Kado Terbaik Eps. 04

7
0
Deskripsi

Episode 04 - Berbuka Puasa


Aku sudah terbiasa jadi orang tak penting dalam kehidupan ini. Siapa juga yang peduli dengan anak tertua, yatim piatu, yang hidupnya selalu dicampakkan sana-sini? Tak ada.

Masalahnya, aku berjanji pada pemilik warung nasi tadi untuk membayar. Lagi pula, tasku masih tertinggal di sana. Janji untuk membayar juga tadi aku tancapkan sambil memohon dengan nada lirih.

Hei tapi lihatlah, jika tadi pemilik warung ini mencoba kasihan, kini ia malah jijik. Mengusirku cepat-cepat. ...

Episode 04 - Berbuka Puasa


Aku sudah terbiasa jadi orang tak penting dalam kehidupan ini. Siapa juga yang peduli dengan anak tertua, yatim piatu, yang hidupnya selalu dicampakkan sana-sini? Tak ada.

Masalahnya, aku berjanji pada pemilik warung nasi tadi untuk membayar. Lagi pula, tasku masih tertinggal di sana. Janji untuk membayar juga tadi aku tancapkan sambil memohon dengan nada lirih.

Hei tapi lihatlah, jika tadi pemilik warung ini mencoba kasihan, kini ia malah jijik. Mengusirku cepat-cepat. 

“Sa… saya cuma mau ambil tas saya bu.”

Ia menggeleng. 

“Gak ada, udah diambil tadi sama anak kecil yang cewek.” Katanya menutup hidung.

Pengunjung yang lain, yang tengah makan juga tampak terganggu. Mungkin karena aroma pakaian dan tubuhku yang tak enak. Semoga tak ada ceceran kotoran burung kering ini yang masuk ke piring mereka. 

“Diambil?”

Aku makin kesal. Pasti Rizka. 

“Yaudah bu, maaf ya. Nanti saya bayar.”

“Ga usah. Udah dibayar juga sama dia.”

Aku geleng-geleng. 

Ibu pemilik warung ini tentu saja tahu kalau Rizka dan kawan-kawannya yang tadi mengambil dompet itu. Namun yang membuatku kaget, kesal, dan bingung, kenapa pula Rizka membayarkan makan siangku? Apa tadi ibu ini yang bilang kalau aku belum bayar? Ah sudahlah.

Malas sekali jika aku harus kembali ke panti itu. Dua tahun sudah aku tak ke sana. Aku jelas rindu Rizka dan Khanza. Dengan Rizka aku sudah bertemu tadi, pertemuan yang menyebalkan. Namun aku tak tahu bagaimana nasib Khanza. Si Mungil itu semoga baik-baik saja.

Ini masih siang menjelang sore. Pasti panti itu belum ada orang. Anak-anaknya berkeliaran melakukan pekerjaan yang diperintah Pak Tono dan asisten-asisten biadabnya.

Keluar dari terminal, aku lihat sekali lagi dompet Rani. Ada kartu ATM di sana, tapi aku tak bisa menggunakannya. Pasti ada PIN, dan lagi pula seumur hidup aku tak pernah masuk ke ruang mesin ATM.

Dari kartu-kartu ini, ia sepertinya datang dari Ibu Kota. Mungkin kota kecil kami ini adalah kampung halamannya. Tidak ada alamat yang mungkin bisa aku kunjungi mengembalikan dompet ini.

Ah sudahlah, aku buang saja. Atau aku cari ibu-ibu sosialita level pasar, yang mana tahu membeli dompet ini dengan harga murah. Lumayan untuk makan malamku nanti.

Sore pun datang. Kakiku yang sebetulnya sudah letih betul terhenti di depan sedikit petak sawah. Petak sawah yang tiap tahun makin berkurang luasnya karena pembangunan kota kami ini.

Tempat ini mengingatkanku kejadian buruk itu. Ayahku tertembak di sini malam itu. Ini semua gara-gara ayah! Kehidupanku berubah hancur, berantakan, dan penuh kotoran burung. 

Coba saja ayah tak pernah memilih pekerjaan haramnya itu. Pasti kami sekarang masih lengkap sekeluarga, tak masalah meski harus hidup sederhana. 

Para petani itu masih tampak beres-beres. Mereka hendak pulang. Mungkin kalau di terminal sudah tak bisa menjadi porter, aku bisa menjadi petani. Namun sawah ini baru saja selesai panen. Jadi rasa-rasanya mereka tak butuh tenaga kerja tambahan kalaupun aku minta pekerjaan pada mereka. 

Beberapa dari petani itu tampak membersihkan peralatan dekat anak sungai. Lebarnya sekitar satu setengah meter. Ah itu dia, aku harus membersihkan badanku. 

Aku numpang mandi, mereka mengangguk cuek dengan senyuman tipis. Di sungai inilah tubuh ayahku jatuh. Ayah takkan pernah mendapat keadilan. Mana mungkin? Ayah adalah bandar obat-obatan terlarang. Siapa yang mau membela? Justru ayah harusnya tak kabur waktu itu.  Setidaknya, jika masuk penjara, ayah masih hidup dan kelak bisa bebas. Melanjutkan kehidupan bersama kami.

Aku membersihkan badan yang bau, juga menggosok pakaian yang penuh kotoran. Namun sungai kecil ini tak bisa membersihkan ingatanku akan kejadian pahit yang terus menimpa kami tiga beradik kakak. Ayah mati tertembak, ibu membuang kami. Entah di mana ibu sekarang. Benciku, sejak saat itu, juga terus mengalir deras.

Suara mengaji di masjid-masjid mulai terdengar. Merambat di udara Ramadan, tujuh hari menjelang Lebaran. Ah, aku sudah lama sekali lupa rasanya suasana Lebaran bersama keluarga.

Ini sudah menjelang jam berbuka puasa. Aku belum tahu akan berbuka puasa di mana. Apa? Berbuka? Puasa saja aku tidak. Aku juga belum tahu akan tidur di mana malam ini. 

Dulu saat tinggal dengan keluarga di rumah kami yang lumayan baik, aku berbuka puasa dengan tenang. Satu yang aku tak tahu, menu buka puasa itu ternyata berasal dari uang seorang penjahat.

Para petani melangkah pulang beserta senyum lepas mereka, saling memberi salam. Ada yang berjalan kaki, ada yang naik motor. Mataku menatap ke langit. Awan berarak tak melukiskan imaji apa pun. 

Suara mengaji itu terus menderu. 

Ibu tak pernah mengajarkan agama padaku. Waktu kecil, selepas magrib, aku mengaji di masjid dekat rumah. Aku cukup baik dalam mengaji. 

Hei, kalian mau tahu nama panjangku? Rizki Alqurania. Indah sekali, bukan? Sama dengan indahnya nadaku jika mengaji. Namun sejak tinggal di panti asuhan, aku tak lagi pernah mengenal kitab suci. 

Mana kitab suci itu? Kenapa ayat-ayatnya tak pernah menolongku? Kenapa ayahku mati tertembak? Kenapa ibu membuang kami? Kenapa tak ada pertolongan sedikit pun pada hidupku yang malang ini?

Katanya Allah Maha Pengasih? Cobalah, hei Langit, tolong kasihanilah aku yang sudah merana dan busuk bau kotoran burung ini. 

Aku diam sebentar. Menanti keajaiban dari Langit. Tak ada kan? Ayat-ayat itu beku saja.

Hidup sungguh tak adil. Kenapa aku tak mati saja? Kenapa aku tidak lahir dari orang kaya saja? Yang hidupnya enak, tanpa masalah. Bangun tinggal makan, dengan pakaian yang bagus, berangkat sekolah atau kerja, duduk di ruangan yang nyaman, untuk kembali ke rumah yang penuh kehangatan keluarga.

Aku tunai sudah memasang kembali pakaianku. Masih basah. Aku duduk melihat hamparan sawah yang sudah ditebas selepas panen. Ada sedikit petakan yang belum dipanen. Mungkin besok para petani itu baru akan melakukannya.

Ah, bahkan untuk tidur di mana malam ini, aku tak tahu.

Perutku kembali berbunyi. Energiku habis gara-gara kejar-kejaran seharian. Suara mengaji tadi berhenti, berganti suara azan magrib. Satu yang aku tahu, biasanya kalau di masjid, pasti ada saja yang membagikan takjil, makanan berbuka puasa.

Dengan pakaian masih basah, aku berjalan ke sana. Ke masjid. 

Ternyata, selain takjil, aku juga menemukan malaikat di sana. Malaikat yang sedang kebingungan karena dompetnya baru saja hilang tadi siang.

***

Kado Terbaik adalah novel baru, ada 40 episode. 

Cerpen2 ini semuanya gratis. Dari pada kamu baca bajakan, membela maling buku, kalau kamu belum punya uang, maka baca cerpen ini saja cukup, dan itu tetap terhormat. BERHENTI BACA BUKU BAJAKAN! BERHENTI JADI MALING! Iyuhhh malu bangettt.

Tiga cara memiliki novel2 karya J.S. Khairen:

  1. Datang ke Gramedia/Togamas.
  2. Versi tanda tangan; TOKO BUKU JS KHAIREN
  1. Versi e-book unedited: https://play.google.com/store/books/collection/cluster?clp=2gENCglqc2toYWlyZW4QBQ%3D%3D:S:ANO1ljKQCK4&gsr=ChDaAQ0KCWpza2hhaXJlbhAF:S:ANO1ljJNNFc 
     

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Permen Karet di Kursi
7
0
Ini adalah cerpen yang ditulis sekali duduk. Jadi jika ada typo2, gak sebagus novel2 sy, harap maklum. Akan ada 5 cerpen/cerbung gratis setiap hari, sepanjang libur lebaran (Senin s/d Minggu, 2-8 Mei 2022). Beberapa cerpen/cerbung adlh kisah dari tokoh2 yg ada di novel2 sy. Ada yg akan nyambung dgn novelnya, ada yg nggak.Seluruh cerpen dan cerbung ini bisa dibaca di karyakarsa dan FB Page J.S. Khairen: https://id-id.facebook.com/JSKhairen/ Jadwal cerpen gratis Selasa, 3 Mei:6 pagi: Permen Karet di Kursi10 siang: Kado Terbaik Eps. 043 sore: Tangan & Kaki Baru 6 malam: Monster Ketawa Eps. 029 malam: Simunsang  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan