. Teman-teman Tara cekikikan.

“Tara, ayo kabur! Orang itu tampak betul-betul marah!” “Marah? Marah? Kita juga marah! Ini rumah kita!”

“Tara! Ayo!” Teman-temannya menarik tangan Tara.

Namun, terlambat. Kini, delapan anak itu sudah dikepung oleh empat kendaraan besar dan delapan orang dewasa. Beberapa di antara mereka membawa pistol—yang tampak amat kuno bagi Vorne.

“Aduh, kami malas berurusan dengan anak kecil. Bagaimana kalau kalian beli permen saja? Ini uang untuk kalian!” Seseorang dari mereka menyerahkan beberapa lembar kertas.

Vorne yang sedang bersembunyi kaget melihat bentuk uang. Namun, dia langsung memasang kuda-kuda, hendak menghantam orang-orang dewasa itu. Tidak mungkin dia menggunakan senjata atomnya, bisa mengenai anak-anak kecil itu.

Seorang anak laki-laki melempar ranting kayu, mengenai wajah salah satu dari para pembalak hutan. Orang itu marah, lalu menyalakan mesin pemotong pohon. Dia mengancam dan mendekat.

Vorne siap melayangkan serangannya, tetapi tiba-tiba, dari sisi lain hutan, muncul dua orang dewasa. Keduanya laki- laki.

“Aduh, maaf, Tuan-Tuan. Ini adik saya, memang bandel. Jangan diambil hati, ya!”

“Tara! Kamu jangan nakal! Ayo pulang!”

“Tapi, Ayah, mereka mau ambil rumah kita, hutan kita....”

Kakak Tara langsung menyumpal mulut adiknya.

“Hehe, ada yang menjemput rupanya.” Seorang pem- balak mendekat kepada ayah Tara. “Silakan bawa anakmu.”

Ayah dan kakak Tara menarik anak-anak itu.

“Eits, eits. Hanya satu anak. Yang lain, tidak ada yang menjemput, bukan? Jadi, tinggal di sini!”

“Tidak!” bentak Tara meski tak terdengar oleh siapa pun.

Ayah dan kakak Tara tak bisa berbuat apa-apa. Mereka segera menggendong Tara dan membiarkan anak-anak lain tinggal.

“Sekarang, kepala kalian semua akan kami potong, Anak- Anak Nakal! Untuk jadi fondasi jembatan! Makanya,lain kali jangan nakal!”

Vorne geram. Segera, dia menyerang salah satu pembalak hutan itu. Orang itu terhantam keras. Namun, tanpa dia sadari, tiga lelaki lain sudah mendekat dan memukulnya.

“Heh, siapa kau?”

“Tak peduli siapa aku, lepaskan anak-anak itu!”

“Melepaskan diri sendiri saja kau tidak bisa!” seru pem- balak itu.

Mendengar ini, Vorne terpojok. Pantas tiga kali aku gagal tes masuk akademi.

Vorne mencoba meraih gelang digitalnya, tetapi entah kenapa modus pengaman darurat tak bekerja. Dia mengeluarkan sebuah bola kristal kecil lainnya. Senjata yang sebetulnya baru boleh dipegang seorang Sabuk Hud Biru. Siapa lagi yang memberikan itu kepadanya kalau bukan Yohera?

Orang-orang itu terpelanting meski tak jauh. Vorne meloncat lagi.

“Lepaskan anak-anak itu!” teriak Vorne.

“Begini maksudmu?” Salah satu pembalak membanting dua anak yang dia gendong. “Terima ini.” Orang itu menembak Vorne dengan pistolnya.

Sensor pada gelang digital Vorne langsung bekerja dan membentuk kubah mini sebagai pelindung.

“Si… siapa kau?”Orang itu kemudian menodongkan pistol kepada anak-anak tadi untuk mengancam agar Vorne mundur.

“Sekarang aku benar-benar marah! Terimalah ini...!” Vorne hendak mengeluarkan senjatanya.

Namun, belum keluar senjata itu, tiba-tiba datang angin kencang yang menghantam para pembalak hutan. Tanah bergerak dan perlahan menimbun kaki-kaki para pembalak itu, bebatuan terbang di atas mereka.

Di ujung sana, kakak dan ayah Tara terduduk tak berkutik melihat apa yang terjadi dengan Tara. Mata anak perempuan itu berubah hijau, rambut panjangnya berdiri dan menyala seperti api yang juga berwarna hijau.

“Aku Rindang Rimbun Belantara! Ini rumahku! Kalian semua, PERGIII!” Anak perempuan sembilan tahun itu berte- riak, suaranya mengerikan.

Pada saat bersamaan, ratusan kerikil dan bebatuan se- rempak menimpa para pembalak. Kendaraan-kendaraan me- reka juga menjadi sasaran. Bumi seperti bergerak, pohon seperti melilit. Kendaraan itu tenggelam ke dalam bumi.

Vorne menggigil melihat kejadian itu. Pohon, hutan, tanah, semua bergerak. Tak ada teknologi yang bisa berbuat seperti barusan pada tahun 2382, apalagi ini dilakukan oleh anak kecil!

“Apa pun itu, dari tahun berapa pun kau berasal, berdusta atau jujur, mohon jangan ganggu kami. Apa pun yang kau bu- tuhkan, akan kami berikan kecuali Bunga Kedudu. Karena kami tak tahu itu apa, baru kali ini kami mendengarnya!” kata Pemuka Adat. Perkumpulan mereka ternyata bernama Suku Dayak.

   “Sekarang, pergilah. Tara harus disembuhkan, mungkin bisa berhari-hari dia baru sadarkan diri.”

Vorne pasrah. Sudah hampir 48 jam dia pergi. Pasti kini dia sudah ketahuan menggunakan NTSP Rongga Waktu dan pasti ibunya sudah ditangkap. Kalau sebentar lagi dia tak bisa menemukan bunga itu, dia takkan bisa kembali ke tahun 2382 untuk selamanya.

Kepala Suku tak mungkin memperkenankannya berbicara dengan Tara yang pingsan sejak kejadian di hutan. Vorne pergi meninggalkan kerumunan itu. Dia masuk makin jauh ke hutan. Dia berniat mencari di tempat Rindang Rimbun Belantara tadi mengeluarkan tenaganya, mana tahu di situ tumbuh Bunga Kedudu.

Vorne belum beristirahat. Dia akhirnya tertidur dan bermimpi melihat Bunga Kedudu. Namun, kali ini, bunga itu tumbuh di atas tebing curam, bersebelahan dengan air terjun. Vorne terbangun. Dia panjat pohon tertinggi, lalu mencoba meloncat tiga puluh meter agar tahu di mana kira-kira posisi tebing itu. Tak ada.

Dia mengelilingi hutan. Tak juga bertemu. Vorne mulai putus asa. Dia baca lagi artikel lainnya tentang Rindang Rimbun Belantara.

Dia yang patah dari tiap tetes darah.

Dia yang teriris dari tiap sedu tangis. Menyatulah dengan alam, apabila dia marah.

Berbicaralah dengan hati, agar harapnya tak habis.

Vorne semakin tak mengerti. Dia memukul tanah dan pepohonan karena teramat kesal. Kini, tak ada lagi bintang di langit, hanya ada awan berat yang siap tumpah bersama miliaran tetes hujan dan jutaan rasa bersalah pada diri Vorne.

Dia marah sejadi-jadinya. Dia marah kepada dirinya yang tak bisa membantu sang ibu. Dia jadi makin tahu bahwa dirinya memang tak pantas menjadi sehebat ibunya kelak. Seorang kapten Sabuk Hud Biru. Memiliki Sabuk Hud Biru dan menjadi anggota pasukan bersenjata pengawal negara saja sudah bergengsi, sedangkan ibunya malah berhasil menjadi kapten untuk kawasan The Great Palangka. Sungguh, dia tak pantas menjadi anak Yohera Pertiwi!

Ternyata, darah petarung itu tak mengalir di tubuh Vorne. Dia marah,dan kini melepas tangis.

Sekarang, Vorne bersandar pada NTSP Rongga Waktu. Peluh, darah, dan tangisnya bercampur dengan hujan. Masih ada empat puluh lima detik lagi sebelum dia terjebak di 2045 selamanya. Vorne masuk dengan lesuke mesin itu.

Dia mengetikkan angka 2382.

Belum selesai dia mengetik angka 2, sebuah cahaya hijau di derasnya hujan menyeka penglihatan. Kira-kira empat langkah kaki dari mesin itu. Waktu tersisa untuk kembali ke masa depan tinggal tiga puluh detik lagi.

“Kak Vorne!” Ternyata itu Tara! Dia berdiri di depan sekuntum bunga, bersama pendaran cahaya api hijaunya. “Ambil ini. Bawalah.”

Vorne ragu. Dia keluar lagi dari NTSP Rongga Waktu danmendekat perlahan. Waktu tersisa tinggal dua puluh detik lagi.

Vorne memetiknya. Bunga itu berwarna ungu kecoklatan. Ada delapan kuncup dalam satu tangkai. Bentuknya sangat aneh. Vorne menatap mata hijau menyala Tara. Dia gemetar. Waktu tersisa tinggal sepuluh detik lagi.

Tepat saat bunga itu berhasil dia petik, Tara dan cahaya hijaunya mendesing dan lenyap, seperti menyatu dengan pepohonan. Tara seakan berteriak,“Salam lestari!”

Tinggal lima detik lagi. Vorne bergegas ke NTSP Rongga Waktu. Tiga detik lagi. Dia menutup pintu, lalu bergegas mengetikkan 2382. Tepat satu detik sebelum batas waktu 48 jam habis, Vorne kembali ke masa depan.

Puluhan angkatan Sabuk Hud Biru dan ratusan Sabuk Hud Hijau mengelilingi mesin Nusantara Top Secret Project: Rongga Waktu. Mereka semua menodongkan senjata. Pasukan itu dipimpin Panglima Koyop. Mesin tersebut begitu berbahaya, sampai-sampai seluruh angkatan turun tangan demi seorang bocah yang bahkan sudah gagal tes masuk Sabuk Hud Putih tiga kali.

Pintu terbuka, Vorne keluar.

Dia sudah tahu akan ditangkap. Lebih baik menyerah. Semua mengambil posisi tembak.

Vorne mengeluarkan sekuntum Bunga Kedudu terlebih dahulu. Panglima Koyop bergeming. Dia gemetar.

“A... anak itu?” Dia ternganga. Seperti melihat satu cahaya cerah untuk bisa mengalahkan musuh besar Nusantara yang masih menghantui.

“Ibu yakin?”

“Tidak ada pilihan. Aku adalah kapten, Nak. Panglima dan yang lain telah menunggu di bawah. Ini pertarungan terakhir. Kami harus menang. Kalau tidak, The Great Palangka taruhannya. Tidak ada yang mau pulau ini hancur dan tenggelam di lautan seperti Java, ulah keji Faren Margoney dengan komplotannya.” Yohera sudah berpakaian canggih. Dia tampak gagah berkat khasiat obat Bunga Kedudu.

Yohera meminta Vorne ikut turun melepasnya. Tak biasanya Yohera bersikap seperti ini, lagi pula Vorne bukan anak kecil lagi.

Dari lantai 153, sekejap saja mereka sampai di lantai 1.

Ada belasan prajurit yang menanti di depan portal teleportasi khusus. Termasuk panglima dan orang-orang yang dulu menguji Vorne saat ujian akademi.

“Ibu harus kembali! Nanti kita main ke 2045!”

  “NTSP Rongga Waktu itu hanya boleh dipakai orang- orang tertentu. Kamu Sabuk Hud Putih saja belum berhasil. Belajar lagi, latihan lagi supaya nanti bisa lolos ujian.”

“Gagal akademi?” Panglima menyela. “Eh, maaf, apa maksud Anda, Kapten?” Dia mengeluarkan sebuah hologram. Itu Sabuk Hud Putih dari gelang digital khusus miliknya. Dia memencet benda itu beberapa kali,lalu sebuah layar muncul, seolah memindai wajah Vorne.

Tak lama, hologram Sabuk Hud Putih itu berdesing dan masuk ke gelang milik Vorne. Seketika, pakaiannya berganti menjadi paduan garis tegas dan elegan hitam putih.

“Selamat, kamu diterima di akademi,” kata seorang pra- jurit Sabuk Hud Biru.“Sepulang dari perang, kami langsung yang akan mengajarmu.”

Vorne tak menyangka. “Bu...bukankah seharusnya yang mengajarku Sabuk Hud Hijau dulu?”

“Tidak usah, langsung kami saja. Kau berbeda!”

“Sudahlah, tak usah mengobrol lama-lama.Musuh kita sudah dekat!” seru Yohera.

Mereka masuk ke portal teleportasi, meninggalkan Vorne sendirian.

Begitu semua orang sudah lenyap, Vorne langsung me- masang kuda-kuda dan bergaya. Dia berpose, memamerkan dirinya yang mendapatkan Sabuk Hud Putih meski di sana sudah tak ada siapa-siapa.

“Kelak, aku akan menjadi seperti Panglima! Pemilik Sabuk Hud Merah! Paling tinggi di Nusantara!”

J.S. Khairen (Medsos: @JS_Khairen)

Cerpen ini gratis. Kata Tim Karyakarsa, “baiknya kasih tarif harga.” Tapi saya bilang “gausah.” Lalu kata Tim Karyakarsa lagi, “tenang, ada fitur tips.” Nah, itu dia. Terserah kamu aja mau ngasih tips berapa. Ga ngasih juga gapapa. Buat yang ngasih, makasih. Nanti saya pakai buat ganti duit orangtuanya Ogi, atau buat pulsa Juwisa buat nelpon bapaknya, atau buat makanan anjing & kucingnya Bu Lira, atau gatau deh. Lo bantu sebar aja cerpen gue ini, gue udah seneng.

Medsos gue: @JS_Khairen (IG, Twitter, FB, Tiktok)

FAQ:

  •  

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bertemu Sekali Lagi - Cerpen
29
1
Bertemu Sekali Lagi“Makna senyum menjadi jauh lebih dalam, ketika mata juga ikut tersenyum.”The Great Palangka, Tahun 2376.Nenek Kinanti menanti ajalnya sendirian. Oh, tidak juga, semua anaknya hadir di ruangan ini. Hadir lewat panel transparan. Lewat sana ia berkomunikasi, lewat panel-panel ini empat anaknya ‘menjenguk’ sang ibu.Ini adalah salah satu cerpen dalam buku ‘Hal yang Tak Kau Bawa Pergi Saat Meninggalkanku.’ Terbit awal 2021 (Bukune).
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan